Arnon ingin sekali memukul tembok atau melempar apa yang ada di depannya. Ini yang selalu menjadi masalah saat dia bicara dengan mamanya. Tak pernah sejalan. Mamanya memandang kemewahan dan pandangan orang tentang dirinya hal utama di dalam hidup.
"Mama! Kita punya segala kemewahan, tapi tidak martabat!!" Dengan mata menyala Arnon memandang wanita yang melahirkan dirinya itu.
"Arnon!" sentak Arnella kesal.
"Kalau Mama bilang agar aku punya martabat, aku belum lahir saat Mama menikah dengan Tuan Ardiansyah Hendrawan yang kaya raya dan sudah punya dua wanita dalam hidupnya. Aku bahkan belum ada di pikiran Mama." Arnon menatap tajam pada Arnella.
Arnella kali ini tidak membantah. Arnon benar.
"Aku ini punya otak dan ingatan. Apa yang di luar sana beredar aku juga dengar. Aku harus menelan sakit jika ada bisikan yang menyebut, Arnon, anak wanita gila harta. Tidak malu jadi istri ketiga demi kemewahan. Mama pikir itu martabat? Martabat dilihat dari mana? Dari kutub utara?" Arnon mencibir. Hatinya sangat panas sekarang.
"Kenapa kamu pusing yang orang bilang?!" sahut Arnella.
"Kenapa Mama pusing soal martabat jika itu hanya apa yang orang bilang?!" bantah Arnon.
"Aku lelah ribut dengan kamu, Arnon!" Arnella menyerah tak bisa dia membuat Arnon menurut apa yang dia mau.
"Aku juga lelah karena terus saja dikejar soal menikah, menikah, harta, harta. Aku juga lelah, Ma!" Bersih kukuh Arnon menolak permintaan mamanya.
"Apa karena gadis itu? Fea?" Suara Arnella merendah, tapi nada kesal dan sinis masih tersisa di sana.
"Fea. Dia sangat penting buat aku, Ma. Jangan katakan apapun yang buruk tentang dia." Arnon bisa mengerti ke mana arah pembicaraan Arnella.
"Aku tak akan pernah merestui kamu menikah dengan gadis rendahan seperti dia. Ada banyak gadis berkelas, ambil salah satu dari mereka. Yang mana saja, tapi yang pasti bukan pelayan itu," tandas Arnella. Dia bicara dengan tegas agar putranya itu mendengar jelas yang dia katakan.
"Sudahlah. Aku tidak lapar lagi. Aku berangkat." Arnon meninggalkan meja dan berjalan keluar rumah. Hatinya sangat dongkol harus berselisih lagi dengan mamanya.
Dengan mobilnya Arnon menuju ke restorannya. Di sana dia bisa lebih tenang. Lebih baik tenggelam dalam pekerjaannya daripada di rumah ribut saja dengan mamanya.
"Selamat pagi, Pak." Pelayan restoran di depan pintu menyapa Arnon.
"Pagi, Dani. Kamu segar sekali pagi ini." Inilah Arnon. Sekesal-kesal hatinya, dia tidak mau membawanya ke restoran saat bertemu pegawainya. Dia telan sendiri, dia tetap bersikap manis pada semua orang.
"Terima kasih, Pak." Dani mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Apa Chef Riko sudah datang?" Arnon menoleh lagi pada Dani.
"Sudah, Pak. Baru kira-kira sepuluh menit yang lalu." Dengan cepat Dani menjawab.
"Oke. Thank you, Dani." Arnon meneruskan langkah menuju ke dapur restoran.
"Bukannya mobil Chef Riko diparkir di depan? Masa Pak Arnon ga lihat?" gumam Dani. Dia merasa aneh saja pada bosnya.
Arnon masuk dapur. Pandangan Arnon tertuju pada Chef Riko yang sedang memberi arahan pada beberapa pembantunya. Arnon tidak mengganggu. Dia menunggu hingga briefing itu selesai.
Lalu dia mengajak Riko bicara tentang beberapa hal, baru Arnon beranjak menuju ke ruangannya. Duduk di sana, Arnon memandang pigura di mejanya. Gambar itu Fea yang membuatnya, saat ulang tahun Arnon kedua belas.
Dalam gambar itu ada anak laki-laki dan perempuan. Mereka bergandeng tangan, sambil tersenyum. Itu Fea dan Arnon. Di bagian bawah gambar itu ada tulisan tangan Fea. Bersama, selamanya.
"Fea." Arnon mengusap gambar itu. "Aku sayang kamu. Tapi tidak semudah itu bersama kamu, Fea. Ada banyak hal yang menghalangi. Aku tak ingin melukai kamu jika melangkah lebih. Tapi aku tidak rela jika kamu pergi dengan orang lain."
Arnon menutup matanya. Wajah cantik Fea terlihat di pikiran Arnon. Senyum gadis itu membuat Arnon tenang. Kesabaran Fea selama ini, membuat Arnon merasa kuat.
Hal pertama yang membuat Arnon tenang dan suka di dekat Fea, saat sakit Arnon kambuh. Itu hari ketiga Fea berada di rumahnya. Mereka baru saja berteman. Asma yang Arnon derita membuat dia sesak dan sangat kesakitan. Arnon tidak tahu lagi apa yang dia rasa. Obat belum bereaksi dan Arnon seperti mau mati rasanya.
Fea berdiri di pinggir tempat tidur Arnon. Mata gadis kecil itu berkaca-kaca. Dia tidak tega melihat Arnon kesakitan.
"Tuan Muda, lihat aku ... Lihat aku ..." Fea memegang tangan Arnon.
Arnon memaksa tetap sadar dan menatap pada Fea.
"Jangan takut, Tuan Muda. Aku akan menemani Tuan Muda. Kita nanti main sama-sama lagi. Pegang tanganku, Tuan Muda pasti baik-baik saja." Suaranya tidak keras bicara pada Arnon. Dia sedikit takut terdengar neneknya dan mama Arnon yang sedang bicara dengan dokter di kamar itu.
Arnon memaksa memandang mata Fea. Matanya sangat bagus. Air mata yang tergenang di pelupuk mata Fea membuat Arnon kuat. Dia tidak mau Fea menangis karena dia. Teman barunya tidak harus bersedih melihatnya seperti itu.
"Fea ..." lirih Arnon bergumam, masih dengan mata terpejam, kepala di sandaran kursinya yang besar.
Tidak ada wanita yang bisa mengisi hati Arnon seperti Fea. Dia berbeda dengan wanita yang dia pernah kenal. Yang Arnon tahu, itu karena Nenek Ellina. Arnon sangat sayang Nenek Ellina. Wanita itu tulus memperhatikan Arnon, lebih dari orang tua kandung Arnon sendiri.
Beberapa hal yang Fea lakukan mengingatkan Arnon pada Nenek Ellina. Lembut, tapi tegas. Penyayang dan baik hati. Tidak ada rasa benci di hati mereka untuk orang lain. Bahkan saat disakiti mereka memilih tidak akan membalas marah atau benci.
"Nenek, terima kasih sudah membawa Fea buat aku. Jika tidak ada Fea, entah hidup seperti apa yang aku jalani di istana nyonya ketiga Tuan Hendrawan." Arnon mencibir.
Mengingat masa kecilnya hanya luka yang terus Arnon ingat. Papanya, benar, seorang pengusaha sukses. Tapi dia bukan tipe kepala keluarga. Dia tidak tahu bagaimana menjadi seorang ayah. Dia hanya datang dan pergi di rumah besar itu. Kadang tinggal beberapa hari, kadang lebih sebulan tidak tampak.
Saat dia datang, tidak ada senyum buat Arnon. Dia menatap kaku dan tajam pada anak lelakinya yang masih bocah dan sakit-sakitan itu. Arnon merasa Tuan Hendrawan tidak sayang padanya. Tidak ada kedekatan yang terjalin di antara mereka.
Sedang Arnella, dia pun bukan Mama seperti yang Arnon harapkan. Saat dia masih kecil, masih cukup sering meluangkan waktu dengan Arnon. Tapi semakin Arnon besar, hanya para pelayan yang menemani. Sesekali saja Arnella duduk dan bicara dengan Arnon. Akhirnya Arnon mengerti bahwa mamanya memilih sibuk ber-sosial di luar rumah, menjaga image sebagai istri pengusaha besar yang berjiwa sosial tinggi.
Saat semua kenangan itu muncul, Arnon merasa tidak dicintai. Cinta yang dia rasa justru datang dari para pelayan, terutama Nenek Ellina dan Fea. Arnon belajar tentang cinta dan kasih sayang dari kedua perempuan yang orang tuanya katakan orang dari kelas rendahan.
Tuuuttt!!
Arnon membuka mata dan menegakkan kepalanya. Ada panggilan dari interkom. Arnon menerima panggilan itu.
"Ya?!" Satu kata yang Arnon ucapkan.
"Maaf, Pak. Ada Nona Gladys ingin bertemu." Itu suara dari front office.
"Oke, suruh saja masuk." Arnon menjawab.
"Baik, Pak." Dan panggilan itu berakhir.
"Mau apa lagi dia? Pasti ingin beli tas atau sepatu branded lagi. Dasar." Arnon bisa menebak apa tujuan Gladys salah satu teman kencannya itu datang.
Pintu ruangan Arnon terbuka. Wanita tinggi langsing dengan pakaian minim berwarna merah menyala, masuk. Cantik, dengan polesan yang membuat dia terlihat lebih segar dan menawan. Gladys, Arnon mengenalnya saat menghadiri pembukaan sebuah perumahan milik rekan bisnisnya tiga tahun lalu. Gladys adalah sekretaris pengusaha ternama. Dia pecinta pria berduit dan tampan seperti Arnon. Dengan langkah aduhai dia mendekati Arnon, langsung memberi kecupan mesra pada Arnon yang duduk di kursinya. Arnon membalas perlakuan Gladys. Hingga beberapa menit kemudian Arnon melepasnya. "Kamu pasti merindukan aku, Sayang. Hampir sebulan aku sibuk dengan pekerjaan. Hari ini aku minta off dan aku sengaja ingin memakai waktu bersama kamu." Gladys berdiri di belakang kursi Arnon, melingkarkan tangan ke dada Arnon, sambil berbisik mesra di telinga pria itu. "Kamu datang di hari yang kurang bagus. Mood-ku sedang berantakan, Gladys. Aku hanya ingin menenan
Makan malam terus berlanjut. Irvan membicarakan hal-hal sederhana yang membuat suasana malam itu menyenangkan. Irvan memang pintar juga melucu, bolak balik Fea tertawa, sampai menutup mulut takut lepas tak terkontrol lagi."Begitu, deh. Ga nyangka kan, maunya buat seru-seruan, malah bikin aku malu. Beneran kalau ingat itu pingin kabur aja. Hee ... hee ..." Irvan mengisahkan kejadian lucu saat dia masih sekolah.Fea tersenyum lebar sambil geleng-geleng. Dia perhatikan Irvan, lesung pipinya bagus, membuat dia makin menawan. Ya, dia kekasih Fea sekarang, bisa dibanggakan juga soal tampang. Tidak kalah dengan Arnon."Kamu senang malam ini?" Irvan memandang Fea yang masih menghabiskan makanan di piringnya. Tinggal dua suap lagi selesai."Ya, seru juga mendengar cerita kamu, Ir. Malam yang menyenangkan. Thank you." Fea tersenyum manis. Dia akan mencoba melebarkan hatinya, menerima Irvan, menikmati kasih sayangnya, siapa tahu, hati Fea pu
Arnon terdiam dengan apa yang Fea katakan. Kali ini Arnon mendengarkan dengan serius yang diucapkan gadis itu. Harapan dan impian Fea. Bukan kali ini saja Fea mengutarakan apa yang dia inginkan dalam hidupnya. Sebuah keluarga, dengan pria yang mencintainya, yang dia cintai, dan merawat anak-anak mereka. Keluarga sederhana tapi hidup bahagia.Setiap Fea bercerita tentang itu, Arnon ingin tertawa. Kadang dia memang sudah tertawa dan membuat Fea enggan mengatakannya lagi. Kadang Arnon pikir itu hanya khayalan saja, bukan sesuatu yang serius. Tapi kali ini, Arnon merasa Fea benar-benar ingin mewujudkan harapannya itu. Dengan pria yang bersamanya tadi?"Siapa dia?" Arnon menatap lebih tajam pada dua bola mata Fea."Namanya Irvan. Dia wakil direksi di kantor. Orangnya sabar dan ramah. Kamu jangan kuatir, aku akan baik-baik saja sama dia." Fea mencoba setenang mungkin bicara, dia mau melunakkan hati Arnon agar akhirnya Arnon melepaskannya dari janji m
Fea yakin tidak salah dengar. Tuan Muda mengajak dia pergi ke kantor bareng? Mata Fea memandang Arnon, bibirnya membulat, bingung."Kamu mau terlambat sampai kantor? Ayo, jalan sekarang." Arnon meraih tangan Fea dan menggandeng gadis itu hingga sampai di garasi.Arnon membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk dia menoleh pada Fea yang masih berdiri mematung. Fea benar-benar tidak mengerti Arnon. Apa yang terjadi dengan cowok itu?"Masuk, Fea!" titah Arnon.Fea sedikit tersentak. Dia nurut. Fea membuka pintu mobil, masuk, dan duduk di sisi Arnon."Kamu bukan sedang mabuk, kan?" Fea melihat Arnon yang mulai melakukan kendaraannya."Ini masih pagi. Belum jam delapan. Kamu pikir aku segila itu, mabuk di pagi hari?" Arnon menarik ujung bibirnya."Aku sudah bertahun-tahun ke mana-mana sendiri. Ke kantor juga punya langganan ojek. Kenapa kamu mau antar aku? Resto kamu dan kantor tempat aku bekerja itu beda arah
Riko tersenyum kepada Arnon. Pertanyaan ini yang Riko tunggu dari Arnon. Pria yang gemar bermain wanita cantik itu mulai ingin tahu kenapa seorang pria hanya bisa bertahan dengan satu wanita dalam ikatan pernikahan. Sebab teman-teman Arnon yang ada di sekelilingnya, banyak juga yang tetap mencari wanita di luar rumah sekalipun sudah menikah. Lalu papanya yang punya tiga istri, membuat Arnon merasa aneh jika pria sanggup hidup hanya dengan satu wanita."Aku mungkin bisa kamu bilang kolot, kuno, jadul, atau terlalu konservatif, terserah. Tapi aku akan mulai dari paling dasar dan paling awal Arnon." Riko memandang Arnon.Arnon menyilangkan kaki, menatap pada Riko dengan serius. Riko masih memandang Arnon, memastikan temannya yang galau itu mau mendengarkan dia."Oke. Lanjut. Aku ga akan komentar apa-apa." Arnon menyahut."Kalau begitu baiklah. Aku akan mulai. Kamu harus tahan dengan temanmu yang satu ini. Siap?" ujar Riko.
Lagi-lagi Fea terpana dengan sikap Arnon. Dia mendatangi Fea dan memohon? Fea tidak mengerti kenapa Arnon begini? Tapi yang Fea lihat Arnon gundah. Wajahnya campur aduk. Antara marah, sedih, dan kesal."Arnon, kita sudah bicara soal itu. Aku tidak bisa mempermainkan Irvan. Apa alasan aku memutuskan dia?" Fea memandang Arnon.Arnon meraup rambutnya kasar. Dia tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang berkecamuk di hatinya. Tuntutan orang tuanya, juga kemarahan Arnon karena cemburu."Hei, kamu baik-baik saja?" Fea mencoba melunak.Mungkin saja Arnon ada masalah dengan pekerjaan, atau dia ribut dengan salah satu wanitanya? Fea maju dan menarik tangan Arnon."Tidak. Aku ... Fea, kamu cinta sama Irvan?" Dan pertanyaan ini lagi yang Arnon ucapkan.Fea tersenyum. Jadi Arnon sangat kuatir jika Fea tidak bahagia dengan Irvan? Apa itu yang membuat dia kacau begini?"Hm, kurasa aku ingin menikmati sesuatu
Fea membereskan mejanya. Dia segera beranjak. Arnon menunggu di tempat parkir. Fea tidak tahu apa yang Arnon mau lakukan. Tapi dia benar-benar membuat Fea terkejut kali ini."Fea! Mau jalan? Diajak ke mana?" Rania masih mengira Fea akan pergi dengan Irvan."Arnon." Fea bicara dengan jelas tapi tanpa suara."Hah? Arnon?" ulang Rania.Fea mengangguk dan cepat-cepat keluar. Rania jadi bingung. Arnon yang menelpon? Cowok itu menelpon dan Fea tergesa-gesa pergi. Artinya Arnon meminta Fea melakukan sesuatu. Dan begitu saja Fea manut?Rania tidak habis pikir. Sahabatnya itu sudah punya Irvan sekarang. Lalu kenapa masih segitu pusingnya dengan Arnon. Apa dia tidak mau melepas Arnon? Kalau begini, bisa runyam urusannya nanti dengan Irvan."Aku sama sekali ga bisa paham dengan cara berpikir kamu, Fea." Rania menggumam dan menggeleng kesal. Dia pun membereskan meja, sudah waktunya pulang.Rania baru berdiri, Ir
Fea mengeluarkan ponselnya. Terkejut, sangat terkejut. Irvan menelpon beberapa kali. Cowok itu juga mengirim pesan menanyakan dirinya.Fea merasa bodoh. Dia sama sekali tidak ingat Irvan. Sejak Arnon bilang menjemput, Fea hanya mau cepat menemui Arnon, ingin tahu mau apa cowok itu tiba-tiba nongol ke kantor Fea.Dan kejutan Arnon, benar-benar mengalihkan Fea dari hal yang lain. Fea menikmati waktu berdua Arnon, karena sangatlah menyenangkan. Sekarang, Fea harus menjelaskan apa yang terjadi pada Irvan."Irvan, maaf, aku benar-benar ga ingat kamu pasti akan menemui aku sebelum pulang. Jika mungkin kamu akan mengantarkan aku juga. Astaga, Fea ..."Cepat-cepat Fea memberi balasan pesan pada Irvan.- Ir, maafkan aku pergi tanpa pamit. Arnon tiba-tiba jemput dan ada yang dia mau tunjukkan. Lain kali aku pasti kabari kalau harus mendadak pergi.Fea berharap kekasihnya bisa mengerti. Toh, Fea sudah menjelaskan den
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b