Anneth akhirnya luluh juga menerima tawaran Savvy untuk pergi keluar bersama. Anneth berusaha menegaskan pada dirinya sendiri bahwa apa yang mereka lakukan bukan kencan, hanya pengenalan mendalam sebagai atasan dan bawahan, tidak lebih. Ia hanya berusaha membatasi hubungannya dengan Savvy. Lagipula, Anneth mempunyai karakter yang tidak akan mencari ribut dengan wanita lain hanya karena masalah memperebutkan seorang pria setelah ia tahu Samara menaruh hati pada Savvy dan mengatakan kalau orang tua mereka sudah menjodohkan mereka berdua. Sejujurnya, ia sangat tak ingin berurusan dengan Samara, si wanita angkuh dan suka mencampuri urusan orang itu. Informasi yang didapat dari temannya yang seorang staff Front Office mengatakan Samara sedang mengambil cuti hari itu, jadi beruntunglah dia yang tak harus adu mulut bahkan mungkin adu jotos dulu untuk keluar berdua dengan S
Ponsel menyebalkan! Kalau saja tidak berdering, Savvy akan menceritakan semuanya padaku. Savvy memang berjanji akan menceritakan sebuah rahasia pada Anneth tapi karena ponsel Savvy berdering dan itu merupakan panggilan penting dan darurat, Savvy akhirnya mengurungkan menceritakan rahasia itu. Namun, ia berjanji akan bercerita pada Anneth di lain kesempatan. Anneth hanya bisa menggerutu. "Sungguh mengerikan!" "Apanya ?" "Selebgram pria dibunuh pacarnya sendiri karena belum menepati janjinya untuk menikahi pacarnya." "Berita yang menghebohkan!" "Hey, itu realita dan aku benar - benar serius mengatakannya."
Anneth memindai bagian depan rumah Devaro. Terdapat jalan setapak sempit yang disamping kanan kirinya dipenuhi dengan beragam tanaman dalam pot termasuk tanaman mahal janda bolong ada disana. Ia berdecak kagum saat memperhatikan setiap detail bagian rumah Devaro. Anneth menggeser sliding door setinggi tiga meter yang berupa kaca berlukiskan panda makan bambu dan kayu jati, ia terkesima dengan paduan beton dan kayu yang mengelilingi bagian dalam rumah Devaro. Wallpaper bunga sakura nuansa korea langsung menyambutnya saat Devaro menyuruhnya duduk di sofa ruang tamu. "Kau mau minum apa ?" Anneth terkejut saat mendengar suara Devaro yang menggema tiba - tiba dari sisi mini bar. "Ap
Dengan memakai masker yang dilengkapi penyaring udara, Anneth menatap keindahan gunung, danau kawah yang berwarna tosca, sunrise yang epik sekaligus fenomena api biru yang terpampang nyata di hadapannya. Betapa bersyukurnya Anneth saat melihat berbagai pemandangan itu dan hampir saja ia menitikan air matanya saking bahagianya. Ia menyaksikan puluhan orang yang tertawa girang yang mampu mendaki sampai ke puncak, bahkan yang mendaki berpasangan tampak memeluk mesra pasangannya dengan senyum tersimpul di bibir mereka. Anneth dapat menyaksikan bapak - bapak tua yang menambang belerang dan turun dari puncak gunung dengan memikul 80 - 100 kilo belerang. Asap bau belerang yang mengepul ke langit seketika menyeruak di hidungnya. Anneth merasa kasihan dengan bapak - bapak yang usianya sudah tak lagi muda tapi masih harus menambang belerang dan bertaruh dengan nyawa, kabarnya juga harga belerang itu rendah, jadi mereka hanya membawa pulang uang puluhan ribu saj
Liburan telah berakhir, Anneth dan yang lainnya sudah akan bergelut lagi dengan tugas dan aktivitas menjemukan lainnya. Anneth merasa sangat puas dengan pendakian gunung yang telah ia lewati, tak terkecuali dengan pemandangan pantai Bama nan indah. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan mendaki gunung lagi suatu hari nanti. "Kau terlihat sangat menikmati pendakian, Ann." "Ya, rasanya sudah seabad aku tak mendaki gunung. Kau juga terlihat sama menikmatinya." "Benar tapi kakiku kram semua, Ann. Tubuhku pegal-pegal. Mungkin aku akan berpikir-pikir lagi jika diajak naik gunung lain kali." Anneth tertawa mendengar pernyataan sahabatnya itu.
Anneth mondar-mandir berpuluh-puluh kali menyisakan aus bekas langkah kakinya di lantai kamar. Kepalanya jadi terasa pening akibat keseringan mondar-mandir. Sampai di suatu titik, Anneth kelelahan dan memutuskan untuk duduk bersandar di kursi dengan menautkan kedua tangannya di belakang kepala. Ia merasakan seakan-akan jiwanya melayang-layang di luar tubuhnya begitu pula dengan pikirannya. Mengingat kembali lukisan yang telah ditawar sampai akhirnya dimiliki Savvy di balai lelang, membuat perutnya mual. Lukisan kuno bergambar bocah laki-laki duduk menangis di halaman berumput dengan pakaian coklat gelap bergaris hitam khas pakaian jawa kuno, bawahan jarik berlurik warna coklat yang lebih gelap dari pakaiannya dan beskap batik di kepala dengan latar belakang rumah tua besar yang bangunannya berpondasi kayu. Savvy mengatakan ke Anneth kalau ia sengaja datang ke balai lelang itu karena ingin m
Membaca novel atau sekedar mendengarkan musik melalui earphone sambil duduk di tempat duduk yang dibuat melingkar menghadap tanah lapang kosong yang biasanya dibuat untuk upacara saat peringatan 17 agustusan atau saat atraksi musik anak-anak jalanan dengan berbagai alat musik yang dibawanya maupun untuk acara lainnya, Anneth terlihat sangat menikmati aktivitas sederhana itu. Ia menghirup dalam-dalam oksigen di tengah taman kota yang dipenuhi pepohonan dan berbagai tanaman. Ia mengedarkan pandangan, tampak anak-anak yang sedang bermain di arena khusus permainan anak-anak, ada yang sedang bermain ayunan, perosotan, berenang di kolam kecil yang disediakan maupun permainan lainnya yang disediakan termasuk area khusus pesepeda. Ia tersenyum menyaksikan berbagai pemandangan atraktif nan indah itu. Anneth juga memandang lansia yang duduk santai menikmati lanskap taman dan berbagai kegiatan yang tersaji.
Kulit muka Anneth terlipat diantara kerutan sarung bantal kucel. Rambutnya tertumpuk di sisi kanan karena ia tidur tertelungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri, tangannya tersiku di bawah bantal. Ia terpilin masuk ke dalam lipatan sprei corak bunga tempat tubuhnya terbaring. Alarm berdering kencang. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, mulut asamnya, rambut berdiri liar dan acak-acakan serta muka tercetak kerut sprei Anneth terbangun terjingkat dan hampir saja terjatuh terjerembab ke lantai jika ia tak segera menggenggam ujung tempat tidurnya dengan kuat. Mulutnya menguap lebar-lebar. Anneth sungguh masih mengantuk usai semalam begadang. Matanya terlihat cekung. Semalam ia masih terus memikirkan mengenai lukisan kuno itu dan pria asing yang tak dikenalnya tapi telah masuk ke dalam kehidupannya sekarang. Pria asing? Bukan wanita asing yang telah merasuki tu
Anneth sedari tadi hanya mengaduk-aduk mie yang tersaji di depannya dengan enggan. Tatapan matanya tampak kosong tapi tidak pikirannya. Sejenak ia menyeruput sedikit es jeruk di hadapannya. Kemudian terbayang kembali peristiwa yang tadi siang terjadi di hotel saat istirahat makan siang berlangsung kala Naomi mengelus dengan lembut punggung tangan Anneth yang dibalut kasa. Anneth masih terdiam seakan lidahnya kelu saat Naomi menanyakan perihal kejadian apa yang menimpa sahabatnya itu sampai tangannya harus diperban. Naomi tidak memaksanya untuk bercerita, ia hanya merasa iba dengan kondisi Anneth dan perilakunya yang tak seceria biasanya. Di saat ruangan riuh mengomentari hasil rapat yang baru saja terjadi, ia sebenarnya malah ingin kabur lalu menyendiri duduk di pojokan kamar seperti kebiasaannya saat remaja ketika kesedihan melanda dirinya. Naomi menatap mata Anneth yang berkaca-kaca lalu mengelus pundak Anneth. Semakin orang lain merasa iba pada dir