Fea membereskan mejanya. Dia segera beranjak. Arnon menunggu di tempat parkir. Fea tidak tahu apa yang Arnon mau lakukan. Tapi dia benar-benar membuat Fea terkejut kali ini.
"Fea! Mau jalan? Diajak ke mana?" Rania masih mengira Fea akan pergi dengan Irvan.
"Arnon." Fea bicara dengan jelas tapi tanpa suara.
"Hah? Arnon?" ulang Rania.
Fea mengangguk dan cepat-cepat keluar. Rania jadi bingung. Arnon yang menelpon? Cowok itu menelpon dan Fea tergesa-gesa pergi. Artinya Arnon meminta Fea melakukan sesuatu. Dan begitu saja Fea manut?
Rania tidak habis pikir. Sahabatnya itu sudah punya Irvan sekarang. Lalu kenapa masih segitu pusingnya dengan Arnon. Apa dia tidak mau melepas Arnon? Kalau begini, bisa runyam urusannya nanti dengan Irvan.
"Aku sama sekali ga bisa paham dengan cara berpikir kamu, Fea." Rania menggumam dan menggeleng kesal. Dia pun membereskan meja, sudah waktunya pulang.
Rania baru berdiri, Irvan muncul.
"Ran, Fea mana?" Pria itu bertanya pada Rania karena tidak ada Fea di tempatnya.
"Eehhh ..." Rania bingung. Dia mau jawab apa coba? "Dia sudah balik."
"Balik? Pulang? Kok cepat? Apa dia sakit?" Irvan agak kaget. Fea biasanya akan memberitahu jika dia mau pulang.
"Nggak, sih. Kayaknya dia ada keperluan. Ga kasih tahu juga sama aku. Cuma harus segera balik." Nada suara Rania tidak meyakinkan.
Irvan cepat mengeluarkan ponsel dan menelpon Fea. Dia melangkah keluar kantor tanpa bicara apa-apa lagi pada Rania. Rania tahu, Irvan resah.
Fea tidak mengangkat ponsel. Tapi tepat dari depan pintu, Irvan melihat mobil keren yang pernah datang mengantar Fea pagi-pagi ke kantor ini, tampak berjalan meninggalkan tempat parkir.
"Arnon." Irvan bicara lirih. Hatinya mulai mendidih. Fea bahkan tidak bilang apa-apa jika dia pergi dengan lelaki playboy itu.
Irvan harus bergerak cepat. Jika dia biarkan, sangat mungkin Arnon akan mempermainkan Fea. Mungkin selama ini tidak, siapa yang tahu berikutnya. Entah kenapa, Irvan merasa dia adalah ancaman buat Arnon. Sebaliknya Arnon juga ancaman untuk Irvan.
Irvan mengirim pesan pada Fea.
- Fea, sudah pulang? Aku ke meja kamu, kamu sudah pergi.
Terkirim, tapi belum direspon. Irvan menyimpan lagi ponsel di kantong celananya dan kembali ke ruangannya. Tidak dia kira, mengejar Fea dua tahun mulai membuahkan hasil, sekarang harus berhadapan dengan Tuan Muda Hendrawan. Apakah dia mampu mengikat Fea?
*****
Mobil Arnon berbelok ke sebuah resto mewah di pinggir kota. Resto baru Arnon yang akan segera dibuka. Resto masih dalam tahap finishing. Tapi hari ini, kejutan yang dia siapkan buat Fea, sengaja dia lakukan di resto itu.
Dia sulap satu ruangan menjadi indah dan elegan. Meski di luar masih belum total beres, begitu masuk dalam ruangan itu Fea terpana. Dinding seluruhnya ditutup kain berwarna beige manis. Dengan meja dan dua kursi di tengah ruangan, siap menyambut Fea dan Arnon menikmati makan malam istimewa.
"Arnon ..." Fea melihat Arnon yang berdiri di sisi Fea.
"Bagaimana? Kamu suka?" Arnon bertanya dengan senyum cerah di wajahnya.
"Kamu siapkan ini buat aku?" Fea menghadapkan tubuhnya pada pria yang tak pernah hilang dari pikirannya itu.
"Kejutan pertama." Arnon meraih lengan Fea, menggandeng gadis itu dan mengajak Fea duduk.
Di meja tersedia makanan lezat yang siap disantap. Ini menu yang memang sangat mewakili Fea. Dengan plating cantik, membuat selera makan meningkat.
Mata Fea berbinar. Sangat senang, tentu saja. Kejutan Arnon untuknya. Janji Arnon akan memberi perhatian padanya, dia mulai lakukan. Menyenangkan sekali.
"Kamu sudah lelah bekerja, menikmati makan malam yang manis dan romantis sangat pantas. Betul, tidak?" Arnon mulai mengambilkan makanan di piring Fea.
"Hei, aku ambil sendiri. Kalau kamu yang ambil, porsinya nanti ..."
"Tenang, Cantik, Arnon tahu Fea dengan sangat baik." Cepat Arnon menyela.
Fea tidak meneruskan kata-katanya. Dia perhatikan Arnon melayani. Sekarang menu pertama ada di depan Fea. Juga Arnon.
"Kita bisa mulai makan sekarang." Arnon tersenyum.
"Aku berdoa dulu." Segera Fea menundukkan kepala dan mengucapkan doa dalam hati. Memang makanan yang ada di depannya, tapi doa Fea adalah Tuhan berikan kebahagiaan buat Arnon. Buat pria istimewa ini menyadari hal-hal penting yang selama ini dia abaikan.
"Amin," ucap Arnon begitu Fea mengangkat kepalanya. Fea tersenyum.
Arnon memang pintar membuat kejutan buat wanita. Sudah jadi keahliannya sama seperti dia chef handal, mahir mengolah apa saja menjadi makanan lezat. Kali ini adalah langkah awal dia membuat Fea akan mendengarkan dia. Dia akan buat Fea gembira bersamanya, lalu dia akan minta Fea tetap mendampinginya. Tidak malam ini, Arnon harus sabar. Dia akan cari saat yang paling tepat.
"Fea, beberapa waktu lalu, aku bicara banyak dengan Riko. Kamu tahu Riko, kan?" Arnon melirik Fea lalu kembali melihat piringnya, meneruskan memotong daging dengan pisau dan garpu.
"Tentu. Bicara apa?" Fea menusuk daging dengan garpu dan menyuap ke mulutnya.
"Aku bertanya padanya, mengapa dia bisa bertahan dengan seorang wanita saja selama hidupnya, dalam sebuah pernikahan." Tenang Arnon berkata. Tapi dia yakin ini akan membuat Fea menyikapi dengan serius.
Benar. Fea meletakkan garpu dan pisau yang dia pegang. Dia menatap lurus pada Arnon.
"Kamu tanyakan itu?" Fea mau meyakinkan dirinya jika Arnon ingin tahu soal pernikahan.
"Ya." Arnon mengangguk.
"Apa yang Pak Riko katakan?" Fea ganti bertanya, penasaran.
Arnon pun mengungkapkan apa yang Riko katakan. Makna sebuah pernikahan. Mengapa itu penting dan sakral. Bagaimana sebuah kesetiaan sangat berarti dalam hubungan wanita dan pria.
Fea tersenyum mendengar Arnon mengatakan semua itu. Rasanya seperti bukan Arnon saja yang bicara. Tapi Fea senang, artinya Arnon mulai membuka pikirannya tentang nilai sebuah hubungan. Bukan melulu soal luapan hasrat di atas kasur, tapi jauh lebih dalam dari itu. Tentang bagaimana kasih dan setia saling bertaut dalam sebuah hubungan cinta yang diikat dalam sebuah pernikahan.
"Jadi, apa yang kamu pikirkan sekarang?" tanya Fea lagi. Dia melanjutkan menikmati makanannya.
"Agak aneh. Tapi aku coba memahaminya. Nampaknya agak mirip dengan kita." Arnon juga melanjutkan makan.
"Mirip apanya?" Fea heran dengan perkataan Arnon.
"Kita seperti pasangan saja, ga bisa dipisah. Saling setia. Bagaimana menurut kamu?" Senyum Arnon mengembang manis.
Oh, tidak! Apa arti kalimat ini? Kenapa Arnon bicara begini? Meskipun jika direnungkan ada benarnya. Arnon dan Fea tak terpisahkan. Bersahabat, berjanji akan tetap bersama sampai dewasa. Dan itu yang mereka lakukan.
"Awalnya aku susah menerima itu. Tetapi saat aku ingat kamu dan aku, juga hubungan kita, itu make sense buat aku." Senyum Arnon masih tersisa di bibirnya yang tipis dan bagus itu.
"Ya ... Sedikit mirip la ..." Fea merasa detak jantungnya begitu kencang sekarang.
Perbincangan berlanjut. Arnon tidak melangkah lebih jauh. Dia hanya memancing Fea hingga di titik itu. Dia akan buat kejutan yang kedua, di sana dia akan selangkah lebih maju, membuat Fea makin bertanya-tanya.
Hingga jam setengah sembilan malam, baru mereka tiba kembali di rumah. Begitu turun dari mobil, HP Arnon bergetar. Arnon mengangkat telpon. Dari Widya. Wanita itu bilang rindu dan ingin menikmati malam dengan Arnon.
Fea yang mendengar Arnon menyebut nama Widya, seketika menjadi ciut. Ya, para wanita itu akan terus beredar di sekitar Arnon. Mana bisa Arnon berubah. Hampir mustahil.
Fea melangkahkan kaki, ingin mendahului Arnon menuju ke kamarnya. Tiga langkah, Arnon menarik lengan Fea.
"Sorry, aku tidak bisa kali ini. Kamu cari teman lain saja. Oke?" Dan Arnon menutup telpon.
Fea menoleh dan menatap Arnon. Dia menolak Widya? Biasanya Arnon akan semangat, lalu segera pergi jika Widya menghubungi.
"Yuk," ujar Arnon.
Masih dengan tangan menggandeng Fea, Arnon mengantarkan gadis itu hingga di depan kamarnya.
"Terima kasih buat malam ini. Selamat istirahat. Tunggu kejutanku selanjutnya." Lembut Arnon berkata.
Fea merasa jantungnya kembali bergelora.
"Sleep tight." Dan Arnon mendekatkan wajahnya, dia kecup pipi Fea, lalu melangkah meninggalkan Fea yang berdiri mematung.
Fea menyentuh pipinya, pelan dia berucap, "Arnon ..."
Apa arti semua ini?
Fea mengeluarkan ponselnya. Terkejut, sangat terkejut. Irvan menelpon beberapa kali. Cowok itu juga mengirim pesan menanyakan dirinya.Fea merasa bodoh. Dia sama sekali tidak ingat Irvan. Sejak Arnon bilang menjemput, Fea hanya mau cepat menemui Arnon, ingin tahu mau apa cowok itu tiba-tiba nongol ke kantor Fea.Dan kejutan Arnon, benar-benar mengalihkan Fea dari hal yang lain. Fea menikmati waktu berdua Arnon, karena sangatlah menyenangkan. Sekarang, Fea harus menjelaskan apa yang terjadi pada Irvan."Irvan, maaf, aku benar-benar ga ingat kamu pasti akan menemui aku sebelum pulang. Jika mungkin kamu akan mengantarkan aku juga. Astaga, Fea ..."Cepat-cepat Fea memberi balasan pesan pada Irvan.- Ir, maafkan aku pergi tanpa pamit. Arnon tiba-tiba jemput dan ada yang dia mau tunjukkan. Lain kali aku pasti kabari kalau harus mendadak pergi.Fea berharap kekasihnya bisa mengerti. Toh, Fea sudah menjelaskan den
"Fea, besok kamu datang pernikahan Rania, kan?" Arnon memandang Fea. Pagi ini lagi-lagi Arnon mengantar Fea ke kantor."Iya, tentu saja." Fea tersenyum lebar. "Lega, akhirnya Rania nikah juga. Aku senang untuk dia dan Mas Jaka.""Pergi bareng, ya?" Arnon membelokkan mobil ke arah kiri."Arnon, mana bisa. Aku bareng Irvan. Kamu ajak siapa gitu, satu teman kamu. Tinggal telpon saja. Si Gladys atau Luna. Widya atau ...""Aku maunya sama kamu. Mereka ga kenal Rania. Kamu bisa ketemu Irvan di lokasi, kan?" Arnon beralasan.Fea menghela nafas. Mulai lagi. Arnon tidak mau dapat saingan. Itu yang Fea pikirkan. Sepertinya Arnon cemburu pada Irvan, merasa Fea tidak lagi peduli padanya."Arnon. Mengertilah. Kalau aku datang sama kamu, bisa heboh. Teman-teman mulai tahu kalau Irvan kekasihku. Lalu aku muncul sama kamu, bisa jadi skandal. Tahu?" Fea berusaha menolak dengan alasan juga."Aku lebih keren dari Irvan. Har
Fea menatap Arnon yang sekarang ada di depannya. Pria itu mengejarnya. Tangan Arnon masih memegang lengan Fea. "Arnon, lepas." Fea bicara tegas. "Kenapa? Kamu takut Irvan marah?" Arnon maju dua langkah, mendekat pada Fea. "Ini bukan soal Irvan marah. Ini soal perasaanku. Harga diriku." Fea melihat Arnon. Tatapan gadis itu tajam kali ini. "Apa? Perasaan? Harga diri? Aku tidak paham yang kamu katakan." Arnon tidak mau melepas tangan Fea. Fea meraih tangan Arnon sedikit memaksa cowok itu melepaskan pegangannya. Arnon mengalah. Dia lepaskan tangan dari Fea. "Aku kekasih Irvan. Dia ada di sini. Aku harus mendampingi dia. Aku hanya ambil minum, aku akan kembali padanya. Orang akan lihat Fea bermain dengan dua pria. Wanita macam apa dia? Kamu mengerti?" Fea makin tajam memandang Arnon. Dia membawa gelasnya kembali ke mejanya. Kali ini Fea sengaja duduk persis di sebelah Irvan. Arnon melirik ke arah pasangan kekasih itu. Dia lihat Irvan tersenyum lebar. Apa dia merasa menang sekarang? A
Fea mulai mengepak barang-barangnya. Tidak seketika semua dia bereskan. Dia lakukan bertahap saja. Setelah semua siap, dia akan bawa ke tempat kos Rania. Kamar kosnya sudah kosong, sejak hari Rania menikah dengan Jaka dan pindah ke rumah suaminya. Dia cek lagi semuanya, jika ada yang terlewat. Buku-buku sudah masuk dalam satu kardus. Pakaian, tas, sepatu, semua sudah dia tata rapi di koper besar. Hanya beberapa pakaian yang tidak dia simpan, karena dia perlu gunakan hingga saat dia pindah. Fea melirik jam dinding, hampir setengah sebelas malam. Besok Sabtu, dia akan pergi dengan Irvan menemui ibu Irvan. Setiap kali memikirkan ini, hati Fea seperti meletup. Banyak pertanyaan muncul di kepala Fea. Apakah ibu Irvan akan menerima dia? Apakah dia bisa cocok dengan calon ibu mertuanya itu? Apa yang akan ibu Irvan tanyakan padanya? Tentang keluarganya? Semua itu bergantian datang di benak Fea. Rasa lelah mendera. Lebih baik Fea istirahat saja. Besok pagi dia harus bereskan rumah, baru dia
Langit mulai merah. Terang perlahan menyeruak menyisihkan gelap. Alam siap kembali memulai hari. Arnon menarik tangan Fea dan mengajaknya mendekat ke arah pantai. Berdua mereka menunggu mentari mulai menyembul di balik air di kejauhan. Fea senang kalau dia punya kesempatan ini, menyaksikan sang surya menunjukkan keindahannya. Buat Fea ini salah satu momen paling manis di tengah alam luas. Arnon memandang Fea yang melihat ke arah sunrise tanpa berkedip. Buat Arnon kali ini, senyum dan tatapan gembira Fea lebih indah dari sunrise. Saat matahari sudah penuh di atas air, Fea tersenyum lega. Dia menoleh pada Arnon. "Makasih. Aku senang sekali. Ini cantik. Banget. Makasih, Ar." Fea masih tersenyum. Meski lelah, sedikit mengantuk karena tidak tidur sepanjang malam, semua terbayar rasanya. Arnon juga tersenyum. "Kamu happy?" "Iya. Happy." Mata Fea sayu, tapi dia terlihat senang. "Dan aku akan buat kamu happy terus setelah ini." Arnon menatap Fea lebih dalam. Dia rasa ini saat yang tepat
Mobil hitam itu masuk ke halaman rumah besar keluarga Hendrawan. Irvan memarkir mobilnya, lalu menemui salah satu pelayan yang sedang membersihkan taman. Dia meminta tolong agar pelayan itu memberitahu Fea kalau dia datang. Sejak tadi pagi dia tidak bisa menghubungi Fea. Chat atau telpon tidak ada yang berhasil. Sangat aneh. Karena itu Irvan memutuskan langsung menemui Fea di rumah besar ini. Pelayan itu meninggalkan pekerjaannya dan mencari Fea di kamarnya. Karena sejak pagi, gadis itu tidak terlihat. Biasanya dia akan beredar di sekitar ruang besar kalau sedang membereskan rumah. Pelayan itu bertanya ke beberapa pelayan lain, tidak ada yang tahu Fea di mana. Pelayan itu kembali dengan tangan hampa. Fea tidak ada. "Aneh sekali. Bagaimana bisa tidak ada yang tahu dia di mana?" batin Irvan. "Kalau Tuan Muda Arnon?" Akhirnya Irvan menanyakan Arnon. Bisa jadi cowok itu justru tahu Fea di mana. "Ah ..." Pelayan itu melihat ke parkiran. Mobil Arnon tidak ada di sana. "Kurasa dia pergi.
Malam kembali datang, Arnon dan Fea masih menikmati waktu di pinggir pantai bersama. Malam ini bulan lebih terang, hampir penuh, dengan bintang banyak bertebaran di langit. Fea masih merasa semua seperti mimpi. Bersama Arnon, bukan sebagai sahabat, tetapi sebagai kekasihnya. Satu sisi hatinya merasa bersalah, dia telah menyakiti Irvan. Dari awal dia berusaha menahan diri, tak mau mendekat pada pria itu. Tetapi akhirnya Fea mencoba membuka hati. Memang dia tidak berhasil. Hatinya tetap utuh terisi Arnon. Meski begitu, tetap saja sebenarnya secara status dia kekasih Irvan. Yang terjadi, Fea menerima Arnon yang melamarnya. "Maafkan aku, Irvan. Aku jahat sama kamu. Aku akan segera selesaikan urusan kita begitu aku pulang." Mata Fea menatap ke angkasa, seolah Irvan di sana dan sedang melihat padanya. Untung sekali dia belum sampai benar-benar bertemu ibu Irvan. Paling tidak, dia tidak mengecewakan orang tua Irvan. Hanya, Fea harus bisa bicara begitu rupa meyakinkan Irvan, hubungan mereka
Fea berjalan ke arah Irvan yang menunggu dia di taman kota. Suasana cukup lengang, hanya ada beberapa orang yang mengunjungi taman ini. Tempat yang nyaman untuk bicara. Irvan memandang Fea dengan rasa rindu yang besar. Beberapa bulan terakhir adalah hari-hari penuh kegembiraan karena dia bisa bersama wanita yang dia idamkan. Hari ini Irvan tidak tahu apa yang akan terjadi antara dia dan Fea. Dia sedikit banyak ada bayangan kira-kira yang Fea akan utarakan. Namun, lebih baik Irvan menunggu hingga Fea menjelaskan semuanya. "Hai, Ir." Fea cantik sekali dengan kaos putih dan jeans biru gelap. Ingin sekali Irvan memeluk kekasihnya itu. "Fea ..." Irvan melangkah mendekat. Fea memeluk tas yang dia pegang. Dengan itu Fea memberi kode dia tidak mau dipeluk. Irvan mundur, dia duduk di kursi taman, menghadap ke kolam di depannya. Fea ikut duduk, tepat di sebelah Irvan. "Aku, aku benar-benar minta maaf, Ir." Fea memulai pembicaraan mereka. Hati Fea tidak tenang. Tapi tetap lebih cepat dia bic
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b