Wajah Clay berubah pias, bukan hanya terkejut mendengar pengakuan Luna. Dia juga tak menyangka jika wanita itu akan berkata demikian tentang ayahnya, kebencian terasa begitu jelas saat Luna mengatakan tentang ayahnya.
"Lantas, apa yang di inginkan ayahmu dari keluargaku?" Clay kembali bertanya. Luna memikirkannya sejenak, dia mempertimbangkan pada akhirnya dia memilih untuk bicara terus terang. "Uang." Luna bisa melihat mimik wajah Clay tampak syok, bibirnya sedikit terbuka dan kedua bola matanya melotot seakan dia sedang memastikan pendengaran. Clay mengamati Luna melalui cahaya remang-remang yang berasal dari mobil, lalu berseru, "Kau mengakuinya?" "Tentu saja aku mengakuinya. Sangat bodoh jika aku tidak bisa melihat apa yang ayahku inginkan. Dia mencium uang dari situasi ini, selama ini dia tidak pernah merasa cukup dengan uang." Luna menjeda sejenak ucapannya, dia menghela napas panjang dan kembali melanjutkan ucapannya. "Dia berpikir bisa memanfaatkan situasi saat ini untuk membuat hidupnya lebih enak, tidak sedikit pun aku berusaha membodohi diriku sendiri dengan berpikir positif jika dia peduli pada kesejahteraanku. Dia sama sekali tidak peduli dengan diriku atau hilangnya keperawanan putrinya, dalam kepalanya hanya berisi dirinya sendiri bagaimana dia akan hidup dan bagaimana dia akan memenuhi hasrat serakahnya. Dia sangat yakin bahwa kau akan menikahi diriku, dan dia akan menjadi kaya raya dengan memeras orang tuamu." "Dan, kau tidak pernah berpikir aku akan menikahimu?" tanya Clay. Luna menatap lekat Clay, dia mengangguk tanpa ada keraguan di wajahnya. "Ya, aku sungguh tidak berharap apapun darimu. Bahkan jika itu uangmu, aku tidak mau." "Sepupumu, Gabriela, dia yang mengenalkan kita. Dia kekasih Kael, dan Kael adalah teman lamaku, mudah sekali untukmu mengetahui siapa aku sebenarnya." Luna mengangkat tangannya dengan marah dan berjalan mondar-mandir di hadapan Clay. "Tentu saja! pertama aku akan mengecek finansial mu, lalu aku sengaja membuat kau terjebak denganku pada malam itu. Aku membuatmu menghamiliku, lalu aku membuat kisah dramatis untuk membuat keluargaku merasa kasihan, kemudian aku mengirim ayahku untuk meminta tanggung jawab darimu." Luna mendengus dengan muak, "Jangan terlalu bangga dengan dirimu sendiri, Clay. Mungkin kau akan terkejut mengetahui tidak semua gadis yang hamil ingin menikahi pria yang menghamilinya. Aku membuat kesalahan pada bulan Juli lalu, tapi bukan berarti aku akan membuat kesalahan lain dengan memaksamu untuk bertanggung jawab dan menikahiku." "Kalau kau memang tidak terlibat, katakan padaku bagaimana ayahmu bisa tahu dan pada siapa dia harus menuntut tanggung jawab. Seseorang sudah jelas mengarahkan pria itu padaku!" seru Clay masih saja di penuhi kecurigaan. Luna terkekeh sinis, "Aku tidak mengarahkannya padamu." "Lalu, bagaimana dia bisa tahu bahwa akulah orang yang harus dia kejar?" Tiba-tiba, Luna mengatupkan bibir, dia berbalik memunggungi Clay, dan berjalan menuju mobil sambil berucap, "Sepertinya, akan lebih baik kalau aku menumpang mobilmu untuk pulang." Luna membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. "Jangan menghindari pertanyaanku," tuntut Clay. "Jelaskan bagaimana dia bisa tahu." "Aku sama sekali tidak mengatakan namamu pada ayahku, aku menolak mengatakan apapun padanya." Jawab Luna tegas. Clay berdecih sinis, "Aku tidak percaya padamu. Lantas, bagaimana ayahmu bisa tahu kalau kau hamil denganku?" Clay mengamati Luna yang menggigit bibir bawahnya, dan enggan menatap ke arahnya. Luna berusaha mencegah mulutnya untuk memberi penjelasan lebih lanjut pada Clay, namun dia bukanlah wanita licik seperti yang Clay pikirkan, dan dia marah saat Clay menuduhnya seperti itu. "Bagaimana?" desak Clay lagi. Luna menatap lurus ke arah dashboard mobil, pada akhirnya dia menyerah. "Aku menyimpan sebuah buku harian." Suara Luna lebih pelan dan kelopak matanya bergetar sedikit. "Kau... apa?" "Kau mendengar ku," ucap Luna tanpa menatap Clay. "Iya, aku mendengarmu. Tapi, aku tidak sepenuhnya mengerti apa maksudmu. Ayahmu menemukan buku harianmu?" Clay mulai menyadari betapa brengseknya sikap ayah Luna. "Lupakan saja, aku sudah mengatakan banyak hal lebih dari yang aku inginkan." "Ada banyak yang harus kau katakan. Aku pantas mengetahui kebenarannya, jika benar bayi yang kau kandung merupakan anakku!" tegas Clay tak terbantahkan. "Sekarang, katakan apa ayahmu menemukan buku harianmu?" Luna menggeleng pelan, "Tidak persis seperti itu." "Lalu, apa?" Luna menghela napas, menyandarkan kepalanya di kursi penumpang meski pandangannya masih mengarah pada kaca jendela. Dari samping, Clay melihat kelopak mata Luna terpejam perlahan, tampak seperti menyerah. Suara Luna sudah tidak terdengar marah seperti tadi. "Dengar, semua ini tidak ada hubungannya denganmu. Lupakan saja, orang seperti ayahku dan apa yang dia lakukan tidak seharusnya mengganggumu. Aku hanya ingin mencegah orang tuamu memenuhi tuntutan ayahku. Itu sebabnya aku mengikuti mereka ke rumahmu." Jelas Luna, dia masih memejamkan mata. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Luna. Katakan, apa ayahmu menemukan bukumu dan di sana tertulis namaku, benar, kan?" Luna menelan salivanya kasar, "Benar, " bisik Luna. "Bagaimana bisa ayahmu menemukan buku diarimu?" Luna menoleh, dia menatap lelah pada Clay yang menurutnya terlalu cerewet. "Astaga, Clay. Aku sudah memiliki buku diari sejak aku mulai bisa menulis, dia tahu aku menyembunyikan buku itu di suatu tempat. Dia tidak sekedar menemukannya, tapi dia mengobrak abrik kamarku sampai akhirnya dia menemukan buku itu. Kau bilang ingin tahu yang sebenarnya, dan itulah kejadian sebenarnya." Ada sesuatu yang membuat jantung Clay teremas. Suaranya mulai melembut, "Apa tidak ada satu pun orang yang berusaha menghentikannya?" "Saat itu aku tidak ada di rumah, dan ibuku tidak ada niat untuk menghentikannya, sekali pun dia bisa dia lebih memilih diam dan menjadi penonton." Luna merasa dadanya sesak. "Ibuku takut pada ayahku, kau tidak tahu seperti apa ayahku. Tidak ada orang yang bisa menghentikannya, jika dia sudah menginginkan sesuatu. Dia pria tidak waras." Clay masuk ke dalam mobil, dan menutup pintunya. Dia duduk diam, mencoba memikirkan segalanya, kemudian dia memegangi stir dengan kedua tangannya. "Apa yang tertulis di buku diarimu?" tanya Clay ragu. "Semuanya." Jawab Luna acuh.Clay mengerang pelan, dia mengusak rambutnya dengan kasar. "Ya tuhan..." "Ya," ulang Luna setengah menyindir. "Ya tuhan..." "Jadi, kau bisa mengingat malam itu lebih baik dari pada aku?" saat ini dia merasa malu pada dirinya sendiri. Luna mengedikan kedua bahunya, "Aku tidak berbeda dengan gadis lain, itu merupakan pengalaman pertamaku. Tidak mudah bagiku melupakannya, atau menganggap kejadian itu tidak pernah ada." Kebisuan kembali terasa di antara mereka, ketenangan Luna sirna dalam hitungan detik. Dia merasakan simpati dari tatapan Clay, dan itu membuatnya gelisah. Setelah beberapa saat berlalu Clay berhasil mengendalikan rasa terkejutnya. Dia menghela napas dan menopangkan sebelah sikunya di tepi kaca jendela, Clay memiringkan wajah lalu memijit pangkal hidungnya. Kebisuan yang semakin menghimpit, menjadi menyakitkan dengan bayangan yang melintas di kelapa mereka. Pada akhirnya Clay memaksakan pikirannya kembali pada kenyataan, aspek ancaman yang ayah Luna katakan sang
Clay menarik napas panjang, dan membuangnya melalui hidung dengan kasar. "Pembicaraan ini sudah melenceng dari masalah yang kau abaikan.""Aku yakin, itu adalah masalah yang kau abaikan." Sahut Luna tak mau kalah."Biasanya wanita lebih teliti, dan melakukan pencegahan lebih dulu. Jadi, secara otomatis aku menduga...""Biasanya?" Luna melemparkan tangannya ke udara, dan kembali bicara dengan nada jengkel. "Jadi, kau ingin mengatakan semua ini salahku?""Bukan begitu, biar aku jelas..."Namun, kali ini Luna memotong ucapan Clay. "Aku sudah bilang padamu, itu pengalaman pertamaku. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya menggunakan alat kontrasepsi!""Jangan berharap aku akan mempercayai ucapanmu! sekarang zaman sudah canggih, yang perlu kau lakukan hanya mencari di internet dan mempelajarinya. Atau kau belum mendengar jika sudah lama wanita menggunakannya? hanya wanita yang memiliki akal sehat, yang selalu mengantisipasi pengalaman pertama mereka, andai saja kau melakukan hal yang sama
Clay mengemudikan mobilnya dengan satu tangan, menambah kecepatan dan melewati jalanan yang mulai sepi. Luna bersandar, tanpa mengeluarkan suara setelah perdebatan tadi. Dia merasa kehilangan arah, Luna menatap pepohonan yang berlalu seiring dengan mobil yang terus bergerak. Mobil Clay melambat, berbelok, dan menyusuri jalanan tempat rumahnya berada."Apa menurutmu, orang tuamu masih ada di rumahku?" tanya Clay."Entahlah, orang gila seperti ayahku kemungkinan besar akan bertahan di sana.""Sepertinya mereka sudah pergi," ujar Clay, begitu menyadari mobil sedan di depan rumahnya sudah tidak ada."Kalau begitu, antarkan aku ke rumah saja," kata Luna, kemudian dia menambahkan sambil menatap ke luar jendela mobil. "Aku benar-benar minta maaf harus melibatkanmu."Clay berhenti ketika berada di lampu merah, dia duduk menunggu dengan pura-pura sabar. Saat Luna terus diam dan hanya menatap ke luar jendela, Clay terpaksa mengajukan pertanyaan, "Lewat mana arah rumahmu?"Di bawah cahaya lampu
Keheningan kembali melanda, Clay merasa tidak bisa membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa pun."Apa aku bisa tetap memberimu uang?" tanya Clay, suaranya sangat rendah hampir seperti berbisik."Tidak, aku sungguh tidak menginginkan apa pun darimu, entah kau mau percaya atau tidak itu semua terserah padamu."Kali ini, Clay mempercayainya. Tekad Luna bukan hanya di bibir, tapi wanita itu benar-benar menerapkan ucapannya tanpa berniat untuk berubah pikiran."Seandainya... kau berubah pikiran, apa... kau mau menghubungiku?""Aku tidak akan berubah pikiran," Luna menggeser posisinya lebih jauh sampai Clay tidak bisa lagi menyentuhnya.Clay menatap Luna yang sudah membuka pintu mobil, "Semoga beruntung.""Iya, kau juga." Jawab Luna begitu turun dari mobilnya.Saat Luna hendak menutup pintu, Clay kembali memanggilnya. "Itu... apa marga keluargamu?""Orlando. Itu nama keluargaku, nama yang sangat biasa hingga mudah sekali terlupakan."Setelah mengatakan hal t
Clay menarik napas panjang, dia menatap ke arah ayahnya dengan pandangan sayu. "Dia..." "Mungkin saja hati nuraninya bergerak, setelah dia menyalahkan putra kita." Potong Vivian cepat. "Ibu." Clay menghela napas sambil menatap ibunya. Betapa pucat wajah ibunya saat ini, setelah make up terlepas dari wajahnya. Perasaan Clay di selimuti rasa bersalah karena sudah mengecewakan hati ibunya, Clay beranjak mendekati kursi ibunya. Mengulurkan kedua tangan dan menggenggam tangan ibunya dengan lembut. "Ibu, aku tidak mungkin bisa menjadi pengacara, jika aku tidak bisa menginterogasi saksi dengan baik, iya kan?" tanya Clay dengan lembut. "Jika secara jujur aku bisa mengatakan bahwa bayi itu bukan anakku, aku sudah pasti mengatakannya padamu. Tapi... aku tidak bisa, aku memiliki alasan yang kuat bahwa bayi yang di kandung Luna memang anakku." Mata Vivian yang terkejut menyorotkan kekecewaan pada putranya, "Tapi, Clay. Kau tidak tahu apa-apa tentang wanita itu. Bagaimana kau bisa yakin
Suasana mendadak hening, Clay tidak bisa menyangkal tuduhan ayahnya. Bahkan Luna sendiri sudah membenarkan hal itu."Ayah tidak bertanggung jawab atas tindakanku." Sahut Clay sarkas."Benar, aku memang tidak bertanggung jawab. Tapi, apa kau berpikir alasan seperti itu bisa di terima oleh pria seperti Santo Orlando? dia menginginkan ganti rugi atas hilangnya keperawanan putrinya, dia pasti tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.""Apa, pria itu menyebutkan berapa jumlah uang yang dia inginkan pada Ayah?" tanya Clay, meski dia sendiri takut mendengar jawabannya."Tidak, cukup di lihat dari tingkahnya saja aku sudah bisa menebak jika di kepala pria itu tertulis nominal yang sangat besar. Dan, ada hal lain yang harus di pertimbangkan." Tatapan Theodore yang di berikan pada istrinya, mengatakan bahwa Vivian juga mengetahuinya."Aku sedang di dekati oleh anggota partai politik setempat, mereka menginginkan aku agar mencalonkan diri sebagai jaksa wilayah. Aku belum
Theodore menatap dalam mata Vivian yang berkilau oleh kepedihan, mata itu berbentuk oval dengan warna hazel yang hangat. Tanpa make up sekalipun wajah Vivian sudah sangat cantik menurut Theodore, make up yang hampir setiap hari melekat di wajah istrinya semakin memperindah wanita itu. Theodore Ganeston, di usianya yang menginjak lima puluh enam tahun masih dan selalu menyukai mata itu meski tanpa make up sekalipun. Perasaannya masih sama seperti saat usia mereka masih berkepala dua, dan istrinya sering menggunakan mata itu untuk merayunya ketika sedang merajuk. Theodore mengelus hangat tangan Vivian, dia tidak perlu menjawab. Dia tunduk pada penilaian istrinya, dan memberi penegasan cintanya pada Vivian dengan usapan lembut dari tangannya. Clay merasakan kuatnya cinta yang terpancar dari orang tuanya, cinta itu tak pernah luntur selalu terpancar selama yang bisa dia ingat. Apa yang sedang dia lihat di depannya, adalah hal yang selama ini Clay inginkan dari seorang wanita. Dia in
Butuh banyak kemampuan untuk mengelabui Santo Orlando, pria itu seakan memiliki indra keenam yang jarang di miliki seorang pemabuk handal. Membangkitkan intuisi mereka, membuat otak mereka yang awalnya berkabut berubah jernih dalam hitungan menit. Keesokan paginya, dengan hati-hati agar ayahnya tidak curiga Luna melakukan aktifitasnya seperti biasa, dia sadar jika sedikit saja ada perubahan itu bisa memancing kecurigaan ayahnya. Dia berdiri di depan wastafel dapur, sambil memakan buah jeruk yang masih asam. Tak berselang lama ayahnya muncul di ambang pintu, penampilannya sangat buruk jauh dari kata rapi. Luna mengabaikan kedatangan ayahnya, belakangan ini, dia mulai menyukai semua hal yang asam karena itu terasa lebih nikmat di banding makanan apa pun, tapi hal itu juga menjadi bahan ejekan oleh Santo. "Kau makan jeruk lagi, hah?" bentak Santo dari ambang pintu. "Untuk apa kau melakukannya? jika kau ingin menghisap sesuatu, maka hisap saja uang dari keluarga Ganeston dan kau akan
Sementara itu, di Hopeful Amelia sedang menembus ketidakadilan dalam hidupnya dengan mencuri parfum milik Luna yang tersimpan di lemari pakaiannya.Di lain tempat, kampus tempat Luna menimba ilmu juga terjadi ketidakadilan lain yanh di rasakan oleh wanita berparas cantik, dengan kaki jenjang yang sedang melangkah menuju mobil Corvette milik Clay Ganeston."Kau terlambat dua puluh menit, Clay!" bentak Venus Waylon sambil meletakan tangannya yang berkuku mengkilap di pintu mobil.Saat itulah Venus menyunggingkan senyum paling menawan miliknya, gigi putih dan rapi berkat uang yang ayahnya berikan pada dokter ternama untuk memenuhi ekspetasi wanita itu.Venus merupakan wanita cantik, dan juga seksi di saat yang bersamaan. Dia anggota kelompok elit mahasiswa yang biasa di sebut 'kelompok gadis-gadis kaya.'"Hari ini aku banyak kesibukan," jawab Clay, merasa jengkel dengan sikap Venus barusan.Dia selalu terpesona pada penampilan Venus, dari ujung kaki hingga ujung rambut. Clay membiarkan k
Ketegangan di rumah keluarga Ganeston semakin meningkat saat mereka tak kunjung mendapat kabar di mana Luna tinggal. Vivian berjalan mondar-mandir dengan ekspresi khawatir yang terlihat jelas di wajah wanita tersebut. Clay sering melihat ibunya melemparkan tatapan terluka ke arahnya, hal itu terus menghantui Clay setiap hari, bahkan saat dia sedang berada di kampusnya. Konsentrasinya buyar dengan fakta bahwa Santo sudah di bebaskan setelah di penjara, selama dua puluh empat jam saja, sebab tidak ada tuntutan resmi yang keluarganya laporkan pada kepolisian. Melepaskan pria seperti Santo, mampu membuat kegelisahan di dalam pikiran keluarga Ganeston. Tidak hanya pada diri Clay, tapi juga kedua orang tuanya. Meski keluarganya merupakan hakim, namun mereka tidak bisa membuat Santo Orlando mendekam lama di dalam penjara. Clay yakin setelah pria itu keluar, maka dia akan lebih percaya diri daripada sebelumnya. "Ayah, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Clay menatap ayahnya
Kedua orang itu sama-sama diam, dan hanya saling pandang satu sama lain. Ruby memainkan gagang cangkirnya, hingga suara Clay kembali memecah keheningan. "Apakah Luna mengatakan padamu... bahwa aku telah menawarkan untuk memberinya tunjangan finansial?" tanya Clay penasaran. "Dia bahkan mengatakan padaku, bahwa kau menawarkan uang untuk aborsi." Ruby mengamati Clay yang tetap diam dan melanjutkan ucapannya. "Apa kau mengira dia pergi untuk melakukan aborsi, Clay? apa sekarang hal itu mulai mengusik hati nuranimu?" Tanpa membantah Clay mengangguk, "Kau benar, kalau kau berpikir satu-satunya alasanku ingin bertemu dengan Luna adalah untuk menyingkirkan Orlando dari kehidupanku, kau salah." Clay memejamkan matanya, memijit pangkal hidung sebentar kemudian melanjutkan ucapannya. "Aku sama sekali tidak bisa menyingkirkan Luna dari pikiranku." Ruby terus mengamati Clay sambil menyesap kopinya. Mata lelah dan rahang yang lebam keunguan yang di berikan oleh ayah Luna sama sekali tida
Luna melangkah menuju meja tempat semua koran dan majalah berada, dia menemukan artikel yang di sebut oleh Ruby tadi. Dia mulai membacanya, di sana tertera jelas bagaimana ayahnya datang ke mansion Ganeston dan membuat kehebohan. Meskipun dia belum pernah melihat ruang makan keluarga Ganeston, dia bisa membayangkan kemegahan dan reaksi seperti apa yang terjadi ketika melihat Santo Orlando menerobos masuk ke dalam kediaman mereka. Seketika wajah Clay terlintas di benak Luna, dia bisa membayangkan bagaimana wajah tampan pria itu di hantam dengan tinjuan oleh Santo. Rasa bersalah merayap dalam hatinya, dia kembali mengingat suara Clay saat pria itu memintanya untuk menerima uang, dan entah mengapa jika dia menerima uang tersebut Clay tidak mungkin mendapat serangan dari ayahnya. Dia juga tahu, jika kepergiannya saat ini berhasil menggagalkan rencana Santo untuk memeras keluarga Clay. Namun, efek sampingnya kini ayahnya melampiaskan kemarahannya pada Clay. Dengan begitu, maka Lun
Luna baru saja selesai makan malam bersama teman barunya di Hopeful, hingga dia mendengar suara telepon berdering di lorong. Seseorang berteriak ke dalam rumah. "Telepon... Orlando!" Sambil berlari menuruni tangga, Luna sudah bisa menebak siapa orang yang melakukan panggilan malam-malam begini. Dia yakin jika itu Ruby, dia tidak sabar untuk mendengar kabar tentang ibunya. Kemarin, Luna sudah mengirimkan surat pos dan mungkin besok atau lusa surat itu akan sampai ke tempat ibunya. "Halo," sapa Luna. "Lun, apa kau sudah membaca koran hari ini?" tanya Ruby dari seberang telepon. "Belum, aku ada kelas hari ini. Aku tidak punya waktu luang untuk membaca koran, By." Terdengar suara Ruby yang menghela napas berat, "Kau harus membacanya, aku rasa kau mungkin penasaran." Tiba-tiba Luna di serang rasa panik. Pikirannya melayang pada sosok ibunya, dia takut jika yang ada di dalam koran itu adalah berita buruk tentang kondisi ibunya. "A-apakah ibuku..." "Ibumu baik-baik saja,
Suasana tenang kediaman Ganeston seketika berubah tegang, Santo celingukan mencari keberadaan Clay di dalam mansion tersebut."Keluar kau bajingan, aku sudah bilang akan menghabisimu! sekarang aku datang ke sini untuk melakukannya." Teriak Santo mengejutkan semua orang yang ada di sana.Saat itulah Clay muncul dari ruang makan, begitu sampai di samping orang tuanya rahang Clay ditangkap oleh tangan besar yang kapalan tanpa peringatan lebih dulu.Kepala Clay tersentak ke belakang, suara rintihan terdengar dari pria itu saat kepalan tinju milik Santo menghantam wajah Clay, dan membuat Vivian menjerit dan meminta suaminya untuk membantu putra mereka.Tubuh Clay terlempar ke belakang hingga menabrak vas bunga yang terbuat dar keramik, sementara Santo terus saja mengejarnya.Sebelum Theodore berhasil menahan tangan besar milik Santo, tinjuan pria itu sudah melayang lebih dulu ke wajah Clay untuk yang kedua kalinya."Ya tuhan, telepon polisi sekarang, Robia!" teriak Vivian pada pelayannya y
Vivian menatap Clay, lalu berpindah menatap suaminya. "Pria itu memang gila, bagaimana nasib cucuku, astaga." "Kau benar, Vivi. Dia tidak mungkin berhenti hanya dengan meneror melalui panggilan, apa kau tahu itu?" tanya Theodore pada istrinya. "Ya, aku tahu." Vivian menoleh ke arah Clay. "Apa kau tahu ke mana kira-kira dia pergi, Clay?" "Tidak tahu, Bu. Yang dia katakan padaku hanyalah dia memiliki rencana, aku tidak tahu jika rencana itu adalah dia kabur secepat ini." "Apa kau mengenal teman-temannya?" kali ini Theodore bertanya. "Aku hanya mengenal sepupunya, Ruby, yang sedang berkencan dengan Gabriel." Jawab Clay.Vivian menghela napas panjang, tangannya yang gemetar mencengkeram lengan Theodore. "Ruby, kau bilang? apa dia tinggal di kota ini?"Clay mengangguk ragu. "Iya, Bu. Tapi aku tidak yakin Ruby tahu banyak soal rencana dia. Dia jarang sekali bicara tentang hal-hal serius."Theodore melirik istrinya, sorot matanya penuh kekhawatiran. "Kalau begitu, kita harus bertemu
Mata Vivian menatap curiga ke arah putranya, dia menegakan kembali tubuhnya. Menandakan bahwa wanita paruh baya itu mulai serius. "Oh, kalian sedang bertengkar? jadi kau mengajak Luna berkencan untuk... membalas Venus? kau bukan hanya menyakiti satu wanita, Clay. Tapi dua orang wanita sekaligus! kau tega sekali, Clay." Tutur Vivian menunjukan kekecewaannya."Ibu, kau selalu menyukai Venus. Selama ini hanya dia yang bisa ibu terima dan sambut dengan hangat."Vivian mengangguk, dia tidak menampik fakta tersebut. "Kau benar, aku dan ayahmu memang mengagumi Venus. Tapi, saat ini tanggung jawabmu pada Luna lebih besar, dari pada Venus. Lagi pula, aku sama sekali tidak meragukannya jika kau memang ingin menikahi Venus, pasti kau sudah melamarnya beberapa tahun yang lalu.""Aku dan Venus sudah pernah membahasnya, hanya saja aku ingin menyelesaikan sekolahku dulu begitu juga dengan Venus." Jelas Clay membela diri."Ngomong-ngomong, ada beberapa hal yang perlu aku katakan padamu, Clay." Theod
Sehari setelah kemunculan Santo Orlando di rumah keluarga Ganeston dengan semua ancaman dan tuduhannya, selama itu juga Clay hanya bisa tidur sebentar. Hal itu membuatnya sulit berkonsentrasi pada perkembangan kasus hukum untuk analisis kelas yang akan dia lalui. Di dalam rumah, Vivian mendengar suara mobil putranya baru saja tiba di halaman. Suara bantingan pintu mobil terdengar jelas hingga ke dalam rumah. Vivian beranjak dari sofa menuju ruang kerja suaminya, terlihat Theodore sedang duduk di kursi putarnya. "Sayang, dia sudah pulang. Apa kau yakin dengan semua yang sudah kita putuskan?" tanya Vivian. "Ya, seyakin yang aku rasakan sekarang." "Baiklah, tapi haruskan kau menghadapinya di sini? lebih baik kita tunggu saja di sofa ruang keluarga." Saran Vivian pada suaminya. Namun, belum juga mereka beranjak pintu ruang kerja sudah di buka lebih dulu dari luar. Sosok Clay muncul dan terlihat kacau. Clay berdiri di ambang pintu, tatapannya tampak lelah hingga dia tidak menyada