Bagaimana Diandra bisa marah setelah melihat betapa rapuh sahabatnya itu sekarang?Diandra memutuskan segera menemui Syaqila setelah menyadari ada yang tidak benar. Dan dugaannya tidak salah sama sekali. Ketika dia melihat Syaqila pertama kali, sahabatnya itu tampak sembam, seperti habis menangis dalam waktu yang lama. Pakaiannya juga berantakan. Tidak seperti dia yang biasanya.Diandra tak mengatakan apapun. Dia juga tak meminta penjelasan lagi seperti waktu itu. Kini memilih untuk tetap berada di samping sahabatnya, menemani di saat dia tengah berada di keadaan terpuruknya. Diandra hanya ingin dia ada saat sahabatnya itu membutuhkannya."Kau mau susu?" tawar Diandra. Dia baru kembali dari dapur, menghangatkan susu yang dia bawa sebelumnya. Dia menyimpan dua gelas susu itu di atas meja. "Ini mungkin bisa membuatmu lebih baik."Diandra tahu jika sahabatnya menyukai rasa manis. Karena itu dia membuat susu untuknya. Siapa tahu perasaannya akan sedikit membaik karena itu.Diandra juga me
Raffael termenung. Dia sudah menyerah untuk membujuk kakeknya. Cara apapun yang dia lakukan tidak berhasil. Kakeknya tetap memaksa dirinya melakukan apa yang dia minta. Bahkan sekarang, pria tua itu melayangkan ancaman yang membuat dirinya tidak berkutik.Sial!Raffael tidak mungkin menyerahkan semua kekuasaan yang dia miliki. Setelah semua kenangan pahit di masa lalu, masanya saat ini adalah yang terbaik dalam hidupnya. Dia tidak ingin kembali menjadi menyedihkan. Raffael tidak akan mau kehilangan semuanya."Apa aku harus benar-benar menjalin hubungan dengan perempuan itu?"Raffael mulai membayangkan.Dia sebenarnya tidak terlalu keberatan. Syaqila cantik. Bahkan sejujurnya, dia jauh lebih menarik dibandingkan Jeslyn. Hanya saja, perempuan yang ia kenal sebagai kakaknya itu membuat Raffael enggan menyetujui ide kakeknya. Akan terasa gila jika ia benar-benar berkencan dengan kakaknya sendiri.Otak pria tua itu sepertinya sudah rusak. Bisa-bisanya dia memikirkan hal ini untuk mereka.D
Syaqila merasa gugup. Dua hari tidak bertemu Raffael, membuat dirinya canggung untuk bertemu dengan pria itu. Tapi, Syaqila tidak bisa menolak saat pria itu menghubunginya dan meminta untuk bertemu. Mereka memiliki hal penting untuk dibicarakan. Syaqila tidak mungkin menghindar, karena dia sendiri ingin masalah ini segera selesai.Syaqila adalah orang yang datang terakhir. Sedangkan pria yang membuat janji dengannya sudah ada di tempat itu. Tampak duduk di salah satu kursi, menikmati americano yang masih mengempulkan asap."Maaf membuatmu menunggu." Syaqila menyapa dengan perasaan bersalah. Perempuan itu lekas duduk di depan Raffael. "Aku tidak tahu jika kau akan datang sangat cepat.""Tidak terlalu lama," jelas Raffael. Setidaknya dia baru duduk beberapa menit. Bahkan pesanannya saja baru diantarkan. "Kau pesanlah lebih dulu."Mereka tidak mungkin langsung bicara ke intinya. Setidaknya ia akan berbasa-basi lebih dulu sebagai bentuk sopan santun.Raffael memanggil pelayan saat Syaqila
"Bagaimana?" Syaqila tentu tergoda dengan kebebasan yang ditawarkan. Dia sudah benci hidup dengan cara seperti ini. "Bagaimana caranya?"Pria itu menarik sudut bibirnya. Dia yakin sejak awal jika Syaqila akan setuju. "Terima perjodohan ini."Seketika, Syaqila membeku tak percaya.Bukankah pria itu sudah mengatakan padanya sejak awal jika ia tak menginginkan perjodohan ini? Ia juga berkata padanya jika dia akan berusaha membatalkannya. Tapi, kenapa sekarang dia berubah pikiran?"Apa yang kau inginkan?" Syaqila tidak bisa untuk tidak merasa curiga. Perubahan Raffael terlalu tiba-tiba. Ia khawatir jika ini hanya jebakan yang disiapkan pria itu untuknya."Kenapa kau begitu takut?" Raffael mengernyit heran. Apa dia baru saja mengatakan sebuah ancaman? Ia hanya mengatakan satu saran. Itupun jika Syaqila setuju dengan saran yang ia berikan. "Terlalu menakutkan berkencan denganku?"Perasaannya sedikit tersinggung."A-apa yang kau bicarakan?" Syaqila tergagap. Rona merah samar terlihat di kedu
"Dari mana saja?"Langkah Syaqila berhenti ketika suara ibunya terdengar. Ia melihat perempuan itu di ruang tamu. Pandangannya hanya fokus menatap layar televisi. Tapi, Syaqila tahu jika pertanyaan yang ia layangkan ditujukan padanya."Aku hanya menghabiskan waktu di luar sebentar, bersama Diandra." Syaqila menjelaskan. "Ada apa, Ma? Mama mencari ku?""Ada yang ingin aku bicarakan." Utari menyuruh Syaqila untuk duduk di dekatnya. Putrinya itu menurut tanpa banyak bertanya. Sifatnya yang seperti inilah yang membuat Utari menyukainya. Syaqila selalu mendengarkan apa yang ia katakan. "Syaqila, aku tahu jika situasi yang saat ini terjadi membuatmu tidak nyaman. Tapi, aku harap kau tidak membenciku karenanya."Syaqila menggelengkan kepalanya, "Aku sama sekali tidak membenci Mama.""Selama ini kau selalu patuh. Sifatmu itu membuat aku bangga karena berhasil mendidikmu dengan baik." Utari menarik napas sejenak. Ini situasi yang sulit baginya, tapi dia tidak bisa menghindar. Posisinya tidak t
"Bisa kau menjemputku?""Huh?"Raffael merasa heran saat Syaqila tiba-tiba meminta untuk dijemput saat dia baru akan pergi ke kampus. Untungnya, dia belum berangkat, hanya baru akan menaiki mobil miliknya."Ada apa?" tanya Raffael. Pria itu duduk di kursi kemudi, tanpa menjauhkan handphone yang sejak tadi menempel di telinganya. "Apa motormu bermasalah lagi?""Tidak. Aku hanya ingin bicara denganmu," balas Syaqila. "Aku rasa ini waktu yang tepat untuk membahasnya."Raffael tidak menduga jika Syaqila akan menghubunginya secepat ini, bahkan tanpa diminta. Tapi baguslah. Jadi ia tak perlu bersusah payah."Baiklah. Aku akan menemuimu."Raffael menutup teleponnya. Dia segera menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraannya itu meninggalkan rumah kakek dan neneknya.Hanya sekitar sepuluh menit, akhirnya Raffael sampai di depan rumah orang tua Syaqila. Ia melihat Syaqila berdiri menunggunya di dekat gerbang. Saat mobilnya berhenti tepat di depannya, perempuan itu segera masuk.Tidak menungg
Jeslyn terlihat sangat senang saat melihat Raffael datang. Dia sudah menunggu cukup lama untuk bisa bertemu pria itu. Tidak sia-sia ia bersabar di sini. Pria itu akhirnya menampakkan diri."Raffael!" Jeslyn menyapa. Dia duduk bersama teman-teman mereka. Walau sebenarnya ia tak begitu menyukai berteman dengan mereka. Namun karena Jeslyn tahu Raffael akan menemui mereka setiap ia berada di kampus, Jeslyn memutuskan untuk bersama mereka.Dugaannya tidak salah. Raffael benar-benar datang."Darimana saja?" tanya Freya. "Kukira kau akan datang lebih awal daripada kami."Karena ia sempat bertukar pesan dengan Raffael sebelum mereka berangkat, dan Freya tahu jika Raffael berangkat lebih dulu darinya. Tapi mengapa justru dia yang tiba lebih awal? Apa yang dilakukan pria itu?"Aku harus menjemput seseorang lebih dulu," jawab Raffael seadanya. Dia duduk di samping Rui yang sedang sibuk bermain game. Dia memilih tempat yang jauh dari Jeslyn. Tapi perempuan itu tidak menyerah. Dia memilih pindah k
"Siapa?" Raffael menaikkan sebelah alisnya."Aku tidak tahu." Orang itu mengedikkan bahunya. "Kau temui saja. Dia menunggu di dekat gerbang. Saat kau menemuinya, mungkin kau akan tahu."Orang itu pergi tanpa penjelasan lebih jauh.Raffael menghela napas. Dia bangkit, dan berpamitan pada teman-temannya. "Aku akan menemuinya lebih dulu. Kalian ke kelaslah lebih dulu."Pria itu pergi.Jeslyn yang masih merasa emosi, memutuskan untuk mengikuti Raffael. Tapi Freya segera mencegahnya."Kau mau kemana?""Kemana lagi? Tentu saja melihat orang itu. Aku yakin jika orang itu adalah orang yang dimaksud Raffael tadi." Jika Jeslyn melihatnya, dia bisa tahu siapa perempuan yang menumpang di mobil Raffael pagi tadi."Kau bahkan tidak tahu apakah itu orang yang sama atau tidak."Jeslyn terlalu impulsif. Disaat dia sendiri belum bisa memastikan, dia lebih memilih untuk langsung melakukan tindakan tanpa berpikir."Lebih baik kau diam. Kau juga tidak akan bisa bertindak sesuka hati. Raffael tidak akan me