Saat di ruang loker sekaligus ruang ganti baju, tersiar kasak - kusuk yang membuat telinga Anneth gatal mendengarnya. Rekan - rekan wanitanya bergosip mengenai Savvy. Mereka bergosip kepala tata graha mereka sebenarnya adalah anak dari pemilik hotel Pandawa.
Hah, gosip murahan, mana mungkin dia anak pemilik hotel ini, sungguh tak berdasar, dia memang tampan tapi tidak ada bau - bau anak orang tajir melintir, benaknya.
"Kenapa kalian bergosip seperti itu apa buktinya kalau Pak Savvy anak Pak Devisser, pemilik hotel ini ?"
"Itu karena kemarin Fandy tak sengaja melihat Pak Savvy mencium tangan Pak Devisser dan mendengar ia memanggil Pak Devisser dengan sebutan Papa.", celetuk Naomi, teman kerjanya.
"Menurutku itu hanya kabar burung, aku bisa saja memanggil Pak Devisser papa kalau aku mau meski dia bukan ayah kandungku. Masuk akal kan ?"
Anneth meninggalkan rekan - rekannya yang masih sibuk bergosip usai mengganti pakaian kasualnya dengan seragam hotel dan memoleskan make up sederhananya di wajah.
Ketika membersihkan lantai salah satu kamar hotel, pikiran Anneth melayang ke peristiwa kemarin. Ia masih tak habis pikir kenapa pria penolong itu tiba - tiba menghilang tanpa jejak dan hanya menyisakan dirinya dan si pencopet saat itu. Siapa kau ? Saat dimintai keterangan oleh polisi kemarin, Anneth menjelaskan secara gamblang peristiwa itu bahkan ia bisa menggambarkan secara detail sosok pria yang telah melumpuhkan pelarian pencopet itu. Ya, meski saat itu lampu jalanan cenderung redup dan keadaan sekitar juga cukup gelap tapi Anneth masih bisa melihat dengan jelas tampang pria berwajah oval itu.
Anneth melangkahkan kaki menuju lift sambil membawa bekal makan siang yang ia siapkan sendiri tadi pagi menuju ruang makan pegawai hotel. Belum sampai ke koridor lift, ia bisa mengintip dari balik dinding Savvy sedang berdiri berada di samping Pak Devisser menghadap lift yang masih tertutup. Sebelum pemilik hotel beserta pengawalnya itu masuk ke lift yang terbuka, Savvy terlihat memeluk Pak Devisser tanpa ada sepatah kata pun yang terucap. Sekarang mereka terpisahkan oleh lift.
Anneth membenahi penampilannya dan menginjakkan kakinya di lantai koridor lift dengan normal seakan tidak melihat kejadian apapun. Ia berpapasan dengan Savvy, seperti biasa tatapannya begitu dingin dan tak tampak senyum tersungging di bibirnya meski Anneth sudah berusaha memberikan senyuman termanisnya.
"Ann, setelah makan siang coba kau cek kamar nomor 18, bersihkan apa yang harus kamu bersihkan setelah itu laporkan status kamarnya pada saya."
"Siap, Pak."
Pelukan itu ? Semua orang bisa saja memberikan pelukan hangat pada siapapun yang mereka temui kalau mereka menginginkannya. Tidak ada bukti kalau Savvy anak konglomerat, penampilannya pun tidak terlalu parlente cenderung standart. Tidak ada… hmm… atau mungkin belum… Ah, kenapa juga aku pusing memikirkan hal itu, mau dia anak pemilik hotel ataupun presiden apa urusannya denganku. Aneh sekali aku kali ini. Anneth masih berkutat sendiri dengan pikirannya saat makan siang sebelum Ivon, teman kerjanya membuyarkan lamunannya.
Anneth mematuhi perintah Savvy untuk mengecek kamar nomor 18 sekembalinya dari istirahat makan siang. Kamar itu tak berpenghuni tapi kondisinya sangat berantakan, sampah berserakan dimana - mana dan lantainya pun terkotori dengan bekas kaleng minuman bersoda yang terjatuh. Sungguh tamu yang jorok.
Anneth mengambil troli berisi perlengkapan dan peralatan kebersihan di ruang kebersihan. Sambil berjalan membawa troli menuju kamar semula. Dari jarak beberapa meter dari tempatnya berdiri ia bisa melihat Savvy sedang mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali dan mencoba membuka pegangan pintu. Namun, pintu kamar tak terbuka dan tak terdengar suara sama sekali dari dalam kamar. Rasa penasaran yang menyelimuti tubuh Anneth membuatnya ingin mencari tahu apa gerangan yang sedang terjadi. Ia berjalan menuju ke arah Savvy sambil mendorong troli. Jarak beberapa meter dari tempat Savvy berdiri tepatnya di depan kamar hotel nomor 24, Anneth menghentikan langkahnya. Ia menatap ke arah Savvy, pria bersetelan gelap itu berbalik arah dan menatap Anneth. Mereka saling pandang.
"Cepat ambil kunci pintu kamar ini, tanyakan di front office."
"Eh, iya, baiklah Pak."
Tak berselang lama, Anneth kembali ke Savvy yang terlihat masih berdiri menunggu di depan kamar hotel dengan perasaan cemas. Savvy segera membuka kamar dengan kunci cadangan yang dibawa Anneth. Ia melongo saat melihat pemandangan tak menyenangkan di depan matanya. Tamu hotel berjenis kelamin wanita tergeletak tak sadarkan diri di ranjang hotel dengan beberapa butir pil di tangan yang masih tersisa dan disampingnya ada wadah botol plastik pil.
"Anneth segera hubungi ambulans, suruh mereka datang secepatnya."
Dalam kondisi panik itu sembari menunggu kedatangan ambulans, Savvy berusaha menyadarkan wanita muda berambut cat pirang dengan berbagai cara yang ia ketahui sampai terpaksa memberi nafas buatan. Namun, wanita yang masih bernafas itu tetap tak bergeming.
"Dia telah menegak hampir semua pil tidur itu."
"Tapi kenapa dia sampai melakukan itu ? Hmm… Saya rasa tidak banyak yang bisa kita lakukan untuk membuatnya sadar. Kita tunggu saja sampai ambulans datang, Pak."
Butuh waktu yang cukup lama hingga ambulans akhirnya datang. Petugas segera membawa wanita berperawakan kecil itu ke mobil ambulans sebelum menuju rumah sakit. Savvy meminta Anneth untuk ikut menemani wanita itu ke rumah sakit. Rasa kemanusiaan-lah yang akhirnya membuat Anneth luluh dan menuruti perkataan atasannya itu.
Di rumah sakit, Anneth mencoba menghubungi keluarga si wanita itu yang telah ia ketahui namanya dari kartu pengenal yang sengaja diambilnya dari dalam dompet di tas wanita sekarat itu. Anneth terpaksa membawa tas wanita itu dan mengambil ponselnya untuk mengabarkan kondisi krisis wanita itu. Ia menghubungi orang tua wanita itu yang nomornya tersimpan di kontak ponsel.
Nomor yang anda hubungi berada di luar jangkuan area. Hah… Apa orangtuanya tinggal di pelosok ?
Kali ini Anneth mencoba menghubungi Denise, teman Jennie, nama wanita kritis itu dan beruntunglah tersambung. Anneth menjelaskan detail kronologinya dan meminta Denise untuk mengabarkan keluarga Jennie agar segera datang ke rumah sakit yang sudah ia beritahukan lokasinya.
Anneth mondar - mandir dari koridor ICU ke ruang farmasi dan apotek saat dokter menyuruhnya untuk membeli obat ini atau itu dan peralatan ini atau itu untuk memompa perut Jennie. Kalau sudah begitu ia hanya bisa menggerutu apalagi keluarga Jennie juga belum datang sejak ia menghubungi Denise tiga hari lalu.
Ia sempat mendiskusikan mengenai hal ini pada Savvy tapi atasannya meminta agar Anneth sabar dulu menunggu sampai keluarga si pasien datang baru dia bisa bekerja normal seperti sebelumnya. Dua hari kemudian, keluarga Jennie dan Denise datang ke rumah sakit setelah Anneth menghubungi Denise untuk yang kedua kali, tak lama berselang disusul kedatangan Savvy yang juga telah dihubungi Anneth. Savvy dan keluarga Jennie terlibat perbincangan serius mengenai kondisi dan hal lainnya menyangkut administrasi rumah sakit pasien itu.
"Terima kasih." "Apa ?" "Iya, terima kasih karena kau telah membantu tamu hotel kita ketika kondisinya sekarat dan bersedia menjaganya selama di rumah sakit." "Memangnya, kenapa dia sampai melakukan perbuatan konyol itu ?" "Aku tidak tau. Alasan dia melakukan percobaan bunuh diri itu tak perlu dibahas, biarlah menjadi urusan pribadinya." "Sayang sekali dia sampai melakukan hal itu, dia juga masih muda. Hidupnya masih panjang. Betul begitu kan Pak ?"
"Hey, Anneth, apa kau sudah tau, kita kedatangan anggota baru ?" "Benarkah itu ? Siapa dia ?" "Ya, tapi dia berbeda kelas dengan kita. Samara. Assisten Front Office Manajer kita yang baru." "Wah, berarti Pak Leo, Front Office Manajer kita sudah punya wakil dong." "Begitulah. Semoga orang
"Kau sudah dengar, Pak Savvy berkencan dengan Samara, Asmen FO itu sepulang kantor ?", cetus Naomi. "Belum, memangnya kenapa kalau mereka berkencan, apa kau cemburu ?" "Tentu saja tidak. Hanya saja betapa beruntungnya dia, baru masuk kantor hari pertama langsung diajak nonton konser dan ke restoran dengan Pak Savvy. Aku tidak bisa membayangkan kalau Pak Savvy benar anak Pak Devisser, aku pasti langsung bertekuk lutut di hadapannya." Uhuuukkk… "Hey, Ann, kau tersedak, ada apa ? cepat minum ini."
"Tidak seperti yang kau pikir, aku baru saja pulang dari olahraga tenis malam, apa kau tidak lihat bajuku ?" "Ya, tentu saja aku bisa melihatnya tapi kau selalu hadir dalam hidupku. Kenapa ? Apa kau sengaja melakukannya ?" "Tidak sepenuhnya tapi memang ada benarnya." "Apa maksudmu ?" "Ya, aku memang sengaja hadir dalam hidupmu untuk menghantuimu." "Tidak lucu !" "Karena aku memang bukan pelawak." Anneth berusaha mengendalikan nafasnya. "Siapa kau sebenarnya ? Jawab aku sekarang atau jangan pernah lagi menemui dan mendekatiku."
Akhirnya, Anneth telah meninggalkan tempat penginapan lamanya dan sekarang sudah menjadi penghuni baru di salah satu kamar Sakura House. Ia juga telah melakukan pelunasan pada Bu Mona untuk satu bulan menyewa kamar itu, jadi ia tidak memusingkan lagi soal biaya kamar. Anneth juga merasa lebih aman berada disini karena bisa terhindar dari para pria kekar jahat selamanya, mungkin. Ia menganggap mereka telah lenyap dari bumi untuk selamanya. Anneth menganggap area sekitar Sakura House lebih aman dan beruntungnya ia karena letaknya yang terjangkau dari tempat kerjanya di Hotel Pandawa dan kampus, tentu saja. Hari minggu telah berlalu. Anneth hanya bisa mengerahkan segenap kendali diri agar tidak meluapkan emosinya. Pria misterius itu telah mengingkari janjinya.
Anneth akhirnya luluh juga menerima tawaran Savvy untuk pergi keluar bersama. Anneth berusaha menegaskan pada dirinya sendiri bahwa apa yang mereka lakukan bukan kencan, hanya pengenalan mendalam sebagai atasan dan bawahan, tidak lebih. Ia hanya berusaha membatasi hubungannya dengan Savvy. Lagipula, Anneth mempunyai karakter yang tidak akan mencari ribut dengan wanita lain hanya karena masalah memperebutkan seorang pria setelah ia tahu Samara menaruh hati pada Savvy dan mengatakan kalau orang tua mereka sudah menjodohkan mereka berdua. Sejujurnya, ia sangat tak ingin berurusan dengan Samara, si wanita angkuh dan suka mencampuri urusan orang itu. Informasi yang didapat dari temannya yang seorang staff Front Office mengatakan Samara sedang mengambil cuti hari itu, jadi beruntunglah dia yang tak harus adu mulut bahkan mungkin adu jotos dulu untuk keluar berdua dengan S
Ponsel menyebalkan! Kalau saja tidak berdering, Savvy akan menceritakan semuanya padaku. Savvy memang berjanji akan menceritakan sebuah rahasia pada Anneth tapi karena ponsel Savvy berdering dan itu merupakan panggilan penting dan darurat, Savvy akhirnya mengurungkan menceritakan rahasia itu. Namun, ia berjanji akan bercerita pada Anneth di lain kesempatan. Anneth hanya bisa menggerutu. "Sungguh mengerikan!" "Apanya ?" "Selebgram pria dibunuh pacarnya sendiri karena belum menepati janjinya untuk menikahi pacarnya." "Berita yang menghebohkan!" "Hey, itu realita dan aku benar - benar serius mengatakannya."
Anneth memindai bagian depan rumah Devaro. Terdapat jalan setapak sempit yang disamping kanan kirinya dipenuhi dengan beragam tanaman dalam pot termasuk tanaman mahal janda bolong ada disana. Ia berdecak kagum saat memperhatikan setiap detail bagian rumah Devaro. Anneth menggeser sliding door setinggi tiga meter yang berupa kaca berlukiskan panda makan bambu dan kayu jati, ia terkesima dengan paduan beton dan kayu yang mengelilingi bagian dalam rumah Devaro. Wallpaper bunga sakura nuansa korea langsung menyambutnya saat Devaro menyuruhnya duduk di sofa ruang tamu. "Kau mau minum apa ?" Anneth terkejut saat mendengar suara Devaro yang menggema tiba - tiba dari sisi mini bar. "Ap