Lagi-lagi Fea terpana dengan sikap Arnon. Dia mendatangi Fea dan memohon? Fea tidak mengerti kenapa Arnon begini? Tapi yang Fea lihat Arnon gundah. Wajahnya campur aduk. Antara marah, sedih, dan kesal.
"Arnon, kita sudah bicara soal itu. Aku tidak bisa mempermainkan Irvan. Apa alasan aku memutuskan dia?" Fea memandang Arnon. Arnon meraup rambutnya kasar. Dia tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang berkecamuk di hatinya. Tuntutan orang tuanya, juga kemarahan Arnon karena cemburu. "Hei, kamu baik-baik saja?" Fea mencoba melunak. Mungkin saja Arnon ada masalah dengan pekerjaan, atau dia ribut dengan salah satu wanitanya? Fea maju dan menarik tangan Arnon. "Tidak. Aku ... Fea, kamu cinta sama Irvan?" Dan pertanyaan ini lagi yang Arnon ucapkan. Fea tersenyum. Jadi Arnon sangat kuatir jika Fea tidak bahagia dengan Irvan? Apa itu yang membuat dia kacau begini? "Hm, kurasa aku ingin menikmati sesuatu yang menyegarkan. Hari panas, suasana panas. Menurut kamu gimana?" Tangan Fea masih memegang lengan Arnon. Fea mencari cara agar rasa kesal Arnon mereda. Arnon melihat pada Fea yang tersenyum lepas. Ya, mungkin harus dengan cara lain dia bicara. Mungkin bagus jika dia rileks lebih dulu. "Alright. Kamu ingin kudapan atau minuman?" Arnon menekan resah yang masih berkecamuk. "Hmm ... Minuman spesial dari Chef Arnon kurasa sangat pas buatku saat ini. Apakah bisa, Chef?" Fea kembali melempar senyumnya. "Sure. Ayo." Arnon melepas pegangan Fea dan melangkah menuju dapurnya. Fea menarik nafas dalam. Lega, Arnon mau mendengar dia kali ini. Fea akan cari kesempatan untuk mencari tahu ada apa sebenarnya dengan Arnon. Apakah memikirkan dirinya dan Irvan sampai membuat sahabat tampannya itu begitu suntuk? Galau dan gamang? Di dapur luas itu, Arnon mulai mengutak-atik ini dan itu, membuat minuman segar dengan buah segar untuk Fea. Hanya beberapa menit Arnon sudah menyajikan dua gelas di depan Fea. Satu untuk Fea dan satu untuk dirinya sendiri. "Silakan, Nona Fea." Arnon mengangkat gelasnya. Fea pun sama. Mereka meneguk minuman itu beberapa kali. "Ah, teh leci. Thank you. Aku suka." Fea tersenyum. Arnon memandang Fea dalam-dalam. Dia akan meminta Fea menikah dengannya. Kira-kira apakah Fea akan menerimanya? Bukankah Fea berprinsip bahwa sebuah pernikahan harus didasari rasa cinta? Tapi, dengan Irvan, Arnon merasa Fea juga tidak cinta pria itu. Lalu kenapa Fea mau bersamanya? "Fea ... Aku tidak akan lupa, kamu pernah bilang, jika kamu menikah, harus dimulai dengan cinta pada pasangan kamu. Karena, tanpa itu pernikahan tidak akan bertahan." Arnon masih memandang Fea. Deg. Jantung Fea berdegup kencang. Kenapa Arnon mengatakan itu? "Dua kali aku tanya, kamu tidak menjawab, apakah kamu cinta pacarmu." Arnon menunggu Fea menjawab dengan jelas apa yang dia tanyakan. "Arnon ...""Apa karena usia kamu akan mengesampingkan prinsip kamu? Hanya karena target menikah di usia 25 tahun?" Pertanyaan ini seperti menghujam hati Fea. Benar! Apa karena target itu, menikah di usia 25 tahun, lalu Fea memaksa diri menerima Irvan? Atau karena dia putus asa menunggu Arnon hanya sia-sia, jadi memilih mencari cinta lain meskipun hatinya sebenarnya juga tidak rela? "Aku ..." Fea sekarang bingung. "Jika aku minta kita menikah ..."Bunyi dering ponsel. Fea cepat membuka tas dan mengambil ponselnya. Irvan yang menelponnya. "Hai, Ir." Pelan Fea bicara. Dia merasa canggung juga bicara dengan kekasihnya di depan Arnon. "Sayang, sudah makan? Aku makan ikan ini jadi ingat kamu. Kamu bilang ingin makan gurami, ternyata menu makan malam di rumah gurami." Suara Irvan cukup keras, Arnon masih bisa menangkap walaupun lirih sampai di telinga Arnon. Arnon melirik Fea. Lirikannya membuat jantung Fea tidak karuan. Fea memutar badan, dia tidak mau melihat Arnon. "Sial. Ngapain tuh cowok nelpon segala? Lagi serius ini, jadi berantakan," gerutu Arnon. Arnon tidak terlalu memperhatikan lagi apa yang dibicarakan Irvan pada Fea. Pikiran Arnon kembali berputar, bagaimana bisa dia minta Fea menikah dengannya. Bayangan hubungan persahabatan mereka bisa jadi runyam lebih kuat dibanding keberanian Arnon terang-terangan mengatakan isi hatinya. Belum lagi jika Fea tahu, dia melakukan itu karena tidak mau menikah dengan wanita yang cuma suka dia gara-gara harta, atau karena dia akan kehilangan perusahaan dari papanya. Sekalipun yang mengincar itu sebenarnya adalah Arnella. Fea menyimpan lagi ponselnya. "Sorry ..." Fea merasa tidak enak bicara dengan Irvan saat dia bersama Arnon. "Kenapa?" tanya Arnon. "Merasa bersalah menerima telpon dari pacar?" Nada suaranya tidak enak didengar. "Arnon ... Jangan mulai. Aku mau banyak senyum kalau sama kamu. Belakangan ini kita marahan terus. Rasanya aku kehilangan sahabatku yang menyenangkan." Fea mencoba mencairkan suasana di antara mereka. "Hm, itu benar. aku sering kesal dan emosian. Kamu, jadi ikutan melow. Nangis nggak?" Arnon menatap Fea. Arnon paling tidak mau Fea menangis. "Ya, gitu, deh ..." Fea terseyum kecut.Arnon meraih jemari Fea dan mengecupnya lembut. Oh, tidak. Arnon, apa yang dia lakukan? Jantung Fea jadi tidak karuan. Arnon melakukan ini seakan Fea wanita yang dia puja? Fea melotot, melihat tangannya, yang masih dalam genggaman Arnon. Dan Arnon tidak melepas jari tangan Fea yang lentik itu. "Hei, aku sudah janji akan mengajak kamu jalan, aku akan lebih peduli sama kamu. Hm, kenapa aku lupa? Atau karena kamu sekarang ada pacar, aku jadi kurang penting juga buat Gadis Cantik Kesayangan Arnon," tandas Arnon. "Aku terserah saja. Kamu ajak jalan, ya oke. Kamu ga bisa karena sibuk, gimana aku mau maksa. Tuan Muda selalu saja ada urusan." Fea tersenyum sambil melirik Arnon. "Oke. Kalau begitu dalam beberapa hari ini aku akan kasih kamu kejutan. Tunggu saja." Arnon menemukan ide untuk membuat sesuatu yang akan membuka jalan dia dan Fea bisa punya waktu bicara tanpa ada gangguan. "Apa? Kejutan?" Fea mengangkat kedua alisnya. Apa benar Arnon akan lakukan itu? Jika ya, itu seolah mengulang masa remaja mereka. Arnon selalu saja membuat kejutan kecil untuk Fea. Itu juga salah satu hal yang membuat hati Fea tertanam untuk Arnon. "Baiklah, Tuan Muda. Aku nurut saja. Pingin tahu kejutan kamu seperti apa?" Sedikit menantang ucapan Fea dan itu membuat Arnon makin niat melakukannya. *****"Jadi, seperti itu? Kamu dan Arnon memang bertingkah seolah bukan majikan dan tuan sejak kalian kanak-kanak?" Irvan mendengar cerita Fea tentang hubungannya dengan Arnon. Betapa dalam dan kuat persahabatan mereka. Sekarang, meski Fea menjalin hubungan istimewa dengan Irvan, Fea tidak akan melepaskan Arnon. Dia akan tetap ada jika Arnon membutuhkan dia. Mendengar semua penuturan Fea, membuat gejolak di dalam hati Irvan. Itu artinya akan ada Arnon di antara dia dan Fea. Walaupun menurut Fea sebatas sahabat, Irvan merasa akan tetap beda. "Kumohon kamu maklum ya, kalau Arnon sesekali terkesan mengganggu hubungan kita, itu karena dia mau aku baik-baik saja." Fea menegaskan lagi mengenai hubungan dia dan Arnon. Irvan memandang Fea. Hatinya sedikit terganggu. Sejak Arnon mengantar Fea ke kantor pagi itu, Irvan tahu ada sesuatu. Awalnya dia bahkan sempat berpikir mungkinkah Fea juga salah satu wanita yang jadi tempat Arnon meluapkan hasrat. Dan dia harus siap karena itu. Ternyata Fea bukan wanita seperti itu. Dia murni seperti yang selama ini Irvan ketahui tentang Fea. "Fea, aku tentu mengerti, jika kamu dan Arnon punya persahabatan yang dalam, tidak akan berubah meskipun aku sekarang adalah kekasih kamu. Persahabatan kalian jauh lebih lama dari pertemanan kita. Apalagi hubungan kamu dan aku, baru seumur jagung." Irvan menguatkan hati mengatakan ini, memang itu kenyataannya. Senyum Fea kembali menggantung di bibirnya. Lega, itu yang mengalir di hati Fea. Karena Irvan mau mengerti situasi dia dan Arnon. Fea melirik arloji di tangannya, jam istirahat usai. Saatnya dia kembali bekerja. Maka dia pamit kembali ke tempatnya. Irvan dan Fea meninggalkan kantin, balik ke meja masing-masing. Sibuk lagi dengan pekerjaan yang berderet-deret menunggu. Rania senyum-senyum melihat Fea datang. Dia paling senang melihat Fea bersama Irvan. Setelah berhasil membujuk Fea menerima Irvan, Rania akan mendesak Fea agar segera menikah dengan pria baik hati itu. "Hmm ... hhmmm ..." Rania pura-pura batuk. Fea menoleh pada Rania. "Batuk? Minum obat, Mbak." Fea tahu keusilan Rania muncul. "Hee ... hee ..." Makin lebar Rania tersenyum. "Kerja, lanjut." Fea sudah duduk sudah menghadap layar di depannya. Hingga jam empat tepat, ponsel Fea berdering. "Ih, pas jam empat banget ditelpon. Masa sudah kangen?" goda Rania. Fea hanya melirik temannya itu. Dia ambil ponsel. Ternyata Arnon, bukan Irvan. "Ya, Ar?" sapa Fea. "Ke depan. Aku jemput." Suara Arnon. Itu yang Fea dengar? "Hah?!" Mata Fea melebar mendengar ucapan Arnon.Fea membereskan mejanya. Dia segera beranjak. Arnon menunggu di tempat parkir. Fea tidak tahu apa yang Arnon mau lakukan. Tapi dia benar-benar membuat Fea terkejut kali ini."Fea! Mau jalan? Diajak ke mana?" Rania masih mengira Fea akan pergi dengan Irvan."Arnon." Fea bicara dengan jelas tapi tanpa suara."Hah? Arnon?" ulang Rania.Fea mengangguk dan cepat-cepat keluar. Rania jadi bingung. Arnon yang menelpon? Cowok itu menelpon dan Fea tergesa-gesa pergi. Artinya Arnon meminta Fea melakukan sesuatu. Dan begitu saja Fea manut?Rania tidak habis pikir. Sahabatnya itu sudah punya Irvan sekarang. Lalu kenapa masih segitu pusingnya dengan Arnon. Apa dia tidak mau melepas Arnon? Kalau begini, bisa runyam urusannya nanti dengan Irvan."Aku sama sekali ga bisa paham dengan cara berpikir kamu, Fea." Rania menggumam dan menggeleng kesal. Dia pun membereskan meja, sudah waktunya pulang.Rania baru berdiri, Ir
Fea mengeluarkan ponselnya. Terkejut, sangat terkejut. Irvan menelpon beberapa kali. Cowok itu juga mengirim pesan menanyakan dirinya.Fea merasa bodoh. Dia sama sekali tidak ingat Irvan. Sejak Arnon bilang menjemput, Fea hanya mau cepat menemui Arnon, ingin tahu mau apa cowok itu tiba-tiba nongol ke kantor Fea.Dan kejutan Arnon, benar-benar mengalihkan Fea dari hal yang lain. Fea menikmati waktu berdua Arnon, karena sangatlah menyenangkan. Sekarang, Fea harus menjelaskan apa yang terjadi pada Irvan."Irvan, maaf, aku benar-benar ga ingat kamu pasti akan menemui aku sebelum pulang. Jika mungkin kamu akan mengantarkan aku juga. Astaga, Fea ..."Cepat-cepat Fea memberi balasan pesan pada Irvan.- Ir, maafkan aku pergi tanpa pamit. Arnon tiba-tiba jemput dan ada yang dia mau tunjukkan. Lain kali aku pasti kabari kalau harus mendadak pergi.Fea berharap kekasihnya bisa mengerti. Toh, Fea sudah menjelaskan den
"Fea, besok kamu datang pernikahan Rania, kan?" Arnon memandang Fea. Pagi ini lagi-lagi Arnon mengantar Fea ke kantor."Iya, tentu saja." Fea tersenyum lebar. "Lega, akhirnya Rania nikah juga. Aku senang untuk dia dan Mas Jaka.""Pergi bareng, ya?" Arnon membelokkan mobil ke arah kiri."Arnon, mana bisa. Aku bareng Irvan. Kamu ajak siapa gitu, satu teman kamu. Tinggal telpon saja. Si Gladys atau Luna. Widya atau ...""Aku maunya sama kamu. Mereka ga kenal Rania. Kamu bisa ketemu Irvan di lokasi, kan?" Arnon beralasan.Fea menghela nafas. Mulai lagi. Arnon tidak mau dapat saingan. Itu yang Fea pikirkan. Sepertinya Arnon cemburu pada Irvan, merasa Fea tidak lagi peduli padanya."Arnon. Mengertilah. Kalau aku datang sama kamu, bisa heboh. Teman-teman mulai tahu kalau Irvan kekasihku. Lalu aku muncul sama kamu, bisa jadi skandal. Tahu?" Fea berusaha menolak dengan alasan juga."Aku lebih keren dari Irvan. Har
Fea menatap Arnon yang sekarang ada di depannya. Pria itu mengejarnya. Tangan Arnon masih memegang lengan Fea. "Arnon, lepas." Fea bicara tegas. "Kenapa? Kamu takut Irvan marah?" Arnon maju dua langkah, mendekat pada Fea. "Ini bukan soal Irvan marah. Ini soal perasaanku. Harga diriku." Fea melihat Arnon. Tatapan gadis itu tajam kali ini. "Apa? Perasaan? Harga diri? Aku tidak paham yang kamu katakan." Arnon tidak mau melepas tangan Fea. Fea meraih tangan Arnon sedikit memaksa cowok itu melepaskan pegangannya. Arnon mengalah. Dia lepaskan tangan dari Fea. "Aku kekasih Irvan. Dia ada di sini. Aku harus mendampingi dia. Aku hanya ambil minum, aku akan kembali padanya. Orang akan lihat Fea bermain dengan dua pria. Wanita macam apa dia? Kamu mengerti?" Fea makin tajam memandang Arnon. Dia membawa gelasnya kembali ke mejanya. Kali ini Fea sengaja duduk persis di sebelah Irvan. Arnon melirik ke arah pasangan kekasih itu. Dia lihat Irvan tersenyum lebar. Apa dia merasa menang sekarang? A
Fea mulai mengepak barang-barangnya. Tidak seketika semua dia bereskan. Dia lakukan bertahap saja. Setelah semua siap, dia akan bawa ke tempat kos Rania. Kamar kosnya sudah kosong, sejak hari Rania menikah dengan Jaka dan pindah ke rumah suaminya. Dia cek lagi semuanya, jika ada yang terlewat. Buku-buku sudah masuk dalam satu kardus. Pakaian, tas, sepatu, semua sudah dia tata rapi di koper besar. Hanya beberapa pakaian yang tidak dia simpan, karena dia perlu gunakan hingga saat dia pindah. Fea melirik jam dinding, hampir setengah sebelas malam. Besok Sabtu, dia akan pergi dengan Irvan menemui ibu Irvan. Setiap kali memikirkan ini, hati Fea seperti meletup. Banyak pertanyaan muncul di kepala Fea. Apakah ibu Irvan akan menerima dia? Apakah dia bisa cocok dengan calon ibu mertuanya itu? Apa yang akan ibu Irvan tanyakan padanya? Tentang keluarganya? Semua itu bergantian datang di benak Fea. Rasa lelah mendera. Lebih baik Fea istirahat saja. Besok pagi dia harus bereskan rumah, baru dia
Langit mulai merah. Terang perlahan menyeruak menyisihkan gelap. Alam siap kembali memulai hari. Arnon menarik tangan Fea dan mengajaknya mendekat ke arah pantai. Berdua mereka menunggu mentari mulai menyembul di balik air di kejauhan. Fea senang kalau dia punya kesempatan ini, menyaksikan sang surya menunjukkan keindahannya. Buat Fea ini salah satu momen paling manis di tengah alam luas. Arnon memandang Fea yang melihat ke arah sunrise tanpa berkedip. Buat Arnon kali ini, senyum dan tatapan gembira Fea lebih indah dari sunrise. Saat matahari sudah penuh di atas air, Fea tersenyum lega. Dia menoleh pada Arnon. "Makasih. Aku senang sekali. Ini cantik. Banget. Makasih, Ar." Fea masih tersenyum. Meski lelah, sedikit mengantuk karena tidak tidur sepanjang malam, semua terbayar rasanya. Arnon juga tersenyum. "Kamu happy?" "Iya. Happy." Mata Fea sayu, tapi dia terlihat senang. "Dan aku akan buat kamu happy terus setelah ini." Arnon menatap Fea lebih dalam. Dia rasa ini saat yang tepat
Mobil hitam itu masuk ke halaman rumah besar keluarga Hendrawan. Irvan memarkir mobilnya, lalu menemui salah satu pelayan yang sedang membersihkan taman. Dia meminta tolong agar pelayan itu memberitahu Fea kalau dia datang. Sejak tadi pagi dia tidak bisa menghubungi Fea. Chat atau telpon tidak ada yang berhasil. Sangat aneh. Karena itu Irvan memutuskan langsung menemui Fea di rumah besar ini. Pelayan itu meninggalkan pekerjaannya dan mencari Fea di kamarnya. Karena sejak pagi, gadis itu tidak terlihat. Biasanya dia akan beredar di sekitar ruang besar kalau sedang membereskan rumah. Pelayan itu bertanya ke beberapa pelayan lain, tidak ada yang tahu Fea di mana. Pelayan itu kembali dengan tangan hampa. Fea tidak ada. "Aneh sekali. Bagaimana bisa tidak ada yang tahu dia di mana?" batin Irvan. "Kalau Tuan Muda Arnon?" Akhirnya Irvan menanyakan Arnon. Bisa jadi cowok itu justru tahu Fea di mana. "Ah ..." Pelayan itu melihat ke parkiran. Mobil Arnon tidak ada di sana. "Kurasa dia pergi.
Malam kembali datang, Arnon dan Fea masih menikmati waktu di pinggir pantai bersama. Malam ini bulan lebih terang, hampir penuh, dengan bintang banyak bertebaran di langit. Fea masih merasa semua seperti mimpi. Bersama Arnon, bukan sebagai sahabat, tetapi sebagai kekasihnya. Satu sisi hatinya merasa bersalah, dia telah menyakiti Irvan. Dari awal dia berusaha menahan diri, tak mau mendekat pada pria itu. Tetapi akhirnya Fea mencoba membuka hati. Memang dia tidak berhasil. Hatinya tetap utuh terisi Arnon. Meski begitu, tetap saja sebenarnya secara status dia kekasih Irvan. Yang terjadi, Fea menerima Arnon yang melamarnya. "Maafkan aku, Irvan. Aku jahat sama kamu. Aku akan segera selesaikan urusan kita begitu aku pulang." Mata Fea menatap ke angkasa, seolah Irvan di sana dan sedang melihat padanya. Untung sekali dia belum sampai benar-benar bertemu ibu Irvan. Paling tidak, dia tidak mengecewakan orang tua Irvan. Hanya, Fea harus bisa bicara begitu rupa meyakinkan Irvan, hubungan mereka
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b