Fea melirik Rania yang asyik menggoda Fea karena dapat kiriman kotak cantik itu.
"Bingkisan cinta? Ngomong ngasal, kan?" tukas Fea. Tangan gadis itu membuka pita yang melilit manis di kotak merah marun. Lalu Fea membuka penutup kotak itu. Di dalamnya, jam tangan manis. Kecil, berwarna silver. Ada permata di beberapa titik, bagus sekali. Dan pasti sangat mahal. "Astaga! Fea, ini berapa duit? Itu pasti dari Irvan. Beneran dia cinta kamu, Fe." Rania langsung yakin kalau kotak itu kiriman Irvan. Fea juga hampir yakin. Karena beberapa kali Irvan melakukan ini. Dia pernah mengirim bunga dan coklat. Lalu juga dia mengirim tas cantik dan elegan. Lain waktu datang kiriman bros dan jepitan rambut indah. Tapi kali ini, jam tangan itu, pasti sangat mahal. Fea melihat ada kertas putih terlipat di dalam kotak. Saat Fea mengangkatnya, harum terasa menyeruak ke hidung Fea dari kertas imut itu. Fea membuka kertas itu dan membacanya. "Waktu terus melaju, tapi aku tak akan melangkah ke manapun. Aku masih di sini, menunggu kamu. Love fully, Irvan." Dalam hati Fea membaca. "Benar, kan?" Rania mencondongkan wajahnya ke dekat Fea, lalu dia memainkan kedua alisnya sambil bibirnya tersenyum simpul. "Ya. Aku ga bisa terima ini, Ran. Irvan pantas bahagia dengan wanita yang cinta padanya." Fea memasukkan lagi jam tangan ke dalam kotak kecil itu. "Hei, jangan bodoh, Fea. Irvan siap membahagiakan kamu. Dan aku yakin kamu bisa cinta pada Irvan. Dia sangat baik, Fe. Mau tunggu apa lagi?" Geram Rania pada sahabatnya itu. "Ran, aku hanya akan membohongi diriku dan Irvan kalau aku iyakan sementara hatiku untuk orang lain." Fea menatap Rania. "Orang lain yang ga mungkin melihat kamu? Fea, kalau dia memang sahabat kamu, dia akan mendukung apa yang membuat kamu bahagia. Bukan mengikat dan menjebak kamu kayak gini." Rania memegang lengan Fea. Fea diam. Tapi kali ini dia merasa Rania benar. "Setidaknya, cobalah. Jalani dulu. Jika memang bukan jodoh, kamu dan Irvan akan tahu kalian ga mungkin sama-sama. Dan Irvan, akan dengan rela melepas perasaannya darimu, kemudian mencari hati yang tepat buat dirinya." Rania mencoba membujuk Fea. Rania sangat yakin kalau Irvan adalah pria yang tepat buat Fea. Irvan adalah salah satu wakil direksi di kantor tempat mereka bekerja. Dia sudah mapan, meski tidak se-Sultan keluarga Arnon. Dengan semua yang dia miliki, Fea akan bisa hidup sangat baik nanti, jika dia menerima Irvan. Fea tidak menjawab, tapi dia bisa memahami pikiran Rania. Ya, kenapa tidak dia coba? Dua tahun bukan waktu pendek untuk Irvan berjuang meluluhkan hati Fea. "Tapi, Arnon ... Dia akan marah ...""Kalau dia marah itu karena dia egois. Tunjukkan padanya kamu sedang mengejar kebahagiaan kamu. Dia harus menghargainya." Rania menyela tidak menunggu Fea selesai bicara. "Ya, aku tahu ... aku paham, Ran." Fea mengangguk. "Jadi?" Rania kembali mendekatkan mukanya pada Fea. "Hmm ..." Fea menarik nafas dalam. "Aku akan beri Irvan kesempatan.""Yes!! Finally ..." Rania memegang kedua lengan Fea, lega, senang. Fea tersenyum, tapi hatinya tidak lega. "Coba chat. Ayo, ajak dia ketemu untuk bicara." Rania bersemangat sekali. "Ya, Ran. Kok kamu yang heboh." Fea merengut. Tapi dia nurut juga. Fea mencari kontak Irvan di ponsel, lalu dia chat pria itu. - Thanks for your giftItu yang Fea kirim pada Irvan. "Bilang apa?" tanya Rania. "Terima kasih buat hadiahnya." Fea meletakkan ponsel di meja. "Hah? Gitu doang?" Rania mengangkat kedua alisnya, menatap fea. "Lha, bener kan, aku bilang terima kasih." Fea balas menatap Rania. "Fea!" Gemes benar Rania dengan Fea. "Bilang mau ketemu, gitu.""Biar dia yang minta ketemu." Fea tidak mau nurut kali ini. "Hei, cewek satu ini memang!" Rania menggeleng keras kesal. Ting! Notif di ponsel Fea. Fea melihat ke layar ponselnya. Mata Rania juga tertuju pada benda pipih itu. "Lihat dia jawab apa?" Rania tidak sabar mengetahui chat dari Irvan, jawaban untuk Fea. Fea membuka chat balasan Irvan. Dia dekatkan ponsel ke arah Rania, biar sobat rempong yang satu ini ikut membaca pesan Irvan. - Bisakah kita makan malam hari ini? "Ahhh ..." Rania tersenyum lebar. Dia yang deg deg plas membaca pesan itu. "Iya mau, mau!"Fea menarik ujung bibirnya melihat Rania heboh. "Ayo, cepat jawab," desak Rania. - Ya, di mana? Tidak lama balasan Irvan masuk lagi. - Tunggu saja di ruangan kamu. Aku jemput. "Ihh, tuh, kan. Dia ga minta kamu ke ruangan dia. Dia mau jemput kamu. Sweet banget, Fea." Rania berekspresi seolah dia yang diajak pergi makan malam. "Hmm, iya," Fea tersenyum merasa lucu dengan tingkah Rania. "Udah, kerja. Kelamaan nimbrung doang." Fea memutar badannya. Dia simpan kotak dari Irvan dalam tasnya, lalu mulai menatap layar monitor dari komputer di mejanya. Rania pun balik ke tempatnya sendiri dan kembali sibuk. Sesekali dia menengok Fea, tidak sabar melihat temannya itu akan bertemu Irvan dan jadian sama cowok ganteng dan keren, salah satu idola di kantor ini. *****Di rumah besar keluarga Hendrawan. Arnon duduk di ruang makan, dia sedang sarapan ditemani mamanya. Arnella Dewinta. Mama Arnon berusia empat puluh tujuh tahun, masih terlihat segar, cantik, modis. Simple tapi tetap menampakkan penampilan mama sosialita. "Arnon, kapan kamu akan menikah? Kamu sudah cukup umur untuk pegang perusahaan papa yang akan diserahkan sama kamu." Arnella melihat pada Arnon. Lalu dia mengaduk teh hangat di cangkirnya. "Aku ga pingin nikah, Ma." Arnon menjawab santai. Ini sudah yang kesekian kali mamanya bertanya. Dan jawaban Arnon akan sama. "Arnon, mana bisa begitu? Kamu tahu syarat kamu bisa pegang perusahaan papa kamu, kamu harus punya pendamping. Dan batas waktunya sampai tahun depan kamu usia dua puluh enam tahun." Arnella mengerutkan keningnya. Setiap dia bicara soal ini, selalu saja mentok di titik yang sama. "Aku sudah punya usaha sendiri, Ma. Restoranku berjalan bagus. Tiga bulan ke depan aku buka tiga cabang sekaligus. Aku ga butuh perusahaan papa untuk makan dan beli pulsa." Arnon melirik mamanya lalu mengigit roti yang dia pegang. "Arnon! Kamu punya hak atas apa yang papa siapkan buat kamu!" Kali ini Arnella mulai tak sabar. "Mama, aku bukan anak yang dibanggakan papa. Aku hanya anak dari istri ketiga. Masih bagus dia beri semua kemewahan ini. Aku bahkan ingin keluar dan tinggal di tempat yang aku siapkan buat diriku sendiri." Arnon tidak kalah kesal. Ardiansyah Hendrawan, milyader yang dikenal dermawan dan suka menolong. Termasuk menolong wanita dan menikahinya. Ardiansyah punya tiga istri. Setiap istrinya mendapat istana dengan segala fasilitasnya. Tapi mereka tidak begitu saling kenal dan tidak akur. Istri pertama dengan tiga anak, dua perempuan dan satu laki-laki. Istri kedua punya dua anak perempuan, dan istri ketiga mama Arnon dengan anak satu-satunya, Arnon. Dari tiga istri, hanya dua anak laki-laki yang paling mungkin memegang perusahaan yang dimiliki Ardiansyah. Tapi Arnon, dia tak tertarik. Arnon tidak mau ribut dengan saudara-saudara tirinya. Tidak saling kenal, tapi saling membenci. Buat Arnon itu aneh. Ardiansyah sendiri pernah membujuk Arnon agar cepat menikah dan memegang perusahaan yang akan diteruskan padanya. "Aku lebih suka bermain banyak wanita tanpa beresiko menghidupi mereka. Aku lebih bebas, tidak pusing, seperti dirimu." Itu yang Arnon katakan pada papanya. Ardiansyah sampai sekarang tidak berhasil mendekati Arnon. "Arnon, aku hidup dengan Ardiansyah meski bukan istri satu-satunya, karena ingin kamu menjadi pantas di mata kolega dan orang luar, punya martabat dan dipandang." Arnella kembali menatap putranya dengan rasa geram. "Martabat?! Mama bilang martabat?!" Arnon meletakkan rotinya dan berdiri. Dia pandang tajam Arnella dengan tangan terkepal.Arnon ingin sekali memukul tembok atau melempar apa yang ada di depannya. Ini yang selalu menjadi masalah saat dia bicara dengan mamanya. Tak pernah sejalan. Mamanya memandang kemewahan dan pandangan orang tentang dirinya hal utama di dalam hidup."Mama! Kita punya segala kemewahan, tapi tidak martabat!!" Dengan mata menyala Arnon memandang wanita yang melahirkan dirinya itu."Arnon!" sentak Arnella kesal."Kalau Mama bilang agar aku punya martabat, aku belum lahir saat Mama menikah dengan Tuan Ardiansyah Hendrawan yang kaya raya dan sudah punya dua wanita dalam hidupnya. Aku bahkan belum ada di pikiran Mama." Arnon menatap tajam pada Arnella.Arnella kali ini tidak membantah. Arnon benar."Aku ini punya otak dan ingatan. Apa yang di luar sana beredar aku juga dengar. Aku harus menelan sakit jika ada bisikan yang menyebut, Arnon, anak wanita gila harta. Tidak malu jadi istri ketiga demi kemewahan. Mama pikir itu martabat? M
Pintu ruangan Arnon terbuka. Wanita tinggi langsing dengan pakaian minim berwarna merah menyala, masuk. Cantik, dengan polesan yang membuat dia terlihat lebih segar dan menawan. Gladys, Arnon mengenalnya saat menghadiri pembukaan sebuah perumahan milik rekan bisnisnya tiga tahun lalu. Gladys adalah sekretaris pengusaha ternama. Dia pecinta pria berduit dan tampan seperti Arnon. Dengan langkah aduhai dia mendekati Arnon, langsung memberi kecupan mesra pada Arnon yang duduk di kursinya. Arnon membalas perlakuan Gladys. Hingga beberapa menit kemudian Arnon melepasnya. "Kamu pasti merindukan aku, Sayang. Hampir sebulan aku sibuk dengan pekerjaan. Hari ini aku minta off dan aku sengaja ingin memakai waktu bersama kamu." Gladys berdiri di belakang kursi Arnon, melingkarkan tangan ke dada Arnon, sambil berbisik mesra di telinga pria itu. "Kamu datang di hari yang kurang bagus. Mood-ku sedang berantakan, Gladys. Aku hanya ingin menenan
Makan malam terus berlanjut. Irvan membicarakan hal-hal sederhana yang membuat suasana malam itu menyenangkan. Irvan memang pintar juga melucu, bolak balik Fea tertawa, sampai menutup mulut takut lepas tak terkontrol lagi."Begitu, deh. Ga nyangka kan, maunya buat seru-seruan, malah bikin aku malu. Beneran kalau ingat itu pingin kabur aja. Hee ... hee ..." Irvan mengisahkan kejadian lucu saat dia masih sekolah.Fea tersenyum lebar sambil geleng-geleng. Dia perhatikan Irvan, lesung pipinya bagus, membuat dia makin menawan. Ya, dia kekasih Fea sekarang, bisa dibanggakan juga soal tampang. Tidak kalah dengan Arnon."Kamu senang malam ini?" Irvan memandang Fea yang masih menghabiskan makanan di piringnya. Tinggal dua suap lagi selesai."Ya, seru juga mendengar cerita kamu, Ir. Malam yang menyenangkan. Thank you." Fea tersenyum manis. Dia akan mencoba melebarkan hatinya, menerima Irvan, menikmati kasih sayangnya, siapa tahu, hati Fea pu
Arnon terdiam dengan apa yang Fea katakan. Kali ini Arnon mendengarkan dengan serius yang diucapkan gadis itu. Harapan dan impian Fea. Bukan kali ini saja Fea mengutarakan apa yang dia inginkan dalam hidupnya. Sebuah keluarga, dengan pria yang mencintainya, yang dia cintai, dan merawat anak-anak mereka. Keluarga sederhana tapi hidup bahagia.Setiap Fea bercerita tentang itu, Arnon ingin tertawa. Kadang dia memang sudah tertawa dan membuat Fea enggan mengatakannya lagi. Kadang Arnon pikir itu hanya khayalan saja, bukan sesuatu yang serius. Tapi kali ini, Arnon merasa Fea benar-benar ingin mewujudkan harapannya itu. Dengan pria yang bersamanya tadi?"Siapa dia?" Arnon menatap lebih tajam pada dua bola mata Fea."Namanya Irvan. Dia wakil direksi di kantor. Orangnya sabar dan ramah. Kamu jangan kuatir, aku akan baik-baik saja sama dia." Fea mencoba setenang mungkin bicara, dia mau melunakkan hati Arnon agar akhirnya Arnon melepaskannya dari janji m
Fea yakin tidak salah dengar. Tuan Muda mengajak dia pergi ke kantor bareng? Mata Fea memandang Arnon, bibirnya membulat, bingung."Kamu mau terlambat sampai kantor? Ayo, jalan sekarang." Arnon meraih tangan Fea dan menggandeng gadis itu hingga sampai di garasi.Arnon membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk dia menoleh pada Fea yang masih berdiri mematung. Fea benar-benar tidak mengerti Arnon. Apa yang terjadi dengan cowok itu?"Masuk, Fea!" titah Arnon.Fea sedikit tersentak. Dia nurut. Fea membuka pintu mobil, masuk, dan duduk di sisi Arnon."Kamu bukan sedang mabuk, kan?" Fea melihat Arnon yang mulai melakukan kendaraannya."Ini masih pagi. Belum jam delapan. Kamu pikir aku segila itu, mabuk di pagi hari?" Arnon menarik ujung bibirnya."Aku sudah bertahun-tahun ke mana-mana sendiri. Ke kantor juga punya langganan ojek. Kenapa kamu mau antar aku? Resto kamu dan kantor tempat aku bekerja itu beda arah
Riko tersenyum kepada Arnon. Pertanyaan ini yang Riko tunggu dari Arnon. Pria yang gemar bermain wanita cantik itu mulai ingin tahu kenapa seorang pria hanya bisa bertahan dengan satu wanita dalam ikatan pernikahan. Sebab teman-teman Arnon yang ada di sekelilingnya, banyak juga yang tetap mencari wanita di luar rumah sekalipun sudah menikah. Lalu papanya yang punya tiga istri, membuat Arnon merasa aneh jika pria sanggup hidup hanya dengan satu wanita."Aku mungkin bisa kamu bilang kolot, kuno, jadul, atau terlalu konservatif, terserah. Tapi aku akan mulai dari paling dasar dan paling awal Arnon." Riko memandang Arnon.Arnon menyilangkan kaki, menatap pada Riko dengan serius. Riko masih memandang Arnon, memastikan temannya yang galau itu mau mendengarkan dia."Oke. Lanjut. Aku ga akan komentar apa-apa." Arnon menyahut."Kalau begitu baiklah. Aku akan mulai. Kamu harus tahan dengan temanmu yang satu ini. Siap?" ujar Riko.
Lagi-lagi Fea terpana dengan sikap Arnon. Dia mendatangi Fea dan memohon? Fea tidak mengerti kenapa Arnon begini? Tapi yang Fea lihat Arnon gundah. Wajahnya campur aduk. Antara marah, sedih, dan kesal."Arnon, kita sudah bicara soal itu. Aku tidak bisa mempermainkan Irvan. Apa alasan aku memutuskan dia?" Fea memandang Arnon.Arnon meraup rambutnya kasar. Dia tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang berkecamuk di hatinya. Tuntutan orang tuanya, juga kemarahan Arnon karena cemburu."Hei, kamu baik-baik saja?" Fea mencoba melunak.Mungkin saja Arnon ada masalah dengan pekerjaan, atau dia ribut dengan salah satu wanitanya? Fea maju dan menarik tangan Arnon."Tidak. Aku ... Fea, kamu cinta sama Irvan?" Dan pertanyaan ini lagi yang Arnon ucapkan.Fea tersenyum. Jadi Arnon sangat kuatir jika Fea tidak bahagia dengan Irvan? Apa itu yang membuat dia kacau begini?"Hm, kurasa aku ingin menikmati sesuatu
Fea membereskan mejanya. Dia segera beranjak. Arnon menunggu di tempat parkir. Fea tidak tahu apa yang Arnon mau lakukan. Tapi dia benar-benar membuat Fea terkejut kali ini."Fea! Mau jalan? Diajak ke mana?" Rania masih mengira Fea akan pergi dengan Irvan."Arnon." Fea bicara dengan jelas tapi tanpa suara."Hah? Arnon?" ulang Rania.Fea mengangguk dan cepat-cepat keluar. Rania jadi bingung. Arnon yang menelpon? Cowok itu menelpon dan Fea tergesa-gesa pergi. Artinya Arnon meminta Fea melakukan sesuatu. Dan begitu saja Fea manut?Rania tidak habis pikir. Sahabatnya itu sudah punya Irvan sekarang. Lalu kenapa masih segitu pusingnya dengan Arnon. Apa dia tidak mau melepas Arnon? Kalau begini, bisa runyam urusannya nanti dengan Irvan."Aku sama sekali ga bisa paham dengan cara berpikir kamu, Fea." Rania menggumam dan menggeleng kesal. Dia pun membereskan meja, sudah waktunya pulang.Rania baru berdiri, Ir
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b