Membaca novel atau sekedar mendengarkan musik melalui earphone sambil duduk di tempat duduk yang dibuat melingkar menghadap tanah lapang kosong yang biasanya dibuat untuk upacara saat peringatan 17 agustusan atau saat atraksi musik anak-anak jalanan dengan berbagai alat musik yang dibawanya maupun untuk acara lainnya, Anneth terlihat sangat menikmati aktivitas sederhana itu. Ia menghirup dalam-dalam oksigen di tengah taman kota yang dipenuhi pepohonan dan berbagai tanaman. Ia mengedarkan pandangan, tampak anak-anak yang sedang bermain di arena khusus permainan anak-anak, ada yang sedang bermain ayunan, perosotan, berenang di kolam kecil yang disediakan maupun permainan lainnya yang disediakan termasuk area khusus pesepeda. Ia tersenyum menyaksikan berbagai pemandangan atraktif nan indah itu. Anneth juga memandang lansia yang duduk santai menikmati lanskap taman dan berbagai kegiatan yang tersaji.
Kulit muka Anneth terlipat diantara kerutan sarung bantal kucel. Rambutnya tertumpuk di sisi kanan karena ia tidur tertelungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri, tangannya tersiku di bawah bantal. Ia terpilin masuk ke dalam lipatan sprei corak bunga tempat tubuhnya terbaring. Alarm berdering kencang. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, mulut asamnya, rambut berdiri liar dan acak-acakan serta muka tercetak kerut sprei Anneth terbangun terjingkat dan hampir saja terjatuh terjerembab ke lantai jika ia tak segera menggenggam ujung tempat tidurnya dengan kuat. Mulutnya menguap lebar-lebar. Anneth sungguh masih mengantuk usai semalam begadang. Matanya terlihat cekung. Semalam ia masih terus memikirkan mengenai lukisan kuno itu dan pria asing yang tak dikenalnya tapi telah masuk ke dalam kehidupannya sekarang. Pria asing? Bukan wanita asing yang telah merasuki tu
Anneth sedari tadi hanya mengaduk-aduk mie yang tersaji di depannya dengan enggan. Tatapan matanya tampak kosong tapi tidak pikirannya. Sejenak ia menyeruput sedikit es jeruk di hadapannya. Kemudian terbayang kembali peristiwa yang tadi siang terjadi di hotel saat istirahat makan siang berlangsung kala Naomi mengelus dengan lembut punggung tangan Anneth yang dibalut kasa. Anneth masih terdiam seakan lidahnya kelu saat Naomi menanyakan perihal kejadian apa yang menimpa sahabatnya itu sampai tangannya harus diperban. Naomi tidak memaksanya untuk bercerita, ia hanya merasa iba dengan kondisi Anneth dan perilakunya yang tak seceria biasanya. Di saat ruangan riuh mengomentari hasil rapat yang baru saja terjadi, ia sebenarnya malah ingin kabur lalu menyendiri duduk di pojokan kamar seperti kebiasaannya saat remaja ketika kesedihan melanda dirinya. Naomi menatap mata Anneth yang berkaca-kaca lalu mengelus pundak Anneth. Semakin orang lain merasa iba pada dir
Sherly kali ini bertingkah agak berbeda dibanding sebelumnya, perasaan itulah yang dirasakan Anneth tatkala mereka berada di mall. Secara tak sengaja mereka berpapasan dengan Devaro saat memesan minuman boba yang sedang hits di salah satu stand penjual. Mereka saling menyapa dan tak ada perkenalan lagi karena Sherly dan Devaro sudah saling mengenal sekilas sebelumnya. Anneth melihat pipi Sherly merona, mudah menebar senyuman dan tampak salah tingkah dihadapan Devaro. Ada apa dengan Sherly? Kenapa ia bertingkah tidak sewajarnya seakan bukan dirinya yang kukenal selama ini, benak Anneth. Anneth berpikir keras dan langsung menutup mulutnya dengan jemari saat perlahan ia mulai menyadari dan dapat mengartikan tingkah yang ditunjukkan oleh s
Sherly kali ini bertingkah agak berbeda dibanding sebelumnya, perasaan itulah yang dirasakan Anneth tatkala mereka berada di mall. Secara tak sengaja mereka berpapasan dengan Devaro saat memesan minuman boba yang sedang hits di salah satu stand penjual. Mereka saling menyapa dan tak ada perkenalan lagi karena Sherly dan Devaro sudah saling mengenal sekilas sebelumnya. Anneth melihat pipi Sherly merona, mudah menebar senyuman dan tampak salah tingkah dihadapan Devaro. Ada apa dengan Sherly? Kenapa ia bertingkah tidak sewajarnya seakan bukan dirinya yang kukenal selama ini, benak Anneth. Anneth berpikir keras dan langsung menutup mulutnya dengan jemari saat perlahan ia mulai menyadari dan dapat mengartikan tingkah yang ditunjukkan oleh s
Rahang Anneth sakit akibat kebiasaan buruknya menggertakkan gigi jika sedang gugup. Penyebab kegugupannya saat ini ialah ia menjadi salah satu staf terpilih yang akan menyaksikan langsung prosesi pelantikan Savvy sebagai Direktur baru Hotel Pandawa. Sebenarnya, alasan terpilihnya ia di acara itu bukan karena ia merupakan staff istimewa, melainkan hotel harus tetap beroperasi dan beraktivitas seperti biasanya. Ballroom besar yang biasanya dipakai untuk acara pernikahan dan pesta meriah menjadi saksi bisu acara pelantikan nantinya. Ruangan itu sudah disetting sedemikian rupa sehingga tampak tak berbeda jauh seperti ruangan untuk acara pemberian penghargaan untuk insan film, musik dan acara entertain lainnya. Layar besar sudah dipersiapkan untuk mengantisipasi penonton di kursi bagian belakang tak bisa melihat secara jelas. Kursi-kursi diatur berjejer rapi dan berbaris-baris mirip pasuka
Sherly memberikan informasi mengenai jadwal donor darah yang akan dilaksanakan di sebuah mall area selatan pada Anneth. Sebenarnya, Sherly tidak terlalu tertarik dengan acara donor darahnya tapi kegiatan berburu barang idaman di mall-lah yang menjadi incarannya, tak bisa dipungkiri. Anneth mengangguk setuju saja menanggapi tawaran Sherly, apalagi di poster itu juga tercantum pemberian sembako dan T-Shirt bagi pendonor yang berhasil mendonorkan darahnya. Sebagai perantau, tentu Anneth tak bisa melewatkan kesempatan itu. Siapa yang tak tertarik dengan pemberian sembako yang isinya cukup banyak, 5 kg beras, minyak, gula, mie dan barang lainnya, terkecuali Sherly, tentu saja. Aku bisa menghemat uangku dan menggunakannya untuk keperluan lain jika mendapatkan sembako itu, benaknya. Di hari-H, Sherly sudah keluar dari ked
Anneth berdiri gelisah di bawah pohon besar rindang tepatnya di seberang sebuah klinik yang ditunjukkan Devaro. Sebuah papan nama besar tertempel di dinding bagian depan klinik itu "Klinik dan Lab Medika Center". Ia ragu memasuki klinik yang letaknya di kanan jalan itu. Sekalipun ia memutuskan untuk masuk ke dalamnya, ia tak tahu apa yang diperbuatnya disana. Anneth menggigit-gigit ujung kuku telunjuknya, kebiasaan lainnya jika dalam kondisi gugup. "Tolong, Anneth hanya kaulah yang bisa kuandalkan untuk membantuku." Kalimat itu terus mendengung kencang di telinganya. Di satu sisi dirinya tak mungkin mengabaikan permintaan tolong Devaro. Devaro kini telah menjadi sahabatnya karena gelang persahabatan darinya telah melingkar di pergelangan tang
"Apa yang terjadi benar-benar di luar nalarku, Ann." ujar Savvy gemetar. Masih terngiang di benak Anneth kala Savvy mengulangi perkataannya. Savvy mengatakan padanya, beberapa waktu berlalu setelah lukisan kuno berada di kediamannya dan tergantung di dinding ruang tamu, hal-hal ganjil dan di luar nalar kerap terjadi. Apa mungkin penyebab hal-hal ganjil yang terjadi di rumahnya karena lukisan itu? Namun, Savvy belum mengetahui secara gamblang sejarah lukisan itu. Aku juga belum bisa memberitahukannya saat ini, kurasa bukan saat yang tepat, benak Anneth. Anneth mengingat perkataan Savvy sebelumnya, sejak lukisan itu terpajang sempurna menghadap lukisan kapal pesiar yang letaknya di dinding seberang, rumahnya seakan berjalan tak normal seperti biasanya. Asi
TIK… TOK… TIK… TOK… Jam dinding kuno berdetak keras. Anneth terkesiap. Napasnya berderu kencang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Anneth masih saja duduk bertahan di ruang kerjanya seorang diri. KRUK… KRUK… KRUK… Perutnya yang kosong mulai keroncongan. Tak ada makanan atau cemilan yang tersedia di meja kerjanya. GLUK…
Anneth mengangkat jari-jemarinya yang gemetaran dan mulai mengigit-gigit kukunya. Dia tidak mampu lagi menyembunyikan kegelisahannya saat duduk di kursi. Anneth yang baru saja keluar dari ruangan Pak Devisser diselimuti penyesalan. Karena terus didesak Anneth terpaksa berterus terang mengenai pernikahannya dan menjelaskan kondisinya yang sedang hamil pada Pak Devisser dan Savvy. Sekarang Anneth hanya bisa pasrah menanti pengumuman yang akan disampaikan oleh Pak Devisser melalui atasannya Savvy mengenai statusnya di hotel Pandawa. "Akankah Pak Devisser memecatku?" tanya Anneth semakin tak tenang. Sambil memainkan gelang persahabatannya dengan Devaro alias Lea, Anneth memandang keluar melalui jendela kac
Aku akan menghibahkan lukisan anak kecil itu pada orang lain." ucap Savvy. "Apa?! Tapi kenapa?" tanya Anneth. "Rumahku jadi semakin sering mengalami kejadian-kejadian aneh, Ann. Bahkan asisten rumah tanggaku pernah hampir menghabisi nyawanya sendiri dengan pisau karena bisikan-bisikan gaib yang menghantuinya." jawab Savvy. Anneth seketika dibuat tercengang dengan penuturan Savvy. "Temanku yang seorang punya indra keenam pernah melihat keganjilan pada lukisan itu saat bertandang ke rumah. Katanya lukisan itu mengandung unsur dimensi dunia lain yang sulit dicerna dengan akal. Dulu aku juga pernah bilang padamu 'kan, sejak lukisan itu dipajang di dinding, rumahku menjadi semakin angker." lanjutnya.
Tok … tok … tok … Terdengar pintu diketuk, Anneth yang sedang sibuk mencari keberadaan suaminya bergegas melangkah menuju ke depan pintu rumah yang sengaja dirancang secara otomatis dan modern oleh Brandon. Tujuan Brandon merancang pintu sedemikian rupa agar tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumahnya sesuka hati. Alangkah terkejutnya Anneth saat mendapati Brandon pulang dalam keadaan kacau dan berantakan dengan ditemani oleh seorang pria asing. Rupanya, pria asing itu yang mengantar pulang Brandon dengan mobil karena tidak mungkin bagi Brandon menyetir dalam keadaan mabuk. Anneth pun mengucapkan rasa terima kasihnya pada pria asing yang ditemuinya itu. "Syukurlah kau baik-baik saja, Bray." ujar Anneth.
Pernikahan yang diinginkan Anneth akhirnya terjadi meski tanpa restu orang tua Brandon. Pernikahan mereka juga dilakukan dengan tertutup. Meskipun pernikahan yang diinginkan Anneth terwujud tapi pernikahan ini sama sekali bukanlah seperti pernikahan yang selama ini diidam-idamkannya. Hanya segelintir orang yang diundang dalam pernikahan ini, termasuk Devaro (Lea), Naomi dan Sherly. Bahkan, dari awal Brandon sudah mengatakan dengan tegas pada Anneth bahwa tidak akan ada resepsi pernikahan, hanya akad. Bagi Brandon, resepsi yang diadakan meskipun tertutup hanya akan membuat berita pernikahan semakin menyebar dan meluas. Berita pernikahan yang meluas apalagi sampai terdengar ke telinga orangtuanya, tentu akan membuatnya dimarahi habis-habisan. Konsekuensi terberatny
Dua bulan kemudian. "Apa-apaan ini, Ann?! Jelaskan padaku apa yang coba kau sembunyikan?" tanya Savvy dengan suara meninggi sambil menyodorkan sebuah foto pada Anneth di ruang kerjanya. Anneth mengambil foto dari jemari Savvy dengan tangan gemetaran. "Ti-tidak mungkin." gumam Anneth sambil mengernyitkan dahi dan mengatupkan mulut. "Apanya yang tidak mungkin?" tanya Savvy suara meninggi. "Ma-maaf, berikan waktu, aku akan menjelaskannya padamu nanti." jawab Anneth berusaha menghindar dari cercaan Savvy yang haus akan penjelasan. Anneth berdiri di ruang kerjanya sambil terus mengamat
"Oh, maaf, sepertinya aku salah masuk ruangan." ucap pria asing yang masih berdiri tepat di ambang pintu sambil mengedarkan pandang ke segala sisi ruangan termasuk ke sisi lantai yang tampak berantakan karena berkas-berkas yang berjatuhan. "It's ok. Anda sedang mencari siapa, by the way ?" tanya Samara. "Pak Devisser." jawab pria asing itu. "Baiklah, tunggu di luar sebentar, akan kuantarkan kau ke ruangannya." ucap Samara yang dilingkupi rasa malu karena ruangannya yang tampak tak beraturan telah dilihat oleh seseorang. Sambil melangkah mengayunkan kaki menuju ruangan Pak Devisser, Samara terlibat percakapan dengan pria asing yang ditemuinya secara tak sengaja itu.
Sorot mata tajam dan dingin Brandon kini berubah menjadi teduh dengan sepasang bola matanya begitu jernih bak lautan yang bening dan dalam bak samudra. Bola mata itu kini menatap lurus ke arah Anneth. Namun, Anneth masih merasakan aura ketegasan dan penuh kharisma yang seolah tak pernah luntur dari pria itu. "Kita tidak bisa menikah." tandas Brandon. "Apa maksudmu kita tidak bisa menikah, kau t'lah janji akan menikahiku, Brandon." ucap Anneth menimpali. "Papaku tidak menyetujui pernikahan kita, apa kau paham itu, hah?!" seru Brandon. "Lalu apa rencanamu, apa kau akan lepas tangan begitu saja, tidak mau bertanggung jawab atas janin?" tanya An
Anneth tak menyangka Brandon akan meminta menikahinya secepat itu. Bahkan, pria berbadan tegap itu berjanji akan segera membicarakan persoalan ini dengan Papanya dan meminta restunya. Meskipun tak dipungkiri terselip keraguan dalam diri Anneth bahwa rencana ini akan berjalan mulus-mulus saja kedepannya. "Syukurlah kalau Brandon mau bertanggung jawab atas janin ini, tak ada yang perlu dirisaukan." gumamnya. Anneth yang masih bertahan di cafe seorang diri sambil merenung tentang masa depan dikejutkan oleh suara deringan ponsel. "Halo, Anneth, kau ada dimana, apa kau sudah ada di penginapanmu?" tanya Savvy. "Saya masih di cafe J&K, Pak, baru ketemu teman disini." balas Anneth.