"Tidak seperti yang kau pikir, aku baru saja pulang dari olahraga tenis malam, apa kau tidak lihat bajuku ?"
"Ya, tentu saja aku bisa melihatnya tapi kau selalu hadir dalam hidupku. Kenapa ? Apa kau sengaja melakukannya ?"
"Tidak sepenuhnya tapi memang ada benarnya."
"Apa maksudmu ?"
"Ya, aku memang sengaja hadir dalam hidupmu untuk menghantuimu."
"Tidak lucu !"
"Karena aku memang bukan pelawak."
Anneth berusaha mengendalikan nafasnya.
"Siapa kau sebenarnya ? Jawab aku sekarang atau jangan pernah lagi menemui dan mendekatiku."
"Apa kau mengancam ?"
"Iya, anggap saja ini ancaman. Aku tidak pernah mengenalmu dan tiba - tiba saja kau sering datang dalam hidupku seolah kau ini seperti Spiderman yang sok pahlawan."
"Santai, Ann. Akan kujelaskan semuanya tapi kurasa tidak hari ini. Kulihat kau begitu kelelahan. Kuantar kau dengan motorku, bagaimana ?"
"Baiklah. Tolong jawab satu pertanyaanku dulu, siapa itu Lea ? Kenapa kau memberi satu nama yang orangnya bahkan sudah meninggal."
"Akan kujelaskan semuanya, Ann. Tidak ada rahasia diantara kita, kau bisa pegang janjiku tapi tidak hari ini."
"Lalu kapan ? Apa menunggu aku mendapat suatu musibah dulu baru kau datang menemuiku seperti yang selama ini kau lakukan ?"
"Kenapa kau bicara seperti itu ? Minggu depan, aku sendiri yang akan menemuimu. Tunggu saja, aku akan datang."
Mereka berboncengan naik motor Harley milik pria misterius itu dalam suasana hening. Anneth tak tahan dengan keheningan. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan mulai membuka suara.
"Jadi, dimana rumahmu ?"
"Di perumahan area barat."
"Apa sesekali aku boleh mampir ke rumahmu ? Kurasa sekarang kita bisa teman yang baik, kalau kau mau. Kau juga telah sering menolongku."
Wajah Anneth yang lembab berusaha menyingkirkan semua kecurigaaan pada pria misterius tak bernama itu.
"Ya baiklah kalau itu maumu. Kita bisa jadi teman yang baik dan minggu depan kita akan ke rumahku."
"Hari minggu."
"Apa ?"
"Iya, kubilang hari minggu saja kita ke rumahmu. Aku akan mendaftar ke kampus dan perkuliahannya bisa berlangsung kapan saja. Kalau kau mau menjemputku aku sudah berada di Sakura House sesuai brosur yang kau berikan padaku, kalau tidak mau aku bisa naik bus sendiri."
"Baiklah, nona, aku akan menjemputmu. Kurasa ide yang bagus juga jika kita bisa menghabiskan waktu yang panjang bersama."
"Ya, tapi jangan berpikir macam - macam."
Pria misterius itu tertawa terkekeh - kekeh dan untuk pertama kalinya Anneth mendengar suara tawa pria berambut mohawk itu. Harley terus melaju diantara kesunyian malam menuju penginapan Anneth.
Usai membersihkan tubuh di air pancuran, Anneth menyantap nasi dengan lauk dan sayur yang telah dibelinya tadi. Ia sudah menghangatkan sup kacang merah sebelum menghabiskan dengan lahap makanan yang tersedia seperti orang kelaparan. Anneth melanjutkan membereskan barang - barang yang tersisa dan menumpuk kardus - kardus yang masih berserakan kemudian menghabiskan malamnya dengan tidur nyenyak.
Tidakkkk… Tolonggg.... Jangannnnn… Bedebahhh… Sialannnn kaliannn… Terkutuklah kalian semuaaa....
Beragam sumpah serapah dan kata - kata terucap dari mulut Anneth. Dari dalam tubuhnya mengucur deras keringat dan membasahi T- shirt ketatnya. Bibirnya masih saja meracau tak jelas. Adrenalin tubuhnya memacu begitu keras lalu kaku dan menegang.
Beberapa saat kemudian…
Anneth membuka matanya perlahan dengan nafas terengah - engah seolah telah berlari beribu - ribu kilometer jauhnya. Ia mengusap keningnya yang telah basah dengan kedua telapak tangannya lalu menyusuri rambut pendeknya yang tergerai dan terasa lepek karena keringatnya. Suasana kamar yang gelap menambah kesuraman keadaan. Anneth segera menyalakan lampu meja. Ia menatap alarm, jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Setelah merasa sudah mampu mengendalikan diri dan keadaan, ia menarik selimut dari tubuhnya dan bangkit menuju wastafel. Langkahnya goyah dan lunglai. Anneth menatap dirinya di cermin tampak begitu kacau dengan rambut pendeknya yang berantakan. Ia mengambil kuncir di wastafel dan mengikat rambutnya ala kadar. Anneth memutar kran wastafel lalu menguncurlah air darisana. Ia menampung air dengan kedua telapak tangan yang disatukan lalu membasuh mukanya dengan air itu. Anneth mendesah perlahan. Ia merasakan kesegaran mengalir dari tiap tetesan air dan dapat sejenak melupakan mimpi - mimpi buruk yang telah menghantuinya. Anneth mengayunkan pelan kakinya menyusuri lantai berkeramik putih menuju kembali ke ranjangnya. Ia mengambil wadah botol kapsul dari laci, membuka tutupnya lalu menelan dua butir kapsul kemudian meneguk sisa air dalam gelas di meja yang letaknya berdekatan dengan ranjang. Ia menekan tombol off lampu mejanya lalu mencoba membaringkan kembali tubuhnya dan menutup perlahan kedua matanya.
Matahari telah menyingsing saat Anneth membuka jendela kamar. Ia memicingkan mata saat sinar matahari menyinari jendela kamarnya dan mengenai wajah mulusnya. Anneth berbalik badan dan melihat tumpukan kardus dan barang - barang yang sepertinya sudah bersiap untuk menjadi penghuni baru tempat selanjutnya. Ia pun melangkah untuk mengambil handuk di gantungan dan bra serta celana dalam di lemari lalu melanjutkan langkah kakinya menuju kamar mandi sebelum berangkat kerja. Pagi ini tidak tampak ketegangan yang menyelimuti sekujur tubuhnya seperti kemarin malam. Sejenak ia telah melupakan mimpi buruknya meski tak seutuhnya. Anneth tahu sampai kapanpun mimpi buruk itu akan terus menggelayuti dirinya meski ia mencoba melupakannya. Namun, dirinya tahu ia takkan pernah mengubur kejadian yang kembali muncul dalam mimpinya itu. Tak akan pernah. Seumur hidupnya.
Anneth menerima voucher kupon dari Savvy saat bertemu di koridor kamar hotel. Sungguh Anneth tak tahu kenapa atasannya itu begitu baik dengannya. Kupon untuk makan pizza di resto pizza terkenal, sungguh menarik. Anneth tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas pemberian kupon itu, tak mungkin baginya menolak karena rasa sungkan. Sejenak terbesit pikiran di benak Anneth apakah Savvy mempunyai perasaan suka pada dirinya karena kebaikan yang diberikan pada dirinya. Namun, cepat - cepat Anneth menepis pikirannya itu. Mustahil, pikirnya. Savvy pun menghilang di balik pintu ruangannya
Samara mengambil voucher kupon dari jemari Anneth. Ia mengamati kupon itu lalu beralih ke wajah Anneth. Tubuh Anneth jadi kikuk dibuatnya. Senyum mengintimidasi tersungging di bibir Samara.
"Aku benar - benar kehilangan akal. Bisa coba kau jelaskan padaku, kenapa Savvy bisa sebaik itu padamu ? Tertarik padamu ? Apakah itu hal yang sempat terbesit di benakmu ? Hahaha… Jangan konyol, Ann. Savvy berbeda kelas denganmu. Sekalipun dia tidak tertarik padamu tapi kau menyimpan sedikit perasaan suka padanya, kau harus segera menghapus perasaan itu."
"Kenapa ?"
"Karena Savvy akan menikah denganku. Orang tua kami telah menjodohkan kami. Jadi, lupakan semua mimpi - mimpimu untuk menjadi istri pemimpin Hotel Pandawa ini."
Anneth terhanyut sesaat dengan kata - kata yang dilontarkan Samara.
Istri pemimpin hotel ? Bukannya Pemimpin hotel ini Pak Devisser ? Aku bahkan melihat dengan langsung raut muka istrinya atau jangan - jangan maksud Samara adalah Pak Savvy memang benar anak Pak Devisser seperti gosip yang selama ini beredar ? Apakah aku perlu mencari buktinya tapi untuk apa. Meski Savvy memang anak Pak Devisser apa urusannya denganku. Toh, dia juga tidak menyukaiku, dia hanya baik saja padaku dan mungkin semua orang. Titik.
Akhirnya, Anneth telah meninggalkan tempat penginapan lamanya dan sekarang sudah menjadi penghuni baru di salah satu kamar Sakura House. Ia juga telah melakukan pelunasan pada Bu Mona untuk satu bulan menyewa kamar itu, jadi ia tidak memusingkan lagi soal biaya kamar. Anneth juga merasa lebih aman berada disini karena bisa terhindar dari para pria kekar jahat selamanya, mungkin. Ia menganggap mereka telah lenyap dari bumi untuk selamanya. Anneth menganggap area sekitar Sakura House lebih aman dan beruntungnya ia karena letaknya yang terjangkau dari tempat kerjanya di Hotel Pandawa dan kampus, tentu saja. Hari minggu telah berlalu. Anneth hanya bisa mengerahkan segenap kendali diri agar tidak meluapkan emosinya. Pria misterius itu telah mengingkari janjinya.
Anneth akhirnya luluh juga menerima tawaran Savvy untuk pergi keluar bersama. Anneth berusaha menegaskan pada dirinya sendiri bahwa apa yang mereka lakukan bukan kencan, hanya pengenalan mendalam sebagai atasan dan bawahan, tidak lebih. Ia hanya berusaha membatasi hubungannya dengan Savvy. Lagipula, Anneth mempunyai karakter yang tidak akan mencari ribut dengan wanita lain hanya karena masalah memperebutkan seorang pria setelah ia tahu Samara menaruh hati pada Savvy dan mengatakan kalau orang tua mereka sudah menjodohkan mereka berdua. Sejujurnya, ia sangat tak ingin berurusan dengan Samara, si wanita angkuh dan suka mencampuri urusan orang itu. Informasi yang didapat dari temannya yang seorang staff Front Office mengatakan Samara sedang mengambil cuti hari itu, jadi beruntunglah dia yang tak harus adu mulut bahkan mungkin adu jotos dulu untuk keluar berdua dengan S
Ponsel menyebalkan! Kalau saja tidak berdering, Savvy akan menceritakan semuanya padaku. Savvy memang berjanji akan menceritakan sebuah rahasia pada Anneth tapi karena ponsel Savvy berdering dan itu merupakan panggilan penting dan darurat, Savvy akhirnya mengurungkan menceritakan rahasia itu. Namun, ia berjanji akan bercerita pada Anneth di lain kesempatan. Anneth hanya bisa menggerutu. "Sungguh mengerikan!" "Apanya ?" "Selebgram pria dibunuh pacarnya sendiri karena belum menepati janjinya untuk menikahi pacarnya." "Berita yang menghebohkan!" "Hey, itu realita dan aku benar - benar serius mengatakannya."
Anneth memindai bagian depan rumah Devaro. Terdapat jalan setapak sempit yang disamping kanan kirinya dipenuhi dengan beragam tanaman dalam pot termasuk tanaman mahal janda bolong ada disana. Ia berdecak kagum saat memperhatikan setiap detail bagian rumah Devaro. Anneth menggeser sliding door setinggi tiga meter yang berupa kaca berlukiskan panda makan bambu dan kayu jati, ia terkesima dengan paduan beton dan kayu yang mengelilingi bagian dalam rumah Devaro. Wallpaper bunga sakura nuansa korea langsung menyambutnya saat Devaro menyuruhnya duduk di sofa ruang tamu. "Kau mau minum apa ?" Anneth terkejut saat mendengar suara Devaro yang menggema tiba - tiba dari sisi mini bar. "Ap
Dengan memakai masker yang dilengkapi penyaring udara, Anneth menatap keindahan gunung, danau kawah yang berwarna tosca, sunrise yang epik sekaligus fenomena api biru yang terpampang nyata di hadapannya. Betapa bersyukurnya Anneth saat melihat berbagai pemandangan itu dan hampir saja ia menitikan air matanya saking bahagianya. Ia menyaksikan puluhan orang yang tertawa girang yang mampu mendaki sampai ke puncak, bahkan yang mendaki berpasangan tampak memeluk mesra pasangannya dengan senyum tersimpul di bibir mereka. Anneth dapat menyaksikan bapak - bapak tua yang menambang belerang dan turun dari puncak gunung dengan memikul 80 - 100 kilo belerang. Asap bau belerang yang mengepul ke langit seketika menyeruak di hidungnya. Anneth merasa kasihan dengan bapak - bapak yang usianya sudah tak lagi muda tapi masih harus menambang belerang dan bertaruh dengan nyawa, kabarnya juga harga belerang itu rendah, jadi mereka hanya membawa pulang uang puluhan ribu saj
Liburan telah berakhir, Anneth dan yang lainnya sudah akan bergelut lagi dengan tugas dan aktivitas menjemukan lainnya. Anneth merasa sangat puas dengan pendakian gunung yang telah ia lewati, tak terkecuali dengan pemandangan pantai Bama nan indah. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan mendaki gunung lagi suatu hari nanti. "Kau terlihat sangat menikmati pendakian, Ann." "Ya, rasanya sudah seabad aku tak mendaki gunung. Kau juga terlihat sama menikmatinya." "Benar tapi kakiku kram semua, Ann. Tubuhku pegal-pegal. Mungkin aku akan berpikir-pikir lagi jika diajak naik gunung lain kali." Anneth tertawa mendengar pernyataan sahabatnya itu.
Anneth mondar-mandir berpuluh-puluh kali menyisakan aus bekas langkah kakinya di lantai kamar. Kepalanya jadi terasa pening akibat keseringan mondar-mandir. Sampai di suatu titik, Anneth kelelahan dan memutuskan untuk duduk bersandar di kursi dengan menautkan kedua tangannya di belakang kepala. Ia merasakan seakan-akan jiwanya melayang-layang di luar tubuhnya begitu pula dengan pikirannya. Mengingat kembali lukisan yang telah ditawar sampai akhirnya dimiliki Savvy di balai lelang, membuat perutnya mual. Lukisan kuno bergambar bocah laki-laki duduk menangis di halaman berumput dengan pakaian coklat gelap bergaris hitam khas pakaian jawa kuno, bawahan jarik berlurik warna coklat yang lebih gelap dari pakaiannya dan beskap batik di kepala dengan latar belakang rumah tua besar yang bangunannya berpondasi kayu. Savvy mengatakan ke Anneth kalau ia sengaja datang ke balai lelang itu karena ingin m
Membaca novel atau sekedar mendengarkan musik melalui earphone sambil duduk di tempat duduk yang dibuat melingkar menghadap tanah lapang kosong yang biasanya dibuat untuk upacara saat peringatan 17 agustusan atau saat atraksi musik anak-anak jalanan dengan berbagai alat musik yang dibawanya maupun untuk acara lainnya, Anneth terlihat sangat menikmati aktivitas sederhana itu. Ia menghirup dalam-dalam oksigen di tengah taman kota yang dipenuhi pepohonan dan berbagai tanaman. Ia mengedarkan pandangan, tampak anak-anak yang sedang bermain di arena khusus permainan anak-anak, ada yang sedang bermain ayunan, perosotan, berenang di kolam kecil yang disediakan maupun permainan lainnya yang disediakan termasuk area khusus pesepeda. Ia tersenyum menyaksikan berbagai pemandangan atraktif nan indah itu. Anneth juga memandang lansia yang duduk santai menikmati lanskap taman dan berbagai kegiatan yang tersaji.