Home / Romansa / Anneth / 3. Makan Malam yang Canggung

Share

3. Makan Malam yang Canggung

"Terima kasih."

"Apa ?"

"Iya, terima kasih karena kau telah membantu tamu hotel kita ketika kondisinya sekarat dan bersedia menjaganya selama di rumah sakit."

"Memangnya, kenapa dia sampai melakukan perbuatan konyol itu ?"

"Aku tidak tau. Alasan dia melakukan percobaan bunuh diri itu tak perlu dibahas, biarlah menjadi urusan pribadinya."

"Sayang sekali dia sampai melakukan hal itu, dia juga masih muda. Hidupnya masih panjang. Betul begitu kan Pak ?"

"Pak ? Panggil namaku saja Savvy ketika di luar, kita tidak sedang bekerja sekarang. Kukira usia kita juga tidak terlalu berbeda jauh"

"Eh… Iya, baiklah, Savvy."

Ah… makan malam kali ini benar - benar membuatku canggung sebenarnya dan percakapan ini membuatku merasa mual. Aku merasa ada jurang pemisah diantara kami. Benar - benar tak nyaman.

Usai berurusan dengan keluarga Jennie, Savvy menawarkan diri untuk mengantar Anneth pulang. Namun, di tengah perjalanan rencana sedikit berubah. Savvy mengajak Anneth makan malam di sebuah restoran sebagai ungkapan terima kasih. 

"Omong - omong, apa di kota kamu tinggal dengan keluargamu karena ku dengar kau tidak berasal dari kota ini ?"

"Oh, iya, Pak, eh… Savvy. Saya menyewa kamar di sebuah tempat penginapan.  Bagaimana denganmu sendiri ?"

"Ya, kurang lebih sama sepertimu."

"Hah… Benarkah itu ? Berarti gosip selama ini hanya kebohongan belaka."

"Gosip ? Gosip apa yang mereka ceritakan tentang aku."

"Tidak… itu tidak penting. Lupakan saja."

"Ayolah, ceritakan saja, tidak perlu ada yang ditutupi."

"Hmm… itu gosip yang beredar mengatakan kalau Anda ini anak Pak Devisser."

"Wow… kabar yang sangat mengejutkan."

"Kenapa ? Jadi gosip yang beredar itu benar atau tidak ?"

"Ann, kurasa ini sudah larut malam. Ayo kita pulang, tidak baik juga untukmu pulang selarut ini. Kau sudah menghabiskan makananmu kan ?"

"Baiklah."

Sial, dia sengaja menghindari percakapan soal kabar burung itu. Baiklah akan kucari tau sendiri apa gosip itu benar adanya. Akan kubuktikan siapa kau sebenarnya.

Selama perjalanan pulang percakapan mengalir ringan diantara mereka, membahas hal - hal receh untuk sekedar membuat suasana menjadi cair. Bahkan, Anneth sekilas tertawa mendengar kejadian lucu yang dilontarkan Savvy. Sejujurnya, tak pernah terlintas sedikitpun di benak Anneth, ia akan duduk berdua sambil ngobrol di mobil bersama Savvy, atasannya itu, seperti sekarang. Ternyata dia tidak semenyebalkan itu.

Anneth menghirup udara malam yang bercampur dengan bau knalpot kendaraan. Teringat hari ini dia menerima gaji, ia mengayunkan ringan langkah kakinya ke ATM terdekat. Ia masuk ke ruang kaca berisi mesin ATM dan memencet tombol - tombol di mesin itu. Ia pun menarik sejumlah uang dari mesin ATM lalu beranjak keluar.

Anneth mempunyai perasaan tak enak ketika berjalan menyusuri gang sempit yang merupakan salah satu akses menuju tempat penginapannya. Sejumlah pria asing berdiri bergerombol di dekat tembok gang itu lalu bersiul - siul padanya. Bahkan, seorang pria mulai berjalan mendekat ke arah Anneth. Ia merasa cemas dan semakin mempercepat langkahnya. Namun, pria itu dengan sigap mampu menggenggam lengan Anneth dan berhasil menghentikan langkah kakinya. Anneth memberanikan diri menatap mata pria itu dan berusaha melepaskan genggaman pria kekar itu.

"Sudahlah, ikut kami, kami pasti akan membuatmu senang."

"Lepaskan sekarang atau kalian akan menyesal."

Pria itu menoleh ke teman - temannya dengan tertawa terbahak - bahak. Anneth memanfaatkan kesempatan itu dengan mengambil botol parfum di tasnya dan menyemprotkan botol parfum  ke mata pria berbadan kekar itu ketika ia kembali menatap wajah Anneth. Pria kekar itu mengerang menahan rasa perih di matanya dan melepaskan genggamannya di lengan Anneth. Ia tampak mengucek - ucek matanya yang perih. Anneth berusaha kabur tapi teman - teman pria itu tidak tinggal diam. Mereka berlari mengejar Anneth. 

Pelarian itu membuatnya ketakutan setengah mati. Ia bersembunyi di balik sebuah pilar beton besar di luar gedung besar yang terbengkalai agar tak tertangkap. Ia menutup mulutnya rapat - rapat dengan jemarinya. Ia bisa melihat pria - pria itu berkeliaran berupaya menangkapnya hidup - hidup. Anneth memejamkan matanya dengan erat.   Namun, tiba - tiba ponselnya berbunyi. Pria - pria yang ingin berbuat tak senonoh pada dirinya itu menyebar mencari sumber bunyi. Anneth pun segera menonaktifkan ponselnya. Namun, salah satu pria kekar itu berhasil menemukannya dan ia berteriak memanggil teman - temannya. Anneth berteriak ketakutan dan meminta tolong. Saat itu malam sudah larut dan tampak lengang, tak tampak penduduk yang melewati area sekitar.

Seorang pria berjanggut lebat menggenggam kedua pergelangan tangannya dan seorang pria lainnya memegangi betis kecilnya. Anneth meronta dan melepaskan tendangan pada mereka. Namun, sangat mustahil baginya untuk melepaskan diri dari cengkraman pria - pria yang bertubuh jauh lebih besar darinya itu. Ia mulai kehabisan napas dan mulai menitikan air mata. Dalam lubuk hatinya, ia merasakan putus asa yang teramat sangat. Keajaiban. Hanya keajaiban yang dibutuhkan Anneth di saat - saat seperti itu. 

Tak dinyana, Tuhan melihat air mata kesedihan dan kepasrahan dari dalam hatinya. Pria dengan jaket kain katun warna navy dan topi bisbol warna senada tiba - tiba datang dari arah yang tak diketahuinya. Secercah harapan telah hadir, seolah ia adalah malaikat penyelamatnya bagi Anneth. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria dengan tatapan dingin itu menghantam perut dan wajah satu per satu pria jahat itu. Ia berhasil menyingkirkan pria - pria jahat itu dari tubuh Anneth. Anneth bergerak mundur dan memindahkan tasnya yang tergeletak di lantai ke depan tubuhnya sebagai alat pelindung diri.

Diam - diam ia mengambil ponsel dari dalam tasnya dan mengambil gambar pria penolong yang sedang menghajar musuh - musuhnya itu. Tak disangka, pria kekar yang disemprot matanya oleh Anneth dengan parfum menyusulnya sampai ke gedung tua. Sepertinya matanya mulai membaik. Ia menyeret paksa Anneth secara kasar yang menunduk lemah di lantai. Anneth merasa pria itu seperti sangat terobsesi dengan dirinya. Anneth berteriak - teriak minta tolong. Napasnya mulai terengah - engah tapi kenyataannya nihil berharap pertolongan pada pria berjaket itu. Ia sendiri masih tampak sibuk melumpuhkan serangan - serangan lawannya yang mengganas. 

Melihat potongan kayu tergeletak di tanah tak jauh dari tempatnya berdiri, ia berpikir untuk melawan pria kekar yang masih menyeretnya itu dengan paksa. Anneth menghentakkan pegangan tangan pria itu dengan keras sampai terlepas pegangannya dan menendang paha pria itu sampai tubuhnya terhuyung - huyung kehilangan kendali. Anneth secepat kilat mengambil potongan kayu saat pria itu kehilangan keseimbangan dan menghantamkannya bertubi - tubi tanpa ampun pada tubuh pria itu dengan penuh luapan amarah.

"Cukup, dia sudah tak berdaya. Ayo lekas pergi dari sini. Tidak aman." 

Pria misterius berjaket itu menggenggam pergelangan tangan Anneth. Kata - katanya bagaikan mantra sihir untuknya, yang membuat Anneth langsung menurutinya. Ia menjatuhkan potongan kayu di tanah dan mereka berlari secepat dan sejauh mungkin menghindari pria kekar yang tersungkur tak sadarkan diri di tanah.

Ketika sudah berada di jalanan yang menurut mereka aman, mereka pun terlibat percakapan.

"Kau lagi rupanya. Siapa kau ini ? Eh, maaf aku belum mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena telah menolongku dua kali."

"Ya, tidak masalah. Kesinikan ponselmu."

"Untuk apa ?"

"Sudah sini."

Ia merebut ponsel Anneth yang diselipkan di saku celananya. Mata Anneth menyipit dan melirik ke arah ponselnya. Rupanya, pria itu menjelajahi ruang galery dan menghapus beberapa foto dirinya yang diambil Anneth secara sembunyi - sembunyi. Anneth terdiam.

"Lain kali minta izin dulu sebelum mengambil gambar orang lain." Anneth tertunduk lesu.

"Kurasa kau tidak akan aman jika tetap tinggal di penginapanmu sekarang. Mereka bisa menemukanmu kapanpun dan membalaskan dendamnya padamu."

"Ya, kurasa begitu."

"Ini, pemiliknya adalah temanku, kau bisa menghubunginya dan bilang dahulu kau pernah mendapat informasi dari Lea soal ini.", ujar pria misterius itu menyerahkan kertas yang dilipat dua pada Anneth.

"Lea ? Siapa itu Lea ?."

Pria misterius itu bergeming.

"Aku Anneth. Siapa namamu ?", ujar Anneth sambil menjulurkan tangannya.

"Senang berkenalan denganmu Anneth meski cukup merepotkan."

"Hey, pria tanpa nama, apa kau menguntitku selama ini ?"

"Apa maksudmu ?"

"Iya, karena kau selalu datang tepat waktu untuk membantuku di saat aku memang membutuhkannya. Kenapa bisa begitu ?"

Sejenak ia terdiam.

"Aku harus pergi, masuklah. Mungkin lain kali semesta akan mengizinkan kita untuk bersua lagi. Sampai jumpa."

"Hey, kau belum menjawab pertanyaanku."

Ia berjalan cepat menjauhiku dan menghilang dalam kabut malam.

Dasar pria misterius.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status