Suasana mendadak tegang, otot-otot di leher Santo tampak menonjol. Bagi pria pemabuk itu, kesempatan seperti saat ini sudah dia nantikan sejak lama. Dan, sekarang... di depan matanya kesempatan itu muncul layaknya kartu kemenangan yang jatuh ke tangannya.
Santo berbalik menatap Clay secara langsung, "Coba katakan, bajingan. Jika kau tidak pernah bertemu dengan anakku, maka aku akan menjadikanmu mahluk paling menjijikan di muka bumi ini." Semua orang bungkam, sikap arogan pria itu sangat buruk dan membuat Luna merasa ingin muntah. "Jangan berpikir hanya karena kau kaya, kau bisa tidur dengan semua orang yang memakai rok dan memberikannya uang tutup mulut." Ejek Santo. Meskipun merasa sangat malu, Luna tahu tidak ada gunanya mendebat ayahnya saat ini. Sepanjang hari, pris itu sudah mabuk-mabukan. Dia sengaja mempersiapkan diri untuk menghadapi pertemuan hari ini. Sejak awal Luna sudah bisa menebak apa yang akan ayahnya lakukan, namun dia tidak bisa melakukan apa-apa. Jika dia bertindak atas kemauannya sendiri, bisa di pastikan pria tua itu akan memukulnya hingga berdarah-darah. "Clay, apa kau mengenal wanita di sampingmu?" tuntut Theodore mengabaikan ucapan Santo barusan. Sebelum Clay menjawab, suara Santo yang membentak putrinya mengalihkan atensi mereka semua. "Katakan padanya jalang, katakan bahwa pria bajingan itu yang menghamili mu!" bentakan Santo membuat Luna mundur beberapa langkah. Aroma alkohol yang menyengat dari mulut Santo, sangat membuat Luna tidak nyaman. Tapi, Santo segera mengulurkan tangan dan mencengkeram kedua pipi Luna sambil kembali membentaknya. "Cepat katakan padanya, jika kau tahu apa yang terbaik untukmu." Saat itu juga, Clay melangkah dan berdiri di antara ayah dan anak tersebut. "Hei, tunggu sebentar! lepaskan tanganmu darinya, dia sudah menunjukku dengan jarinya tadi. Jika tidak, mana mungkin kalian berada di sini sekarang." Luna memberikan Clay tatapan peringatan, sebenarnya hal terakhir yng dia harapkan dari Clay adalah tindakan mulai seperti pengorbanan diri. "Nah, kau lihat?" Santo membuat gerakan seolah dia baru saja membanting kartu kemenangan di atas meja. Wajah memucat Melisa Ganeston memucat, dia melihat wajah suaminya yang menunjukan tanda-tanda kekalahan pertama saat kembali membuka mulutnya untuk bicara. "Kau mengakui bahwa anak yang di kandung wanita ini adalah anakmu, Clay?" cetus Theodore tak percaya. "Aku tidak mengakui hal semacam itu, aku hanya mengatakan bahwa aku mengingatnya." "Dari kapan?" desak Theodore. "Musim panas ini, aku pikir sekitar bulan Juli." "Kau pikir bulan Juli? bukankah kau harusnya menjawab dengan tegas dan tidak ambigu seperti ini?" "Memang bulan Juli, Ayah." Ekspresi puas di wajah Santo sangat jelas terlihat, tidak ada satu pun yang dia tutupi tentang kegembiraannya. "Tanggal berapa kau melakukannya?" tanya Theodore lagi, mencoba untuk mulai menerima kenyataan pahit itu. "Juli tanggal dua." "Lantas, apa yang terjadi ada tanggal itu, Clay Ganeston?" Suasana semakin tidak terkendali, wajah Theodore sudah menginstruksikan betapa marahnya dia pada putra semata wayangnya itu. "Aku dan Luna melakukan kencan buta." Mendadak ruangan menjadi hening, seperti berada di dalam gereja. Luna merasakan semua orang sedang menghitung dalam hati rentang waktu dua bulan sejak malam itu hingga sekarang. Dagu Theodore menegang, dan rahangnya bergerak, "Dan?" Hanya ada suara desisan amarah, saat Clay dengan santai berpikir dengan mata berkilat tajam ke arah Luna. "Dan, aku tidak mau menjawabnya sampai aku bicara berdua dengan Luna." "Kau, Clay Ganeston! akan menjawab pertanyaanku di sini dan saat ini juga!" amarah Theodore meledak, dia memukul permukaan meja dengan frustasi. "Apa kau berhubungan dengan wanita ini pada tanggal dua Juli?" "Dengan segala hormat, Ayah. Itu sama sekali bukan urusanmu." Jawab Clay dengan suara tenang. Theodore mengangkat tangannya yang gemetar ke arah bibirnya, dia menatap putranya dengan sorot mata tidak percaya atas kekurangajaran yang baru dia lihat pertama kali. "Kau bilang, itu sama sekali bukan urusanku? padahal pria ini mengancam akan mengajukan tuntutan perkosaan terhadapmu, dan menghancurkan reputasi kita berdua." "Ayah pernah bilang, bahwa seorang pria akan membuat reputasinya sendiri. Dan, menyangkut reputasi mu... aku yakin Ayah tidak perlu mengkhawatirkannya." Jawab Clay begitu santai. "Clay, yang aku inginkan darimu hanya kebenaran." Theodore mengusap wajahnya sendiri dengan kasar, "Kalau kau tidur dengannya katakan iya, dan akui kesalahanmu. Tapi, jika tidak maka katakan tidak agar kita bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara terhormat." "Sudah aku katakan, Ayah. Aku menolak menjawab semua pertanyaan darimu, sampai aku dan Luna berbicara empat mata." Clay memberi isyarat pada Luna untuk mengikutinya. Tapi, Luma yang masih tercengang hanya diam di tempat. Ini merupakan perubahan situasi yang tidak pernah dia perkirakan. "Tunggu dulu, bajingan!" desis Santo. "Kau tidak bisa pergi begitu saja dan meninggalkan aku tanpa tahu bagaimana akhir masalah ini!" Namun, Clay menghiraukan ucapan Santo. Dia menoleh ke arah Luna, "Ayo pergi." "Aku bilang tunggu dulu!" Santo melontarkan telunjuknya ke arah dada Clay. "Menyingkir dari jalanku!" nada peringatan pedas dari Clay, membuat Santo melangkah mundur. Clay berjalan menuju pintu, dia melirik Luna dengan ekor matanya. "Sebaiknya, kau ikut denganku, jika kau tahu apa yng terbaik untuk dirimu sendiri." Luna menurut, dia mengikuti Clay dari belakang layaknya boneka yang di kendalikan. Sekalipun suara ayahnya masih marah-marah di belakang mereka. "Jangan pernah berpikir untuk memberinya uang atau menyuruhnya menggugurkan anak yang ada di dalam kandungannya, kau dengar aku bajingan?" Dengan wajah memerah karena malu, dan tubuh gemetar hebat Luna mengikuti Clay menuju ruang depan. Luna menduga Clay akan membawanya ke ruangan lain, agar mereka bisa berbicara secara pribadi. Tapi, pria itu justru berjalan ke arah pintu utama mansion, membukanya dengan lebar dan mengajak Luna. "Ayo naik ke mobilku, dan pergi dari sini." Perintah itu membuat Luna terkejut, seketika kakinya terpaku di tempat berkarpet tanpa dia sadari. Saat Clay sudah berada di teras, dia merasakan Luna tidak mengikutinya. Dia menoleh dan kembali bicara, "Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan, dan aku tidak mau melakukan pembicaraan ini di rumah tempat orang tua kita berada." Keraguan tampak sangat jelas di wajah Luna, mata birunya membelalak tidak percaya pada ajakan Clay. "Aku lebih suka berada di rumah ini, atau pergi berjalan kaki di sekitar sini, atau apa pun asal tidak keluar dari daerah ini." Rona merah terang di pipi Luna, tetap tidak menggoyahkan tekad Clay yang sudah bulat. Keraguan Luna hanya membuat Clay semakin tidak sabar. "Aku tidak memberimu pilihan, Nona." Tegas Clay tak terbantahkan, netranya menatap Luna dengan tajam.Mobil Ferarri warna silver terparkir di jalanan yang berbentuk seperti tapal kuda, tepat di belakang mobil keluarga Luna. Tanpa menunggu, Clay membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.Kemudian duduk dengan tatapan tajam ke arah depan, sedangkan Luna masih mengukur seberapa besar risiko jika dia pergi bersama pria itu. Toh, dia sama sekali tidak mengenal Clay dengan baik.Entah pria itu memiliki tempramen seperti ayahnya atau tidak? atau Clay bisa melakukan kekerasan jika sudah terpojok? atau kemungkinan terburuk yang Luna pikirkan adalah, bagaimana pria itu akan mencegahnya melakukan masalah dalam kehidupan pria itu yang nyaman dan damai.Clay menoleh ke arah Luna, dan melihat wanita itu masih menatap murung ke arah pintu rumahnya, seakan berharap seseorang muncul dan membantunya."Ayolah, kita harus secepatnya menyelesaikan masalah ini." Ucapan Clay sama sekali tidak membuat perasaan Luna membaik."Aku.... aku benar-benar tidak ingin pergi ke mana pun," ujar Luna gugup. Pikirannya
Hening. Luna mengepalkan kedua tangan yang berada di sisi tubuhnya. Dia melemparkan tatapan tak suka pada Clay."Aku tidak pernah memaksamu, Tuan Ganeston." Sanggah Luna geram.Clay mengabaikan kekesalan Luna, "Apa kau berharap aku akan percaya? setelah semua tuduhan yang kau lemparkan padaku.""Terserah apa katamu, mau kau percaya atau tidak itu urusanmu." Tegas Luna, dia kembali menatap ke arah depan di mana jalanan lurus terbentang. "Aku tidak menginginkan apa pun, kecuali kau membiarkan aku sendirian.""Kalau begitu mengapa kau datang?" Saat Luna masih diam, Clay kembali mendesaknya. "Katakan!"Dengan keras kepala, Luna tetap memilih diam. Dia sama sekali tidak menginginkan simpati, uang, atau pun nama yang kini melekat padanya. Yang dia inginkan hanya pagi segera tiba, agar dia bisa pergi dari sini.Clay merasa marah atas tindakan keras kepala Luna dan sikap ketidakpedulian wanita itu, Clay mengangkat tangan dan menjatuhkannya di bahu Luna. Dia menekan bahu Luna dengan kasar."De
"Kau menyakitiku lagi," ujar Luna dengan suara pelan, membuat Clay menyadari jika kini dia sudah meremas pipi Luna terlalu kuat.Clay menurunkan tangannya, dia terus mengamati wanita di sampingnya. Luna memiliki wajah yang tidak mudah untuk di lupakan, hidung mancung dan lurus, pipi tinggi dengan rona kemerahan, mata biru yang berusaha tidak berkedip yang saat ini sedang menatapnya secara langsung.Bibir Luna saat ini tampak cemberut, tapi dia ingat saat bibir itu menyunggingkan senyum. Rambut Luna panjang sepinggang, dengan warna hitam kelam. Dan, ada beberapa helai yang jatuh di atas kening.Luna memiliki tubuh yang ramping dan mungil, meskipun Clay tidak bisa mengingatnya dengan jelas, dia bisa menduga jika tubuh Luna sesuai dengan tubuh wanita idamannya. Berkaki panjang, pinggul yang berlekuk, dan bagian dadanya tidak terlalu besar.Seperti Venus, pikir Clay.Setelah merasa lebih tenang dengan memikirkan Venus, Clay kembali lagi mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi di a
Hening sejenak, Luna awalnya sudah tidak ingin berdebat dengan pria itu. Sangat melelahkan untuknya beradu argumen dengan Clay, tapi komentar pedas Clay berhasil membuat amarah Luna tidak lagi terbendung.Dengan gerakan cepat, dia membalikan tubuhnya lalu memberikan pukulan keras di tengah tulang dada Clay.Akibat tidak waspada, Clay terkesiap dan terhuyung ke belakang. "Aduh, itu sakit, sialan!""Wow, yang benar saja! memuakan sekali bicara denganmu, kau sendiri yang pikun dan melupakan kejadian itu. Bisa-bisanya sekarang kau menuduhku berbohong? dasar kau bandot egois!" Sambil mengusap dadanya yang sakit, Clay bergumam. "Apa kau selalu seperti ini?"Luna mengedikan kedua bahunya, "Aku tak tak tahu. Ini pertama kalinya aku memukul pria. Bukankah kau sudah terbiasa dengan pukulan kecil seperti itu, ketika pacarmu hamil? atau bagaimana reaksi mereka?"Dengan hati-hati Clay menjaga jarak dengan Luna, dia tidak ingin mendapat pukulan untuk yang kedua. "Bagaimana jika sekarang kita berhe
Wajah Clay berubah pias, bukan hanya terkejut mendengar pengakuan Luna. Dia juga tak menyangka jika wanita itu akan berkata demikian tentang ayahnya, kebencian terasa begitu jelas saat Luna mengatakan tentang ayahnya. "Lantas, apa yang di inginkan ayahmu dari keluargaku?" Clay kembali bertanya. Luna memikirkannya sejenak, dia mempertimbangkan pada akhirnya dia memilih untuk bicara terus terang. "Uang." Luna bisa melihat mimik wajah Clay tampak syok, bibirnya sedikit terbuka dan kedua bola matanya melotot seakan dia sedang memastikan pendengaran. Clay mengamati Luna melalui cahaya remang-remang yang berasal dari mobil, lalu berseru, "Kau mengakuinya?" "Tentu saja aku mengakuinya. Sangat bodoh jika aku tidak bisa melihat apa yang ayahku inginkan. Dia mencium uang dari situasi ini, selama ini dia tidak pernah merasa cukup dengan uang." Luna menjeda sejenak ucapannya, dia menghela napas panjang dan kembali melanjutkan ucapannya. "Dia berpikir bisa memanfaatkan situasi saat ini untu
Clay mengerang pelan, dia mengusak rambutnya dengan kasar. "Ya tuhan..." "Ya," ulang Luna setengah menyindir. "Ya tuhan..." "Jadi, kau bisa mengingat malam itu lebih baik dari pada aku?" saat ini dia merasa malu pada dirinya sendiri. Luna mengedikan kedua bahunya, "Aku tidak berbeda dengan gadis lain, itu merupakan pengalaman pertamaku. Tidak mudah bagiku melupakannya, atau menganggap kejadian itu tidak pernah ada." Kebisuan kembali terasa di antara mereka, ketenangan Luna sirna dalam hitungan detik. Dia merasakan simpati dari tatapan Clay, dan itu membuatnya gelisah. Setelah beberapa saat berlalu Clay berhasil mengendalikan rasa terkejutnya. Dia menghela napas dan menopangkan sebelah sikunya di tepi kaca jendela, Clay memiringkan wajah lalu memijit pangkal hidungnya. Kebisuan yang semakin menghimpit, menjadi menyakitkan dengan bayangan yang melintas di kelapa mereka. Pada akhirnya Clay memaksakan pikirannya kembali pada kenyataan, aspek ancaman yang ayah Luna katakan sang
Clay menarik napas panjang, dan membuangnya melalui hidung dengan kasar. "Pembicaraan ini sudah melenceng dari masalah yang kau abaikan.""Aku yakin, itu adalah masalah yang kau abaikan." Sahut Luna tak mau kalah."Biasanya wanita lebih teliti, dan melakukan pencegahan lebih dulu. Jadi, secara otomatis aku menduga...""Biasanya?" Luna melemparkan tangannya ke udara, dan kembali bicara dengan nada jengkel. "Jadi, kau ingin mengatakan semua ini salahku?""Bukan begitu, biar aku jelas..."Namun, kali ini Luna memotong ucapan Clay. "Aku sudah bilang padamu, itu pengalaman pertamaku. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya menggunakan alat kontrasepsi!""Jangan berharap aku akan mempercayai ucapanmu! sekarang zaman sudah canggih, yang perlu kau lakukan hanya mencari di internet dan mempelajarinya. Atau kau belum mendengar jika sudah lama wanita menggunakannya? hanya wanita yang memiliki akal sehat, yang selalu mengantisipasi pengalaman pertama mereka, andai saja kau melakukan hal yang sama
Clay mengemudikan mobilnya dengan satu tangan, menambah kecepatan dan melewati jalanan yang mulai sepi. Luna bersandar, tanpa mengeluarkan suara setelah perdebatan tadi. Dia merasa kehilangan arah, Luna menatap pepohonan yang berlalu seiring dengan mobil yang terus bergerak. Mobil Clay melambat, berbelok, dan menyusuri jalanan tempat rumahnya berada."Apa menurutmu, orang tuamu masih ada di rumahku?" tanya Clay."Entahlah, orang gila seperti ayahku kemungkinan besar akan bertahan di sana.""Sepertinya mereka sudah pergi," ujar Clay, begitu menyadari mobil sedan di depan rumahnya sudah tidak ada."Kalau begitu, antarkan aku ke rumah saja," kata Luna, kemudian dia menambahkan sambil menatap ke luar jendela mobil. "Aku benar-benar minta maaf harus melibatkanmu."Clay berhenti ketika berada di lampu merah, dia duduk menunggu dengan pura-pura sabar. Saat Luna terus diam dan hanya menatap ke luar jendela, Clay terpaksa mengajukan pertanyaan, "Lewat mana arah rumahmu?"Di bawah cahaya lampu
Sementara itu, di Hopeful Amelia sedang menembus ketidakadilan dalam hidupnya dengan mencuri parfum milik Luna yang tersimpan di lemari pakaiannya.Di lain tempat, kampus tempat Luna menimba ilmu juga terjadi ketidakadilan lain yanh di rasakan oleh wanita berparas cantik, dengan kaki jenjang yang sedang melangkah menuju mobil Corvette milik Clay Ganeston."Kau terlambat dua puluh menit, Clay!" bentak Venus Waylon sambil meletakan tangannya yang berkuku mengkilap di pintu mobil.Saat itulah Venus menyunggingkan senyum paling menawan miliknya, gigi putih dan rapi berkat uang yang ayahnya berikan pada dokter ternama untuk memenuhi ekspetasi wanita itu.Venus merupakan wanita cantik, dan juga seksi di saat yang bersamaan. Dia anggota kelompok elit mahasiswa yang biasa di sebut 'kelompok gadis-gadis kaya.'"Hari ini aku banyak kesibukan," jawab Clay, merasa jengkel dengan sikap Venus barusan.Dia selalu terpesona pada penampilan Venus, dari ujung kaki hingga ujung rambut. Clay membiarkan k
Ketegangan di rumah keluarga Ganeston semakin meningkat saat mereka tak kunjung mendapat kabar di mana Luna tinggal. Vivian berjalan mondar-mandir dengan ekspresi khawatir yang terlihat jelas di wajah wanita tersebut. Clay sering melihat ibunya melemparkan tatapan terluka ke arahnya, hal itu terus menghantui Clay setiap hari, bahkan saat dia sedang berada di kampusnya. Konsentrasinya buyar dengan fakta bahwa Santo sudah di bebaskan setelah di penjara, selama dua puluh empat jam saja, sebab tidak ada tuntutan resmi yang keluarganya laporkan pada kepolisian. Melepaskan pria seperti Santo, mampu membuat kegelisahan di dalam pikiran keluarga Ganeston. Tidak hanya pada diri Clay, tapi juga kedua orang tuanya. Meski keluarganya merupakan hakim, namun mereka tidak bisa membuat Santo Orlando mendekam lama di dalam penjara. Clay yakin setelah pria itu keluar, maka dia akan lebih percaya diri daripada sebelumnya. "Ayah, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Clay menatap ayahnya
Kedua orang itu sama-sama diam, dan hanya saling pandang satu sama lain. Ruby memainkan gagang cangkirnya, hingga suara Clay kembali memecah keheningan. "Apakah Luna mengatakan padamu... bahwa aku telah menawarkan untuk memberinya tunjangan finansial?" tanya Clay penasaran. "Dia bahkan mengatakan padaku, bahwa kau menawarkan uang untuk aborsi." Ruby mengamati Clay yang tetap diam dan melanjutkan ucapannya. "Apa kau mengira dia pergi untuk melakukan aborsi, Clay? apa sekarang hal itu mulai mengusik hati nuranimu?" Tanpa membantah Clay mengangguk, "Kau benar, kalau kau berpikir satu-satunya alasanku ingin bertemu dengan Luna adalah untuk menyingkirkan Orlando dari kehidupanku, kau salah." Clay memejamkan matanya, memijit pangkal hidung sebentar kemudian melanjutkan ucapannya. "Aku sama sekali tidak bisa menyingkirkan Luna dari pikiranku." Ruby terus mengamati Clay sambil menyesap kopinya. Mata lelah dan rahang yang lebam keunguan yang di berikan oleh ayah Luna sama sekali tida
Luna melangkah menuju meja tempat semua koran dan majalah berada, dia menemukan artikel yang di sebut oleh Ruby tadi. Dia mulai membacanya, di sana tertera jelas bagaimana ayahnya datang ke mansion Ganeston dan membuat kehebohan. Meskipun dia belum pernah melihat ruang makan keluarga Ganeston, dia bisa membayangkan kemegahan dan reaksi seperti apa yang terjadi ketika melihat Santo Orlando menerobos masuk ke dalam kediaman mereka. Seketika wajah Clay terlintas di benak Luna, dia bisa membayangkan bagaimana wajah tampan pria itu di hantam dengan tinjuan oleh Santo. Rasa bersalah merayap dalam hatinya, dia kembali mengingat suara Clay saat pria itu memintanya untuk menerima uang, dan entah mengapa jika dia menerima uang tersebut Clay tidak mungkin mendapat serangan dari ayahnya. Dia juga tahu, jika kepergiannya saat ini berhasil menggagalkan rencana Santo untuk memeras keluarga Clay. Namun, efek sampingnya kini ayahnya melampiaskan kemarahannya pada Clay. Dengan begitu, maka Lun
Luna baru saja selesai makan malam bersama teman barunya di Hopeful, hingga dia mendengar suara telepon berdering di lorong. Seseorang berteriak ke dalam rumah. "Telepon... Orlando!" Sambil berlari menuruni tangga, Luna sudah bisa menebak siapa orang yang melakukan panggilan malam-malam begini. Dia yakin jika itu Ruby, dia tidak sabar untuk mendengar kabar tentang ibunya. Kemarin, Luna sudah mengirimkan surat pos dan mungkin besok atau lusa surat itu akan sampai ke tempat ibunya. "Halo," sapa Luna. "Lun, apa kau sudah membaca koran hari ini?" tanya Ruby dari seberang telepon. "Belum, aku ada kelas hari ini. Aku tidak punya waktu luang untuk membaca koran, By." Terdengar suara Ruby yang menghela napas berat, "Kau harus membacanya, aku rasa kau mungkin penasaran." Tiba-tiba Luna di serang rasa panik. Pikirannya melayang pada sosok ibunya, dia takut jika yang ada di dalam koran itu adalah berita buruk tentang kondisi ibunya. "A-apakah ibuku..." "Ibumu baik-baik saja,
Suasana tenang kediaman Ganeston seketika berubah tegang, Santo celingukan mencari keberadaan Clay di dalam mansion tersebut."Keluar kau bajingan, aku sudah bilang akan menghabisimu! sekarang aku datang ke sini untuk melakukannya." Teriak Santo mengejutkan semua orang yang ada di sana.Saat itulah Clay muncul dari ruang makan, begitu sampai di samping orang tuanya rahang Clay ditangkap oleh tangan besar yang kapalan tanpa peringatan lebih dulu.Kepala Clay tersentak ke belakang, suara rintihan terdengar dari pria itu saat kepalan tinju milik Santo menghantam wajah Clay, dan membuat Vivian menjerit dan meminta suaminya untuk membantu putra mereka.Tubuh Clay terlempar ke belakang hingga menabrak vas bunga yang terbuat dar keramik, sementara Santo terus saja mengejarnya.Sebelum Theodore berhasil menahan tangan besar milik Santo, tinjuan pria itu sudah melayang lebih dulu ke wajah Clay untuk yang kedua kalinya."Ya tuhan, telepon polisi sekarang, Robia!" teriak Vivian pada pelayannya y
Vivian menatap Clay, lalu berpindah menatap suaminya. "Pria itu memang gila, bagaimana nasib cucuku, astaga." "Kau benar, Vivi. Dia tidak mungkin berhenti hanya dengan meneror melalui panggilan, apa kau tahu itu?" tanya Theodore pada istrinya. "Ya, aku tahu." Vivian menoleh ke arah Clay. "Apa kau tahu ke mana kira-kira dia pergi, Clay?" "Tidak tahu, Bu. Yang dia katakan padaku hanyalah dia memiliki rencana, aku tidak tahu jika rencana itu adalah dia kabur secepat ini." "Apa kau mengenal teman-temannya?" kali ini Theodore bertanya. "Aku hanya mengenal sepupunya, Ruby, yang sedang berkencan dengan Gabriel." Jawab Clay.Vivian menghela napas panjang, tangannya yang gemetar mencengkeram lengan Theodore. "Ruby, kau bilang? apa dia tinggal di kota ini?"Clay mengangguk ragu. "Iya, Bu. Tapi aku tidak yakin Ruby tahu banyak soal rencana dia. Dia jarang sekali bicara tentang hal-hal serius."Theodore melirik istrinya, sorot matanya penuh kekhawatiran. "Kalau begitu, kita harus bertemu
Mata Vivian menatap curiga ke arah putranya, dia menegakan kembali tubuhnya. Menandakan bahwa wanita paruh baya itu mulai serius. "Oh, kalian sedang bertengkar? jadi kau mengajak Luna berkencan untuk... membalas Venus? kau bukan hanya menyakiti satu wanita, Clay. Tapi dua orang wanita sekaligus! kau tega sekali, Clay." Tutur Vivian menunjukan kekecewaannya."Ibu, kau selalu menyukai Venus. Selama ini hanya dia yang bisa ibu terima dan sambut dengan hangat."Vivian mengangguk, dia tidak menampik fakta tersebut. "Kau benar, aku dan ayahmu memang mengagumi Venus. Tapi, saat ini tanggung jawabmu pada Luna lebih besar, dari pada Venus. Lagi pula, aku sama sekali tidak meragukannya jika kau memang ingin menikahi Venus, pasti kau sudah melamarnya beberapa tahun yang lalu.""Aku dan Venus sudah pernah membahasnya, hanya saja aku ingin menyelesaikan sekolahku dulu begitu juga dengan Venus." Jelas Clay membela diri."Ngomong-ngomong, ada beberapa hal yang perlu aku katakan padamu, Clay." Theod
Sehari setelah kemunculan Santo Orlando di rumah keluarga Ganeston dengan semua ancaman dan tuduhannya, selama itu juga Clay hanya bisa tidur sebentar. Hal itu membuatnya sulit berkonsentrasi pada perkembangan kasus hukum untuk analisis kelas yang akan dia lalui. Di dalam rumah, Vivian mendengar suara mobil putranya baru saja tiba di halaman. Suara bantingan pintu mobil terdengar jelas hingga ke dalam rumah. Vivian beranjak dari sofa menuju ruang kerja suaminya, terlihat Theodore sedang duduk di kursi putarnya. "Sayang, dia sudah pulang. Apa kau yakin dengan semua yang sudah kita putuskan?" tanya Vivian. "Ya, seyakin yang aku rasakan sekarang." "Baiklah, tapi haruskan kau menghadapinya di sini? lebih baik kita tunggu saja di sofa ruang keluarga." Saran Vivian pada suaminya. Namun, belum juga mereka beranjak pintu ruang kerja sudah di buka lebih dulu dari luar. Sosok Clay muncul dan terlihat kacau. Clay berdiri di ambang pintu, tatapannya tampak lelah hingga dia tidak menyada