Keheningan kembali melanda, Clay merasa tidak bisa membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa pun."Apa aku bisa tetap memberimu uang?" tanya Clay, suaranya sangat rendah hampir seperti berbisik."Tidak, aku sungguh tidak menginginkan apa pun darimu, entah kau mau percaya atau tidak itu semua terserah padamu."Kali ini, Clay mempercayainya. Tekad Luna bukan hanya di bibir, tapi wanita itu benar-benar menerapkan ucapannya tanpa berniat untuk berubah pikiran."Seandainya... kau berubah pikiran, apa... kau mau menghubungiku?""Aku tidak akan berubah pikiran," Luna menggeser posisinya lebih jauh sampai Clay tidak bisa lagi menyentuhnya.Clay menatap Luna yang sudah membuka pintu mobil, "Semoga beruntung.""Iya, kau juga." Jawab Luna begitu turun dari mobilnya.Saat Luna hendak menutup pintu, Clay kembali memanggilnya. "Itu... apa marga keluargamu?""Orlando. Itu nama keluargaku, nama yang sangat biasa hingga mudah sekali terlupakan."Setelah mengatakan hal t
Clay menarik napas panjang, dia menatap ke arah ayahnya dengan pandangan sayu. "Dia..." "Mungkin saja hati nuraninya bergerak, setelah dia menyalahkan putra kita." Potong Vivian cepat. "Ibu." Clay menghela napas sambil menatap ibunya. Betapa pucat wajah ibunya saat ini, setelah make up terlepas dari wajahnya. Perasaan Clay di selimuti rasa bersalah karena sudah mengecewakan hati ibunya, Clay beranjak mendekati kursi ibunya. Mengulurkan kedua tangan dan menggenggam tangan ibunya dengan lembut. "Ibu, aku tidak mungkin bisa menjadi pengacara, jika aku tidak bisa menginterogasi saksi dengan baik, iya kan?" tanya Clay dengan lembut. "Jika secara jujur aku bisa mengatakan bahwa bayi itu bukan anakku, aku sudah pasti mengatakannya padamu. Tapi... aku tidak bisa, aku memiliki alasan yang kuat bahwa bayi yang di kandung Luna memang anakku." Mata Vivian yang terkejut menyorotkan kekecewaan pada putranya, "Tapi, Clay. Kau tidak tahu apa-apa tentang wanita itu. Bagaimana kau bisa yakin
Suasana mendadak hening, Clay tidak bisa menyangkal tuduhan ayahnya. Bahkan Luna sendiri sudah membenarkan hal itu."Ayah tidak bertanggung jawab atas tindakanku." Sahut Clay sarkas."Benar, aku memang tidak bertanggung jawab. Tapi, apa kau berpikir alasan seperti itu bisa di terima oleh pria seperti Santo Orlando? dia menginginkan ganti rugi atas hilangnya keperawanan putrinya, dia pasti tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.""Apa, pria itu menyebutkan berapa jumlah uang yang dia inginkan pada Ayah?" tanya Clay, meski dia sendiri takut mendengar jawabannya."Tidak, cukup di lihat dari tingkahnya saja aku sudah bisa menebak jika di kepala pria itu tertulis nominal yang sangat besar. Dan, ada hal lain yang harus di pertimbangkan." Tatapan Theodore yang di berikan pada istrinya, mengatakan bahwa Vivian juga mengetahuinya."Aku sedang di dekati oleh anggota partai politik setempat, mereka menginginkan aku agar mencalonkan diri sebagai jaksa wilayah. Aku belum
Theodore menatap dalam mata Vivian yang berkilau oleh kepedihan, mata itu berbentuk oval dengan warna hazel yang hangat. Tanpa make up sekalipun wajah Vivian sudah sangat cantik menurut Theodore, make up yang hampir setiap hari melekat di wajah istrinya semakin memperindah wanita itu. Theodore Ganeston, di usianya yang menginjak lima puluh enam tahun masih dan selalu menyukai mata itu meski tanpa make up sekalipun. Perasaannya masih sama seperti saat usia mereka masih berkepala dua, dan istrinya sering menggunakan mata itu untuk merayunya ketika sedang merajuk. Theodore mengelus hangat tangan Vivian, dia tidak perlu menjawab. Dia tunduk pada penilaian istrinya, dan memberi penegasan cintanya pada Vivian dengan usapan lembut dari tangannya. Clay merasakan kuatnya cinta yang terpancar dari orang tuanya, cinta itu tak pernah luntur selalu terpancar selama yang bisa dia ingat. Apa yang sedang dia lihat di depannya, adalah hal yang selama ini Clay inginkan dari seorang wanita. Dia in
Butuh banyak kemampuan untuk mengelabui Santo Orlando, pria itu seakan memiliki indra keenam yang jarang di miliki seorang pemabuk handal. Membangkitkan intuisi mereka, membuat otak mereka yang awalnya berkabut berubah jernih dalam hitungan menit. Keesokan paginya, dengan hati-hati agar ayahnya tidak curiga Luna melakukan aktifitasnya seperti biasa, dia sadar jika sedikit saja ada perubahan itu bisa memancing kecurigaan ayahnya. Dia berdiri di depan wastafel dapur, sambil memakan buah jeruk yang masih asam. Tak berselang lama ayahnya muncul di ambang pintu, penampilannya sangat buruk jauh dari kata rapi. Luna mengabaikan kedatangan ayahnya, belakangan ini, dia mulai menyukai semua hal yang asam karena itu terasa lebih nikmat di banding makanan apa pun, tapi hal itu juga menjadi bahan ejekan oleh Santo. "Kau makan jeruk lagi, hah?" bentak Santo dari ambang pintu. "Untuk apa kau melakukannya? jika kau ingin menghisap sesuatu, maka hisap saja uang dari keluarga Ganeston dan kau akan
Kata-kata yang Santo keluarkan membuat Luna merasa muak, dia sudah terlalu sering mendengar ayahnya menyuarakan hal seperti itu."Benar, Ayah. Kau sudah mengatakannya padaku ribuan kali," ujar Luna sinis, dia lalu menambahkan. "Tapi aku tidak membutuhkan uang darinya, aku sudah membuat rencana. Aku bisa melanjutkan hidupku tanpa uang darinya."Tatapan mengejek Santo lontarkan pada putrinya, "Rencana? rencana macam apa? jangan pernah berpikir untuk merepotkanku, apa lagi memintaku untuk membesarkan anak harammu itu di rumah ini, aku tidak mau membesarkan anaknya! kau tahu, aku tidak punya cukup uang untuk itu!""Jangan khawatir, aku tidak akan meminta apapun darimu." Jawab Luna dingin."Itu sudah jelas, karena kau akan menghubungi bajingan itu dan mengatakan padanya untuk memberikan uang lebih banyak." Santo mengacungkan jari telunjuknya ke arah wajah Luna.Luna mengernyit, "Membayar pada siapa? sejak awal kau yang menginginkan uang itu bukan aku.""Jangan coba-coba mempermainkan aku,
Dari sudut toko di tepi jalan yang tidak terlalu jauh dari rumahnya, Luna mengamati kepergian ayahnya dari rumah. Setelah memastikan ayahnya cukup jauh, Luna bergegas menghubungi sepupunya Ruby Grant dan kembali ke rumah untuk berkemas.Sepertinya halnya Luna, Ruby juga merupakan seorang mahasiswi tahun pertama di universitas Atalia, bedanya hanya Ruby memiliki keluarga yang harmonis dan mampu mendukung serta melindunginya. Sedangkan Luna, sebaliknya dia harus berjuang sendiri untuk memenuhi segala kebutuhannya.Rumah Ruby sangat berbeda dengan rumah Luna, saat mereka beranjak remaja rumah Ruby sering menjadi tempat pelariannya dari kekejaman Santo. Kedua gadis itu sudah bersahabat sejak masih kecil, mereka tidak pernah menyimpan rahasia satu sama lain.Satu jam kemudian, akhirnya Luna bisa bernapas lega karena telah berhasil meninggalkan rumahnya dengan menaiki mobil berwarna pink milik Ruby."Jadi, bagaimana situasinya saat ini?" tanya Ruby dari balik kacamata hitam yang dia kenakan
Ruby mendecakan lidah, dia menatap jalanan yang sudah di padati kendaraan. "Luna, kau jangan pernah berubah pikiran. Hanya ini kesempatan untukmu bisa lari dari rumah itu.""Aku tahu, tapi bagian inilah yang paling tidak aku sukai. Membuat ibuku berpikir bahwa aku kabur ke luar kota, dia pasti akan khawatir setengah mati.""Mungkin selama beberapa waktu dia akan khawatir, tapi surat darimu akan meyakinkannya bahwa kau baik-baik saja dan itu bisa mencegah ayahmu untuk datang ke universitas. Tidak mungkin ayahmu akan curiga, bahwa kau masih berada di kota ini. Lalu, begitu bayimu lahir, kau bisa menemui ibumu lagi." Ujar Ruby menenangkan.Luna menatap sepupunya dengan sorot mata memohon, "Bisakah aku minta tolong padamu, By?""Apa?" Ruby melirik Luna dengan ekor matanya."Kau akan menelponku dan mengecek keberadaan ibuku bahwa dia baik-baik saja, aku mohon."Seulas senyum tulus muncul di bibir Ruby, "Aku sudah mengatakan padamu, bahwa aku akan melakukannya. Kau tenang saja, dan ingat...
Luna termenung di kamarnya, percakapan dengan Mrs. Bonny masih terngiang-ngiang di kepalanya, selama ini dia sudah kabur dan terus mencoba menghindari Clay. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Luna bingung. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Luna menatap layar itu dengan perasaan campur aduk. Selama ini ia terus berusaha menjauh, tapi sekarang sepertinya Clay sendiri yang menghubunginya. Apakah ini pertanda ia tak bisa lagi menghindar? Dengan ragu, Luna menggeser layar dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo?" Suara di seberang terdengar rendah, tapi jelas. "Luna, kita perlu bicara. Aku ingin bertemu denganmu." Luna menelan ludah, hatinya berdebar. "Tentang apa?" "Aku janji, ini tidak akan lama. Temui aku di kafe dekat taman jam tujuh malam," ucap Clay, nadanya sedikit memohon. Luna terdiam. Ia bisa saja menolak, tapi ia juga tahu bahwa menghindar selamanya bukanlah solusi. Mrs. Bonny b
"Pada siapa?"Ekspresi bingung membuat alis Luna berkerut. "Pada siapa?" ulangnya dengan suara ragu. Namun, Mrs. Bonny hanya duduk dengan sabar, menunggu Luna memberikan jawaban."Pada... padaku?" tanya Luna dengan suara kecil yang dipenuhi keraguan."Dan?"Luna menelan ludah. Kata-kata itu terasa berat untuk diucapkan. "Dan pada ayah dari bayiku.""Ada lagi yang lain?""Memangnya siapa lagi?"Hening. Suasana berubah sunyi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Mrs. Bonny bersuara dengan nada pelan, "Bayimu?"Luna tersentak. "Bayiku?" Matanya melebar, seolah kata itu adalah sesuatu yang asing baginya. "Semua ini bukan salahku!""Tentu saja bukan," ujar Mrs. Bonny tenang. "Tapi aku pikir kau mungkin akan tetap memikirkan bayi itu. Mungkin karena kehadirannya membuatmu harus meninggalkan sekolah, atau setidaknya memperlambat langkahmu hingga kau bingung akan tujuan hidupmu."Luna menggeleng kuat. "Aku bukan orang seperti itu!"Mrs. Bonny hanya menghela napas. "Mungkin sekarang tidak, t
Luna bertanya-tanya apakah ayahnya yang telah melakukan itu. Clay memelototkan mata, memerangkap Luna sehingga ia hanya bisa melihat wajah pria itu atau sweater berwarna tembaga yang ada di depan matanya. Luna memilih untuk menatap sweater pria itu. "Lupakan saja. Ayahmu mengancamku, dan ancaman itu bisa mengakhiri karierku di bidang hukum. Sesuatu harus dilakukan untuk menghentikannya. Aku mendapatkan ide untuk memberikan pembalasan pada ayahmu, seperti yang juga kau inginkan. Sekarang, bisakah kita membahas alternatif yang masuk akal?" Mata Luna terpejam ia tidak mampu berpikir cukup cepat. "Dengar, aku harus pergi sekarang, sungguh. Tapi, aku akan meneleponmu malam ini. Kita bisa membicarakannya saat itu." Sesuatu mengatakan kepada Clay untuk tidak mempercayai Luna sepenuhnya, tapi ia tidak bisa terus memerangkap Luna di sana untuk selamanya. Bisa saja, ia lakukan hal yang menyebabkan Luna tetap bertahan di sana untuk sementara waktu. Ia sadar bisa dengan mudah mencari tahu di
Rambut hitam Luna bergerak ke kanan dan kiri, dia terus melangkah dengan cepat. Merasa kesal karena Luna tidak mau berhenti, Clay kembali menarik tangan wanita itu dan memaksa Luna berhenti. "Aku lelah bermain kejar-kejaran denganmu, kali ini bisakah kau berhenti?" tekan Clay. Luna menolehkan kepalanya dengan marah, dia berdiri di depan Clay sambil melotot. Terlihat Luna tidak bisa ke mana-mana lagi, selain mengikuti perintah Clay. Saat itulah, Clay melepas cengkeraman di lengan Luna setelah yakin bahwa wanita itu tidak akan melarikan diri lagi. "Aku menitipkan pesan pada sepupumu agar kau bisa menghubungiku, apa kau tidak menerima pesan itu?" tanya Clay. Tapi bukannya menjawab, Luna justru mengoceh tidak jelas. "Aku tidak percaya bisa bertemu denganmu secepat ini, aku pikir kampus ini cukup luas untuk kita berdua. Aku akan terus menghargaimu jika kau merahasiakan keberadaanku di kampus ini." "Baiklah, aku juga akan menghargai permintaanmu jika saja kau mau memberiku waktu
Clay mengalihkan pandangan ke arah seberang jalan untuk membebaskan mata dan pikirannya dari delusi. Namun, semua itu tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian, dia kembali mendapati dirinya mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Dia mencari wanita bersweter putih dengan rambut pirang yang tergerai di punggung. Sayangnya, wanita itu sudah pergi. Terdengar konyol memang, tapi Clay tidak bisa memikirkan hal lain kecuali Luna. Pada akhirnya, Clay mengikuti kata hati dengan menerobos kerumunan orang di depannya. Hingga sesaat kemudian, netra Clay menangkap sosok wanita yang memiliki postur tubuh sama persis seperti Luna, hanya saja warna rambutnya yang berbeda. Jika itu Luna, dia berpikir tidak mungkin Luna akan mewarnai rambutnya menjadi hitam. Clay memilih mengikuti langkah wanita itu dengan jarak yang aman, agar tidak terlalu mencurigakan. Saat wanita itu sampai ke jalan raya, dia terlihat ragu-ragu untuk menyeberang. Selang beberapa detik, ketika wanita itu mulai melangkah
Kali kejadiannya sangat cepat, sehingga Clay tidak bisa melihat apa-apa. Clay keluar dari mobil setelah pulang dari restoran, tanpa melihat ke depan tiba-tiba muncul bayangan besar dari belakang bangunan megah di depannya. Lengan Clay di tarik dengan kasar, lalu di lempar ke samping mobilnya di susul tinjuan keras yang menghantam perutnya. Tidak meninggalkan bekas, tapi cukup untuk membuatnya kesulitan bernapas. Tubuh Clay jatuh tersungkur ke tanah dalam posisi berlutut. Di sela-sela rasa sakit yang dia alami, Clay mendengar suara serak di depannya. "Itu dari Orlando. Dia kabur ke negara seberang." Setelah melempar surat ke arah Clay, orang itu pergi begitu saja dan menghilang di kegelapan malam. *** Keesokan harinya, Ruby langsung menghubungi Luna. Dia tidak sabar untuk memberitahu sepupunya itu tentang kejadian semalam di pesta. Begitu sambungan telepon terhubung, Ruby langsung berkata dengan napas sedikit terengah. "Lun, kau harus tahu. Aku bertemu dengannya di pesta s
Venus diam sejenak, dia bisa melihat betapa frustasinya Clay saat ini. Namun, dia sendiri merasa marah karena pria itu mengambil kesimpulan sepintas hingga membuatnya terjebak dalam masalah. "Kau membuatnya hamil karena bertengkar denganku, apa kau sadar sikapmu itu sangat menyakitiku, Clay?" "Aku tahu, aku sudah menebak kau akan bersikap seperti ini. Aku memang pantas mendapatkannya. Seluruh situasi yang menyedihkan ini adalah kesalahan yang fatal. Ayah wanita itu sangat gila, dia bahkan melakukan segala cara untuk meraih keuntungan." Clay menggenggam tangan Venus semakin erat. "Percayalah padaku, baik aku mau pun wanita itu. Kami tidak mau berurusan dengan satu sama lain, tapi ada, katakanlah mungkin ada situasi mendesak yang harus membuatku memintanya menikah denganku." Mendengar itu, Venus tertawa sinis. "Oh, dia pasti akan sangat senang karena mendapatkan mu. Di dunia ini siapa yang tidak ingin memilikimu? hampir semua wanita ingin memilikimu, Clay." Clay menghela napas panj
Jari-jari tangan Venus yang lentik serta memiliki kuku yang indah dan terawat sehingga tampak mengkilat, ketika wanita itu memainkan gelasnya, keanggunan Venus ketika bersandar di kursi, dengan satu lengan yang di letakan di kursi yang dia duduki. Venus seperti berlian murni sepuluh karat, wanita itu memang di takdirkan berada di tempat seperti ini di kelilingi kemewahan dan kekayaan. Berbeda dengan Luna Orlando, jika Clay membawa Luna ke tempat seperti ini, wanita itu pasti akan terlihat seperti mute plastik yang di tempatkan di kotak emas. Namun, Venus... dia memiliki aura yang tidak bisa Clay tampik. Wanita itu selalu menjunjung tinggi harga diri dan martabatnya, hal itulah yang membuat Clay mengaguminya. "Malam ini, kau sangat cantik, Venus." Puji Clay, tapi terdapat kesan menyakitkan dari cara bicara Clay. "Terima kasih, tapi malam ini pujian itu tidak berarti karena kau mengatakannya dengan nada seperti itu, belum lagi tatapan matamu yang aneh, lain halnya kalau kau meng
"Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Clay. Hening. Ruby tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia mengamati Clay lebih seksama dan saat itulah dia menyadari kantung mata yang menghitam di bawah kelopak mata pria itu. "Masih sama seperti sebelumnya." Jawab Ruby setelah bungkam beberapa saat. Tatapan Clay kembali mengarah pada Venus, lalu kembali lagi pada Ruby. "Aku belum pernah mendapat telepon darinya, apa kau sudah menyampaikan pesanku padanya?" "Ya, aku sudah mengatakannya." "Bisakah... kau memintanya untuk menghubungiku segera mungkin?" "Dia tidak tertarik, aku sudah membujuknya." Jawab Ruby jujur. Hingga tiba-tiba, seseorang di belakang Ruby tanpa sengaja mendorong gadis itu hingga bergeser lebih dekat ke arah Clay. Tidak ingin membuang kesempatan, Clay menggunakan kesempatan itu untuk mendesak Ruby, "Katakan padanya, jika ada masalah serius. Aku harus bicara dengannya." Namun, pada saat itu Venus kembali ke sisi Clay, menggandeng lengan pria itu dengan mesra. Kuku Ve