Emily mengusap rambut Raffael. Cucu laki-lakinya itu menangis cukup lama. Dia tidak ingin pergi meski Emily sudah mengusirnya. Dia memeluk perutnya dengan erat, enggan melepaskannya walau sesaat. Dia sangat takut jika Emily tidak akan mau lagi menemuinya.Raffael berjuang keras untuk mendapatkan maafnya. Dia terus memohon maaf dan menangis di depannya.Romeo yang baru pulang kerja dibuat kebingungan melihat semua itu. Menatap wajah istrinya yang meringis tak enak, karena tak bisa menyambut suaminya seperti biasa. Dan Raffael yang memeluk perut Emily sembari menangis seperti bocah. Ini pemandangan langka yang membuat Romeo merasa ingin tertawa."Ada apa dengan bocah itu?" tanya Romeo.Mereka berada di kamar Raffael dulu. Kamar yang masih menjadi milik pria muda itu. Romeo menyuruh anak buahnya untuk mengangkat Raffael ke kamar setelah cucunya itu tertidur karena terlalu lama menangis.Dia menangis tanpa mendapatkan jawaban apapun dari neneknya."Dia datang untuk menemui ku. Tapi pertem
Syaqila merasa heran karena sejak tadi dia tak melihat Raffael. Waktu sudah menunjukkan waktu makan malam. Tapi, setelah ia duduk di meja makan, Raffael tak datang. Keluarganya menikmati makan malam tanpa menunggu pria itu."Ada apa?" Fabian bertanya, karena sejak tadi ia melihat putrinya hanya termenung memandangi piringnya. "Kenapa tidak makan?"Utari mengangkat wajahnya, menatap suaminya, lalu beralih pada putrinya. Dia bahkan tidak sadar jika putrinya sejak tadi belum menyentuh makanannya sama sekali."Ada apa, Nak? Apa ada yang kamu pikirkan?" tanya Utari khawatir."Tidak." Syaqila menggelengkan kepalanya. Dia mencoba terlihat baik-baik saja meski hal itu sia-sia. Setiap sikap dan gerak-geriknya mampu terbaca dengan sangat jelas. Syaqila adalah tipe orang yang sulit menyembunyikan emosinya sendiri.Fabian dan Utari saling melempar pandangan. Mereka tentu menyadari ada banyak perubahan yang terasa dari putri mereka itu. Hanya saja, mereka memilih untuk berpura-pura tidak tahu.Sya
Bagaimana Diandra bisa marah setelah melihat betapa rapuh sahabatnya itu sekarang?Diandra memutuskan segera menemui Syaqila setelah menyadari ada yang tidak benar. Dan dugaannya tidak salah sama sekali. Ketika dia melihat Syaqila pertama kali, sahabatnya itu tampak sembam, seperti habis menangis dalam waktu yang lama. Pakaiannya juga berantakan. Tidak seperti dia yang biasanya.Diandra tak mengatakan apapun. Dia juga tak meminta penjelasan lagi seperti waktu itu. Kini memilih untuk tetap berada di samping sahabatnya, menemani di saat dia tengah berada di keadaan terpuruknya. Diandra hanya ingin dia ada saat sahabatnya itu membutuhkannya."Kau mau susu?" tawar Diandra. Dia baru kembali dari dapur, menghangatkan susu yang dia bawa sebelumnya. Dia menyimpan dua gelas susu itu di atas meja. "Ini mungkin bisa membuatmu lebih baik."Diandra tahu jika sahabatnya menyukai rasa manis. Karena itu dia membuat susu untuknya. Siapa tahu perasaannya akan sedikit membaik karena itu.Diandra juga me
Raffael termenung. Dia sudah menyerah untuk membujuk kakeknya. Cara apapun yang dia lakukan tidak berhasil. Kakeknya tetap memaksa dirinya melakukan apa yang dia minta. Bahkan sekarang, pria tua itu melayangkan ancaman yang membuat dirinya tidak berkutik.Sial!Raffael tidak mungkin menyerahkan semua kekuasaan yang dia miliki. Setelah semua kenangan pahit di masa lalu, masanya saat ini adalah yang terbaik dalam hidupnya. Dia tidak ingin kembali menjadi menyedihkan. Raffael tidak akan mau kehilangan semuanya."Apa aku harus benar-benar menjalin hubungan dengan perempuan itu?"Raffael mulai membayangkan.Dia sebenarnya tidak terlalu keberatan. Syaqila cantik. Bahkan sejujurnya, dia jauh lebih menarik dibandingkan Jeslyn. Hanya saja, perempuan yang ia kenal sebagai kakaknya itu membuat Raffael enggan menyetujui ide kakeknya. Akan terasa gila jika ia benar-benar berkencan dengan kakaknya sendiri.Otak pria tua itu sepertinya sudah rusak. Bisa-bisanya dia memikirkan hal ini untuk mereka.D
Syaqila merasa gugup. Dua hari tidak bertemu Raffael, membuat dirinya canggung untuk bertemu dengan pria itu. Tapi, Syaqila tidak bisa menolak saat pria itu menghubunginya dan meminta untuk bertemu. Mereka memiliki hal penting untuk dibicarakan. Syaqila tidak mungkin menghindar, karena dia sendiri ingin masalah ini segera selesai.Syaqila adalah orang yang datang terakhir. Sedangkan pria yang membuat janji dengannya sudah ada di tempat itu. Tampak duduk di salah satu kursi, menikmati americano yang masih mengempulkan asap."Maaf membuatmu menunggu." Syaqila menyapa dengan perasaan bersalah. Perempuan itu lekas duduk di depan Raffael. "Aku tidak tahu jika kau akan datang sangat cepat.""Tidak terlalu lama," jelas Raffael. Setidaknya dia baru duduk beberapa menit. Bahkan pesanannya saja baru diantarkan. "Kau pesanlah lebih dulu."Mereka tidak mungkin langsung bicara ke intinya. Setidaknya ia akan berbasa-basi lebih dulu sebagai bentuk sopan santun.Raffael memanggil pelayan saat Syaqila
"Bagaimana?" Syaqila tentu tergoda dengan kebebasan yang ditawarkan. Dia sudah benci hidup dengan cara seperti ini. "Bagaimana caranya?"Pria itu menarik sudut bibirnya. Dia yakin sejak awal jika Syaqila akan setuju. "Terima perjodohan ini."Seketika, Syaqila membeku tak percaya.Bukankah pria itu sudah mengatakan padanya sejak awal jika ia tak menginginkan perjodohan ini? Ia juga berkata padanya jika dia akan berusaha membatalkannya. Tapi, kenapa sekarang dia berubah pikiran?"Apa yang kau inginkan?" Syaqila tidak bisa untuk tidak merasa curiga. Perubahan Raffael terlalu tiba-tiba. Ia khawatir jika ini hanya jebakan yang disiapkan pria itu untuknya."Kenapa kau begitu takut?" Raffael mengernyit heran. Apa dia baru saja mengatakan sebuah ancaman? Ia hanya mengatakan satu saran. Itupun jika Syaqila setuju dengan saran yang ia berikan. "Terlalu menakutkan berkencan denganku?"Perasaannya sedikit tersinggung."A-apa yang kau bicarakan?" Syaqila tergagap. Rona merah samar terlihat di kedu
"Dari mana saja?"Langkah Syaqila berhenti ketika suara ibunya terdengar. Ia melihat perempuan itu di ruang tamu. Pandangannya hanya fokus menatap layar televisi. Tapi, Syaqila tahu jika pertanyaan yang ia layangkan ditujukan padanya."Aku hanya menghabiskan waktu di luar sebentar, bersama Diandra." Syaqila menjelaskan. "Ada apa, Ma? Mama mencari ku?""Ada yang ingin aku bicarakan." Utari menyuruh Syaqila untuk duduk di dekatnya. Putrinya itu menurut tanpa banyak bertanya. Sifatnya yang seperti inilah yang membuat Utari menyukainya. Syaqila selalu mendengarkan apa yang ia katakan. "Syaqila, aku tahu jika situasi yang saat ini terjadi membuatmu tidak nyaman. Tapi, aku harap kau tidak membenciku karenanya."Syaqila menggelengkan kepalanya, "Aku sama sekali tidak membenci Mama.""Selama ini kau selalu patuh. Sifatmu itu membuat aku bangga karena berhasil mendidikmu dengan baik." Utari menarik napas sejenak. Ini situasi yang sulit baginya, tapi dia tidak bisa menghindar. Posisinya tidak t
"Bisa kau menjemputku?""Huh?"Raffael merasa heran saat Syaqila tiba-tiba meminta untuk dijemput saat dia baru akan pergi ke kampus. Untungnya, dia belum berangkat, hanya baru akan menaiki mobil miliknya."Ada apa?" tanya Raffael. Pria itu duduk di kursi kemudi, tanpa menjauhkan handphone yang sejak tadi menempel di telinganya. "Apa motormu bermasalah lagi?""Tidak. Aku hanya ingin bicara denganmu," balas Syaqila. "Aku rasa ini waktu yang tepat untuk membahasnya."Raffael tidak menduga jika Syaqila akan menghubunginya secepat ini, bahkan tanpa diminta. Tapi baguslah. Jadi ia tak perlu bersusah payah."Baiklah. Aku akan menemuimu."Raffael menutup teleponnya. Dia segera menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraannya itu meninggalkan rumah kakek dan neneknya.Hanya sekitar sepuluh menit, akhirnya Raffael sampai di depan rumah orang tua Syaqila. Ia melihat Syaqila berdiri menunggunya di dekat gerbang. Saat mobilnya berhenti tepat di depannya, perempuan itu segera masuk.Tidak menungg
"Kau tahu? Katanya anak itu masuk rumah sakit lagi.""Maksudmu anak aneh itu?" tanya Romeo, menatap istrinya."Namanya Raffael," Emily meluruskan. Meski tingkah Raffael memang sedikit aneh, rasanya tak pantas jika mereka menyebutnya seperti itu. "Jangan panggil dia begitu. Bagaimana pun, dia masih cucu kita.""Sekarang, apa lagi?" Romeo sudah mendengar sebelumnya tentang apa yang terjadi. Dia cukup prihatin dengan kehidupan cucu laki-lakinya itu. Dia sangat tertutup. Dan tingkahnya juga sedikit aneh. Romeo sempat mendengar jika putranya memanggil psikiater untuk bocah tersebut. Sepertinya memang dia memiliki gangguan dalam psikisnya."Entahlah." Emily menghela napas. "Kudengar dari Utari, dia menemukan Raffael tak sadarkan diri saat ia hendak mengantarkan makan malam untuknya.""Sepertinya dia terlalu banyak mengonsumsi obat." Romeo mendengus, tampak tak senang. "Bukankah Fabian sudah mengawasinya? Mengapa anak itu masih sempat-sempatnya memiliki obat itu?""Dia tidak akan mudah berhe
"Aku menyerah."Syaqila sudah berusaha untuk bertahan. Tapi waktu yang dia lalui tidak menghasilkan apapun selain rasa sakit dan kecewa. Dia semakin menyadari, jika Raffael tak bisa memberikan apapun.Perempuan itu mengangkat wajahnya, menatap kakek dan neneknya dengan raut wajah bersalah."Maaf jika mengecewakan kalian. Tapi, aku sudah tak bisa lagi meneruskan ini."Emily menghela napas. Meski sedikit kecewa, dia berusaha mengerti posisi Syaqila. Menghadapi sikap Raffael memang menguras banyak kesabaran. Cucu laki-lakinya itu memiliki banyak sifat yang menyebalkan. Sangat wajar rasanya jika pada akhirnya Syaqila memilih untuk menyerah daripada terus berjuang hanya untuk semakin melukai hatinya."Kami tidak marah." Emily berusaha menghiburnya. Dia tak akan menyalahkan Syaqila. Mereka sendiri yang membebaskannya untuk mengambil keputusan. Saat Syaqila datang menemui mereka untuk mengakhiri ini semua, mau tidak mau mereka harus menerimanya."Apa dia sudah sangat keterlaluan?" Romeo hany
Syaqila menghela napas malas. Rencana yang sudah ia susun rapi tak bisa ia jalankan. Sore tadi neneknya menghubunginya. Ia disuruh untuk datang ke sebuah restoran. Kakek dan neneknya memaksanya untuk menghabiskan waktu makan malam bersama Raffael. Ini bisa disebut kencan secara paksa. Syaqila sama sekali tak merasa senang menyambut saat ini.Disaat ibunya dengan heboh memilihkan pakaian yang tepat untuknya, Syaqila tak merasa bersemangat sedikit pun.Tadinya dia ingin pergi bersama Diandra, pergi ke pusat perbelanjaan untuk menghabiskan uang. Tapi, rencana itu harus batal karena perintah dari kakeknya. Syaqila tak bisa menolak. Dia yakin Raffael pun akan setuju dengan terpaksa.Syaqila memiliki waktu dua jam sebelum acara dimulai. Dia sudah menimbulkan kehebohan di rumah hanya untuk persiapan. Dan tentunya yang bersemangat menyiapkan semuanya bukanlah dirinya, melainkan ibunya."Pakai yang ini saja." Utari memberikan sebuah gaun berwarna navy pada putrinya itu. Dia rasa, gaun itu adal
Melihat Rui berhasil dan kembali akrab dengan Raffael, Freya merasa iri. Dia memang biasa-biasa saja pada awalnya, karena ia sendiri masih tak yakin apakah Rui akan berhasil atau tidak. Tapi, setelah melihat akhir ini, Freya pun merenggut. Dia merasa tidak terima."Apa aku juga harus minta maaf?" Freya meminta pendapat Ando. Jawaban yang diberikan pria itu mungkin bisa membantunya. Karena sebelumnya, Rui pun meminta pendapat mereka sebelum memutuskan untuk menemui Raffael.Ando mengedikkan bahu. "Itu terserah kau, Freya."Ando tahu, dibanding Rui, Freya masih menyimpan perasaan kesal pada Raffael. Karena melihat bagaimana pria itu memperlakukan seorang perempuan dengan buruk, membuat Freya ikut tersinggung karenanya.Sebagai sesama perempuan, Freya hanya berusaha menyadarkan Raffael untuk lebih bisa menghargai mereka."Rasanya tidak rela." Freya menghela napas kasar. Berat rasanya ketika dia dipaksa mengakui dirinya bersalah, padahal menurutnya ia sudah melakukan sesuatu yang benar. N
"Hei."Jeslyn berdecak, merasa risih dengan tindakan Rui yang sengaja menusuk lengannya dengan pulpen."Bagaimana kau bisa masih baik-baik saja dengan Raffael?" Rui merasa ini tidak adil. Dia sudah membela Jeslyn saat itu, tapi yang terkena dampaknya justru hanya mereka. Perempuan itu sendiri tampak tidak terpengaruh. Dia masih bisa mendekati Raffael. Hubungannya dengan Raffael tidak ada yang berubah. Kontras sekali perbedaan antara mereka."Memang kenapa?" balas Jeslyn, sewot. "Apa kau berharap dia menjauhiku juga?""Ini terasa tidak adil." Rui merenggut kesal. "Kenapa dia marah pada kami, sedangkan padamu tidak?""Hei! Kau berkata seolah ingin aku juga dimusuhi olehnya!" protes Jeslyn. Dia tidak akan mau jika sampai Raffael benar-benar melakukannya."Memang benar. Bukankah Raffael tidak sepantasnya memperlakukan kita seperti ini?" Freya ikut menanggapi. Dia menatap teman-temannya dan kembali bicara, "Jika dia bisa tetap bersikap biasa pada Jeslyn, seharusnya dia tak perlu memusuhi k
"Bagaimana?" Diandra bertanya antusias. "Apakah ada perkembangan tentang hubunganmu dengannya?"Dia selalu bersemangat untuk menanyakan hal ini. Tapi tidak dengan Syaqila. Dia justru enggan membahasnya. Ia sudah bosan mendengar orang lain bertanya tentang hal serupa. Akhir-akhir ini, orang-orang di sekitarnya seakan penasaran tentang apa yang terjadi antara dirinya dan Raffael. Kadang, Syaqila merasa terganggu dengan semua ini."Aku tidak tahu," jawab Syaqila acuh. Dia memilih fokus mencatat, tak mau repot-repot menoleh pada sahabatnya. "Bisa tidak usah bicarakan tentangnya? Aku bosan."Tidak dimana pun, Syaqila seakan terus mendengar seseorang bertanya tentang pria itu. Telinganya sudah bosan."Tapi aku penasaran," rengek Diandra. Mana bisa dia diam saja memendam banyak pertanyaan di kepalanya? Sedangkan saat ini jawaban dari semua rasa penasarannya sudah ada di depan mata. Diandra hanya perlu mengulik sedikit supaya Syaqila mau sedikit berbagi cerita padanya. "Ayolah! Kau mana tega
Raffael baru keluar dari lift. Dia menemukan Jeslyn yang tengah duduk menunggunya. Dalam hati Raffael merasa heran, bagaimana perempuan itu tahu tempat dia bekerja?"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Raffael, berjalan menghampirinya."Menemuimu." Jeslyn tersenyum. Perempuan itu mendekat padanya dan berbisik, "Aku baru menemukan satu hal yang menarik. Kuyakin kamu pasti terkejut."Raffael melengos, mendorong Jeslyn dengan perlahan. Dia tetap menjaga sikapnya supaya tidak menyakiti perempuan itu. Terlebih, saat ini mereka berada di kantor tempat ia bekerja."Apa yang kamu inginkan?""Kau harus mendengar dulu apa yang akan aku katakan." Jeslyn memegang lengan pakaian pria itu. Dia sedikit memaksa.Raffael sebenarnya enggan. Tapi dia merasa jika Jeslyn saat ini tidak berpura-pura. Dia mungkin benar-benar memiliki hal yang harus didengar olehnya. Entah itu kabar baik atau buruk, Raffael harus memastikannya."Baiklah." Raffael memilih untuk mengalah saat ini. "Ikut aku."Dia membawa Jesl
"Bagaimana harimu?"Utari menyambut antusias saat melihat putrinya kembali dari kampus. Dia menarik Syaqila, mengajaknya untuk duduk di ruang tamu.Sebelumnya dia sudah mendengar jika putrinya itu menerima permintaannya untuk menjalin hubungan dengan Raffael. Awalnya Utari merasa keberatan. Tapi, setelah dipikirkan kembali, tidak ada salahnya membiarkan putrinya untuk menjadi salah satu cucu menantu Romeo. Syaqila tidak akan kesusahan. Dengan harta yang diwarisi Raffael nanti, dia bisa hidup dengan harta bergelimang.Memikirkan semua itu membuat Utari semakin bersemangat untuk menyuruh putrinya melakukan banyak cara supaya Raffael semakin mudah tertarik padanya."Hariku berjalan seperti biasa." Syaqila menjawab dengan memandang ibunya heran. Tidak biasanya ibunya itu bertanya. "Ada apa, Ma?""Apa kau bertemu Raffael hari tadi?"Utari hanya ingin memastikan sejauh mana hubungan mereka berkembang. Semakin cepat akan semakin baik terdengar. Karena dengan itu, Romeo akan puas dengan usaha
Romeo dan Emily seolah sengaja memberikan waktu bagi Raffael dan Syaqila untuk berbincang-bincang. Tapi apakah itu berguna? Sedangkan sejak tadi Raffael bersikap acuh tak acuh. Pria itu lebih senang menatap handphone-nya daripada bicara dengan Syaqila. Menurutnya, perempuan itu tidak asik diajak bicara.Syaqila yang merasa jenuh menghela napas kasar. Dia merasa kesal, tapi tak ada yang bisa dia lakukan. Sikap Raffael memang seperti ini.Syaqila menginginkan kehadiran neneknya yang entah pergi kemana bersama kakeknya. Syaqila lebih senang jika orang tua itu ada di sini. Daripada menghabiskan waktu dengan Raffael yang sama sekali tak menganggap kehadirannya.Syaqila melirik jam di tangannya. Ini sudah lima belas menit, dan neneknya sampai sekarang tidak kembali."Ada apa denganmu?" tanya Raffael. Merasakan kegelisahan perempuan di sisinya itu membuat dirinya terganggu."Aku hanya bingung, kemana nenek? Kenapa dia tidak kunjung kembali?" balas Syaqila, mengutarakan keresahannya."Tidak p