Share

Serpihan Satu

last update Last Updated: 2022-01-28 13:30:02

Wajah Agus berubah sendu, "Dek, bersabarlah dalam sepekan ini. Kakak janji situasi akan menjadi lebih baik," pinta Agus saat Hera terus mendesak untuk diperkenalkan pada keluarga suami sirinya.

"Adek sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi saat kakak memperkenalkan adek sebagai istri kedua," ucap Hera, mencoba menyakinkan Agus yang terlihat ragu.

"Tidak semudah itu, Dek. Kondisi mama sedang kurang sehat. Kalau mama tahu hubungan kita sekarang, kakak khawatir semuanya akan kacau. Apalagi, beliau masih mengharapkan cucu dari kakak dan Vina," jelas Agus.

Hera menatap Agus yang ada di depannya, pandangan dalam dan menusuk. Hatinya begitu gamang. Kesempatan untuk masuk ke dalam keluarga Agus mulai terbuka. Namun, suaminya malah membuat terjebak lebih dalam lagi, hingga sulit untuk bangkit.

“Katakan saja pada mama, kalau kakak sudah punya anak dari adek. Apakah sulit?” Hera menepis tangan Agus kasar.

“Dek, kakak mohon. Situasinya tidak semudah itu, mama sering sakit-sakitan, karena memikirkan masalah cucu. Kakak takut jika kakak mendadak menyampaikannya, mama akan semakin drop. Kakak mohon bersabar dulu, ya," pinta Agus.

“Sepekan, Kak. Tidak kurang, tidak lebih. Mungkin, memang sebaiknya adek tidak perlu masuk ke dalam keluarga kakak.” Hera merajuk.

“Jangan bilang begitu, Sayang. Baiklah. Maksimal lima hari kakak akan datang lagi, ya. Tolong jaga Aiman.” Agus mengecup kening Hera sebelum pergi menemui istri pertama dan keluarganya.

Hera menatap punggung Agus yang menjauh, matanya berembun. Pertahanannya goyah. Hatinya berbisik, ini adalah kali terakhir ia akan bertemu dengan suaminya. Meskipun dia mencoba menepisnya.

***

"Setelah kepergian bapakmu, hari itu, ibu tidak bisa tidur hampir setiap malam. Berharap bapakmu datang meski hanya sekedar menemui ibu. Nyatanya, bapakmu benar-benar tidak kembali,” ujar Hera mengusap air matanya, ada riak kepedihan dari setiap kata yang dia lontarkan.

Aiman menatap wajah sang ibu, yang mencoba menahan kepedihannya sekuat tenaga. Aiman merasa gamang. Satu sisi, ia bahagia bisa bertemu dengan ayahnya. Di sisi lain, ia juga merasa bersalah karena telah membuka kembali luka di hati sang ibu.

Suara notifikasi handphone, membuyarkan suasana hening di antara keduanya. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau milik Aiman, dari Airin.

[Kak, ayah mau minta nomor kakak. Boleh?]

Aiman menatap Hera yang sedang mengusap air matanya, “Bu, apa boleh Aiman memberikan nomor Aiman ke bapak?" tanya Aiman ragu. Ia khawatir akan menyakiti hati sang ibu.

Hera menghela nafas, "dia bapakmu. Ibu tidak lagi berhak melarangmu. Keputusan ada di tanganmu, Nak. Apakah mau terus menjalin silaturahmi, atau menghindar lagi,” jawab Hera sambil tersenyum hambar.

“Aiman sudah memikirkan semuanya, Bu. Biar bagaimanapun, darah bapak mengalir dalam tubuh Aiman. Aiman tetap tidak akan bisa menghindari itu. Sekarang, kita sama-sama menghadapi ini ya, Bu,” ujar Aiman sambil merangkul Hera.

Suara isakan Hera terdengar lirih . Air matanya yang telah mengering setelah perpisahannya dengan Agus, kini kembali basah. Dulu, setiap malam dia menangisi Agus, menanti akan kedatangannya, tapi semua hanya semu belaka hingga air matanya mengering tidak bersisa dan Hera memutuskan untuk pergi menjauh hingga hari bersejarah kemarin.

***

“Ma, makan dong. Kalau mama ga mau makan, nanti mama sakit.” Arman, putra pertama Vina, masih berusaha membujuk sang ibu yang belum makan sejak malam kedatangan Aiman dan Hera. Sejak malam itu, Vina terus mengurung diri di kamarnya.

Vina hanya terus berbaring sembari memandang keluar jendela dengan tatapan hampa. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan, Airin menatap sang bunda dengan perasaan bersalah. Jika saja, ia tidak meneruskan proses ta'aruf dengan Aiman, semua tidak akan jadi seperti ini, pikirnya. Dia lupa jika Tuhan-lah yang mengariskan nasi manusia.

"Dek, sudah jangan melamun," tegur Arman. "sebaiknya kita fokus ke mama, biar mau makan. Tapi, sepertinya mama ketiduran, nanti kita rayu lagi, " sambung Arman dan diamini oleh Airin.

Airin menghela nafasnya berat, lalu menoleh ke arah bundanya. Rasa penyesalan begitu kentara di wajah Airin, dan Arman hanya bisa merangku pundak adik tersayangnya.

"Kita pindah ke ruang keluarga. Abang mau dengar cerita dari adek,” ajak Arman sambil menuntun adik sambungnya itu.

***

"Hmm, bagaimana adek menyikapi ini?" tanya Arman, setelah selesai mendengar penjelasan dari Airin.

Airin menyeka airmatanya, yang luruh ketika bercerita. Rasa sakit di hatinya tidak mereda, ketika mengetahui, jika dia dan Aiman tidak diperbolehkan menikah karena hukum agama. Perasaan cinta telah tumbuh lama, bahkan sebelum adanya taaruf dari Aiman.

"Ai belum tahu, Bang. Mungkin saat ini, Ai masih harus menata hati. Ai akan berusaha menghindari Kak Aiman saat ini. Ya, meski kami belum ketemu lagi, sih. Kebetulan perkuliahan sedang diliburkan pekan ini,” ujar Airin. Arman mengangguk-angguk.

Aiman adalah salah seorang dosen muda yang jadi favorit para mahasiswi di kampusnya. Pun dengan Airin, meski tidak menunjukkan sikap berlebihan, ia tidak menampik perasaan kagum sempat memenuhi hatinya. Karenanya, ia begitu berbunga saat tahu Aiman menjadi salah satu calon yang diajukan murobbiah-nya.

"Tapi, Ai tidak tahu bagaimana nanti kalau Ai ketemu kak Aiman di kampus," Airin menghela nafasnya, "Bang. Ai baru ingat. Kak Aiman dosen pembimbing skripsi Ai. Ai harus bagaimana?” tanya Airin panik. Arman tergelak melihat wajah Airin yang tampak begitu frustrasi.

"Bagaimana kalau pas ketemu sama Aiman, adek pakai helm saja?" usul Arman sambil mengacak pucuk kepala sang adik.

"Ih, abang mah..." Bibir Airin mengerucut dan semakin membuat Arman tergelak.

Arman mengembangkan senyum, karena sudah bisa melihat adiknya kembali ceria. Meskipun tersisa kepedihan yang terpancar dari sorot matanya.

"Ya sudah, nanti kalau bimbingan, biar abang antar adek, ya. Abang juga mau ketemu sama adik baru abang itu,” ujar Arman tersenyum.

"Abang jangan menyesal, lho. Pokoknya, abang kalah keren sama kak Aiman,” ledek Airin. Arman hanya tertawa miris. Sebuah pikiran terlintas di benaknya.

***

"Nak Aiman!” Agus berdiri menyambut kedatangan Aiman di restoran tempat yang mereka janjikan.

Aiman tersenyum melihat Agus. Tidak menyangka, ia benar-benar bertemu ayahnya setelah ia berusaha meyakinkan dirinya kalau ayahnya memang sudah tiada.

Agus langsung memeluk anaknya, yang sudah lama dia rindukan, dan dibalas dengan canggung oleh Aiman. Kemudian, Aiman mengambil tangan ayahnya untuk dia kecup takzim.

"Duduk, Nak, duduk. Mau pesan apa? Aiman suka makan apa, Nak?" tanya Agus antusias. Ia merasa ada celah kosong yang harus segera ia isi antara ia dengan putra pertamanya.

"Apa saja, Pak. Aiman biasa makan seadanya. Aiman tidak pilih-pilih makanan, kok,” ujar Aiman tersenyum.

Namun, ucapan Aiman seperti belati di hati Agus. Ada rasa sesal dalam dirinya karna ia terlambat menemui Hera hari itu, kehidupan Hera dengan Aiman pasti sulit. Melihat reaksi ayahnya, Aiman merasa tidak enak hati. Dia meresa kata-katanya tidak ada yang menyinggung, tapi ayahnya terlihat murung.

Agus menceritakan kejadian sejak malam terakhir pertemuan dengan Hera. Vina melaporkan pertemuannya dengan Hera hingga Gina, ibunya, drop sampai meninggal dunia. Karena itulah, Agus tidak menemui Hera hingga pekan selanjutnya.

“Bapak benar-benar menyesal, Nak. Jika saja bapak saat itu datang meski sebentar, hanya untuk sekedar menjenguk ibumu, atau menitipkan pesan kepada Bang Jabir, orang kepercayaan bapak yang tinggal di sebelah rumah ibumu, mungkin ibumu tidak akan meninggalkan bapak,” ucap Agus penuh sesal. Aiman berusaha menenangkan Agus dengan menepuk tangannya lembut.

“Semua sudah terlanjur, Pak. Sekarang, kita sudah bertemu. Allah menakdirkan kita bertemu lagi. Allah masih sayang kita, Pak."

Agus mengangguk mengiyakan. Ia bahagia dengan reaksi Aiman yang menyambutnya dengan hangat. Hera benar-benar mendidik putranya dengan baik.

"Emm, bapak mau bawa kamu ke perusahaan bapak, Nak. Bapak akan menjadikan Aiman salah satu direktur di sana. Sekaligus memperkenalkan Aiman sebagai putra bapak. Bagaimana?" tawar Agus.

Aiman menatap ayahnya, mencoba menerka apakah ayahnya benar-benar memintanya atau hanya sekedar mengujinya.

"A-Aiman harus diskusikan dengan ibu dulu, Pak. Terima kasih banyak, bapak masih mau mengakui Aiman sebagai anak bapak,” ujarnya tulus.

"Kenapa bicara seperti itu, Nak? Bagaimanapun, kamu tetap anak bapak,” sela Agus.

Agus menggenggam tangan Aiman erat. Ia ingin menebus segala kesalahannya karena telah meninggalkan Hera dan putra kandungnya. Ia yakin, perjuangan Hera begitu berat membesarkan Aiman tanpa dirinya.

"Iya, Pak. Aiman masih belum terbiasa dengan semua yang telah terjadi," Lirih Aiman. Ia berusaha menerka, takdir apalagi yang akan menghampiri dia dan sang ibu.

"Aiman dosen di kampus Airin, kan?" tanya Agus.

Related chapters

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Pertemuan Pertama

    "Iya, Pak. Aiman dosen statistik di kelas Airin,” jawab Aiman.“Ternyata, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, ya. Dulu, Ibumu juga pengajar. Meski di kampung, tapi dia sangat cerdas. Karena itulah, selain wajahnya yang membuat bapak tidak bisa berpaling, kecerdasannya benar-benar membuat bapak kagum,” tukas Agus. Agus menceritakan kisah awal pertemuannya dengan Hera sambil menikmati hidangan yang baru dibawakan oleh pramusaji. Keduanya hanyut dalam perbincangan yang hangat. Aiman mulai belajar mengenal lelaki di hadapannya.***Suara ketukan dan salam terdengar di pintu depan membuat Hera menghentikan aktivitasnya. Hera pun menuju ke depan rumahnya dan membuka pintu.“Assalamu’alaikum, Hera,” salam Vina begitu Hera membuka pintunya.“Wa-wa’alaikumussalam.” Hera terkejut.Setelah memastikan Vina datang bukan untuk melabraknya lagi, ia mengizinkan istri pertama dari suaminya itu masuk.Vina memperhatikan se

    Last Updated : 2022-01-28
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Pertemuan Kedua

    "Tapi ternyata, keputusan saya mendatangi kamu sore itu adalah kesalahan terbesar yang saya ambil.” Vina melanjutkan ucapannya, matanya menatap jauh ke depan.***"Aiman, bagaimana kabarnya?" Jaka, dosen manajemen pendidikan, menyapa Aiman yang tampak lebih banyak melamun sejak kabar ta'arufnya menyebar."Alhamdulillah baik, Pak. Cuma ya, memang lagi agak banyak pikiran." Aiman tersenyum. Jaka adalah kawan sejawatnya yang cukup banyak membantu sejak mereka masih menjadi asisten dosen di kampus itu."Saya dengar gosipnya, lho.” Jaka tertawa, "jadi bagaimana itu, ditolak sama keluarganya, begitu?"Jaka melangkah menuju dispenser yang berada di ujung ruangan. Mengambil sebuah gelas, lalu menekan keran air."Mmm, bukan, Pak. Qadarullah ternyata ayahnya Airin juga ayah saya,” jawab Aiman pelan.Jaka menyemburkan air yang sedang diminumnya. Keterkejutan terlihat jelas di wajahnya. Ia memandang Aiman tak percaya."Seri

    Last Updated : 2022-01-28
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Setelah Keputusan (1)

    "Tolong temani dia sampai gosip mereda. Saya khawatir ini akan mengganggu konsentrasi perkuliahannya. Dan Airin. Tolong serahkan revisi skripsi kamu maksimal pekan depan ya,” ujar Aiman kemudian berlalu kembali ke depan kelas. === Airin masih tertunduk diam setelah sepuluh menit kedatangannya di kantin kampus. Aiman menatapnya dengan wajah bersalah. Beberapa mahasiswa yang sedang menikmati maka siangnya mencuri pandang ke arah keduanya. “Coba saya lihat skripsinya. Sudah di bab berapa?” tanya Aiman memecah kesunyian. “Eh, i-iya, kak. Sudah bab... em, em, berapa, ya?” Airin membongkar tote bagnya panik. Aiman melihat sekeliling. Mahasiswa yang mencuri pandang langsung berpura-pura mengerjakan kegiatan lain. “Mmm, bunda sehat?” tanyanya. “Eh, i-iya, kak. Alhamdulillah sehat. I-ini, kak, bab akhir ternyata.” Airin menyodorkan tumpukan kertas skripsinya. Aiman menyambutnya. “Aduh, kasihan, yah. Sudah gagal n

    Last Updated : 2022-03-25
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Setelah Keputusan (2)

    “Begini, satu hal yang perlu kalian tahu. Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ta’aruf kami, karena kami ternyata mahram. Sudah itu saja.” Airin meninggalkan kantin yang mendadak sepi. Martha membulatkan matanya kaget. ~ ~ ~  “Tadi siang Bunda Airin ke rumah,” ucap Hera. Aiman berhenti mengunyah makan malamnya. “Ibu ga papa?” tanya Aiman. Hera menoleh, lalu tersenyum tipis. “Nggak, alhamdulillah. Mbak Vina ke sini Cuma mau cerita saja.” Mata Hera menerawang sambil terus mengaduk-aduk nasi di piringnya. “Tapi apa, Bu?” tanya Aiman seolah mampu membaca kegelisahan sang ibu. Hera menghela nafas berat. “Mbak Vina minta ibu rujuk sama mas Agus,” jawab Hera. Aiman tersedak. “Lalu?” tanya Aiman dengan wajah penasaran. Hatinya mendadak dipenuhi perasaan tidak nyaman. Sekelebat pikiran negatif memenuhi otaknya. Meski ia tak begitu mengenal istri pertama ayahnya, ia sedikit banyak paham bahwa perasaan wa

    Last Updated : 2022-03-25
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (1)

    Agus berdiri mematung di depan rumah Hera. Ia memperhatikan sekeliling rumah sederhana itu. Cukup rapi dan bersih. Namun, tetap memberikan kesan tidak layak huni dibandingkan rumah yang ia berikan dulu. Hera menanti dengan perasaan tak karuan di dalam rumah. Ia terkejut melihat kedatangan Agus ke rumahnya saat ia hendak berangkat ke pasar. Aiman sudah berangkat ke kampus sejak satu jam yang lalu, mengejar jadwal mengajar paginya. Agus beranjak mendekat ke arah pintu. Hera yang menunggu di dalam, masih dilema akan keputusannya. Hendak bertemu, atau bersikap seolah ia tidak di rumah. Agus mengetuk pintu setelah terdiam selama sepuluh menit. Ia lalu mengucap salam. Hera bergeming. Ia masih belum memutuskan. “Assalamualaikum,” ucap Agus sambil kembali mengetuk pintu. Hera akhirnya memutuskan untuk diam. Ia yakin, Agus akan berpikir bahwa ia tidak ada di rumah. “Waalaikumussalam, cari siapa, Pak? Aiman, ya?” Sebuah suara mengejutkan keduanya. Agus

    Last Updated : 2022-03-28
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (2)

    “Kak, kenalkan. Ini kak Arman, kakak Airin," ujar Airin. Aiman menyambut uluran tangan Arman saat keduanya tiba di sebuah foodcourt di mall dekat kampus mereka. “Jadi, kamu Aiman. Pantas adik kesayangan saya kesengsem sama kamu. Kamu bener-bener mirip...” Arman menggantung kalimatnya. Perasaan aneh tiba-tiba muncul saat ia menyadari suatu hal. Lelaki di depannya begitu mirip dengan papanya. “Mirip siapa, Kak? Mirip ayah, ya?” Airin baru menyadari hal itu saat ia mendengar pernyataan kakak tirinya itu. “Eh, i-iya. Mirip banget ya, Dek, sama papa.” Arman menyapu pandangannya ke wajah hingga sikap duduk Aiman. Bagai pinang di belah dua. Ia heran, mengapa Airin tidak menyadari hal itu. “Kok Ai baru sadar, ya,” ujar Airin sambil tersenyum canggung. “pantas, sejak awal lihat kak Aiman, Ai rasanya punya koneksi kuat, gitu,” lanjut Airin. Aiman tersenyum kikuk. Aiman diberitahu Airin bahwa akan ada pertemuan pertama mereka bertiga sebagai ke

    Last Updated : 2022-03-28
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (3)

    Flashback “Ma, bantu Vina, Ma.” Vina tiba di rumah mertuanya dengan penuh air mata.  “Ada apa, anak Mama yang cantik? Ada masalah apa?” Gita menyambut Vina dalam dekapannya. “Mas Agus, Ma. Mas Agus. Dia -dia,” Vina kembali sesenggukan. “dia menikah lagi dengan perempuan lain, Ma. Sekarang mereka sudah punya anak. Sedangkan, setelah menikah, Mas Agus belum pernah sekalipun menyentuh Vina,” lanjut Vina. Gita tersentak. Ia melepaskan pelukannya.  “Ka-kamu- kamu serius? Jadi, selama ini, Mama...” ujar Gita menggantung, lalu terjatuh tak sadarkan diri.  Vina terkejut. Ia berteriak memanggil pembantu di rumah mertuanya. Ia berniat segera menghubungi Agus namun ia urungkan. Akhirnya, ia memutuskan cukup menelefon dokter pribadi Gita saja. ~ ~ ~  Sudah semalaman Gita belum sadarkan diri. Agus yang tiba tak lama setelah pembantu di rumahnya menghubunginya, terus menggenggam tangan ibunya. Di seberangnya, Vina sesenggukan.

    Last Updated : 2022-04-01
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (4)

    “Malam ini, saya harus ke rumah Hera. Tolong jaga Mama.” Agus merapikan penampilannya.“Oke,” jawab Vina singkat.“Jangan sampai Mama tahu saya pergi ke mana,” lanjut Agus.Vina menghela nafasnya berat. Bersandiwara menjadi pasangan romantis di hadapan ibu mertuanya, lalu mendapat perlakuan dingin saat hanya berdua, membuat batinnya tersiksa. Terlebih, ia masih tetap harus menyembunyikan kepergian suaminya yang akan menemui perempuan yang merusak kebahagiaannya.“Aku harus bilang apa, Mas?” Vina menatap punggung Agus yang masih menata rambutnya. “Ya, bilang meeting, kek, atau apalah, terserah kamu,” jawab Agus kesal.Vina menghela nafas. “Aku capek, Mas. Sudah sepekan sejak kepulangan Mama. Aku capek dengan sandiwara ini. Bersikap biasa saja, Mas. Seperti biasanya. Jangan tampakkan keromantisan di depan Mama. Hati aku sakit, Mas.” Vina menangis. Agus berbalik menatap Vina. Tatapannya lurus menatap Vina yang sedang menangis. Amarah masih menyelimutinya. Tak

    Last Updated : 2022-04-09

Latest chapter

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (4)

    “Malam ini, saya harus ke rumah Hera. Tolong jaga Mama.” Agus merapikan penampilannya.“Oke,” jawab Vina singkat.“Jangan sampai Mama tahu saya pergi ke mana,” lanjut Agus.Vina menghela nafasnya berat. Bersandiwara menjadi pasangan romantis di hadapan ibu mertuanya, lalu mendapat perlakuan dingin saat hanya berdua, membuat batinnya tersiksa. Terlebih, ia masih tetap harus menyembunyikan kepergian suaminya yang akan menemui perempuan yang merusak kebahagiaannya.“Aku harus bilang apa, Mas?” Vina menatap punggung Agus yang masih menata rambutnya. “Ya, bilang meeting, kek, atau apalah, terserah kamu,” jawab Agus kesal.Vina menghela nafas. “Aku capek, Mas. Sudah sepekan sejak kepulangan Mama. Aku capek dengan sandiwara ini. Bersikap biasa saja, Mas. Seperti biasanya. Jangan tampakkan keromantisan di depan Mama. Hati aku sakit, Mas.” Vina menangis. Agus berbalik menatap Vina. Tatapannya lurus menatap Vina yang sedang menangis. Amarah masih menyelimutinya. Tak

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (3)

    Flashback “Ma, bantu Vina, Ma.” Vina tiba di rumah mertuanya dengan penuh air mata.  “Ada apa, anak Mama yang cantik? Ada masalah apa?” Gita menyambut Vina dalam dekapannya. “Mas Agus, Ma. Mas Agus. Dia -dia,” Vina kembali sesenggukan. “dia menikah lagi dengan perempuan lain, Ma. Sekarang mereka sudah punya anak. Sedangkan, setelah menikah, Mas Agus belum pernah sekalipun menyentuh Vina,” lanjut Vina. Gita tersentak. Ia melepaskan pelukannya.  “Ka-kamu- kamu serius? Jadi, selama ini, Mama...” ujar Gita menggantung, lalu terjatuh tak sadarkan diri.  Vina terkejut. Ia berteriak memanggil pembantu di rumah mertuanya. Ia berniat segera menghubungi Agus namun ia urungkan. Akhirnya, ia memutuskan cukup menelefon dokter pribadi Gita saja. ~ ~ ~  Sudah semalaman Gita belum sadarkan diri. Agus yang tiba tak lama setelah pembantu di rumahnya menghubunginya, terus menggenggam tangan ibunya. Di seberangnya, Vina sesenggukan.

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (2)

    “Kak, kenalkan. Ini kak Arman, kakak Airin," ujar Airin. Aiman menyambut uluran tangan Arman saat keduanya tiba di sebuah foodcourt di mall dekat kampus mereka. “Jadi, kamu Aiman. Pantas adik kesayangan saya kesengsem sama kamu. Kamu bener-bener mirip...” Arman menggantung kalimatnya. Perasaan aneh tiba-tiba muncul saat ia menyadari suatu hal. Lelaki di depannya begitu mirip dengan papanya. “Mirip siapa, Kak? Mirip ayah, ya?” Airin baru menyadari hal itu saat ia mendengar pernyataan kakak tirinya itu. “Eh, i-iya. Mirip banget ya, Dek, sama papa.” Arman menyapu pandangannya ke wajah hingga sikap duduk Aiman. Bagai pinang di belah dua. Ia heran, mengapa Airin tidak menyadari hal itu. “Kok Ai baru sadar, ya,” ujar Airin sambil tersenyum canggung. “pantas, sejak awal lihat kak Aiman, Ai rasanya punya koneksi kuat, gitu,” lanjut Airin. Aiman tersenyum kikuk. Aiman diberitahu Airin bahwa akan ada pertemuan pertama mereka bertiga sebagai ke

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (1)

    Agus berdiri mematung di depan rumah Hera. Ia memperhatikan sekeliling rumah sederhana itu. Cukup rapi dan bersih. Namun, tetap memberikan kesan tidak layak huni dibandingkan rumah yang ia berikan dulu. Hera menanti dengan perasaan tak karuan di dalam rumah. Ia terkejut melihat kedatangan Agus ke rumahnya saat ia hendak berangkat ke pasar. Aiman sudah berangkat ke kampus sejak satu jam yang lalu, mengejar jadwal mengajar paginya. Agus beranjak mendekat ke arah pintu. Hera yang menunggu di dalam, masih dilema akan keputusannya. Hendak bertemu, atau bersikap seolah ia tidak di rumah. Agus mengetuk pintu setelah terdiam selama sepuluh menit. Ia lalu mengucap salam. Hera bergeming. Ia masih belum memutuskan. “Assalamualaikum,” ucap Agus sambil kembali mengetuk pintu. Hera akhirnya memutuskan untuk diam. Ia yakin, Agus akan berpikir bahwa ia tidak ada di rumah. “Waalaikumussalam, cari siapa, Pak? Aiman, ya?” Sebuah suara mengejutkan keduanya. Agus

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Setelah Keputusan (2)

    “Begini, satu hal yang perlu kalian tahu. Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ta’aruf kami, karena kami ternyata mahram. Sudah itu saja.” Airin meninggalkan kantin yang mendadak sepi. Martha membulatkan matanya kaget. ~ ~ ~  “Tadi siang Bunda Airin ke rumah,” ucap Hera. Aiman berhenti mengunyah makan malamnya. “Ibu ga papa?” tanya Aiman. Hera menoleh, lalu tersenyum tipis. “Nggak, alhamdulillah. Mbak Vina ke sini Cuma mau cerita saja.” Mata Hera menerawang sambil terus mengaduk-aduk nasi di piringnya. “Tapi apa, Bu?” tanya Aiman seolah mampu membaca kegelisahan sang ibu. Hera menghela nafas berat. “Mbak Vina minta ibu rujuk sama mas Agus,” jawab Hera. Aiman tersedak. “Lalu?” tanya Aiman dengan wajah penasaran. Hatinya mendadak dipenuhi perasaan tidak nyaman. Sekelebat pikiran negatif memenuhi otaknya. Meski ia tak begitu mengenal istri pertama ayahnya, ia sedikit banyak paham bahwa perasaan wa

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Setelah Keputusan (1)

    "Tolong temani dia sampai gosip mereda. Saya khawatir ini akan mengganggu konsentrasi perkuliahannya. Dan Airin. Tolong serahkan revisi skripsi kamu maksimal pekan depan ya,” ujar Aiman kemudian berlalu kembali ke depan kelas. === Airin masih tertunduk diam setelah sepuluh menit kedatangannya di kantin kampus. Aiman menatapnya dengan wajah bersalah. Beberapa mahasiswa yang sedang menikmati maka siangnya mencuri pandang ke arah keduanya. “Coba saya lihat skripsinya. Sudah di bab berapa?” tanya Aiman memecah kesunyian. “Eh, i-iya, kak. Sudah bab... em, em, berapa, ya?” Airin membongkar tote bagnya panik. Aiman melihat sekeliling. Mahasiswa yang mencuri pandang langsung berpura-pura mengerjakan kegiatan lain. “Mmm, bunda sehat?” tanyanya. “Eh, i-iya, kak. Alhamdulillah sehat. I-ini, kak, bab akhir ternyata.” Airin menyodorkan tumpukan kertas skripsinya. Aiman menyambutnya. “Aduh, kasihan, yah. Sudah gagal n

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Pertemuan Kedua

    "Tapi ternyata, keputusan saya mendatangi kamu sore itu adalah kesalahan terbesar yang saya ambil.” Vina melanjutkan ucapannya, matanya menatap jauh ke depan.***"Aiman, bagaimana kabarnya?" Jaka, dosen manajemen pendidikan, menyapa Aiman yang tampak lebih banyak melamun sejak kabar ta'arufnya menyebar."Alhamdulillah baik, Pak. Cuma ya, memang lagi agak banyak pikiran." Aiman tersenyum. Jaka adalah kawan sejawatnya yang cukup banyak membantu sejak mereka masih menjadi asisten dosen di kampus itu."Saya dengar gosipnya, lho.” Jaka tertawa, "jadi bagaimana itu, ditolak sama keluarganya, begitu?"Jaka melangkah menuju dispenser yang berada di ujung ruangan. Mengambil sebuah gelas, lalu menekan keran air."Mmm, bukan, Pak. Qadarullah ternyata ayahnya Airin juga ayah saya,” jawab Aiman pelan.Jaka menyemburkan air yang sedang diminumnya. Keterkejutan terlihat jelas di wajahnya. Ia memandang Aiman tak percaya."Seri

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Pertemuan Pertama

    "Iya, Pak. Aiman dosen statistik di kelas Airin,” jawab Aiman.“Ternyata, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, ya. Dulu, Ibumu juga pengajar. Meski di kampung, tapi dia sangat cerdas. Karena itulah, selain wajahnya yang membuat bapak tidak bisa berpaling, kecerdasannya benar-benar membuat bapak kagum,” tukas Agus. Agus menceritakan kisah awal pertemuannya dengan Hera sambil menikmati hidangan yang baru dibawakan oleh pramusaji. Keduanya hanyut dalam perbincangan yang hangat. Aiman mulai belajar mengenal lelaki di hadapannya.***Suara ketukan dan salam terdengar di pintu depan membuat Hera menghentikan aktivitasnya. Hera pun menuju ke depan rumahnya dan membuka pintu.“Assalamu’alaikum, Hera,” salam Vina begitu Hera membuka pintunya.“Wa-wa’alaikumussalam.” Hera terkejut.Setelah memastikan Vina datang bukan untuk melabraknya lagi, ia mengizinkan istri pertama dari suaminya itu masuk.Vina memperhatikan se

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Serpihan Satu

    Wajah Agus berubah sendu, "Dek, bersabarlah dalam sepekan ini. Kakak janji situasi akan menjadi lebih baik," pinta Agus saat Hera terus mendesak untuk diperkenalkan pada keluarga suami sirinya."Adek sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi saat kakak memperkenalkan adek sebagai istri kedua," ucap Hera, mencoba menyakinkan Agus yang terlihat ragu."Tidak semudah itu, Dek. Kondisi mama sedang kurang sehat. Kalau mama tahu hubungan kita sekarang, kakak khawatir semuanya akan kacau. Apalagi, beliau masih mengharapkan cucu dari kakak dan Vina," jelas Agus.Hera menatap Agus yang ada di depannya, pandangan dalam dan menusuk. Hatinya begitu gamang. Kesempatan untuk masuk ke dalam keluarga Agus mulai terbuka. Namun, suaminya malah membuat terjebak lebih dalam lagi, hingga sulit untuk bangkit.“Katakan saja pada mama, kalau kakak sudah punya anak dari adek. Apakah sulit?” Hera menepis tangan Agus kasar.“Dek, kakak mohon. Situasinya tidak semudah itu,

DMCA.com Protection Status