Fea yakin tidak salah dengar. Tuan Muda mengajak dia pergi ke kantor bareng? Mata Fea memandang Arnon, bibirnya membulat, bingung.
"Kamu mau terlambat sampai kantor? Ayo, jalan sekarang." Arnon meraih tangan Fea dan menggandeng gadis itu hingga sampai di garasi.
Arnon membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk dia menoleh pada Fea yang masih berdiri mematung. Fea benar-benar tidak mengerti Arnon. Apa yang terjadi dengan cowok itu?
"Masuk, Fea!" titah Arnon.
Fea sedikit tersentak. Dia nurut. Fea membuka pintu mobil, masuk, dan duduk di sisi Arnon.
"Kamu bukan sedang mabuk, kan?" Fea melihat Arnon yang mulai melakukan kendaraannya.
"Ini masih pagi. Belum jam delapan. Kamu pikir aku segila itu, mabuk di pagi hari?" Arnon menarik ujung bibirnya.
"Aku sudah bertahun-tahun ke mana-mana sendiri. Ke kantor juga punya langganan ojek. Kenapa kamu mau antar aku? Resto kamu dan kantor tempat aku bekerja itu beda arah. Aneh aja." Fea masih belum bisa mencerna mengapa Arnon tiba-tiba niat banget mengantarkan dia ke kantor.
"Aku mau tahu cowok kamu macam apa. Meskipun kamu udah bilang, aku ga yakin kalau dia baik buat kamu." Arnon menjawab tanpa menoleh.
"Ahh ... Itu alasannya?! Kamu pikir aku asal cari pacar?" Fea sedikit kesal sekarang.
"Jika itu yang kamu pikir, terserah. Aku cuma ga mau kamu kenapa-napa, Fea. Paham?" Arnon berkata tegas.
Fea hanya melirik Arnon. Ini salah satu keegoisan Arnon menurut Fea. Dia selalu tidak mau posisi Arnon jadi yang paling dekat dengan Fea digantikan siapapun. Sedang dia akan dengan seenak perutnya pergi jalan dengan cewek mana saja yang dia mau.
Tapi sekarang Fea akan berjuang untuk mewujudkan impiannya. Jika dia menanti Arnon, itu hanya khayalan semata, sedangkan dengan Irvan semua sangat mungkin Fea raih. Kenapa harus dia tunda? Jika dia sedikit tegas, pasti Arnon akan bisa mengerti akhirnya. Itu yang Fea tanamkan di kepalanya sekarang.
Lima belas menit berikut, mereka sampai di kantor Fea. Mobil berhenti di tempat parkir depan kantor. Arnon cepat-cepat turun dan membuka pintu mobil untuk Fea. Lagi, Fea terkejut dengan tingkah Arnon. Cowok itu memperlakukan dia beda. Ini seperti kalau Arnon jalan dengan salah satu wanitanya, dia akan berlaku begini.
"Yuk, kamu tidak terlambat. Bekerjalah dengan baik." Arnon tersenyum.
Fea hanya memandang pada Arnon dengan rasa aneh.
Mobil Irvan datang. Seketika cowok itu melihat Fea baru turun dari mobil mewah yang tidak banyak dijumpai di kota ini. Irvan tahu siapa pemuda di dekat Fea.
"Arnon Hendrawan? Dia mengantar Fea?" Cepat-cepat Irvan memarkir mobilnya. Lalu dia berjalan ke arah Fea dan Arnon yang masih bertatapan.
"Selamat pagi," sapa Irvan. Suaranya ramah, seperti biasa.
Arnon dan Fea menoleh, melihat Irvan yang tersenyum di ujung bibirnya.
"Eh, Ir." Fea cukup terkejut.
"Hai, pagi." Arnon menjawab, dia melihat Irvan. Lumayan juga cowok ini. Cukup keren dan gagah. Pantas juga Fea tidak menolaknya. Hanya Arnon belum yakin Fea cinta pada Irvan.
"Wah, hari yang bagus aku bisa bertemu Tuan Arnon Hendrawan sepagi ini. Dia datang ke kantor ini ..."
"Aku mengantar Fea. Memastikan dia baik-baik saja." Arnon menatap lurus pada Irvan.
Irvan tertegun. Apa maksud Arnon mengatakan itu? Irvan belum tahu banyak kehidupan Fea. Yang dia tahu, Fea bekerja sebagai pembantu di rumah Tuan Hendrawan, tetapi karena mereka baik dia bisa sekolah sampai kuliah. Bahkan setelah bisa bekerja juga Fea tetap diijinkan tinggal di rumah itu.
Hari ini, melihat Arnon langsung mengantar Fea ke kantor, muncul tanda tanya besar di kepala Irvan. Dan Fea jelas melihat itu dari tatapan Irvan.
"Oh, Tuan Hendrawan baik sekali. Jangan kuatir, Tuan, Fea berada di tangan yang tepat." Dengan sigap Irvan menjawab.
Fea memandang dua pria di depannya ini bergantian. Mereka saling menatap, entah apa maksud mereka bertingkah seperti hendak berkelahi begitu.
"Arnon, aku harus masuk. Terima kasih sudah antar hari ini." Fea berharap dengan ucapannya Arnon akan segera pergi.
Ya, Arnon paham. Dia menoleh pada Fea. "Oke. Aku akan chat kamu nanti."
Arnon melirik pada Irvan, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Segera cowok itu meninggalkan Fea dan Irvan yang sekarang berdiri berhadapan.
"Bukannya dia majikan kamu?" Irvan bertanya.
"Iya. Memang. Tapi kami sejak kecil tumbuh bersama, Ir. Kami seperti teman saja." Fea menjawab, berusaha tetap tenang. Rasa kuatir mulai muncul di hati Fea. Jangan sampai Irvan berpikir macam-macam tentang dia dan Arnon.
"Teman? Aku merasa sedikit aneh," ucap Irvan.
"Aku akan jelaskan kalau kita ada waktu bicara. Tentu tidak sekarang. Waktunya bekerja." Fea memandang Irvan yang benar-benar tidak mengerti ada apa dengan Fea dan Arnon.
"Oke. Nanti kita cari waktu. Ayo, masuk." Irvan menekan rasa penasaran. Fea baru semalam resmi bersedia jadi kekasihnya, jangan sampai ini akan memicu situasi tidak baik lalu Fea memilih mundur. Lebih baik Irvan menunggu saat yang tepat dan mendapat jawaban.
Hati Irvan tetap tidak tenang. Dia bisa merasa Arnon sebenarnya menaruh perhatian khusus pada Fea. Dia anak horang kaya, dikenal sebagai pria yang suka asyik dengan wanita-wanita berkelas, lalu kenapa dia memperlakukan Fea dengan istimewa? Irvan harus siap seandainya dia akan berhadapan dengan kenyataan yang tidak dia kira tentang Fea. Dan itu berhubungan dengan Arnon.
*****
Arnon masuk ke resto, menuju langsung ke arah ruangannya. Chef Riko melihat Arnon datang.
"Selamat pagi, Pak!" Ramah dengan senyum lebar Riko menyapa. Tapi Arnon terlihat tidak bersemangat. Senyum Riko pun menghilang.
"Lagi suntuk, Pak?" tanya Riko.
"Kamu bisa lihat, kan?" Arnon menunjuk ke mukanya.
"Ada apa, Arnon?" Panggilan Pak disingkirkan dulu. Sekarang Riko menghadapi Arnon sebagai temannya. Riko menguntit Arnon ke ruangannya.
Duduk berhadapan, Arnon masih sulit tersenyum.
"Ada masalah persiapan resto baru? Aku dengar yang di utara ..."
"Tidak. Semua sudah bisa di-handle. Ini soal hati, Riko." Arnon bicara tanpa ekspresi.
"Arnon bicara soal hati?" tanya Riko. Dia sedikit nyengir mendengar ucapan Arnon.
"Sudah beberapa hari aku kesal terus." Arnon melihat gambar Fea yang tepat di mejanya. Gambar kesayangan Arnon.
"Karena cewek-cewek atau cewek saja?" Riko ingin memastikan.
"Fea." Pendek Arnon menjawab.
"Gadis itu. Kamu apakan dia, Arnon?" Riko menatap Arnon.
"Hei, hati-hati bicara!" Arnon melebarkan matanya, meski seperti sama saja.
"Lalu?" Riko mengerutkan kening.
"Dia ingin pergi dari rumah. Dia ingin segera menikah. Dia jadian sama teman kantornya." Arnon menjelaskan.
"Kamu kesal karena itu? Kalau ga mau kehilangan dia, kamu saja yang menikah dengannya." Riko menjawab tenang, tapi serius.
Arnon tidak menjawab. Riko juga tahu bagaimana Arnon menilai hubungan laki-laki dan perempuan. Dia tak akan mau menjalin hubungan terikat dalam pernikahan. Yang Riko lihat, Arnon trauma dengan keadaan pernikahan orang tuanya. Dia menolak menikah karena takut terluka dan takut melukai wanitanya. Apalagi jika itu Fea.
Riko yakin Arnon cinta pada teman kecilnya itu. Dia hanya tidak mau mengakuinya. Dia menutup semua dengan alasan persahabatan. Malang, itu yang Riko lihat pada Arnon. Belum lagi tekanan orang tuanya, Arnon harus menikah dengan gadis berkelas dan ada batas usia sebagai syarat dia mendapat satu perusahaan yang disiapkan untuk dia teruskan. Benar-benar tidak masuk akal.
"Apa kamu takut kehilangan warisan kamu? Takut dianggap pria bodoh karena menikahi gadis rendahan? Itu cuma pandangan manusia Arnon. Jika kamu bahagia dan bisa membahagiakan Fea kurasa itu cukup." Riko melanjutkan.
"Aku tidak yakin. Bagaimana bisa menjalin hubungan hanya dengan satu orang seumur hidup? Apa rahasia kamu?" Kali ini Arnon yang bertanya.
Riko tersenyum kepada Arnon. Pertanyaan ini yang Riko tunggu dari Arnon. Pria yang gemar bermain wanita cantik itu mulai ingin tahu kenapa seorang pria hanya bisa bertahan dengan satu wanita dalam ikatan pernikahan. Sebab teman-teman Arnon yang ada di sekelilingnya, banyak juga yang tetap mencari wanita di luar rumah sekalipun sudah menikah. Lalu papanya yang punya tiga istri, membuat Arnon merasa aneh jika pria sanggup hidup hanya dengan satu wanita."Aku mungkin bisa kamu bilang kolot, kuno, jadul, atau terlalu konservatif, terserah. Tapi aku akan mulai dari paling dasar dan paling awal Arnon." Riko memandang Arnon.Arnon menyilangkan kaki, menatap pada Riko dengan serius. Riko masih memandang Arnon, memastikan temannya yang galau itu mau mendengarkan dia."Oke. Lanjut. Aku ga akan komentar apa-apa." Arnon menyahut."Kalau begitu baiklah. Aku akan mulai. Kamu harus tahan dengan temanmu yang satu ini. Siap?" ujar Riko.
Lagi-lagi Fea terpana dengan sikap Arnon. Dia mendatangi Fea dan memohon? Fea tidak mengerti kenapa Arnon begini? Tapi yang Fea lihat Arnon gundah. Wajahnya campur aduk. Antara marah, sedih, dan kesal."Arnon, kita sudah bicara soal itu. Aku tidak bisa mempermainkan Irvan. Apa alasan aku memutuskan dia?" Fea memandang Arnon.Arnon meraup rambutnya kasar. Dia tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang berkecamuk di hatinya. Tuntutan orang tuanya, juga kemarahan Arnon karena cemburu."Hei, kamu baik-baik saja?" Fea mencoba melunak.Mungkin saja Arnon ada masalah dengan pekerjaan, atau dia ribut dengan salah satu wanitanya? Fea maju dan menarik tangan Arnon."Tidak. Aku ... Fea, kamu cinta sama Irvan?" Dan pertanyaan ini lagi yang Arnon ucapkan.Fea tersenyum. Jadi Arnon sangat kuatir jika Fea tidak bahagia dengan Irvan? Apa itu yang membuat dia kacau begini?"Hm, kurasa aku ingin menikmati sesuatu
Fea membereskan mejanya. Dia segera beranjak. Arnon menunggu di tempat parkir. Fea tidak tahu apa yang Arnon mau lakukan. Tapi dia benar-benar membuat Fea terkejut kali ini."Fea! Mau jalan? Diajak ke mana?" Rania masih mengira Fea akan pergi dengan Irvan."Arnon." Fea bicara dengan jelas tapi tanpa suara."Hah? Arnon?" ulang Rania.Fea mengangguk dan cepat-cepat keluar. Rania jadi bingung. Arnon yang menelpon? Cowok itu menelpon dan Fea tergesa-gesa pergi. Artinya Arnon meminta Fea melakukan sesuatu. Dan begitu saja Fea manut?Rania tidak habis pikir. Sahabatnya itu sudah punya Irvan sekarang. Lalu kenapa masih segitu pusingnya dengan Arnon. Apa dia tidak mau melepas Arnon? Kalau begini, bisa runyam urusannya nanti dengan Irvan."Aku sama sekali ga bisa paham dengan cara berpikir kamu, Fea." Rania menggumam dan menggeleng kesal. Dia pun membereskan meja, sudah waktunya pulang.Rania baru berdiri, Ir
Fea mengeluarkan ponselnya. Terkejut, sangat terkejut. Irvan menelpon beberapa kali. Cowok itu juga mengirim pesan menanyakan dirinya.Fea merasa bodoh. Dia sama sekali tidak ingat Irvan. Sejak Arnon bilang menjemput, Fea hanya mau cepat menemui Arnon, ingin tahu mau apa cowok itu tiba-tiba nongol ke kantor Fea.Dan kejutan Arnon, benar-benar mengalihkan Fea dari hal yang lain. Fea menikmati waktu berdua Arnon, karena sangatlah menyenangkan. Sekarang, Fea harus menjelaskan apa yang terjadi pada Irvan."Irvan, maaf, aku benar-benar ga ingat kamu pasti akan menemui aku sebelum pulang. Jika mungkin kamu akan mengantarkan aku juga. Astaga, Fea ..."Cepat-cepat Fea memberi balasan pesan pada Irvan.- Ir, maafkan aku pergi tanpa pamit. Arnon tiba-tiba jemput dan ada yang dia mau tunjukkan. Lain kali aku pasti kabari kalau harus mendadak pergi.Fea berharap kekasihnya bisa mengerti. Toh, Fea sudah menjelaskan den
"Fea, besok kamu datang pernikahan Rania, kan?" Arnon memandang Fea. Pagi ini lagi-lagi Arnon mengantar Fea ke kantor."Iya, tentu saja." Fea tersenyum lebar. "Lega, akhirnya Rania nikah juga. Aku senang untuk dia dan Mas Jaka.""Pergi bareng, ya?" Arnon membelokkan mobil ke arah kiri."Arnon, mana bisa. Aku bareng Irvan. Kamu ajak siapa gitu, satu teman kamu. Tinggal telpon saja. Si Gladys atau Luna. Widya atau ...""Aku maunya sama kamu. Mereka ga kenal Rania. Kamu bisa ketemu Irvan di lokasi, kan?" Arnon beralasan.Fea menghela nafas. Mulai lagi. Arnon tidak mau dapat saingan. Itu yang Fea pikirkan. Sepertinya Arnon cemburu pada Irvan, merasa Fea tidak lagi peduli padanya."Arnon. Mengertilah. Kalau aku datang sama kamu, bisa heboh. Teman-teman mulai tahu kalau Irvan kekasihku. Lalu aku muncul sama kamu, bisa jadi skandal. Tahu?" Fea berusaha menolak dengan alasan juga."Aku lebih keren dari Irvan. Har
Fea menatap Arnon yang sekarang ada di depannya. Pria itu mengejarnya. Tangan Arnon masih memegang lengan Fea. "Arnon, lepas." Fea bicara tegas. "Kenapa? Kamu takut Irvan marah?" Arnon maju dua langkah, mendekat pada Fea. "Ini bukan soal Irvan marah. Ini soal perasaanku. Harga diriku." Fea melihat Arnon. Tatapan gadis itu tajam kali ini. "Apa? Perasaan? Harga diri? Aku tidak paham yang kamu katakan." Arnon tidak mau melepas tangan Fea. Fea meraih tangan Arnon sedikit memaksa cowok itu melepaskan pegangannya. Arnon mengalah. Dia lepaskan tangan dari Fea. "Aku kekasih Irvan. Dia ada di sini. Aku harus mendampingi dia. Aku hanya ambil minum, aku akan kembali padanya. Orang akan lihat Fea bermain dengan dua pria. Wanita macam apa dia? Kamu mengerti?" Fea makin tajam memandang Arnon. Dia membawa gelasnya kembali ke mejanya. Kali ini Fea sengaja duduk persis di sebelah Irvan. Arnon melirik ke arah pasangan kekasih itu. Dia lihat Irvan tersenyum lebar. Apa dia merasa menang sekarang? A
Fea mulai mengepak barang-barangnya. Tidak seketika semua dia bereskan. Dia lakukan bertahap saja. Setelah semua siap, dia akan bawa ke tempat kos Rania. Kamar kosnya sudah kosong, sejak hari Rania menikah dengan Jaka dan pindah ke rumah suaminya. Dia cek lagi semuanya, jika ada yang terlewat. Buku-buku sudah masuk dalam satu kardus. Pakaian, tas, sepatu, semua sudah dia tata rapi di koper besar. Hanya beberapa pakaian yang tidak dia simpan, karena dia perlu gunakan hingga saat dia pindah. Fea melirik jam dinding, hampir setengah sebelas malam. Besok Sabtu, dia akan pergi dengan Irvan menemui ibu Irvan. Setiap kali memikirkan ini, hati Fea seperti meletup. Banyak pertanyaan muncul di kepala Fea. Apakah ibu Irvan akan menerima dia? Apakah dia bisa cocok dengan calon ibu mertuanya itu? Apa yang akan ibu Irvan tanyakan padanya? Tentang keluarganya? Semua itu bergantian datang di benak Fea. Rasa lelah mendera. Lebih baik Fea istirahat saja. Besok pagi dia harus bereskan rumah, baru dia
Langit mulai merah. Terang perlahan menyeruak menyisihkan gelap. Alam siap kembali memulai hari. Arnon menarik tangan Fea dan mengajaknya mendekat ke arah pantai. Berdua mereka menunggu mentari mulai menyembul di balik air di kejauhan. Fea senang kalau dia punya kesempatan ini, menyaksikan sang surya menunjukkan keindahannya. Buat Fea ini salah satu momen paling manis di tengah alam luas. Arnon memandang Fea yang melihat ke arah sunrise tanpa berkedip. Buat Arnon kali ini, senyum dan tatapan gembira Fea lebih indah dari sunrise. Saat matahari sudah penuh di atas air, Fea tersenyum lega. Dia menoleh pada Arnon. "Makasih. Aku senang sekali. Ini cantik. Banget. Makasih, Ar." Fea masih tersenyum. Meski lelah, sedikit mengantuk karena tidak tidur sepanjang malam, semua terbayar rasanya. Arnon juga tersenyum. "Kamu happy?" "Iya. Happy." Mata Fea sayu, tapi dia terlihat senang. "Dan aku akan buat kamu happy terus setelah ini." Arnon menatap Fea lebih dalam. Dia rasa ini saat yang tepat
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b