Riko tersenyum kepada Arnon. Pertanyaan ini yang Riko tunggu dari Arnon. Pria yang gemar bermain wanita cantik itu mulai ingin tahu kenapa seorang pria hanya bisa bertahan dengan satu wanita dalam ikatan pernikahan. Sebab teman-teman Arnon yang ada di sekelilingnya, banyak juga yang tetap mencari wanita di luar rumah sekalipun sudah menikah. Lalu papanya yang punya tiga istri, membuat Arnon merasa aneh jika pria sanggup hidup hanya dengan satu wanita.
"Aku mungkin bisa kamu bilang kolot, kuno, jadul, atau terlalu konservatif, terserah. Tapi aku akan mulai dari paling dasar dan paling awal Arnon." Riko memandang Arnon. Arnon menyilangkan kaki, menatap pada Riko dengan serius. Riko masih memandang Arnon, memastikan temannya yang galau itu mau mendengarkan dia. "Oke. Lanjut. Aku ga akan komentar apa-apa." Arnon menyahut. "Kalau begitu baiklah. Aku akan mulai. Kamu harus tahan dengan temanmu yang satu ini. Siap?" ujar Riko. "Yup." Arnon mengangguk mantap. Riko menarik nafas dalam lalu tersenyum. "Aku memegang prinsip bahwa Tuhan yang menciptakan sebuah keluarga. Dia merancang itu untuk manusia, seorang pria dan seorang wanita mengekspresikan cinta terdalam mereka satu sama lain. Hanya mereka berdua, dalam ikatan janji suci sehidup semati." Riko memulai. Arnon mengerutkan kening. Dia merasa pernah mendengar kalimat itu. Tapi Arnon masih menunggu Riko melanjutkan. "Manusia pertama Adam, diberi satu wanita, Hawa. Dia diambil dari tulang rusuk Adam, untuk menjadi pendampingnya. Sejatinya Adam dan Hawa adalah satu. Karena Hawa tidak diciptakan dari debu tanah seperti Adam. Karena itu, Tuhan tidak pernah memaksudkan laki-laki akan memiliki banyak wanita. Dan itu pula sebabnya jika ada pria menduakan wanita, selalu ada yang terluka. Sekalipun tampaknya mereka oke, menerima, tapi hati terdalam siapa yang tahu." Arnon ingin sekali menjawab pernyataan Riko, tapi dia berusaha menahan diri. "Tuhan membuat demikian karena hubungan antara pria dan wanita itu sakral, suci. Maka dari itu harus dihargai. Dan bukti cinta tertinggi antara seorang pria dan seorang wanita adalah kesetiaan." Kembali Riko melanjutkan. "Ooh ..." Mulai Arnon bereaksi. Tapi dia urungkan membuka mulutnya. "Jangan kamu pikir hubunganku dengan istriku selalu aman, Tuan. Ada saja gangguan. Aku pria normal. Masih bisa melihat wanita lain lebih cantik dari istriku. Tapi keputusanku adalah mencintai dia sampai mati. Hanya dia. Dan itu janjiku di hadapan Tuhan. Aku harus membuktikannya. Ketika aku mampu melewatinya, menepis semua gangguan, aku sangat bangga, karena bisa menjaga hatiku murni. Hanya untuk wanita yang Tuhan berikan padaku sebagai penolongku." Riko tersenyum. Arnon menggembungkan pipinya. Ini semua seperti aneh buatnya. "Kamu ingin mengatakan sesuatu?" Riko bertanya. "Kamu percaya omong kosong soal seorang pria dan seorang wanita? Manusia diciptakan dari debu lalu yang satu dari tulang rusuk?" Kali ini Arnon punya kesempatan bertanya. "Ya. Itu yang aku yakini." Riko menjawab. "Kamu tahu dari mana?" Arnon bertanya lagi. "Kitab Suci.""Kitab Suci bukannya tulisan manusia?" Arnon menyahut. "Dia menulis dalam tuntunan Tuhan." Riko dengan sabar menjawab. "Aku balik tanya. Kamu yakin punya nyawa? Bisa lihat nyawa kamu?"Arnon diam. Dia ingin membantah, tapi sedikit bingung. Mana bisa melihat nyawa. "Banyak hal tak bisa kita jelaskan di dunia ini. Kita hanya perlu menerima dengan iman." Riko tak berharap banyak Arnon akan menerima yang dia katakan. Tapi itu yang bisa dia ucapkan untuk menjelaskan. Arnon hanya memandang Riko. "Telusuri hatimu. Kamu sungguh peduli Fea karena dia sahabat kamu, atau sebenarnya kamu cinta padanya. Jika kamu tidak punya cinta, ketika dia pergi dengan pria lain, harusnya kamu rela jika itu akan baik untuknya. Jika kamu marah dan ingin gadis itu hanya melihat kamu, itu sifat dasar alami manusia yang ingin bersama pasangannya dan tidak mau wanita itu dimiliki pria lain."Riko berdiri. Dia menepuk pundak Arnon lalu melangkah menuju pintu keluar kantor itu. Sampai di dekat pintu Riko menoleh. "Aku harus bekerja, Bos. Good luck today." Dan Riko meneruskan langkahnya. Sekarang Arnon termenung. Dia coba mencerna semua yang Riko katakan. Yang paling terakhir yang dia ingat. Apakah dia hanya ingin memiliki Fea untuk dirinya sendiri? Dia marah saat ada pria lain bersama gadis itu? Dan Arnon tak bisa mungkir, itu yang sebenarnya. Di dalam hatinya yang terdalam, Fea bercokol begitu kuat. Arnon sangat ingin menjaga Fea dan juga tidak ingin melukainya. Apakah Arnon harus melangkah ke pintu itu? Menikah dengan Fea? Bertahan dengan dia saja tanpa bermain dengan wanita lain? Arnon mendesah. Mulai muncul bayangan para wanita yang masih sesekali menikmati waktu bersamanya, memuaskan hasratnya sebagai laki-laki. Mereka menawan, mempesona, tapi Fea berbeda. Jika dengan para wanita itu Arnon hanya berpikir bersenang-senang, sedang jika ingat Fea, dia ingin gadis itu membuat hati dan hidupnya penuh. Sangat berbeda. "Entahlah, aku benar-benar bingung." Arnon menggaruk kepalanya dengan kasar. Andai dia bisa dengan mudah memutuskan ini. Karena memiliki Fea itu artinya pernikahan. Apa Fea akan bersedia? Yang Arnon bayangkan Fea akan tertawa keras dan menganggap Arnon hanya akan mempermainkan dia. *****"Arnon, Papa ingin bicara serius dengan kamu." Arnon yang baru masuk rumah cukup terkejut disambut hangat papanya tercinta. Arnon bisa menduga apa yang akan dibicarakan pria itu pada putranya yang tak pernah akur dengannya. Arnon melangkah duduk di depan papanya. Di samping Ardiansyah, Arnella duduk dengan manis. "Oke. Silakan dimulai." Arnon menatap kedua orang tuanya. Dia bersiap apapun yang akan mereka lontarkan padanya. "Waktu kamu semakin pendek, Arnon. Hanya tujuh bulan saja, atau kamu akan kehilangan perusahaan yang sudah aku siapkan buat kamu." Ardiansyah tegas bicara pada Arnon. Arnon menarik ujung bibirnya, tersenyum kecut. Rasanya urusan dengan dua orang ini tidak ada yang lain. Tetap sama yang mereka kejar, Arnon segera menikah. "Arnon, dengarkan Mama. Ini untuk kebaikan kamu. Bekal kamu di hari depan. Istri dan anak kamu. Pikirkan baik-baik." Arnella ikut membujuk. Arnon melipat kedua tangannya. Gerah juga lama-lama menghadapi desakan terus menerus begini. Yang paling kesal jika Arnella akan menyuruh Arnon menikahi siapa saja, salah satu dari wanita yang suka main dengannya. Gila. Mereka hanya butuh uang dan tubuh Arnon. Hidup macam apa yang akan dia lalui nanti jika menikah dengan salah satu dari mereka?! "Kalau kamu tidak bisa membawa satu wanita ke hadapan papa kamu minggu depan, aku yang akan membawa wanita itu. Jelas?" Arnella sedikit mengancam. Arnon ingin berteriak rasanya mendengar itu. Dia mengepalkan kedua tangan, menahan emosi. Wajahnya mulai memerah. "Oke. Aku akan segera membawa wanita ke hadapan mama dan papa. Tapi tanpa syarat. Aku akan bawa wanita sesuai standar yang aku pakai bukan standar papa atau mama." Arnon akhirnya setuju, tapi tentu dengan pertimbangan menurut pikirannya. "Arnon!" Arnella cukup kaget Arnon mengatakan itu. Jelas dia kuatir Arnon akan memilih Fea. Karena Arnella yakin Arnon memang cinta pada pelayan itu. "Karena pernikahan itu harus membuat aku bahagia. Jika asal, lalu aku hidup berantakan meski aku bisa beli planet sekalipun buat apa?" Arnon memberi alasan. "Tapi ...""Arnella, biarkan saja dia. Aku ingin tahu wanita seperti apa yang ingin dia bawa padaku." Tajam Ardiansyah memandang Arnon. "Oke. Kuanggap kita sepakat. Beri aku waktu sampai bulan depan. Itu masih cukup untuk mempersiapkan pernikahan." Arnon tidak mau ditekan juga soal waktu. "Terserah. Tapi jika bulan depan belum juga muncul wanita di depanku, aku akan urus semua pernikahan untukmu." Arnella juga tidak mau ditekan putranya. "Deal," ucap Arnon. Dia berdiri. "Kamu mau ke mana?" tanya Arnella. "Mau mandi. Di sini terlalu panas." Arnon segera melangkah menjauh. Dia enggan berlama-lama dengan kedua orang tuanya. "Kamu punya anak satu saja tidak bisa mendidik. Dasar!" geram Ardiansyah pada Arnella. Arnon masuk kamarnya. Dia mendekati jendela dan hendak menutup tirai, tepat dia melihat sebuah mobil masuk halaman. Fea pulang dengan Irvan. Arnon segera keluar dan berjalan menuju ke sana. Ternyata Irvan langsung pergi, tinggal Fea sendirian di sana. "Fea." Mendengar suara Arnon Fea menoleh. Wajah Arnon terlihat kesal. "Putuskan laki-laki itu. Kumohon." Arnon menatap Fea.Lagi-lagi Fea terpana dengan sikap Arnon. Dia mendatangi Fea dan memohon? Fea tidak mengerti kenapa Arnon begini? Tapi yang Fea lihat Arnon gundah. Wajahnya campur aduk. Antara marah, sedih, dan kesal."Arnon, kita sudah bicara soal itu. Aku tidak bisa mempermainkan Irvan. Apa alasan aku memutuskan dia?" Fea memandang Arnon.Arnon meraup rambutnya kasar. Dia tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang berkecamuk di hatinya. Tuntutan orang tuanya, juga kemarahan Arnon karena cemburu."Hei, kamu baik-baik saja?" Fea mencoba melunak.Mungkin saja Arnon ada masalah dengan pekerjaan, atau dia ribut dengan salah satu wanitanya? Fea maju dan menarik tangan Arnon."Tidak. Aku ... Fea, kamu cinta sama Irvan?" Dan pertanyaan ini lagi yang Arnon ucapkan.Fea tersenyum. Jadi Arnon sangat kuatir jika Fea tidak bahagia dengan Irvan? Apa itu yang membuat dia kacau begini?"Hm, kurasa aku ingin menikmati sesuatu
Fea membereskan mejanya. Dia segera beranjak. Arnon menunggu di tempat parkir. Fea tidak tahu apa yang Arnon mau lakukan. Tapi dia benar-benar membuat Fea terkejut kali ini."Fea! Mau jalan? Diajak ke mana?" Rania masih mengira Fea akan pergi dengan Irvan."Arnon." Fea bicara dengan jelas tapi tanpa suara."Hah? Arnon?" ulang Rania.Fea mengangguk dan cepat-cepat keluar. Rania jadi bingung. Arnon yang menelpon? Cowok itu menelpon dan Fea tergesa-gesa pergi. Artinya Arnon meminta Fea melakukan sesuatu. Dan begitu saja Fea manut?Rania tidak habis pikir. Sahabatnya itu sudah punya Irvan sekarang. Lalu kenapa masih segitu pusingnya dengan Arnon. Apa dia tidak mau melepas Arnon? Kalau begini, bisa runyam urusannya nanti dengan Irvan."Aku sama sekali ga bisa paham dengan cara berpikir kamu, Fea." Rania menggumam dan menggeleng kesal. Dia pun membereskan meja, sudah waktunya pulang.Rania baru berdiri, Ir
Fea mengeluarkan ponselnya. Terkejut, sangat terkejut. Irvan menelpon beberapa kali. Cowok itu juga mengirim pesan menanyakan dirinya.Fea merasa bodoh. Dia sama sekali tidak ingat Irvan. Sejak Arnon bilang menjemput, Fea hanya mau cepat menemui Arnon, ingin tahu mau apa cowok itu tiba-tiba nongol ke kantor Fea.Dan kejutan Arnon, benar-benar mengalihkan Fea dari hal yang lain. Fea menikmati waktu berdua Arnon, karena sangatlah menyenangkan. Sekarang, Fea harus menjelaskan apa yang terjadi pada Irvan."Irvan, maaf, aku benar-benar ga ingat kamu pasti akan menemui aku sebelum pulang. Jika mungkin kamu akan mengantarkan aku juga. Astaga, Fea ..."Cepat-cepat Fea memberi balasan pesan pada Irvan.- Ir, maafkan aku pergi tanpa pamit. Arnon tiba-tiba jemput dan ada yang dia mau tunjukkan. Lain kali aku pasti kabari kalau harus mendadak pergi.Fea berharap kekasihnya bisa mengerti. Toh, Fea sudah menjelaskan den
"Fea, besok kamu datang pernikahan Rania, kan?" Arnon memandang Fea. Pagi ini lagi-lagi Arnon mengantar Fea ke kantor."Iya, tentu saja." Fea tersenyum lebar. "Lega, akhirnya Rania nikah juga. Aku senang untuk dia dan Mas Jaka.""Pergi bareng, ya?" Arnon membelokkan mobil ke arah kiri."Arnon, mana bisa. Aku bareng Irvan. Kamu ajak siapa gitu, satu teman kamu. Tinggal telpon saja. Si Gladys atau Luna. Widya atau ...""Aku maunya sama kamu. Mereka ga kenal Rania. Kamu bisa ketemu Irvan di lokasi, kan?" Arnon beralasan.Fea menghela nafas. Mulai lagi. Arnon tidak mau dapat saingan. Itu yang Fea pikirkan. Sepertinya Arnon cemburu pada Irvan, merasa Fea tidak lagi peduli padanya."Arnon. Mengertilah. Kalau aku datang sama kamu, bisa heboh. Teman-teman mulai tahu kalau Irvan kekasihku. Lalu aku muncul sama kamu, bisa jadi skandal. Tahu?" Fea berusaha menolak dengan alasan juga."Aku lebih keren dari Irvan. Har
Fea menatap Arnon yang sekarang ada di depannya. Pria itu mengejarnya. Tangan Arnon masih memegang lengan Fea. "Arnon, lepas." Fea bicara tegas. "Kenapa? Kamu takut Irvan marah?" Arnon maju dua langkah, mendekat pada Fea. "Ini bukan soal Irvan marah. Ini soal perasaanku. Harga diriku." Fea melihat Arnon. Tatapan gadis itu tajam kali ini. "Apa? Perasaan? Harga diri? Aku tidak paham yang kamu katakan." Arnon tidak mau melepas tangan Fea. Fea meraih tangan Arnon sedikit memaksa cowok itu melepaskan pegangannya. Arnon mengalah. Dia lepaskan tangan dari Fea. "Aku kekasih Irvan. Dia ada di sini. Aku harus mendampingi dia. Aku hanya ambil minum, aku akan kembali padanya. Orang akan lihat Fea bermain dengan dua pria. Wanita macam apa dia? Kamu mengerti?" Fea makin tajam memandang Arnon. Dia membawa gelasnya kembali ke mejanya. Kali ini Fea sengaja duduk persis di sebelah Irvan. Arnon melirik ke arah pasangan kekasih itu. Dia lihat Irvan tersenyum lebar. Apa dia merasa menang sekarang? A
Fea mulai mengepak barang-barangnya. Tidak seketika semua dia bereskan. Dia lakukan bertahap saja. Setelah semua siap, dia akan bawa ke tempat kos Rania. Kamar kosnya sudah kosong, sejak hari Rania menikah dengan Jaka dan pindah ke rumah suaminya. Dia cek lagi semuanya, jika ada yang terlewat. Buku-buku sudah masuk dalam satu kardus. Pakaian, tas, sepatu, semua sudah dia tata rapi di koper besar. Hanya beberapa pakaian yang tidak dia simpan, karena dia perlu gunakan hingga saat dia pindah. Fea melirik jam dinding, hampir setengah sebelas malam. Besok Sabtu, dia akan pergi dengan Irvan menemui ibu Irvan. Setiap kali memikirkan ini, hati Fea seperti meletup. Banyak pertanyaan muncul di kepala Fea. Apakah ibu Irvan akan menerima dia? Apakah dia bisa cocok dengan calon ibu mertuanya itu? Apa yang akan ibu Irvan tanyakan padanya? Tentang keluarganya? Semua itu bergantian datang di benak Fea. Rasa lelah mendera. Lebih baik Fea istirahat saja. Besok pagi dia harus bereskan rumah, baru dia
Langit mulai merah. Terang perlahan menyeruak menyisihkan gelap. Alam siap kembali memulai hari. Arnon menarik tangan Fea dan mengajaknya mendekat ke arah pantai. Berdua mereka menunggu mentari mulai menyembul di balik air di kejauhan. Fea senang kalau dia punya kesempatan ini, menyaksikan sang surya menunjukkan keindahannya. Buat Fea ini salah satu momen paling manis di tengah alam luas. Arnon memandang Fea yang melihat ke arah sunrise tanpa berkedip. Buat Arnon kali ini, senyum dan tatapan gembira Fea lebih indah dari sunrise. Saat matahari sudah penuh di atas air, Fea tersenyum lega. Dia menoleh pada Arnon. "Makasih. Aku senang sekali. Ini cantik. Banget. Makasih, Ar." Fea masih tersenyum. Meski lelah, sedikit mengantuk karena tidak tidur sepanjang malam, semua terbayar rasanya. Arnon juga tersenyum. "Kamu happy?" "Iya. Happy." Mata Fea sayu, tapi dia terlihat senang. "Dan aku akan buat kamu happy terus setelah ini." Arnon menatap Fea lebih dalam. Dia rasa ini saat yang tepat
Mobil hitam itu masuk ke halaman rumah besar keluarga Hendrawan. Irvan memarkir mobilnya, lalu menemui salah satu pelayan yang sedang membersihkan taman. Dia meminta tolong agar pelayan itu memberitahu Fea kalau dia datang. Sejak tadi pagi dia tidak bisa menghubungi Fea. Chat atau telpon tidak ada yang berhasil. Sangat aneh. Karena itu Irvan memutuskan langsung menemui Fea di rumah besar ini. Pelayan itu meninggalkan pekerjaannya dan mencari Fea di kamarnya. Karena sejak pagi, gadis itu tidak terlihat. Biasanya dia akan beredar di sekitar ruang besar kalau sedang membereskan rumah. Pelayan itu bertanya ke beberapa pelayan lain, tidak ada yang tahu Fea di mana. Pelayan itu kembali dengan tangan hampa. Fea tidak ada. "Aneh sekali. Bagaimana bisa tidak ada yang tahu dia di mana?" batin Irvan. "Kalau Tuan Muda Arnon?" Akhirnya Irvan menanyakan Arnon. Bisa jadi cowok itu justru tahu Fea di mana. "Ah ..." Pelayan itu melihat ke parkiran. Mobil Arnon tidak ada di sana. "Kurasa dia pergi.
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b