"Terima kasih."
"Apa ?"
"Iya, terima kasih karena kau telah membantu tamu hotel kita ketika kondisinya sekarat dan bersedia menjaganya selama di rumah sakit."
"Memangnya, kenapa dia sampai melakukan perbuatan konyol itu ?"
"Aku tidak tau. Alasan dia melakukan percobaan bunuh diri itu tak perlu dibahas, biarlah menjadi urusan pribadinya."
"Sayang sekali dia sampai melakukan hal itu, dia juga masih muda. Hidupnya masih panjang. Betul begitu kan Pak ?"
"Pak ? Panggil namaku saja Savvy ketika di luar, kita tidak sedang bekerja sekarang. Kukira usia kita juga tidak terlalu berbeda jauh"
"Eh… Iya, baiklah, Savvy."
Ah… makan malam kali ini benar - benar membuatku canggung sebenarnya dan percakapan ini membuatku merasa mual. Aku merasa ada jurang pemisah diantara kami. Benar - benar tak nyaman.
Usai berurusan dengan keluarga Jennie, Savvy menawarkan diri untuk mengantar Anneth pulang. Namun, di tengah perjalanan rencana sedikit berubah. Savvy mengajak Anneth makan malam di sebuah restoran sebagai ungkapan terima kasih.
"Omong - omong, apa di kota kamu tinggal dengan keluargamu karena ku dengar kau tidak berasal dari kota ini ?"
"Oh, iya, Pak, eh… Savvy. Saya menyewa kamar di sebuah tempat penginapan. Bagaimana denganmu sendiri ?"
"Ya, kurang lebih sama sepertimu."
"Hah… Benarkah itu ? Berarti gosip selama ini hanya kebohongan belaka."
"Gosip ? Gosip apa yang mereka ceritakan tentang aku."
"Tidak… itu tidak penting. Lupakan saja."
"Ayolah, ceritakan saja, tidak perlu ada yang ditutupi."
"Hmm… itu gosip yang beredar mengatakan kalau Anda ini anak Pak Devisser."
"Wow… kabar yang sangat mengejutkan."
"Kenapa ? Jadi gosip yang beredar itu benar atau tidak ?"
"Ann, kurasa ini sudah larut malam. Ayo kita pulang, tidak baik juga untukmu pulang selarut ini. Kau sudah menghabiskan makananmu kan ?"
"Baiklah."
Sial, dia sengaja menghindari percakapan soal kabar burung itu. Baiklah akan kucari tau sendiri apa gosip itu benar adanya. Akan kubuktikan siapa kau sebenarnya.
Selama perjalanan pulang percakapan mengalir ringan diantara mereka, membahas hal - hal receh untuk sekedar membuat suasana menjadi cair. Bahkan, Anneth sekilas tertawa mendengar kejadian lucu yang dilontarkan Savvy. Sejujurnya, tak pernah terlintas sedikitpun di benak Anneth, ia akan duduk berdua sambil ngobrol di mobil bersama Savvy, atasannya itu, seperti sekarang. Ternyata dia tidak semenyebalkan itu.
Anneth menghirup udara malam yang bercampur dengan bau knalpot kendaraan. Teringat hari ini dia menerima gaji, ia mengayunkan ringan langkah kakinya ke ATM terdekat. Ia masuk ke ruang kaca berisi mesin ATM dan memencet tombol - tombol di mesin itu. Ia pun menarik sejumlah uang dari mesin ATM lalu beranjak keluar.
Anneth mempunyai perasaan tak enak ketika berjalan menyusuri gang sempit yang merupakan salah satu akses menuju tempat penginapannya. Sejumlah pria asing berdiri bergerombol di dekat tembok gang itu lalu bersiul - siul padanya. Bahkan, seorang pria mulai berjalan mendekat ke arah Anneth. Ia merasa cemas dan semakin mempercepat langkahnya. Namun, pria itu dengan sigap mampu menggenggam lengan Anneth dan berhasil menghentikan langkah kakinya. Anneth memberanikan diri menatap mata pria itu dan berusaha melepaskan genggaman pria kekar itu.
"Sudahlah, ikut kami, kami pasti akan membuatmu senang."
"Lepaskan sekarang atau kalian akan menyesal."
Pria itu menoleh ke teman - temannya dengan tertawa terbahak - bahak. Anneth memanfaatkan kesempatan itu dengan mengambil botol parfum di tasnya dan menyemprotkan botol parfum ke mata pria berbadan kekar itu ketika ia kembali menatap wajah Anneth. Pria kekar itu mengerang menahan rasa perih di matanya dan melepaskan genggamannya di lengan Anneth. Ia tampak mengucek - ucek matanya yang perih. Anneth berusaha kabur tapi teman - teman pria itu tidak tinggal diam. Mereka berlari mengejar Anneth.
Pelarian itu membuatnya ketakutan setengah mati. Ia bersembunyi di balik sebuah pilar beton besar di luar gedung besar yang terbengkalai agar tak tertangkap. Ia menutup mulutnya rapat - rapat dengan jemarinya. Ia bisa melihat pria - pria itu berkeliaran berupaya menangkapnya hidup - hidup. Anneth memejamkan matanya dengan erat. Namun, tiba - tiba ponselnya berbunyi. Pria - pria yang ingin berbuat tak senonoh pada dirinya itu menyebar mencari sumber bunyi. Anneth pun segera menonaktifkan ponselnya. Namun, salah satu pria kekar itu berhasil menemukannya dan ia berteriak memanggil teman - temannya. Anneth berteriak ketakutan dan meminta tolong. Saat itu malam sudah larut dan tampak lengang, tak tampak penduduk yang melewati area sekitar.
Seorang pria berjanggut lebat menggenggam kedua pergelangan tangannya dan seorang pria lainnya memegangi betis kecilnya. Anneth meronta dan melepaskan tendangan pada mereka. Namun, sangat mustahil baginya untuk melepaskan diri dari cengkraman pria - pria yang bertubuh jauh lebih besar darinya itu. Ia mulai kehabisan napas dan mulai menitikan air mata. Dalam lubuk hatinya, ia merasakan putus asa yang teramat sangat. Keajaiban. Hanya keajaiban yang dibutuhkan Anneth di saat - saat seperti itu.
Tak dinyana, Tuhan melihat air mata kesedihan dan kepasrahan dari dalam hatinya. Pria dengan jaket kain katun warna navy dan topi bisbol warna senada tiba - tiba datang dari arah yang tak diketahuinya. Secercah harapan telah hadir, seolah ia adalah malaikat penyelamatnya bagi Anneth. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria dengan tatapan dingin itu menghantam perut dan wajah satu per satu pria jahat itu. Ia berhasil menyingkirkan pria - pria jahat itu dari tubuh Anneth. Anneth bergerak mundur dan memindahkan tasnya yang tergeletak di lantai ke depan tubuhnya sebagai alat pelindung diri.
Diam - diam ia mengambil ponsel dari dalam tasnya dan mengambil gambar pria penolong yang sedang menghajar musuh - musuhnya itu. Tak disangka, pria kekar yang disemprot matanya oleh Anneth dengan parfum menyusulnya sampai ke gedung tua. Sepertinya matanya mulai membaik. Ia menyeret paksa Anneth secara kasar yang menunduk lemah di lantai. Anneth merasa pria itu seperti sangat terobsesi dengan dirinya. Anneth berteriak - teriak minta tolong. Napasnya mulai terengah - engah tapi kenyataannya nihil berharap pertolongan pada pria berjaket itu. Ia sendiri masih tampak sibuk melumpuhkan serangan - serangan lawannya yang mengganas.
Melihat potongan kayu tergeletak di tanah tak jauh dari tempatnya berdiri, ia berpikir untuk melawan pria kekar yang masih menyeretnya itu dengan paksa. Anneth menghentakkan pegangan tangan pria itu dengan keras sampai terlepas pegangannya dan menendang paha pria itu sampai tubuhnya terhuyung - huyung kehilangan kendali. Anneth secepat kilat mengambil potongan kayu saat pria itu kehilangan keseimbangan dan menghantamkannya bertubi - tubi tanpa ampun pada tubuh pria itu dengan penuh luapan amarah.
"Cukup, dia sudah tak berdaya. Ayo lekas pergi dari sini. Tidak aman."
Pria misterius berjaket itu menggenggam pergelangan tangan Anneth. Kata - katanya bagaikan mantra sihir untuknya, yang membuat Anneth langsung menurutinya. Ia menjatuhkan potongan kayu di tanah dan mereka berlari secepat dan sejauh mungkin menghindari pria kekar yang tersungkur tak sadarkan diri di tanah.
Ketika sudah berada di jalanan yang menurut mereka aman, mereka pun terlibat percakapan.
"Kau lagi rupanya. Siapa kau ini ? Eh, maaf aku belum mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena telah menolongku dua kali."
"Ya, tidak masalah. Kesinikan ponselmu."
"Untuk apa ?"
"Sudah sini."
Ia merebut ponsel Anneth yang diselipkan di saku celananya. Mata Anneth menyipit dan melirik ke arah ponselnya. Rupanya, pria itu menjelajahi ruang galery dan menghapus beberapa foto dirinya yang diambil Anneth secara sembunyi - sembunyi. Anneth terdiam.
"Lain kali minta izin dulu sebelum mengambil gambar orang lain." Anneth tertunduk lesu.
"Kurasa kau tidak akan aman jika tetap tinggal di penginapanmu sekarang. Mereka bisa menemukanmu kapanpun dan membalaskan dendamnya padamu."
"Ya, kurasa begitu."
"Ini, pemiliknya adalah temanku, kau bisa menghubunginya dan bilang dahulu kau pernah mendapat informasi dari Lea soal ini.", ujar pria misterius itu menyerahkan kertas yang dilipat dua pada Anneth.
"Lea ? Siapa itu Lea ?."
Pria misterius itu bergeming.
"Aku Anneth. Siapa namamu ?", ujar Anneth sambil menjulurkan tangannya.
"Senang berkenalan denganmu Anneth meski cukup merepotkan."
"Hey, pria tanpa nama, apa kau menguntitku selama ini ?"
"Apa maksudmu ?"
"Iya, karena kau selalu datang tepat waktu untuk membantuku di saat aku memang membutuhkannya. Kenapa bisa begitu ?"
Sejenak ia terdiam.
"Aku harus pergi, masuklah. Mungkin lain kali semesta akan mengizinkan kita untuk bersua lagi. Sampai jumpa."
"Hey, kau belum menjawab pertanyaanku."
Ia berjalan cepat menjauhiku dan menghilang dalam kabut malam.
Dasar pria misterius.
"Hey, Anneth, apa kau sudah tau, kita kedatangan anggota baru ?" "Benarkah itu ? Siapa dia ?" "Ya, tapi dia berbeda kelas dengan kita. Samara. Assisten Front Office Manajer kita yang baru." "Wah, berarti Pak Leo, Front Office Manajer kita sudah punya wakil dong." "Begitulah. Semoga orang
"Kau sudah dengar, Pak Savvy berkencan dengan Samara, Asmen FO itu sepulang kantor ?", cetus Naomi. "Belum, memangnya kenapa kalau mereka berkencan, apa kau cemburu ?" "Tentu saja tidak. Hanya saja betapa beruntungnya dia, baru masuk kantor hari pertama langsung diajak nonton konser dan ke restoran dengan Pak Savvy. Aku tidak bisa membayangkan kalau Pak Savvy benar anak Pak Devisser, aku pasti langsung bertekuk lutut di hadapannya." Uhuuukkk… "Hey, Ann, kau tersedak, ada apa ? cepat minum ini."
"Tidak seperti yang kau pikir, aku baru saja pulang dari olahraga tenis malam, apa kau tidak lihat bajuku ?" "Ya, tentu saja aku bisa melihatnya tapi kau selalu hadir dalam hidupku. Kenapa ? Apa kau sengaja melakukannya ?" "Tidak sepenuhnya tapi memang ada benarnya." "Apa maksudmu ?" "Ya, aku memang sengaja hadir dalam hidupmu untuk menghantuimu." "Tidak lucu !" "Karena aku memang bukan pelawak." Anneth berusaha mengendalikan nafasnya. "Siapa kau sebenarnya ? Jawab aku sekarang atau jangan pernah lagi menemui dan mendekatiku."
Akhirnya, Anneth telah meninggalkan tempat penginapan lamanya dan sekarang sudah menjadi penghuni baru di salah satu kamar Sakura House. Ia juga telah melakukan pelunasan pada Bu Mona untuk satu bulan menyewa kamar itu, jadi ia tidak memusingkan lagi soal biaya kamar. Anneth juga merasa lebih aman berada disini karena bisa terhindar dari para pria kekar jahat selamanya, mungkin. Ia menganggap mereka telah lenyap dari bumi untuk selamanya. Anneth menganggap area sekitar Sakura House lebih aman dan beruntungnya ia karena letaknya yang terjangkau dari tempat kerjanya di Hotel Pandawa dan kampus, tentu saja. Hari minggu telah berlalu. Anneth hanya bisa mengerahkan segenap kendali diri agar tidak meluapkan emosinya. Pria misterius itu telah mengingkari janjinya.
Anneth akhirnya luluh juga menerima tawaran Savvy untuk pergi keluar bersama. Anneth berusaha menegaskan pada dirinya sendiri bahwa apa yang mereka lakukan bukan kencan, hanya pengenalan mendalam sebagai atasan dan bawahan, tidak lebih. Ia hanya berusaha membatasi hubungannya dengan Savvy. Lagipula, Anneth mempunyai karakter yang tidak akan mencari ribut dengan wanita lain hanya karena masalah memperebutkan seorang pria setelah ia tahu Samara menaruh hati pada Savvy dan mengatakan kalau orang tua mereka sudah menjodohkan mereka berdua. Sejujurnya, ia sangat tak ingin berurusan dengan Samara, si wanita angkuh dan suka mencampuri urusan orang itu. Informasi yang didapat dari temannya yang seorang staff Front Office mengatakan Samara sedang mengambil cuti hari itu, jadi beruntunglah dia yang tak harus adu mulut bahkan mungkin adu jotos dulu untuk keluar berdua dengan S
Ponsel menyebalkan! Kalau saja tidak berdering, Savvy akan menceritakan semuanya padaku. Savvy memang berjanji akan menceritakan sebuah rahasia pada Anneth tapi karena ponsel Savvy berdering dan itu merupakan panggilan penting dan darurat, Savvy akhirnya mengurungkan menceritakan rahasia itu. Namun, ia berjanji akan bercerita pada Anneth di lain kesempatan. Anneth hanya bisa menggerutu. "Sungguh mengerikan!" "Apanya ?" "Selebgram pria dibunuh pacarnya sendiri karena belum menepati janjinya untuk menikahi pacarnya." "Berita yang menghebohkan!" "Hey, itu realita dan aku benar - benar serius mengatakannya."
Anneth memindai bagian depan rumah Devaro. Terdapat jalan setapak sempit yang disamping kanan kirinya dipenuhi dengan beragam tanaman dalam pot termasuk tanaman mahal janda bolong ada disana. Ia berdecak kagum saat memperhatikan setiap detail bagian rumah Devaro. Anneth menggeser sliding door setinggi tiga meter yang berupa kaca berlukiskan panda makan bambu dan kayu jati, ia terkesima dengan paduan beton dan kayu yang mengelilingi bagian dalam rumah Devaro. Wallpaper bunga sakura nuansa korea langsung menyambutnya saat Devaro menyuruhnya duduk di sofa ruang tamu. "Kau mau minum apa ?" Anneth terkejut saat mendengar suara Devaro yang menggema tiba - tiba dari sisi mini bar. "Ap
Dengan memakai masker yang dilengkapi penyaring udara, Anneth menatap keindahan gunung, danau kawah yang berwarna tosca, sunrise yang epik sekaligus fenomena api biru yang terpampang nyata di hadapannya. Betapa bersyukurnya Anneth saat melihat berbagai pemandangan itu dan hampir saja ia menitikan air matanya saking bahagianya. Ia menyaksikan puluhan orang yang tertawa girang yang mampu mendaki sampai ke puncak, bahkan yang mendaki berpasangan tampak memeluk mesra pasangannya dengan senyum tersimpul di bibir mereka. Anneth dapat menyaksikan bapak - bapak tua yang menambang belerang dan turun dari puncak gunung dengan memikul 80 - 100 kilo belerang. Asap bau belerang yang mengepul ke langit seketika menyeruak di hidungnya. Anneth merasa kasihan dengan bapak - bapak yang usianya sudah tak lagi muda tapi masih harus menambang belerang dan bertaruh dengan nyawa, kabarnya juga harga belerang itu rendah, jadi mereka hanya membawa pulang uang puluhan ribu saj
TIK… TOK… TIK… TOK… Jam dinding kuno berdetak keras. Anneth terkesiap. Napasnya berderu kencang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Anneth masih saja duduk bertahan di ruang kerjanya seorang diri. KRUK… KRUK… KRUK… Perutnya yang kosong mulai keroncongan. Tak ada makanan atau cemilan yang tersedia di meja kerjanya. GLUK…
Anneth mengangkat jari-jemarinya yang gemetaran dan mulai mengigit-gigit kukunya. Dia tidak mampu lagi menyembunyikan kegelisahannya saat duduk di kursi. Anneth yang baru saja keluar dari ruangan Pak Devisser diselimuti penyesalan. Karena terus didesak Anneth terpaksa berterus terang mengenai pernikahannya dan menjelaskan kondisinya yang sedang hamil pada Pak Devisser dan Savvy. Sekarang Anneth hanya bisa pasrah menanti pengumuman yang akan disampaikan oleh Pak Devisser melalui atasannya Savvy mengenai statusnya di hotel Pandawa. "Akankah Pak Devisser memecatku?" tanya Anneth semakin tak tenang. Sambil memainkan gelang persahabatannya dengan Devaro alias Lea, Anneth memandang keluar melalui jendela kac
Aku akan menghibahkan lukisan anak kecil itu pada orang lain." ucap Savvy. "Apa?! Tapi kenapa?" tanya Anneth. "Rumahku jadi semakin sering mengalami kejadian-kejadian aneh, Ann. Bahkan asisten rumah tanggaku pernah hampir menghabisi nyawanya sendiri dengan pisau karena bisikan-bisikan gaib yang menghantuinya." jawab Savvy. Anneth seketika dibuat tercengang dengan penuturan Savvy. "Temanku yang seorang punya indra keenam pernah melihat keganjilan pada lukisan itu saat bertandang ke rumah. Katanya lukisan itu mengandung unsur dimensi dunia lain yang sulit dicerna dengan akal. Dulu aku juga pernah bilang padamu 'kan, sejak lukisan itu dipajang di dinding, rumahku menjadi semakin angker." lanjutnya.
Tok … tok … tok … Terdengar pintu diketuk, Anneth yang sedang sibuk mencari keberadaan suaminya bergegas melangkah menuju ke depan pintu rumah yang sengaja dirancang secara otomatis dan modern oleh Brandon. Tujuan Brandon merancang pintu sedemikian rupa agar tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumahnya sesuka hati. Alangkah terkejutnya Anneth saat mendapati Brandon pulang dalam keadaan kacau dan berantakan dengan ditemani oleh seorang pria asing. Rupanya, pria asing itu yang mengantar pulang Brandon dengan mobil karena tidak mungkin bagi Brandon menyetir dalam keadaan mabuk. Anneth pun mengucapkan rasa terima kasihnya pada pria asing yang ditemuinya itu. "Syukurlah kau baik-baik saja, Bray." ujar Anneth.
Pernikahan yang diinginkan Anneth akhirnya terjadi meski tanpa restu orang tua Brandon. Pernikahan mereka juga dilakukan dengan tertutup. Meskipun pernikahan yang diinginkan Anneth terwujud tapi pernikahan ini sama sekali bukanlah seperti pernikahan yang selama ini diidam-idamkannya. Hanya segelintir orang yang diundang dalam pernikahan ini, termasuk Devaro (Lea), Naomi dan Sherly. Bahkan, dari awal Brandon sudah mengatakan dengan tegas pada Anneth bahwa tidak akan ada resepsi pernikahan, hanya akad. Bagi Brandon, resepsi yang diadakan meskipun tertutup hanya akan membuat berita pernikahan semakin menyebar dan meluas. Berita pernikahan yang meluas apalagi sampai terdengar ke telinga orangtuanya, tentu akan membuatnya dimarahi habis-habisan. Konsekuensi terberatny
Dua bulan kemudian. "Apa-apaan ini, Ann?! Jelaskan padaku apa yang coba kau sembunyikan?" tanya Savvy dengan suara meninggi sambil menyodorkan sebuah foto pada Anneth di ruang kerjanya. Anneth mengambil foto dari jemari Savvy dengan tangan gemetaran. "Ti-tidak mungkin." gumam Anneth sambil mengernyitkan dahi dan mengatupkan mulut. "Apanya yang tidak mungkin?" tanya Savvy suara meninggi. "Ma-maaf, berikan waktu, aku akan menjelaskannya padamu nanti." jawab Anneth berusaha menghindar dari cercaan Savvy yang haus akan penjelasan. Anneth berdiri di ruang kerjanya sambil terus mengamat
"Oh, maaf, sepertinya aku salah masuk ruangan." ucap pria asing yang masih berdiri tepat di ambang pintu sambil mengedarkan pandang ke segala sisi ruangan termasuk ke sisi lantai yang tampak berantakan karena berkas-berkas yang berjatuhan. "It's ok. Anda sedang mencari siapa, by the way ?" tanya Samara. "Pak Devisser." jawab pria asing itu. "Baiklah, tunggu di luar sebentar, akan kuantarkan kau ke ruangannya." ucap Samara yang dilingkupi rasa malu karena ruangannya yang tampak tak beraturan telah dilihat oleh seseorang. Sambil melangkah mengayunkan kaki menuju ruangan Pak Devisser, Samara terlibat percakapan dengan pria asing yang ditemuinya secara tak sengaja itu.
Sorot mata tajam dan dingin Brandon kini berubah menjadi teduh dengan sepasang bola matanya begitu jernih bak lautan yang bening dan dalam bak samudra. Bola mata itu kini menatap lurus ke arah Anneth. Namun, Anneth masih merasakan aura ketegasan dan penuh kharisma yang seolah tak pernah luntur dari pria itu. "Kita tidak bisa menikah." tandas Brandon. "Apa maksudmu kita tidak bisa menikah, kau t'lah janji akan menikahiku, Brandon." ucap Anneth menimpali. "Papaku tidak menyetujui pernikahan kita, apa kau paham itu, hah?!" seru Brandon. "Lalu apa rencanamu, apa kau akan lepas tangan begitu saja, tidak mau bertanggung jawab atas janin?" tanya An
Anneth tak menyangka Brandon akan meminta menikahinya secepat itu. Bahkan, pria berbadan tegap itu berjanji akan segera membicarakan persoalan ini dengan Papanya dan meminta restunya. Meskipun tak dipungkiri terselip keraguan dalam diri Anneth bahwa rencana ini akan berjalan mulus-mulus saja kedepannya. "Syukurlah kalau Brandon mau bertanggung jawab atas janin ini, tak ada yang perlu dirisaukan." gumamnya. Anneth yang masih bertahan di cafe seorang diri sambil merenung tentang masa depan dikejutkan oleh suara deringan ponsel. "Halo, Anneth, kau ada dimana, apa kau sudah ada di penginapanmu?" tanya Savvy. "Saya masih di cafe J&K, Pak, baru ketemu teman disini." balas Anneth.