"Hey, Anneth, apa kau sudah tau, kita kedatangan anggota baru ?"
"Benarkah itu ? Siapa dia ?"
"Ya, tapi dia berbeda kelas dengan kita. Samara. Assisten Front Office Manajer kita yang baru."
"Wah, berarti Pak Leo, Front Office Manajer kita sudah punya wakil dong."
"Begitulah. Semoga orangnya tidak menyebalkan."
"Apa info yang kau dapat tentang dirinya ?"
"Belum ada tapi sepertinya aku tertarik menyelidikinya lebih dalam lagi tentangnya."
Mereka pun tertawa bersama dan mulai membicarakan hal - hal tak penting saat istirahat tiba.
"Apa yang sudah kau lakukan ?"
"Maaf, Bu, saya tidak sengaja, sini saya bersihkan."
"Tidak perlu."
Wanita dengan penampilan berkelas itu menampik keras tangan Anneth yang membawa tissu saat berusaha membersihkan tumpahan air minum di roknya.
"Lain kali gunakan dengan jeli matamu dan lebih berhati - hati saat jalan. Kau tidak pernah tau berapa harga rok ini."
Ah, hari pertama yang sial, gumamnya. Wanita itu berlalu pergi dari pantry dengan angkuhnya.
Aku belum pernah melihat wanita itu sebelumnya, apa dia Assistennya Pak Leo ? Sepertinya begitu, kudengar samar - samar ia juga menggumam tentang hari pertama. Ah, tapi ia tampak tak ramah.
Waktu seakan berjalan lambat, Anneth terdiam sejenak dalam keheningan sebelum membersihkan jendela kaca kamar hotel. Dari saku seragamnya, Ia mengambil selembar kertas yang kemarin sempat diberikan pria misterius. Kertas itu terlipat menjadi dua dan ia membukanya. Ternyata kertas brosur.
Sekilas ia membaca isi brosur penyewaan kamar itu. Fasilitasnya tak berbeda jauh dengan tempat ia menyewa sekarang tapi kamarnya tampak lebih nyaman dan sedikit lebih luas. Brosur itu mencantumkan nomor telepon si pemilik dan alamat penyewaan kamar itu. Anneth langsung mengambil keputusan untuk mendatangi lokasinya usai pulang kerja.
"Ann, ini aku punya dua tiket konser Java Jazz, kau mau ikut denganku kan ?", tanya Savvy saat Anneth bersiap menuju ruang loker dan ganti pakaian karena jam kerjanya telah berakhir.
"Maaf, Pak, bukannya saya menolak tapi hari ini saya harus meninjau tempat baru yang akan saya sewa nantinya. Saya akan pindah tempat menginap karena yang sekarang benar - benar tak aman."
"Baiklah, kalau begitu akan kuantar kau kesana setelah itu baru kita bisa pergi ke konser itu, bagaimana ?"
Suara berdehem menyela percakapan mereka. Anneth mengintip dari balik bahu tegap Savvy berdiri seorang wanita yang tak asing lagi baginya, si wanita berambut coklat yang angkuh itu lagi. Anneth melihat tatapan wanita itu yang begitu dingin. Savvy berbalik menoleh ke arah suara.
"Pak Savvy, apa kau yakin akan pergi menonton konser dengan room maid itu ? Kurasa Anda sedang bercanda."
"Kenapa memangnya Nona Samara ?"
"Karena kalian berbeda kelas, Pak. Anda atasan sedangkan dia bawahan Anda, tidak selevel. Anda tau maksud saya kan ?"
"Kurasa tidak masalah dengan itu, kami hanya akan menonton konser bersama, tidak ada yang salah."
"Setau saya, jika dua orang berlawan jenis terlalu sering pergi keluar bersama, bisa menimbulkan percikan - percikan asmara. Disini, kurasa dia harus sadar posisinya adalah bawahan Anda, Pak Savvy dan Anda adalah atasannya. Berbeda strata sosial lebih tepatnya."
Wajah Anneth memerah, ia bergerak gelisah dan sangat tak nyaman mendengar perkataan si wanita angkuh itu.
"Saya rasa wanita itu ada benarnya. Maaf, Pak saya harus pulang sekarang sebelum ketinggalan bus."
"Tapi Ann…"
Lutut Anneth melemah, ia melangkah meninggalkan Savvy yang terlihat kebingungan dan si wanita angkuh itu dengan senyum liciknya. Anneth tidak merespon kata - kata Savvy. Dari jarak yang tak terlalu jauh, Anneth bisa mendengar mereka terlibat dalam percakapan. Anneth tidak memerdulikan percakapan apapun itu meski menyangkut dirinya. Ia terus berjalan dengan tatapan masam tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.
Bukannya aku mengalah hanya saja aku malas bersitegang dengan wanita sok itu. Penampilannya memang berkelas tapi aku benar - benar tidak menyukai sikapnya.
Anneth berjalan kaki menuju halte bus. Tak perlu menunggu terlalu lama, bus berhenti di halte. Ia pun naik dan meluncurlah bus itu melewati jalanan yang padat karena jam pulang para pegawai kantor.
"Apakah masih ada kamar yang kosong ?"
"Ya, masih ada satu."
"Syukurlah. Baiklah aku akan membayar uang mukanya sekarang dan sisanya setelah aku membawa semua barangku dan pindah kesini. Bagaimana ?"
"Setuju. Kau bisa melihat kamarnya dulu jika kau mau."
"Boleh."
Anneth memeriksa kamar yang akan menjadi tempat barunya. Ranjang yang tak terlalu besar, sebuah lemari kokoh yang cukup tinggi, meja dan kursi kayu serta AC. Tidak mengecewakan.
"Kau menyukainya ?"
"Ya. Menurutku aku akan cukup betah tinggal disini."
"Semoga."
Anneth pun mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari dompetnya sebagai tanda jadi.
"Anneth, kau tadi bicara, mengetahui informasi penginapan ini dari Lea ?"
"Iya dulu. Apa ada masalah ?"
"Tidak… tidak ada… aku hanya kaget mendengar namanya lagi. Aku menyayangkan begitu cepat perempuan muda yang energik dan cantik seperti dia harus meninggalkan dunia lebih cepat."
"Maaf, apa ?"
"Iya, apa ada yang salah ?"
"Meninggalkan dunia lebih cepat katamu ? Bisa kau jelaskan mengenai hal itu, Bu Mona ?"
"Apa kau tidak tau kalau Lea sudah meninggal ? "
"Tidak, aku benar - benar tidak tau mengenai hal itu. Maksudku, kami sudah lama tak saling memberi kabar, jadi aku pernah tau kabarnya dan aku benar - benar terkejut ketika Anda mengatakan Lea sudah meninggal."
"Iya, memang tak kusangka secepat itu. Dulu dia pernah menjadi penghuni tempat ini sebelum dipindah ke kota lain untuk bertugas. Temannya yang memberitahuku, padahal dia anak yang baik dan ramah."
"Aku turut berduka. Bu, sepertinya aku akan pindah ke tempat ini lusa sekalian membawa semua barang - barang kesini."
"Tidak masalah. Kau bisa menghubungiku agar bisa mendapat kuncinya."
Dalam perjalanan pulang, bulu kuduk Anneth berdiri seketika. Beribu pertanyaan menyelimuti pikirannya seketika.
Kenapa pria misterius itu menyebutkan sebuah nama yang orangnya sudah meninggal ? Apa tujuan pria misteri padaku sebenarnya ? Aku ingin menemuinya dan membahas mengenai hal ini tapi bagaimana bisa. Dia saja datang dan pergi sesuka hati seperti hantu. Huft…
Bus melesat memecah keheningan malam. Anneth memusatkan pikiran pada satu hal yang baru saja dilihatnya saat keluar dari Sakura House, nama tempat penginapan itu. Ia berjalan beberapa blok darisana dan dilihatnya sebuah gedung yang sangat menjulang. Gedung kampus. Sudah beberapa tahun sejak kelulusan SMA dia tak pernah lagi berkutat dengan buku - buku. Dalam sekejap ia menutup mata dan mengenang masa - masa di sekolah. Tanpa disadarinya senyum tersungging di bibirnya dan mengembang sempurna. Seolah ia mengenang masa - masa indah saat SMA. Seketika Anneth membuka mata, merobek secarik kertas dari notes dan mengambil pulpen. Ia menulis beberapa kata di kertas itu. Kalimat yang mungkin dapat mengubah nasibnya suatu saat nanti. Ia melipat menjadi dua kertas sobekan itu lalu memasukkan lagi ke tasnya dengan mata berbinar. Bus masih terus melaju.
"Kau sudah dengar, Pak Savvy berkencan dengan Samara, Asmen FO itu sepulang kantor ?", cetus Naomi. "Belum, memangnya kenapa kalau mereka berkencan, apa kau cemburu ?" "Tentu saja tidak. Hanya saja betapa beruntungnya dia, baru masuk kantor hari pertama langsung diajak nonton konser dan ke restoran dengan Pak Savvy. Aku tidak bisa membayangkan kalau Pak Savvy benar anak Pak Devisser, aku pasti langsung bertekuk lutut di hadapannya." Uhuuukkk… "Hey, Ann, kau tersedak, ada apa ? cepat minum ini."
"Tidak seperti yang kau pikir, aku baru saja pulang dari olahraga tenis malam, apa kau tidak lihat bajuku ?" "Ya, tentu saja aku bisa melihatnya tapi kau selalu hadir dalam hidupku. Kenapa ? Apa kau sengaja melakukannya ?" "Tidak sepenuhnya tapi memang ada benarnya." "Apa maksudmu ?" "Ya, aku memang sengaja hadir dalam hidupmu untuk menghantuimu." "Tidak lucu !" "Karena aku memang bukan pelawak." Anneth berusaha mengendalikan nafasnya. "Siapa kau sebenarnya ? Jawab aku sekarang atau jangan pernah lagi menemui dan mendekatiku."
Akhirnya, Anneth telah meninggalkan tempat penginapan lamanya dan sekarang sudah menjadi penghuni baru di salah satu kamar Sakura House. Ia juga telah melakukan pelunasan pada Bu Mona untuk satu bulan menyewa kamar itu, jadi ia tidak memusingkan lagi soal biaya kamar. Anneth juga merasa lebih aman berada disini karena bisa terhindar dari para pria kekar jahat selamanya, mungkin. Ia menganggap mereka telah lenyap dari bumi untuk selamanya. Anneth menganggap area sekitar Sakura House lebih aman dan beruntungnya ia karena letaknya yang terjangkau dari tempat kerjanya di Hotel Pandawa dan kampus, tentu saja. Hari minggu telah berlalu. Anneth hanya bisa mengerahkan segenap kendali diri agar tidak meluapkan emosinya. Pria misterius itu telah mengingkari janjinya.
Anneth akhirnya luluh juga menerima tawaran Savvy untuk pergi keluar bersama. Anneth berusaha menegaskan pada dirinya sendiri bahwa apa yang mereka lakukan bukan kencan, hanya pengenalan mendalam sebagai atasan dan bawahan, tidak lebih. Ia hanya berusaha membatasi hubungannya dengan Savvy. Lagipula, Anneth mempunyai karakter yang tidak akan mencari ribut dengan wanita lain hanya karena masalah memperebutkan seorang pria setelah ia tahu Samara menaruh hati pada Savvy dan mengatakan kalau orang tua mereka sudah menjodohkan mereka berdua. Sejujurnya, ia sangat tak ingin berurusan dengan Samara, si wanita angkuh dan suka mencampuri urusan orang itu. Informasi yang didapat dari temannya yang seorang staff Front Office mengatakan Samara sedang mengambil cuti hari itu, jadi beruntunglah dia yang tak harus adu mulut bahkan mungkin adu jotos dulu untuk keluar berdua dengan S
Ponsel menyebalkan! Kalau saja tidak berdering, Savvy akan menceritakan semuanya padaku. Savvy memang berjanji akan menceritakan sebuah rahasia pada Anneth tapi karena ponsel Savvy berdering dan itu merupakan panggilan penting dan darurat, Savvy akhirnya mengurungkan menceritakan rahasia itu. Namun, ia berjanji akan bercerita pada Anneth di lain kesempatan. Anneth hanya bisa menggerutu. "Sungguh mengerikan!" "Apanya ?" "Selebgram pria dibunuh pacarnya sendiri karena belum menepati janjinya untuk menikahi pacarnya." "Berita yang menghebohkan!" "Hey, itu realita dan aku benar - benar serius mengatakannya."
Anneth memindai bagian depan rumah Devaro. Terdapat jalan setapak sempit yang disamping kanan kirinya dipenuhi dengan beragam tanaman dalam pot termasuk tanaman mahal janda bolong ada disana. Ia berdecak kagum saat memperhatikan setiap detail bagian rumah Devaro. Anneth menggeser sliding door setinggi tiga meter yang berupa kaca berlukiskan panda makan bambu dan kayu jati, ia terkesima dengan paduan beton dan kayu yang mengelilingi bagian dalam rumah Devaro. Wallpaper bunga sakura nuansa korea langsung menyambutnya saat Devaro menyuruhnya duduk di sofa ruang tamu. "Kau mau minum apa ?" Anneth terkejut saat mendengar suara Devaro yang menggema tiba - tiba dari sisi mini bar. "Ap
Dengan memakai masker yang dilengkapi penyaring udara, Anneth menatap keindahan gunung, danau kawah yang berwarna tosca, sunrise yang epik sekaligus fenomena api biru yang terpampang nyata di hadapannya. Betapa bersyukurnya Anneth saat melihat berbagai pemandangan itu dan hampir saja ia menitikan air matanya saking bahagianya. Ia menyaksikan puluhan orang yang tertawa girang yang mampu mendaki sampai ke puncak, bahkan yang mendaki berpasangan tampak memeluk mesra pasangannya dengan senyum tersimpul di bibir mereka. Anneth dapat menyaksikan bapak - bapak tua yang menambang belerang dan turun dari puncak gunung dengan memikul 80 - 100 kilo belerang. Asap bau belerang yang mengepul ke langit seketika menyeruak di hidungnya. Anneth merasa kasihan dengan bapak - bapak yang usianya sudah tak lagi muda tapi masih harus menambang belerang dan bertaruh dengan nyawa, kabarnya juga harga belerang itu rendah, jadi mereka hanya membawa pulang uang puluhan ribu saj
Liburan telah berakhir, Anneth dan yang lainnya sudah akan bergelut lagi dengan tugas dan aktivitas menjemukan lainnya. Anneth merasa sangat puas dengan pendakian gunung yang telah ia lewati, tak terkecuali dengan pemandangan pantai Bama nan indah. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan mendaki gunung lagi suatu hari nanti. "Kau terlihat sangat menikmati pendakian, Ann." "Ya, rasanya sudah seabad aku tak mendaki gunung. Kau juga terlihat sama menikmatinya." "Benar tapi kakiku kram semua, Ann. Tubuhku pegal-pegal. Mungkin aku akan berpikir-pikir lagi jika diajak naik gunung lain kali." Anneth tertawa mendengar pernyataan sahabatnya itu.