"Kau sudah dengar, Pak Savvy berkencan dengan Samara, Asmen FO itu sepulang kantor ?", cetus Naomi.
"Belum, memangnya kenapa kalau mereka berkencan, apa kau cemburu ?"
"Tentu saja tidak. Hanya saja betapa beruntungnya dia, baru masuk kantor hari pertama langsung diajak nonton konser dan ke restoran dengan Pak Savvy. Aku tidak bisa membayangkan kalau Pak Savvy benar anak Pak Devisser, aku pasti langsung bertekuk lutut di hadapannya."
Uhuuukkk…
"Hey, Ann, kau tersedak, ada apa ? cepat minum ini."
"Tidak ada apa - apa. Terima kasih."
Anneth terkejut sampai tersedak ketika tahu wanita berambut coklat yang kemarin ditemuinya dua kali itu adalah benar Samara, Asmen FO. Perkenalan yang sangat buruk untuk anggota hotel baru, pikirnya. Namun, dia sangat tidak menyukai sikap Samara saat merendahkan dirinya di hadapan Savvy, seolah ia tak punya harga diri.
Setelah urung mengajakku dia mengajak Samara ke konser dilanjutkan kencan, ah, benar - benar pasangan yang serasi.
Naomi tampak menegakkan tubuhnya, "Jadi, kapan kau akan pindah ke kamar barumu, Ann ?"
"Kemungkinan lusa. Hari ini aku akan lanjut mengemasi barang - barangku dan mengepak kardus - kardus."
"Apa kau perlu bantuanku, Ann ?"
"Tidak, Naomi, aku bisa melakukannya sendiri, kok. Lagipula aku sudah sewa pick-up untuk membawa semua barangku."
"Ya, sudah kalau begitu."
Anneth menunjukkan kertas sobekan pada Naomi. "Lihat ini."
"Apa maksudnya, Ann ? Kau menyuruhku mencari tahu mengenai kampus ini ?"
"Tidak, kau salah. Aku berencana untuk mendaftar ke kampus ini. Waktu pulang dari Sakura House kemarin, aku melihat gedung kampus ini, terlihat sangat besar dan menjulang. Aku sungguh tertarik untuk menjadi mahasiswa disana. Aku ingin kau mendaftar disana juga, kita bisa jadi mahasiswa kampus itu. Menarik bukan ?"
"Ah, tidak, Ann. Kurasa aku tidak bisa melakukannya."
"Kenapa, Naomi ? Apa ada masalah ?"
"Ya, aku harus membantu ibu dan adik - adikku. Aku tidak mungkin bisa melanjutkan kuliah, Ann. Ibuku malah berniat menikahkan aku dengan anak Tuan Tanah karena ayahku berhutang dengannya sebelum meninggal. Hutang hanya bisa dihapus jika aku menikah menikah dengan anaknya, itu kata ibuku. Dia rentenir. Ayahku dulu suka berjudi dan menyetujui ketika Tuan Tanah itu menawarkan pinjaman padanya. Sungguh memalukan."
"Tapi itu tidak boleh terjadi, Naomi. Ibumu tidak bisa memaksamu menikah dengan anak Tuan Tanah itu kalau kau tidak mencintainya."
"Apa dayaku, Ann. Hutang yang ditinggalkan ayahku begitu besar. Hutang pokok belum bunga - bunganya. Gajiku disini hanya cukup untuk menghidupi aku dan keluargaku. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana dengan masa depan adik - adikku."
"Apa ada pria yang kau cintai ?"
"Ann, kemana arah pembicaraan kita kali ini ?"
"Tidak, hanya saja aku berpikir, jika saat ini kau punya kekasih yang kau cintai, kau seharusnya mengatakan masalahmu ini padanya, mungkin saja dia bisa memberi jalan keluar bahkan mungkin membantumu."
"Kurasa itu juga tidak mungkin, Ann. Kondisi pacarku tak berbeda jauh dariku secara finansial. Aku sangat tahu latar belakang keluarganya, sepertinya aku tidak bisa mengharapkannya."
"Jadi, kau tidak punya rencana lain selain menyetujui pernikahan itu ? Bagaimana kalau kabur saja ?"
"Apa kau gila ? Kemana tujuanku jika aku kabur Ann ?"
Anneth mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku juga tak tahu, Naomi."
Anneth menghela nafas panjang.
"Lalu bagaimana denganmu, apa kau sudah punya kekasih ?"
Anneth mengernyitkan keningnya. "Kenapa jadi beralih topik ? Tentu saja aku tidak punya, aku tidak pernah memikirkan mengenai percintaan. Bagiku hubungan percintaan hanyalah omong kosong."
"Kuharap kau tidak benar - benar mengatakannya, Ann."
Anneth menyibukkan dirinya dengan membersihkan toilet di kamar hotel. Samar - samar terdengar suara kaki melangkah dari ambang pintu kamar hotel dan kemudian berhenti.
"Annethhhh…"
Dengan was - was, Anneth segera keluar dari toilet seakan ruangan itu merupakan tempat persembunyiannya dari para penyihir jahat.
"Pak Savvy ? Ada apa ya Pak ?"
"Tidak. Sebenarnya bukan urusan yang terlalu penting juga bukan urusan pekerjaan, hanya saja aku ingin menebus ajakanku yang kemarin berantakan. Kau tau kemarin Samara tiba - tiba datang dan mengacaukan segalanya."
"Ya, Pak, saya tau dan saya juga masih belum bisa menerima ajakan Pak Savvy karena hari ini saya harus mengemasi semua barang - barang saya sebelum pindah besok."
"Kupikir karena kau marah dengan kejadian kemarin."
"Ya, saya seharusnya marah pada perkataan Miss Samara tapi saya sudah melupakan kejadian itu. Saya tidak ingin mengingatkannya lagi."
"Jadi apakah lusa kita akan pergi ?"
"Saya belum bisa memutuskan, Pak. Lagipula hmm…"
"Kenapa, Ann ? Lanjutkan saja."
"Maaf, tapi gosip beredar yang saya dengar, Pak Savvy berkencan dengan Miss Samara. Saya rasa tidak ingin merusak hubungan itu."
"Tidak, tidak seperti yang kau pikir, itu hanya makan malam perkenalan karena dia telah menjadi anggota baru di hotel ini, kamu tau itu kan ? Saya hanya ingin memberikannya kesan yang baik di hari pertamanya kerja, itu saja, tidak lebih."
"Lalu apa alasannya Pak Savvy mengajak saya pergi keluar lagi ?"
"Hmm… itu karena saya ingin mengenalmu dengan lebih baik saja, sebagai bawahan saya tentunya."
"Baiklah, Pak, tapi tidak hari ini."
"Tidak masalah, kita bisa atur ulang jadwalnya."
Anneth mampir ke sebuah kedai untuk membeli lauk makan malamnya. Cukup antri karena memang kedai itu mempunyai banyak pelanggan apalagi jika sudah memasuki jam pulang kantor. Lauknya beragam mulai berbagai jenis seafood, ayam, ikan dan sebagainya begitupun dengan sayur - mayurnya. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam, Anneth melangkah menyusuri jalanan kota di malam hari. Hiasan - hiasan kota yang bergelantungan di atas trotoar dengan lampu - lampu berpendar seolah menandakan kota ini tak pernah mati meski di malam hari.
Langkah Anneth berhenti di samping trotoar ketika melihat bocah laki - laki sedang berusaha mengejar bola yang menggelinding di tengah trotoar. Anneth berteriak agar bocah itu berhenti tapi tak dihiraukannya. Anneth berlari mengejar bocah itu agar tak tertabrak kendaraan. Dalam penglihatannya, bocah itu masih berlari lalu menoleh ke arah Anneth dengan senyum menyeringai yang tampak menakutkan. Anneth berdiri tertegun sekejap lalu terdengar bunyi klakson - klakson kendaraan. Seseorang memeluknya dari belakang dan menuntunnya ke pinggir jalan. Ia bisa mendengar cacian orang - orang di dalam kendaraan karena dirinya. Tubuh Anneth berdiri kaku dengan tatapan bingung.
"Anak itu… anak laki - laki apa dia selamat ?"
"Apa maksudmu ? Anak laki - laki apa ? Apa kau mau bunuh diri, hah ? Lihat, kau hampir saja tertabrak mobil jika aku tak segera menolongmu."
"Tapi aku bersumpah melihatnya, anak itu mengejar bola tapi oh, God, senyumnya sungguh mengerikan."
Pria misterius itu menunjuk ke arah trotoar. "Tidak ada anak kecil, kau lihat sendiri di trotoar itu. Kau mungkin hanya kelelahan."
"Kau… kau lagi… untuk apa kau kesini lagi menemuiku, hah ? Apa hobimu terus saja menguntitku ?"
"Tidak seperti yang kau pikir, aku baru saja pulang dari olahraga tenis malam, apa kau tidak lihat bajuku ?" "Ya, tentu saja aku bisa melihatnya tapi kau selalu hadir dalam hidupku. Kenapa ? Apa kau sengaja melakukannya ?" "Tidak sepenuhnya tapi memang ada benarnya." "Apa maksudmu ?" "Ya, aku memang sengaja hadir dalam hidupmu untuk menghantuimu." "Tidak lucu !" "Karena aku memang bukan pelawak." Anneth berusaha mengendalikan nafasnya. "Siapa kau sebenarnya ? Jawab aku sekarang atau jangan pernah lagi menemui dan mendekatiku."
Akhirnya, Anneth telah meninggalkan tempat penginapan lamanya dan sekarang sudah menjadi penghuni baru di salah satu kamar Sakura House. Ia juga telah melakukan pelunasan pada Bu Mona untuk satu bulan menyewa kamar itu, jadi ia tidak memusingkan lagi soal biaya kamar. Anneth juga merasa lebih aman berada disini karena bisa terhindar dari para pria kekar jahat selamanya, mungkin. Ia menganggap mereka telah lenyap dari bumi untuk selamanya. Anneth menganggap area sekitar Sakura House lebih aman dan beruntungnya ia karena letaknya yang terjangkau dari tempat kerjanya di Hotel Pandawa dan kampus, tentu saja. Hari minggu telah berlalu. Anneth hanya bisa mengerahkan segenap kendali diri agar tidak meluapkan emosinya. Pria misterius itu telah mengingkari janjinya.
Anneth akhirnya luluh juga menerima tawaran Savvy untuk pergi keluar bersama. Anneth berusaha menegaskan pada dirinya sendiri bahwa apa yang mereka lakukan bukan kencan, hanya pengenalan mendalam sebagai atasan dan bawahan, tidak lebih. Ia hanya berusaha membatasi hubungannya dengan Savvy. Lagipula, Anneth mempunyai karakter yang tidak akan mencari ribut dengan wanita lain hanya karena masalah memperebutkan seorang pria setelah ia tahu Samara menaruh hati pada Savvy dan mengatakan kalau orang tua mereka sudah menjodohkan mereka berdua. Sejujurnya, ia sangat tak ingin berurusan dengan Samara, si wanita angkuh dan suka mencampuri urusan orang itu. Informasi yang didapat dari temannya yang seorang staff Front Office mengatakan Samara sedang mengambil cuti hari itu, jadi beruntunglah dia yang tak harus adu mulut bahkan mungkin adu jotos dulu untuk keluar berdua dengan S
Ponsel menyebalkan! Kalau saja tidak berdering, Savvy akan menceritakan semuanya padaku. Savvy memang berjanji akan menceritakan sebuah rahasia pada Anneth tapi karena ponsel Savvy berdering dan itu merupakan panggilan penting dan darurat, Savvy akhirnya mengurungkan menceritakan rahasia itu. Namun, ia berjanji akan bercerita pada Anneth di lain kesempatan. Anneth hanya bisa menggerutu. "Sungguh mengerikan!" "Apanya ?" "Selebgram pria dibunuh pacarnya sendiri karena belum menepati janjinya untuk menikahi pacarnya." "Berita yang menghebohkan!" "Hey, itu realita dan aku benar - benar serius mengatakannya."
Anneth memindai bagian depan rumah Devaro. Terdapat jalan setapak sempit yang disamping kanan kirinya dipenuhi dengan beragam tanaman dalam pot termasuk tanaman mahal janda bolong ada disana. Ia berdecak kagum saat memperhatikan setiap detail bagian rumah Devaro. Anneth menggeser sliding door setinggi tiga meter yang berupa kaca berlukiskan panda makan bambu dan kayu jati, ia terkesima dengan paduan beton dan kayu yang mengelilingi bagian dalam rumah Devaro. Wallpaper bunga sakura nuansa korea langsung menyambutnya saat Devaro menyuruhnya duduk di sofa ruang tamu. "Kau mau minum apa ?" Anneth terkejut saat mendengar suara Devaro yang menggema tiba - tiba dari sisi mini bar. "Ap
Dengan memakai masker yang dilengkapi penyaring udara, Anneth menatap keindahan gunung, danau kawah yang berwarna tosca, sunrise yang epik sekaligus fenomena api biru yang terpampang nyata di hadapannya. Betapa bersyukurnya Anneth saat melihat berbagai pemandangan itu dan hampir saja ia menitikan air matanya saking bahagianya. Ia menyaksikan puluhan orang yang tertawa girang yang mampu mendaki sampai ke puncak, bahkan yang mendaki berpasangan tampak memeluk mesra pasangannya dengan senyum tersimpul di bibir mereka. Anneth dapat menyaksikan bapak - bapak tua yang menambang belerang dan turun dari puncak gunung dengan memikul 80 - 100 kilo belerang. Asap bau belerang yang mengepul ke langit seketika menyeruak di hidungnya. Anneth merasa kasihan dengan bapak - bapak yang usianya sudah tak lagi muda tapi masih harus menambang belerang dan bertaruh dengan nyawa, kabarnya juga harga belerang itu rendah, jadi mereka hanya membawa pulang uang puluhan ribu saj
Liburan telah berakhir, Anneth dan yang lainnya sudah akan bergelut lagi dengan tugas dan aktivitas menjemukan lainnya. Anneth merasa sangat puas dengan pendakian gunung yang telah ia lewati, tak terkecuali dengan pemandangan pantai Bama nan indah. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan mendaki gunung lagi suatu hari nanti. "Kau terlihat sangat menikmati pendakian, Ann." "Ya, rasanya sudah seabad aku tak mendaki gunung. Kau juga terlihat sama menikmatinya." "Benar tapi kakiku kram semua, Ann. Tubuhku pegal-pegal. Mungkin aku akan berpikir-pikir lagi jika diajak naik gunung lain kali." Anneth tertawa mendengar pernyataan sahabatnya itu.
Anneth mondar-mandir berpuluh-puluh kali menyisakan aus bekas langkah kakinya di lantai kamar. Kepalanya jadi terasa pening akibat keseringan mondar-mandir. Sampai di suatu titik, Anneth kelelahan dan memutuskan untuk duduk bersandar di kursi dengan menautkan kedua tangannya di belakang kepala. Ia merasakan seakan-akan jiwanya melayang-layang di luar tubuhnya begitu pula dengan pikirannya. Mengingat kembali lukisan yang telah ditawar sampai akhirnya dimiliki Savvy di balai lelang, membuat perutnya mual. Lukisan kuno bergambar bocah laki-laki duduk menangis di halaman berumput dengan pakaian coklat gelap bergaris hitam khas pakaian jawa kuno, bawahan jarik berlurik warna coklat yang lebih gelap dari pakaiannya dan beskap batik di kepala dengan latar belakang rumah tua besar yang bangunannya berpondasi kayu. Savvy mengatakan ke Anneth kalau ia sengaja datang ke balai lelang itu karena ingin m
TIK… TOK… TIK… TOK… Jam dinding kuno berdetak keras. Anneth terkesiap. Napasnya berderu kencang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Anneth masih saja duduk bertahan di ruang kerjanya seorang diri. KRUK… KRUK… KRUK… Perutnya yang kosong mulai keroncongan. Tak ada makanan atau cemilan yang tersedia di meja kerjanya. GLUK…
Anneth mengangkat jari-jemarinya yang gemetaran dan mulai mengigit-gigit kukunya. Dia tidak mampu lagi menyembunyikan kegelisahannya saat duduk di kursi. Anneth yang baru saja keluar dari ruangan Pak Devisser diselimuti penyesalan. Karena terus didesak Anneth terpaksa berterus terang mengenai pernikahannya dan menjelaskan kondisinya yang sedang hamil pada Pak Devisser dan Savvy. Sekarang Anneth hanya bisa pasrah menanti pengumuman yang akan disampaikan oleh Pak Devisser melalui atasannya Savvy mengenai statusnya di hotel Pandawa. "Akankah Pak Devisser memecatku?" tanya Anneth semakin tak tenang. Sambil memainkan gelang persahabatannya dengan Devaro alias Lea, Anneth memandang keluar melalui jendela kac
Aku akan menghibahkan lukisan anak kecil itu pada orang lain." ucap Savvy. "Apa?! Tapi kenapa?" tanya Anneth. "Rumahku jadi semakin sering mengalami kejadian-kejadian aneh, Ann. Bahkan asisten rumah tanggaku pernah hampir menghabisi nyawanya sendiri dengan pisau karena bisikan-bisikan gaib yang menghantuinya." jawab Savvy. Anneth seketika dibuat tercengang dengan penuturan Savvy. "Temanku yang seorang punya indra keenam pernah melihat keganjilan pada lukisan itu saat bertandang ke rumah. Katanya lukisan itu mengandung unsur dimensi dunia lain yang sulit dicerna dengan akal. Dulu aku juga pernah bilang padamu 'kan, sejak lukisan itu dipajang di dinding, rumahku menjadi semakin angker." lanjutnya.
Tok … tok … tok … Terdengar pintu diketuk, Anneth yang sedang sibuk mencari keberadaan suaminya bergegas melangkah menuju ke depan pintu rumah yang sengaja dirancang secara otomatis dan modern oleh Brandon. Tujuan Brandon merancang pintu sedemikian rupa agar tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumahnya sesuka hati. Alangkah terkejutnya Anneth saat mendapati Brandon pulang dalam keadaan kacau dan berantakan dengan ditemani oleh seorang pria asing. Rupanya, pria asing itu yang mengantar pulang Brandon dengan mobil karena tidak mungkin bagi Brandon menyetir dalam keadaan mabuk. Anneth pun mengucapkan rasa terima kasihnya pada pria asing yang ditemuinya itu. "Syukurlah kau baik-baik saja, Bray." ujar Anneth.
Pernikahan yang diinginkan Anneth akhirnya terjadi meski tanpa restu orang tua Brandon. Pernikahan mereka juga dilakukan dengan tertutup. Meskipun pernikahan yang diinginkan Anneth terwujud tapi pernikahan ini sama sekali bukanlah seperti pernikahan yang selama ini diidam-idamkannya. Hanya segelintir orang yang diundang dalam pernikahan ini, termasuk Devaro (Lea), Naomi dan Sherly. Bahkan, dari awal Brandon sudah mengatakan dengan tegas pada Anneth bahwa tidak akan ada resepsi pernikahan, hanya akad. Bagi Brandon, resepsi yang diadakan meskipun tertutup hanya akan membuat berita pernikahan semakin menyebar dan meluas. Berita pernikahan yang meluas apalagi sampai terdengar ke telinga orangtuanya, tentu akan membuatnya dimarahi habis-habisan. Konsekuensi terberatny
Dua bulan kemudian. "Apa-apaan ini, Ann?! Jelaskan padaku apa yang coba kau sembunyikan?" tanya Savvy dengan suara meninggi sambil menyodorkan sebuah foto pada Anneth di ruang kerjanya. Anneth mengambil foto dari jemari Savvy dengan tangan gemetaran. "Ti-tidak mungkin." gumam Anneth sambil mengernyitkan dahi dan mengatupkan mulut. "Apanya yang tidak mungkin?" tanya Savvy suara meninggi. "Ma-maaf, berikan waktu, aku akan menjelaskannya padamu nanti." jawab Anneth berusaha menghindar dari cercaan Savvy yang haus akan penjelasan. Anneth berdiri di ruang kerjanya sambil terus mengamat
"Oh, maaf, sepertinya aku salah masuk ruangan." ucap pria asing yang masih berdiri tepat di ambang pintu sambil mengedarkan pandang ke segala sisi ruangan termasuk ke sisi lantai yang tampak berantakan karena berkas-berkas yang berjatuhan. "It's ok. Anda sedang mencari siapa, by the way ?" tanya Samara. "Pak Devisser." jawab pria asing itu. "Baiklah, tunggu di luar sebentar, akan kuantarkan kau ke ruangannya." ucap Samara yang dilingkupi rasa malu karena ruangannya yang tampak tak beraturan telah dilihat oleh seseorang. Sambil melangkah mengayunkan kaki menuju ruangan Pak Devisser, Samara terlibat percakapan dengan pria asing yang ditemuinya secara tak sengaja itu.
Sorot mata tajam dan dingin Brandon kini berubah menjadi teduh dengan sepasang bola matanya begitu jernih bak lautan yang bening dan dalam bak samudra. Bola mata itu kini menatap lurus ke arah Anneth. Namun, Anneth masih merasakan aura ketegasan dan penuh kharisma yang seolah tak pernah luntur dari pria itu. "Kita tidak bisa menikah." tandas Brandon. "Apa maksudmu kita tidak bisa menikah, kau t'lah janji akan menikahiku, Brandon." ucap Anneth menimpali. "Papaku tidak menyetujui pernikahan kita, apa kau paham itu, hah?!" seru Brandon. "Lalu apa rencanamu, apa kau akan lepas tangan begitu saja, tidak mau bertanggung jawab atas janin?" tanya An
Anneth tak menyangka Brandon akan meminta menikahinya secepat itu. Bahkan, pria berbadan tegap itu berjanji akan segera membicarakan persoalan ini dengan Papanya dan meminta restunya. Meskipun tak dipungkiri terselip keraguan dalam diri Anneth bahwa rencana ini akan berjalan mulus-mulus saja kedepannya. "Syukurlah kalau Brandon mau bertanggung jawab atas janin ini, tak ada yang perlu dirisaukan." gumamnya. Anneth yang masih bertahan di cafe seorang diri sambil merenung tentang masa depan dikejutkan oleh suara deringan ponsel. "Halo, Anneth, kau ada dimana, apa kau sudah ada di penginapanmu?" tanya Savvy. "Saya masih di cafe J&K, Pak, baru ketemu teman disini." balas Anneth.