"Nenek."Raffael menyapa neneknya yang tampak duduk di kursi teras. Wanita tua itu tersenyum, membiarkan cucunya meraih tangannya dan mencium punggung tangannya."Apa kabar, Nenek?" Raffael berjongkok, mencoba mengajak bicara neneknya tanpa bangun dari posisinya. "Nenek kelihatannya lebih kurus dari terakhir kali.""Aku selalu sehat, Cucuku," balas Emily. Dia mengusap kepala cucunya itu penuh sayang. "Bukan aku yang menjadi kurus, tapi kau yang menjadi lebih berisi.""Nek, ayolah." Raffael memutar bola matanya, ekspresinya merajuk. Sehingga mengundang tawa Emily.Raffael paling tidak suka jika ada yang menyinggung tentang berat badannya. Karena dulu dia bekerja keras untuk membuat kurus tubuhnya. Dia yang dulu sangat gemuk dan jelek. Sosok yang pernah dijadikan bahan rundungan dimana pun. Bahkan hal itu pula yang membuat 'kakaknya' sendiri tidak menyukainya, dan memilih untuk mengusirnya.Raffael menyadari jika setiap manusia akan lebih dihargai jika dirinya terlihat pantas. Karena it
Emily mengusap rambut Raffael. Cucu laki-lakinya itu menangis cukup lama. Dia tidak ingin pergi meski Emily sudah mengusirnya. Dia memeluk perutnya dengan erat, enggan melepaskannya walau sesaat. Dia sangat takut jika Emily tidak akan mau lagi menemuinya.Raffael berjuang keras untuk mendapatkan maafnya. Dia terus memohon maaf dan menangis di depannya.Romeo yang baru pulang kerja dibuat kebingungan melihat semua itu. Menatap wajah istrinya yang meringis tak enak, karena tak bisa menyambut suaminya seperti biasa. Dan Raffael yang memeluk perut Emily sembari menangis seperti bocah. Ini pemandangan langka yang membuat Romeo merasa ingin tertawa."Ada apa dengan bocah itu?" tanya Romeo.Mereka berada di kamar Raffael dulu. Kamar yang masih menjadi milik pria muda itu. Romeo menyuruh anak buahnya untuk mengangkat Raffael ke kamar setelah cucunya itu tertidur karena terlalu lama menangis.Dia menangis tanpa mendapatkan jawaban apapun dari neneknya."Dia datang untuk menemui ku. Tapi pertem
Syaqila merasa heran karena sejak tadi dia tak melihat Raffael. Waktu sudah menunjukkan waktu makan malam. Tapi, setelah ia duduk di meja makan, Raffael tak datang. Keluarganya menikmati makan malam tanpa menunggu pria itu."Ada apa?" Fabian bertanya, karena sejak tadi ia melihat putrinya hanya termenung memandangi piringnya. "Kenapa tidak makan?"Utari mengangkat wajahnya, menatap suaminya, lalu beralih pada putrinya. Dia bahkan tidak sadar jika putrinya sejak tadi belum menyentuh makanannya sama sekali."Ada apa, Nak? Apa ada yang kamu pikirkan?" tanya Utari khawatir."Tidak." Syaqila menggelengkan kepalanya. Dia mencoba terlihat baik-baik saja meski hal itu sia-sia. Setiap sikap dan gerak-geriknya mampu terbaca dengan sangat jelas. Syaqila adalah tipe orang yang sulit menyembunyikan emosinya sendiri.Fabian dan Utari saling melempar pandangan. Mereka tentu menyadari ada banyak perubahan yang terasa dari putri mereka itu. Hanya saja, mereka memilih untuk berpura-pura tidak tahu.Sya
Bagaimana Diandra bisa marah setelah melihat betapa rapuh sahabatnya itu sekarang?Diandra memutuskan segera menemui Syaqila setelah menyadari ada yang tidak benar. Dan dugaannya tidak salah sama sekali. Ketika dia melihat Syaqila pertama kali, sahabatnya itu tampak sembam, seperti habis menangis dalam waktu yang lama. Pakaiannya juga berantakan. Tidak seperti dia yang biasanya.Diandra tak mengatakan apapun. Dia juga tak meminta penjelasan lagi seperti waktu itu. Kini memilih untuk tetap berada di samping sahabatnya, menemani di saat dia tengah berada di keadaan terpuruknya. Diandra hanya ingin dia ada saat sahabatnya itu membutuhkannya."Kau mau susu?" tawar Diandra. Dia baru kembali dari dapur, menghangatkan susu yang dia bawa sebelumnya. Dia menyimpan dua gelas susu itu di atas meja. "Ini mungkin bisa membuatmu lebih baik."Diandra tahu jika sahabatnya menyukai rasa manis. Karena itu dia membuat susu untuknya. Siapa tahu perasaannya akan sedikit membaik karena itu.Diandra juga me
Raffael termenung. Dia sudah menyerah untuk membujuk kakeknya. Cara apapun yang dia lakukan tidak berhasil. Kakeknya tetap memaksa dirinya melakukan apa yang dia minta. Bahkan sekarang, pria tua itu melayangkan ancaman yang membuat dirinya tidak berkutik.Sial!Raffael tidak mungkin menyerahkan semua kekuasaan yang dia miliki. Setelah semua kenangan pahit di masa lalu, masanya saat ini adalah yang terbaik dalam hidupnya. Dia tidak ingin kembali menjadi menyedihkan. Raffael tidak akan mau kehilangan semuanya."Apa aku harus benar-benar menjalin hubungan dengan perempuan itu?"Raffael mulai membayangkan.Dia sebenarnya tidak terlalu keberatan. Syaqila cantik. Bahkan sejujurnya, dia jauh lebih menarik dibandingkan Jeslyn. Hanya saja, perempuan yang ia kenal sebagai kakaknya itu membuat Raffael enggan menyetujui ide kakeknya. Akan terasa gila jika ia benar-benar berkencan dengan kakaknya sendiri.Otak pria tua itu sepertinya sudah rusak. Bisa-bisanya dia memikirkan hal ini untuk mereka.D
Syaqila merasa gugup. Dua hari tidak bertemu Raffael, membuat dirinya canggung untuk bertemu dengan pria itu. Tapi, Syaqila tidak bisa menolak saat pria itu menghubunginya dan meminta untuk bertemu. Mereka memiliki hal penting untuk dibicarakan. Syaqila tidak mungkin menghindar, karena dia sendiri ingin masalah ini segera selesai.Syaqila adalah orang yang datang terakhir. Sedangkan pria yang membuat janji dengannya sudah ada di tempat itu. Tampak duduk di salah satu kursi, menikmati americano yang masih mengempulkan asap."Maaf membuatmu menunggu." Syaqila menyapa dengan perasaan bersalah. Perempuan itu lekas duduk di depan Raffael. "Aku tidak tahu jika kau akan datang sangat cepat.""Tidak terlalu lama," jelas Raffael. Setidaknya dia baru duduk beberapa menit. Bahkan pesanannya saja baru diantarkan. "Kau pesanlah lebih dulu."Mereka tidak mungkin langsung bicara ke intinya. Setidaknya ia akan berbasa-basi lebih dulu sebagai bentuk sopan santun.Raffael memanggil pelayan saat Syaqila
"Bagaimana?" Syaqila tentu tergoda dengan kebebasan yang ditawarkan. Dia sudah benci hidup dengan cara seperti ini. "Bagaimana caranya?"Pria itu menarik sudut bibirnya. Dia yakin sejak awal jika Syaqila akan setuju. "Terima perjodohan ini."Seketika, Syaqila membeku tak percaya.Bukankah pria itu sudah mengatakan padanya sejak awal jika ia tak menginginkan perjodohan ini? Ia juga berkata padanya jika dia akan berusaha membatalkannya. Tapi, kenapa sekarang dia berubah pikiran?"Apa yang kau inginkan?" Syaqila tidak bisa untuk tidak merasa curiga. Perubahan Raffael terlalu tiba-tiba. Ia khawatir jika ini hanya jebakan yang disiapkan pria itu untuknya."Kenapa kau begitu takut?" Raffael mengernyit heran. Apa dia baru saja mengatakan sebuah ancaman? Ia hanya mengatakan satu saran. Itupun jika Syaqila setuju dengan saran yang ia berikan. "Terlalu menakutkan berkencan denganku?"Perasaannya sedikit tersinggung."A-apa yang kau bicarakan?" Syaqila tergagap. Rona merah samar terlihat di kedu
"Dari mana saja?"Langkah Syaqila berhenti ketika suara ibunya terdengar. Ia melihat perempuan itu di ruang tamu. Pandangannya hanya fokus menatap layar televisi. Tapi, Syaqila tahu jika pertanyaan yang ia layangkan ditujukan padanya."Aku hanya menghabiskan waktu di luar sebentar, bersama Diandra." Syaqila menjelaskan. "Ada apa, Ma? Mama mencari ku?""Ada yang ingin aku bicarakan." Utari menyuruh Syaqila untuk duduk di dekatnya. Putrinya itu menurut tanpa banyak bertanya. Sifatnya yang seperti inilah yang membuat Utari menyukainya. Syaqila selalu mendengarkan apa yang ia katakan. "Syaqila, aku tahu jika situasi yang saat ini terjadi membuatmu tidak nyaman. Tapi, aku harap kau tidak membenciku karenanya."Syaqila menggelengkan kepalanya, "Aku sama sekali tidak membenci Mama.""Selama ini kau selalu patuh. Sifatmu itu membuat aku bangga karena berhasil mendidikmu dengan baik." Utari menarik napas sejenak. Ini situasi yang sulit baginya, tapi dia tidak bisa menghindar. Posisinya tidak t