Sherly memberikan informasi mengenai jadwal donor darah yang akan dilaksanakan di sebuah mall area selatan pada Anneth. Sebenarnya, Sherly tidak terlalu tertarik dengan acara donor darahnya tapi kegiatan berburu barang idaman di mall-lah yang menjadi incarannya, tak bisa dipungkiri. Anneth mengangguk setuju saja menanggapi tawaran Sherly, apalagi di poster itu juga tercantum pemberian sembako dan T-Shirt bagi pendonor yang berhasil mendonorkan darahnya. Sebagai perantau, tentu Anneth tak bisa melewatkan kesempatan itu.
Siapa yang tak tertarik dengan pemberian sembako yang isinya cukup banyak, 5 kg beras, minyak, gula, mie dan barang lainnya, terkecuali Sherly, tentu saja. Aku bisa menghemat uangku dan menggunakannya untuk keperluan lain jika mendapatkan sembako itu, benaknya.
Di hari-H, Sherly sudah keluar dari ked
Anneth berdiri gelisah di bawah pohon besar rindang tepatnya di seberang sebuah klinik yang ditunjukkan Devaro. Sebuah papan nama besar tertempel di dinding bagian depan klinik itu "Klinik dan Lab Medika Center". Ia ragu memasuki klinik yang letaknya di kanan jalan itu. Sekalipun ia memutuskan untuk masuk ke dalamnya, ia tak tahu apa yang diperbuatnya disana. Anneth menggigit-gigit ujung kuku telunjuknya, kebiasaan lainnya jika dalam kondisi gugup. "Tolong, Anneth hanya kaulah yang bisa kuandalkan untuk membantuku." Kalimat itu terus mendengung kencang di telinganya. Di satu sisi dirinya tak mungkin mengabaikan permintaan tolong Devaro. Devaro kini telah menjadi sahabatnya karena gelang persahabatan darinya telah melingkar di pergelangan tang
"Apa yang terjadi benar-benar di luar nalarku, Ann." ujar Savvy gemetar. Masih terngiang di benak Anneth kala Savvy mengulangi perkataannya. Savvy mengatakan padanya, beberapa waktu berlalu setelah lukisan kuno berada di kediamannya dan tergantung di dinding ruang tamu, hal-hal ganjil dan di luar nalar kerap terjadi. Apa mungkin penyebab hal-hal ganjil yang terjadi di rumahnya karena lukisan itu? Namun, Savvy belum mengetahui secara gamblang sejarah lukisan itu. Aku juga belum bisa memberitahukannya saat ini, kurasa bukan saat yang tepat, benak Anneth. Anneth mengingat perkataan Savvy sebelumnya, sejak lukisan itu terpajang sempurna menghadap lukisan kapal pesiar yang letaknya di dinding seberang, rumahnya seakan berjalan tak normal seperti biasanya. Asi
Anneth duduk berdua dengan Devaro di sebuah cafe bertemakan dua dimensi, seluruh interior dan perabotan kulinernya hanya berbalut dua warna yakni hitam dan putih. Mereka berdua mengobrol dan menghabiskan malam di hari sabtu yang seakan sudah menjadi kebiasaan baru sejak Anneth mengenal Devaro. Mereka membahas topik apapun tanpa batas dan cekikikan tanpa rasa sungkan atau malu saat menceritakan kejadian lucu bahkan saat melihat peristiwa lucu yang tak sengaja tertangkap mata saat di area. "Anneth." Panggilan nama itu seakan menghipnotis dirinya. Seketika ia menghentikan obrolannya dengan Devaro dan mendongak. "Varo, ayo cepat kita pergi dari tempat ini." "Tunggu, Ann, kenapa kau terus menghindariku.
Di teras depan penginapan, Anneth membayangkan kembali kejadian yang baru saja dialaminya. Karena terbakar rasa ingin tahu, ia telah membuang waktunya dengan menemui Brandon. Brandon kembali dalam kehidupan Anneth untuk membahas masalah pribadi mereka, masalah percintaan. Bagi Anneth, sebenarnya ia sudah mengubur masa lalunya bersama Brandon sejak pria maskulin itu memilih meninggalkannya. Momen pertemuan kembali dengan Brandon seketika membuat jantungnya berdebar di balik tulang rusuk. Degupnya bertalu-talu sampai terdengar ke telinganya. Sama seperti dulu kala, ia masih merasa terintimidasi setiap kali bertatapan dengan Brandon. Mata coklat yang menyala-nyala tapi memesona, rambut lurus yang halus berkilauan, bahu yang semakin bidang dan berotot, tulang rahang wajah yang keras dan bidang serta aroma tubuhnya yang lembut dan eksklusif telah berhasil memacu adrenalinenya. Anneth merasakan semakin bertambah umur, pria yang duduk di hadapannya ini, sema
Anneth akhirnya mendapat jawaban atas pertanyaan beberapa tahun silam yang menyelimuti hatinya. Alasan dibalik kepergian dan kehilangan sosok yang dikaguminya dan pernah mengisi relung hatinya yang kosong. Dengan aksen bahasa asing yang masih kental, Brandon menyingkap tabir rahasia kepergiannya meninggalkan Anneth kala masih menjadi kekasihnya. Perempuan lain yang tak lain adalah mantannya merupakan penyebabnya menghilangnya ia dalam kehidupan Anneth secara tiba-tiba. Bukan alasan kecantikan fisik yang membuat hati dan pandangannya teralihkan tapi karena perasaan kasih sayang yang belum sempat tercurahkan sepenuhnya. Sejak orang tua kekasihnya melarang keras Brandon menemui mantannya yang disebabkan Brandon yang masih suka mabuk-mabukan, berpesta hingga pernah terpergok mengkonsumsi narkoba hingga sempat direhabilitasi, maka hubungan asmara Brandon dan kekasihnya pun kandas. Rasa sakit hati karena perkataan orangtua kekasihnya yang menyudutkan diriny
"Hey, lihat, mereka berkerumun." "Ya, tanpa kau bilang, aku sudah melihatnya." "It's cool, Ann." Anneth mengangkat alisnya tinggi dan menatap Sherly dengan tatapan aneh, seolah ia selalu bersikap antusias dimanapun berada. "Aku haus, mau beli minuman, apa kau mau juga?" "Yeah, ide yang bagus, Ann." Anneth mengayunkan kakinya menuju tempat penjual minuman. Ia mengambil satu botol minuman ber-ion, satu botol minuman cola dan dua kotak minuman teh. Usai melakukan transaksi, ia duduk di salah sat
Anneth menghirup dalam-dalam aroma therapy yang berhembus keluar dari lilin yang telah dinyalakannya. Aroma khas cendana membuat otot dan sarafnya yang semula menegang menjadi rileks. Otot dan sarafnya yang menegang salah satunya diakibatkan oleh beban pekerjaannya saat ini. Beban pekerjaan Anneth yang semula ringan karena menjadi room maid telah berubah drastis berkali-kali lipat sejak Savvy mengangkatnya sebagai Sekretaris. Keadaan memaksanya untuk bisa cepat belajar, cepat beradaptasi dengan lingkungan baru dan pekerjaan baru serta mempunyai inisiatif. Kadangkala Anneth merindukan pekerjaan lamanya sebagai room maid yang hanya membersihkan kamar, toilet, mengganti linen, menyapu, mengepel dan sederet tugas lainnya. Ia hanya menuruti perintah atasan atau tamu hotel tanpa membutu
Di depan gerbang Sakura House, mobil berwarna merah milik pria tampan yang tak asing bagi Anneth terpampang di hadapannya. Mobil sport warna mencolok dengan atap terbuka yang dapat memperlihatkan sang pengemudinya, belum menarik minat Anneth untuk sekedar meliriknya lebih lama, mendekatinya atau bahkan menyapa pengemudinya dengan ucapan "Selamat Pagi". Dengan kemeja kerja dan bawahan rok gelap selutut serta tas yang disampirkan di bahu, Anneth terus melangkahkan kaki tanpa menghiraukan sedikitpun mobil sport merah yang melintas perlahan disampingnya ataupun pengemudinya. Mobil sport itu terus mengikuti arah gerakan kaki Anneth. "Masuklah, jangan sungkan, kau bisa terlambat." Anneth tetap tak bergeming. Ia terus mengayunkan kakinya. Namun, tiba-tiba apa yang tak diharapkannya perlahan terjadi. Gerimis mulai turun dari atas langit.