Akhirnya, Anneth telah meninggalkan tempat penginapan lamanya dan sekarang sudah menjadi penghuni baru di salah satu kamar Sakura House. Ia juga telah melakukan pelunasan pada Bu Mona untuk satu bulan menyewa kamar itu, jadi ia tidak memusingkan lagi soal biaya kamar. Anneth juga merasa lebih aman berada disini karena bisa terhindar dari para pria kekar jahat selamanya, mungkin. Ia menganggap mereka telah lenyap dari bumi untuk selamanya. Anneth menganggap area sekitar Sakura House lebih aman dan beruntungnya ia karena letaknya yang terjangkau dari tempat kerjanya di Hotel Pandawa dan kampus, tentu saja.
Hari minggu telah berlalu. Anneth hanya bisa mengerahkan segenap kendali diri agar tidak meluapkan emosinya. Pria misterius itu telah mengingkari janjinya. Anneth merasa sangat kesal saat itu. Ia menunggu tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Sialnya, ia telah berganti baju yang menurutnya menarik dan pantas untuk dikenakan. Terlanjur memakai pakaian yang bagus, ia pun akhirnya menggunakan kesempatan itu untuk pergi ke mall sendiri karena Naomi tidak bisa diajak. Ia akhirnya menggunakan kupon voucher yang diberikan Savvy untuknya. Anneth menghabiskan jatah kupon dan bersenang - senang di mall sambil menghabiskan waktu di hari Minggu itu.
Patahkan hati, bukan patahkan janji, tapi dia telah mematahkan kedua - duanya. Awas saja kalau sampai dia menemuiku lagi, aku akan diam seribu bahasa.
Keinginan Anneth untuk melanjutkan pendidikan di kampus yang didambanya telah terwujud. Ia berhasil mendaftar di kampus dan lulus ujian masuknya. Saat ini Anneth mengawali perkuliahan di hari pertama dengan semangat membara. Sesungguhnya, tak terbesit sedikitpun dalam benaknya akan melanjutkan kuliah selepas SMA. Ketika remaja Anneth hanya berpikir akan bekerja, mengumpulkan uang sebanyak mungkin agar bisa membeli barang - barang yang didambakannya sendiri. Namun, semua berubah ketika ia melihat gedung kampus yang terlihat begitu menawan. Ia ingin menjadi bagian dalam kampus itu.
Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kali di halaman kampus, Anneth seketika merasakan perasaan yang nyaman dan bergumam dalam hati bahwa dia akan merasa betah menjadi mahasiswa di kampus itu. Perasaan sama yang dirasakannya ketika ia melangkahkan kaki pertama kali di Hotel Pandawa. Memori Anneth sekilas kembali ke beberapa waktu silam dimana ia bisa diterima masuk dan menjadi pegawai di Hotel Pandawa karena info lowongan kerja dari sahabatnya, Ryana. Rasa pesimis menyelimuti tubuh Anneth kala itu. Namun, berkat dorongan dan motivasi dari Ryana, Anneth akhirnya bisa mendapat pekerjaan sebagai room maid dan bisa bertemu dan berkenalan dengan Naomi, Pak Savvy dan anggota hotel lainnya.
"Masa kinimu bukanlah seumur hidupmu". Sebuah kutipan dari buku "Turtles All The Way Down" yang selalu terekam dalam memorinya, sedikit demi sedikit membangkitkan kembali gairah hidup Anneth yang sempat meredup. Setelah kejadian memilukan yang terjadi dalam hidupnya, Anneth merasakan keterpurukan yang teramat dalam. Nafsu duniawinya telah melebur bersama embusan angin kala itu.
"Aku peduli pada diriku sendiri. Semakin penyendiri. Semakin tanpa teman dan Semakin tidak bergantung pada siapapun aku, semakin aku akan menghargai diriku." Kutipan Charlotte Bronte dari buku yang sama yang dibaca Anneth membuatnya merasakan menjadi penyendiri adalah hal terbaik bagi hidupnya. Begitu kelam masa hidupnya usai kejadian buruk yang pernah menimpa keluarganya. Anneth merasakan betapa kejam dan tak adilnya dunia pada dirinya dan keluarganya. Ia pernah memilih mengakhiri hidupnya dengan sebilah pisau yang sudah hampir mencederai nadinya karena merasakan lagi gunanya hidup. Namun, takdir berkehendak lain, ia masih bernafas sampai saat ini meski batinnya hancur lebur dan semua terasa tampak gelap dalam pandangannya.
Rumah Kayu Tua. Nama itulah yang disematkan Anneth pada rumah yang pernah dihuni dirinya dan keluarganya sejak sebelum ia lahir. Ia sudah tak pernah menginjak rumah itu lagi sejak ia memilih untuk pindah ke kota lain dan menerima tawaran Ryana. Bisa dibilang Anneth adalah penghuni terakhir rumah itu. Rumah yang menyimpan banyak kenangan indah di masa lalu bersama keluarganya. Namun, sejak kejadian yang menimpa Ayahnya seolah semua memori indah itu meluap.
Tak pernah ada keinginan sekalipun untuk mengunjungi rumah tak berpenghuni itu sejak Ibu dan dirinya memutuskan untuk keluar dari rumah itu. Anneth mendorong Ibunya untuk menikah dengan Pak Fardan karena Anneth merasa Pak Fardan adalah orang baik yang sepertinya mustahil akan menyakiti Ibunya. Apalagi Pak Fardan pernah membantu ia dan Ibunya sepeninggal Ayahnya. Anneth pernah diberitahu Ibunya kalau Pak Fardan adalah kekasihnya semasa SMA tapi ternyata pria itu bukan jodoh Ibunya, Soelaiman, Ayahnya yang ternyata lebih mampu mencuri hati Ibu Anneth sampai akhirnya mereka menikah. Anneth merasa kasihan melihat Ibunya hidup sendiri sejak Ayahnya sudah tak ada. Anneth merasa keputusan terbaik adalah membiarkan Ibunya menikah dengan Pak Fardan dan melihat mereka hidup bahagia dengan anak Pak Fardan. Istri Pak Fardan meninggal saat melahirkan anak mereka. Ibu Anneth tinggal seatap dengan suami barunya menyisakan Anneth yang terpaksa tinggal di rumah tua itu sendirian ditemani kesedihan mendalam.
Ketika matahari telah terbenam dan malam akan menjelang, Anneth selalu merasakan kengerian menyelimuti sekujur tubuhnya. Usai peristiwa buruk yang menimpa Ayahnya di rumah, sejujurnya, ia menjadi takut berada di rumah sendirian. Ia telah beberapa kali mengalami peristiwa aneh di rumah itu yang mulai mencekam itu. Suara rintihan, desahan dan suara aneh lainnya yang tiba - tiba terdengar di sudut ruangan. Bau anyir atau bau wangi yang tiba - tiba menyeruak di hidungnya serta kejadian tak wajar lainnya yang membuat bulu kuduknya berdiri seketika.
Bertahan, bertahanlah Anneth semua itu hanya ilusimu, itu semua tak nyata. Kau yang mengendalikan semua ini, bukan mereka makhluk tak kasat mata sekalipun mereka memang ada dan nyata.
Tidak melawan atau mengganggu mereka, para makhluk tak kasat mata itu. Prinsip itulah yang selalu dipegang Anneth. Anneth merasa hal - hal ganjil yang kerap muncul di rumahnya hanyalah cara para makhluk tak kasat mata itu untuk berinteraksi dengannya.
Mungkin mereka hanya ingin menunjukkan keberadaan mereka padaku yang tinggal sendiri di rumah nan luas ini. Barangkali memang mereka ingin berinteraksi denganku melalui cara yang seperti itu.
Namun, mereka tak pernah menampakkan wujud nyata mereka pada Anneth. Hanya kadang sekelebat bayangan atau angin yang tiba - tiba berembus di ruangan yang tertutup.
Teringat akan kebiasaan masa kecilnya yang senang melihat bintang - bintang yang bersinar. Kadangkala Anneth sengaja keluar rumah atau membuka jendela kamar untuk sekedar untuk sekedar menatap bintang - bintang di bawah hamparan langit. Setiap kali melakukannya ia selalu merasakan ketenangan setelahnya. Saat masih hidup Ayahnya pernah berkata bintang - bintang itu mirip seperti harapan. Ketika malam hadir kegelapan datang tapi yakinlah masih ada cahaya harapan disana meski kecil dan itu adalah sinar bintang - bintang. Anneth tidak pernah menyerah, hanya saja akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pergi ke kota setelah Ryana memberikan harapan baru padanya. Sebelum Ryana pindah ke Bandung untuk ikut suaminya, ia memberikan info lowongan pekerjaan untuk menggantikan dirinya. Bekerja di Hotel Pandawa adalah cahaya harapan baru bagi Anneth. Ia berusaha membuka lembar baru dan mencoba menuliskan kisah baru dari kehidupan lamanya yang terasa kelam.
Anneth akhirnya luluh juga menerima tawaran Savvy untuk pergi keluar bersama. Anneth berusaha menegaskan pada dirinya sendiri bahwa apa yang mereka lakukan bukan kencan, hanya pengenalan mendalam sebagai atasan dan bawahan, tidak lebih. Ia hanya berusaha membatasi hubungannya dengan Savvy. Lagipula, Anneth mempunyai karakter yang tidak akan mencari ribut dengan wanita lain hanya karena masalah memperebutkan seorang pria setelah ia tahu Samara menaruh hati pada Savvy dan mengatakan kalau orang tua mereka sudah menjodohkan mereka berdua. Sejujurnya, ia sangat tak ingin berurusan dengan Samara, si wanita angkuh dan suka mencampuri urusan orang itu. Informasi yang didapat dari temannya yang seorang staff Front Office mengatakan Samara sedang mengambil cuti hari itu, jadi beruntunglah dia yang tak harus adu mulut bahkan mungkin adu jotos dulu untuk keluar berdua dengan S
Ponsel menyebalkan! Kalau saja tidak berdering, Savvy akan menceritakan semuanya padaku. Savvy memang berjanji akan menceritakan sebuah rahasia pada Anneth tapi karena ponsel Savvy berdering dan itu merupakan panggilan penting dan darurat, Savvy akhirnya mengurungkan menceritakan rahasia itu. Namun, ia berjanji akan bercerita pada Anneth di lain kesempatan. Anneth hanya bisa menggerutu. "Sungguh mengerikan!" "Apanya ?" "Selebgram pria dibunuh pacarnya sendiri karena belum menepati janjinya untuk menikahi pacarnya." "Berita yang menghebohkan!" "Hey, itu realita dan aku benar - benar serius mengatakannya."
Anneth memindai bagian depan rumah Devaro. Terdapat jalan setapak sempit yang disamping kanan kirinya dipenuhi dengan beragam tanaman dalam pot termasuk tanaman mahal janda bolong ada disana. Ia berdecak kagum saat memperhatikan setiap detail bagian rumah Devaro. Anneth menggeser sliding door setinggi tiga meter yang berupa kaca berlukiskan panda makan bambu dan kayu jati, ia terkesima dengan paduan beton dan kayu yang mengelilingi bagian dalam rumah Devaro. Wallpaper bunga sakura nuansa korea langsung menyambutnya saat Devaro menyuruhnya duduk di sofa ruang tamu. "Kau mau minum apa ?" Anneth terkejut saat mendengar suara Devaro yang menggema tiba - tiba dari sisi mini bar. "Ap
Dengan memakai masker yang dilengkapi penyaring udara, Anneth menatap keindahan gunung, danau kawah yang berwarna tosca, sunrise yang epik sekaligus fenomena api biru yang terpampang nyata di hadapannya. Betapa bersyukurnya Anneth saat melihat berbagai pemandangan itu dan hampir saja ia menitikan air matanya saking bahagianya. Ia menyaksikan puluhan orang yang tertawa girang yang mampu mendaki sampai ke puncak, bahkan yang mendaki berpasangan tampak memeluk mesra pasangannya dengan senyum tersimpul di bibir mereka. Anneth dapat menyaksikan bapak - bapak tua yang menambang belerang dan turun dari puncak gunung dengan memikul 80 - 100 kilo belerang. Asap bau belerang yang mengepul ke langit seketika menyeruak di hidungnya. Anneth merasa kasihan dengan bapak - bapak yang usianya sudah tak lagi muda tapi masih harus menambang belerang dan bertaruh dengan nyawa, kabarnya juga harga belerang itu rendah, jadi mereka hanya membawa pulang uang puluhan ribu saj
Liburan telah berakhir, Anneth dan yang lainnya sudah akan bergelut lagi dengan tugas dan aktivitas menjemukan lainnya. Anneth merasa sangat puas dengan pendakian gunung yang telah ia lewati, tak terkecuali dengan pemandangan pantai Bama nan indah. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan mendaki gunung lagi suatu hari nanti. "Kau terlihat sangat menikmati pendakian, Ann." "Ya, rasanya sudah seabad aku tak mendaki gunung. Kau juga terlihat sama menikmatinya." "Benar tapi kakiku kram semua, Ann. Tubuhku pegal-pegal. Mungkin aku akan berpikir-pikir lagi jika diajak naik gunung lain kali." Anneth tertawa mendengar pernyataan sahabatnya itu.
Anneth mondar-mandir berpuluh-puluh kali menyisakan aus bekas langkah kakinya di lantai kamar. Kepalanya jadi terasa pening akibat keseringan mondar-mandir. Sampai di suatu titik, Anneth kelelahan dan memutuskan untuk duduk bersandar di kursi dengan menautkan kedua tangannya di belakang kepala. Ia merasakan seakan-akan jiwanya melayang-layang di luar tubuhnya begitu pula dengan pikirannya. Mengingat kembali lukisan yang telah ditawar sampai akhirnya dimiliki Savvy di balai lelang, membuat perutnya mual. Lukisan kuno bergambar bocah laki-laki duduk menangis di halaman berumput dengan pakaian coklat gelap bergaris hitam khas pakaian jawa kuno, bawahan jarik berlurik warna coklat yang lebih gelap dari pakaiannya dan beskap batik di kepala dengan latar belakang rumah tua besar yang bangunannya berpondasi kayu. Savvy mengatakan ke Anneth kalau ia sengaja datang ke balai lelang itu karena ingin m
Membaca novel atau sekedar mendengarkan musik melalui earphone sambil duduk di tempat duduk yang dibuat melingkar menghadap tanah lapang kosong yang biasanya dibuat untuk upacara saat peringatan 17 agustusan atau saat atraksi musik anak-anak jalanan dengan berbagai alat musik yang dibawanya maupun untuk acara lainnya, Anneth terlihat sangat menikmati aktivitas sederhana itu. Ia menghirup dalam-dalam oksigen di tengah taman kota yang dipenuhi pepohonan dan berbagai tanaman. Ia mengedarkan pandangan, tampak anak-anak yang sedang bermain di arena khusus permainan anak-anak, ada yang sedang bermain ayunan, perosotan, berenang di kolam kecil yang disediakan maupun permainan lainnya yang disediakan termasuk area khusus pesepeda. Ia tersenyum menyaksikan berbagai pemandangan atraktif nan indah itu. Anneth juga memandang lansia yang duduk santai menikmati lanskap taman dan berbagai kegiatan yang tersaji.
Kulit muka Anneth terlipat diantara kerutan sarung bantal kucel. Rambutnya tertumpuk di sisi kanan karena ia tidur tertelungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri, tangannya tersiku di bawah bantal. Ia terpilin masuk ke dalam lipatan sprei corak bunga tempat tubuhnya terbaring. Alarm berdering kencang. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, mulut asamnya, rambut berdiri liar dan acak-acakan serta muka tercetak kerut sprei Anneth terbangun terjingkat dan hampir saja terjatuh terjerembab ke lantai jika ia tak segera menggenggam ujung tempat tidurnya dengan kuat. Mulutnya menguap lebar-lebar. Anneth sungguh masih mengantuk usai semalam begadang. Matanya terlihat cekung. Semalam ia masih terus memikirkan mengenai lukisan kuno itu dan pria asing yang tak dikenalnya tapi telah masuk ke dalam kehidupannya sekarang. Pria asing? Bukan wanita asing yang telah merasuki tu
TIK… TOK… TIK… TOK… Jam dinding kuno berdetak keras. Anneth terkesiap. Napasnya berderu kencang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Anneth masih saja duduk bertahan di ruang kerjanya seorang diri. KRUK… KRUK… KRUK… Perutnya yang kosong mulai keroncongan. Tak ada makanan atau cemilan yang tersedia di meja kerjanya. GLUK…
Anneth mengangkat jari-jemarinya yang gemetaran dan mulai mengigit-gigit kukunya. Dia tidak mampu lagi menyembunyikan kegelisahannya saat duduk di kursi. Anneth yang baru saja keluar dari ruangan Pak Devisser diselimuti penyesalan. Karena terus didesak Anneth terpaksa berterus terang mengenai pernikahannya dan menjelaskan kondisinya yang sedang hamil pada Pak Devisser dan Savvy. Sekarang Anneth hanya bisa pasrah menanti pengumuman yang akan disampaikan oleh Pak Devisser melalui atasannya Savvy mengenai statusnya di hotel Pandawa. "Akankah Pak Devisser memecatku?" tanya Anneth semakin tak tenang. Sambil memainkan gelang persahabatannya dengan Devaro alias Lea, Anneth memandang keluar melalui jendela kac
Aku akan menghibahkan lukisan anak kecil itu pada orang lain." ucap Savvy. "Apa?! Tapi kenapa?" tanya Anneth. "Rumahku jadi semakin sering mengalami kejadian-kejadian aneh, Ann. Bahkan asisten rumah tanggaku pernah hampir menghabisi nyawanya sendiri dengan pisau karena bisikan-bisikan gaib yang menghantuinya." jawab Savvy. Anneth seketika dibuat tercengang dengan penuturan Savvy. "Temanku yang seorang punya indra keenam pernah melihat keganjilan pada lukisan itu saat bertandang ke rumah. Katanya lukisan itu mengandung unsur dimensi dunia lain yang sulit dicerna dengan akal. Dulu aku juga pernah bilang padamu 'kan, sejak lukisan itu dipajang di dinding, rumahku menjadi semakin angker." lanjutnya.
Tok … tok … tok … Terdengar pintu diketuk, Anneth yang sedang sibuk mencari keberadaan suaminya bergegas melangkah menuju ke depan pintu rumah yang sengaja dirancang secara otomatis dan modern oleh Brandon. Tujuan Brandon merancang pintu sedemikian rupa agar tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumahnya sesuka hati. Alangkah terkejutnya Anneth saat mendapati Brandon pulang dalam keadaan kacau dan berantakan dengan ditemani oleh seorang pria asing. Rupanya, pria asing itu yang mengantar pulang Brandon dengan mobil karena tidak mungkin bagi Brandon menyetir dalam keadaan mabuk. Anneth pun mengucapkan rasa terima kasihnya pada pria asing yang ditemuinya itu. "Syukurlah kau baik-baik saja, Bray." ujar Anneth.
Pernikahan yang diinginkan Anneth akhirnya terjadi meski tanpa restu orang tua Brandon. Pernikahan mereka juga dilakukan dengan tertutup. Meskipun pernikahan yang diinginkan Anneth terwujud tapi pernikahan ini sama sekali bukanlah seperti pernikahan yang selama ini diidam-idamkannya. Hanya segelintir orang yang diundang dalam pernikahan ini, termasuk Devaro (Lea), Naomi dan Sherly. Bahkan, dari awal Brandon sudah mengatakan dengan tegas pada Anneth bahwa tidak akan ada resepsi pernikahan, hanya akad. Bagi Brandon, resepsi yang diadakan meskipun tertutup hanya akan membuat berita pernikahan semakin menyebar dan meluas. Berita pernikahan yang meluas apalagi sampai terdengar ke telinga orangtuanya, tentu akan membuatnya dimarahi habis-habisan. Konsekuensi terberatny
Dua bulan kemudian. "Apa-apaan ini, Ann?! Jelaskan padaku apa yang coba kau sembunyikan?" tanya Savvy dengan suara meninggi sambil menyodorkan sebuah foto pada Anneth di ruang kerjanya. Anneth mengambil foto dari jemari Savvy dengan tangan gemetaran. "Ti-tidak mungkin." gumam Anneth sambil mengernyitkan dahi dan mengatupkan mulut. "Apanya yang tidak mungkin?" tanya Savvy suara meninggi. "Ma-maaf, berikan waktu, aku akan menjelaskannya padamu nanti." jawab Anneth berusaha menghindar dari cercaan Savvy yang haus akan penjelasan. Anneth berdiri di ruang kerjanya sambil terus mengamat
"Oh, maaf, sepertinya aku salah masuk ruangan." ucap pria asing yang masih berdiri tepat di ambang pintu sambil mengedarkan pandang ke segala sisi ruangan termasuk ke sisi lantai yang tampak berantakan karena berkas-berkas yang berjatuhan. "It's ok. Anda sedang mencari siapa, by the way ?" tanya Samara. "Pak Devisser." jawab pria asing itu. "Baiklah, tunggu di luar sebentar, akan kuantarkan kau ke ruangannya." ucap Samara yang dilingkupi rasa malu karena ruangannya yang tampak tak beraturan telah dilihat oleh seseorang. Sambil melangkah mengayunkan kaki menuju ruangan Pak Devisser, Samara terlibat percakapan dengan pria asing yang ditemuinya secara tak sengaja itu.
Sorot mata tajam dan dingin Brandon kini berubah menjadi teduh dengan sepasang bola matanya begitu jernih bak lautan yang bening dan dalam bak samudra. Bola mata itu kini menatap lurus ke arah Anneth. Namun, Anneth masih merasakan aura ketegasan dan penuh kharisma yang seolah tak pernah luntur dari pria itu. "Kita tidak bisa menikah." tandas Brandon. "Apa maksudmu kita tidak bisa menikah, kau t'lah janji akan menikahiku, Brandon." ucap Anneth menimpali. "Papaku tidak menyetujui pernikahan kita, apa kau paham itu, hah?!" seru Brandon. "Lalu apa rencanamu, apa kau akan lepas tangan begitu saja, tidak mau bertanggung jawab atas janin?" tanya An
Anneth tak menyangka Brandon akan meminta menikahinya secepat itu. Bahkan, pria berbadan tegap itu berjanji akan segera membicarakan persoalan ini dengan Papanya dan meminta restunya. Meskipun tak dipungkiri terselip keraguan dalam diri Anneth bahwa rencana ini akan berjalan mulus-mulus saja kedepannya. "Syukurlah kalau Brandon mau bertanggung jawab atas janin ini, tak ada yang perlu dirisaukan." gumamnya. Anneth yang masih bertahan di cafe seorang diri sambil merenung tentang masa depan dikejutkan oleh suara deringan ponsel. "Halo, Anneth, kau ada dimana, apa kau sudah ada di penginapanmu?" tanya Savvy. "Saya masih di cafe J&K, Pak, baru ketemu teman disini." balas Anneth.