Arnon terdiam dengan apa yang Fea katakan. Kali ini Arnon mendengarkan dengan serius yang diucapkan gadis itu. Harapan dan impian Fea. Bukan kali ini saja Fea mengutarakan apa yang dia inginkan dalam hidupnya. Sebuah keluarga, dengan pria yang mencintainya, yang dia cintai, dan merawat anak-anak mereka. Keluarga sederhana tapi hidup bahagia.
Setiap Fea bercerita tentang itu, Arnon ingin tertawa. Kadang dia memang sudah tertawa dan membuat Fea enggan mengatakannya lagi. Kadang Arnon pikir itu hanya khayalan saja, bukan sesuatu yang serius. Tapi kali ini, Arnon merasa Fea benar-benar ingin mewujudkan harapannya itu. Dengan pria yang bersamanya tadi? "Siapa dia?" Arnon menatap lebih tajam pada dua bola mata Fea. "Namanya Irvan. Dia wakil direksi di kantor. Orangnya sabar dan ramah. Kamu jangan kuatir, aku akan baik-baik saja sama dia." Fea mencoba setenang mungkin bicara, dia mau melunakkan hati Arnon agar akhirnya Arnon melepaskannya dari janji mereka. "Kamu ..." Arnon ingin bicara tapi dia juga bingung akan mengatakan apa. "Kita akan tetap bersahabat, Ar. Tetap bisa berkomunikasi. Kapan saja kontak aku. Aku akan bantu kamu, akan tetap begitu," ujar Fea. Dia merasa sesuatu yang menekan dadanya. Dia mengucapkan semua ini, tapi jauh di dasar hatinya dia tak ingin pergi dari hidup Arnon."Maksud kamu, kamu akan segera pergi?" Arnon makin tajam memandang Fea. "Arnon ... Aku bukan bagian keluarga ini. Aku tidak akan nyaman jika kekasihku datang ke rumah ini. Tidak pantas. Jadi, aku akan cari tempat tinggal lain. Kurasa dekat kantor saja ...""Fea!" Kali ini nada suara Arnon meninggi. Matanya mulai melebar dan menyala. Fea merasa gugup tiba-tiba. Arnon marah. Ya, jika Fea bicara soal keluar rumah ini, dia selalu marah. "Please ... Jangan marah dulu, Ar." Fea membujuk Arnon. "Sampai kapanpun aku ga akan ijinkan kamu keluar rumah ini. Aku, aku ga perlu mengulang kata-kataku lagi." Arnon mendengus lalu berbalik dan meninggalkan Fea. Arnon berjalan ke arah rumah. Dia melihat jendela yang sedikit terbuka. Mamanya berdiri di sana memandang ke arahnya dan Fea. Arnon meneruskan langkah menuju ke kamarnya. Hatinya makin galau. Dia pulang ingin menenangkan diri, justru makin kacau menemukan Fea bersama laki-laki lain. Sedang Fea, dengan lesu berjalan menuju ke kamarnya. Dia duduk di depan meja rias. Dia ambil jam tangan pemberian Irvan. Dia perhatikan jam tangan mungil itu. Memang cantik. Irvan tahu selera Fea. Bukan soal bermerk atau barang mahal, tapi modelnya. Simple dan manis. Sekarang Fea pun gelisah. Keputusannya ingin mengejar impiannya kenapa harus menjadi masalah lagi antara dia dan Arnon. Fea meraih ponselnya. Mungkin bicara tidak akan berhasil. Lebih baik dia kirim pesan saja pada Arnon. Mudah-mudahan dia bisa mengerti dan memahami jika sudah membaca pesan Fea. - Arnon, aku berterimakasih untuk perhatian kamu padaku. Sejak kecil aku tak kurang apa-apa karena bersama kamu. Kita melewati banyak waktu yang menyenangkan. Aku senang dan selalu gembira. Sekarang kita sama-sama dewasa. Sudah saatnya meraih cita-cita kita. Kamu sudah berhasil, bahkan tanpa embel-embel Tuan Hendrawan, kamu meraih sukses. Aku bangga sama kamu. Kamu sudah sampai pada cita-cita kamu, bukan? Menjadi chef terkenal dan punya restoran mewah. Ijinkan aku juga meraih harapanku. Aku tak akan melupakan kamu. Tidak mungkin. Kamu bagian penting di hidupku. Tapi, sebagai sahabat, kuharap kamu mendukung keputusanku.Itu yang Fea tuliskan. Fea membaca lagi pesannya sebelum dia mengirim pada Arnon. Apakah dengan kata-kata itu Arnon akan merelakan dia pergi? Sepertinya yang dia tulis cukup jelas dan gamblang. "Uufffhh ..." Fea mengangkat jempolnya, akan menekan tombol send. Hatinya ragu-ragu. Tapi mau bagaimana, jika bertemu dan bicara, dia akan selalu kalah dengan Arnon. "Lakukan saja, Fea," katanya pada diri sendiri. Lalu dia kirim juga pesan itu. Arnon sedang di kamar mandi. Dia menenggelamkan diri di bathup. Dia melepas semua penat dengan berendam lama-lama. "Fea ... Kenapa aku tak bisa membiarkan kamu dengan orang lain? Aku marah jika kamu bersama orang lain." Arnon memejamkan mata, bicara di hatinya. Bayangan nenek Ellina muncul di matanya. Dia ingat pesan nenek baik hati itu. "Tuan Muda, kalau nenek ga ada lagi, jaga Fea, ya ... Dia sendirian, ga punya saudara dan keluarga. Tapi dia sayang Tuan Muda ... Tuan Muda apa tidak keberatan menjaga Fea, menggantikan aku?" Dengan senyum khasnya nenek Ellina berpesan. Saat itu dia terbaring sakit, dengan wajah pucat dia bicara pada Arnon. "Tentu, Nek. Aku akan jaga Fea. Aku juga sayang Fea. Dia sudah bantu aku terus sejak dia datang, aku pasti jaga dia, Nek. Aku janji." Itu yang Arnon katakan. Saat itu Fea masih di sekolah. Fea tak pernah tahu janji yang Arnon ucapkan pada nenek Ellina. Dan dalam hati Arnon berjanji akan benar-benar melakukan janjinya pada nenek Ellina. Sekalipun waktu itu Arnella agak keberatan Fea tetap di rumah ini setelah nenek Ellina meninggal, Arnon yang ngotot minta agar Fea boleh bekerja meneruskan tugas nenek Ellina. Dan bagusnya, papa Arnon setuju. Arnon tahu bukan karena pria itu peduli Fea, tapi dia sudah berhutang nyawa pada kakek Fea. Dia pernah berjanji pada kakek Fea akan menjamin keluarganya karena jasanya pada Ardiansyah. Kakek Fea mendonorkan satu ginjalnya untuk Ardiansyah. Dengan itu Ardiansyah bisa hidup dan sehat hingga sekarang. "Sekarang kamu minta pergi dari aku. Fea ... Fea ... Bagaimana bisa aku melepaskan kamu?" Arnon mendesah menengadah menatap langit-langit. Menikah. Hidup seperti wanita lain, bahagia dengan keluarganya. Mengapa harus itu yang Fea minta? Arnon tidak merasa kebahagiaan harus diwujudkan dalam sebuah pernikahan. Karena Arnon melihat dari kisah orang tuanya, pernikahan bukan sesuatu yang menjadi jalan kebahagiaan untuk diraih. Pernikahan mereka tidak tulus. Hanya diisi kemunafikan. Mereka berusaha menjaga image di depan semua orang, padahal terlalu banyak luka dan kecewa. Arnon tidak mau menjalani hidup seperti itu. Untuk apa? Dia tidak ingin hidup di area yang sama, yang hanya akan menjerat dirinya dan menjadi terkungkung tanpa kebebasan. Di sisi ini dia dan Fea tak pernah bisa bertemu. "Fea ... Aku harus bagaimana? Melepasmu? Atau menuruti keinginan kamu? Menikah? Satu-satunya cara aku akan tetap bersama dengan kamu, kita menikah." Hati Arnon terus bergulat. Setelah mengucapkan itu dia melotot. Seakan tidak sadar yang baru dia ucapkan. Konyol. Tidak. Pasti itu bukan dirinya. Arnon selesai dengan urusan di kamar mandi. Dia segera mengganti pakaiannya. Dia mengambil ponsel dan melihat pesan Fea masuk di sana. Dia membaca dan menyimaknya baik-baik. "Fea, kenapa begini? Ini berat sekali. Membayangkan kamu bersama orang lain membuat aku marah, Fea. Aku ga bisa." Arnon bicara dengan tegas seakan Fea ada di depannya. Dia meletakkan lagi ponsel itu, tidak membalas pesan Fea. Arnon memilih naik ke atas kasur. Dia pejamkan mata, dan Fea muncul lagi di pikirannya. *****Pagi datang. Arnon cepat-cepat bersiap. Dia akan menemui Fea dan mengantar gadis itu ke kantornya sebelum pergi ke restonya. "Arnon, kamu tidak sarapan?" Arnella melihat Arnon berjalan meninggalkan rumah tanpa belok ke ruang makan. "Ga lapar." Arnon menjawab tanpa menghentikan langkahnya. "Arnon!" panggil Arnella. Dia merasa putranya sedang menuju ke area terlarang yang selama ini dia taruh batas untuk Arnon lewati. Arnon hanya melambai dan terus keluar, dia menuju kamar Fea. Tepat, Fea baru keluar, dia tengah mengunci pintu kamarnya. "Pagi, Fea." Arnon menyapa. Wajah Arnon datar, tapi tidak marah. "Arnon ..." Fea cukup terkejut, Arnon muncul di depannya. "Aku antar ke kantor." Masih datar, Arnon bicara. "Apa?" Fea menatap Arnon. Dia tak salah dengar, kan? **Thank you still reading. Jangan lupa krisan, ya ...Fea yakin tidak salah dengar. Tuan Muda mengajak dia pergi ke kantor bareng? Mata Fea memandang Arnon, bibirnya membulat, bingung."Kamu mau terlambat sampai kantor? Ayo, jalan sekarang." Arnon meraih tangan Fea dan menggandeng gadis itu hingga sampai di garasi.Arnon membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk dia menoleh pada Fea yang masih berdiri mematung. Fea benar-benar tidak mengerti Arnon. Apa yang terjadi dengan cowok itu?"Masuk, Fea!" titah Arnon.Fea sedikit tersentak. Dia nurut. Fea membuka pintu mobil, masuk, dan duduk di sisi Arnon."Kamu bukan sedang mabuk, kan?" Fea melihat Arnon yang mulai melakukan kendaraannya."Ini masih pagi. Belum jam delapan. Kamu pikir aku segila itu, mabuk di pagi hari?" Arnon menarik ujung bibirnya."Aku sudah bertahun-tahun ke mana-mana sendiri. Ke kantor juga punya langganan ojek. Kenapa kamu mau antar aku? Resto kamu dan kantor tempat aku bekerja itu beda arah
Riko tersenyum kepada Arnon. Pertanyaan ini yang Riko tunggu dari Arnon. Pria yang gemar bermain wanita cantik itu mulai ingin tahu kenapa seorang pria hanya bisa bertahan dengan satu wanita dalam ikatan pernikahan. Sebab teman-teman Arnon yang ada di sekelilingnya, banyak juga yang tetap mencari wanita di luar rumah sekalipun sudah menikah. Lalu papanya yang punya tiga istri, membuat Arnon merasa aneh jika pria sanggup hidup hanya dengan satu wanita."Aku mungkin bisa kamu bilang kolot, kuno, jadul, atau terlalu konservatif, terserah. Tapi aku akan mulai dari paling dasar dan paling awal Arnon." Riko memandang Arnon.Arnon menyilangkan kaki, menatap pada Riko dengan serius. Riko masih memandang Arnon, memastikan temannya yang galau itu mau mendengarkan dia."Oke. Lanjut. Aku ga akan komentar apa-apa." Arnon menyahut."Kalau begitu baiklah. Aku akan mulai. Kamu harus tahan dengan temanmu yang satu ini. Siap?" ujar Riko.
Lagi-lagi Fea terpana dengan sikap Arnon. Dia mendatangi Fea dan memohon? Fea tidak mengerti kenapa Arnon begini? Tapi yang Fea lihat Arnon gundah. Wajahnya campur aduk. Antara marah, sedih, dan kesal."Arnon, kita sudah bicara soal itu. Aku tidak bisa mempermainkan Irvan. Apa alasan aku memutuskan dia?" Fea memandang Arnon.Arnon meraup rambutnya kasar. Dia tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang berkecamuk di hatinya. Tuntutan orang tuanya, juga kemarahan Arnon karena cemburu."Hei, kamu baik-baik saja?" Fea mencoba melunak.Mungkin saja Arnon ada masalah dengan pekerjaan, atau dia ribut dengan salah satu wanitanya? Fea maju dan menarik tangan Arnon."Tidak. Aku ... Fea, kamu cinta sama Irvan?" Dan pertanyaan ini lagi yang Arnon ucapkan.Fea tersenyum. Jadi Arnon sangat kuatir jika Fea tidak bahagia dengan Irvan? Apa itu yang membuat dia kacau begini?"Hm, kurasa aku ingin menikmati sesuatu
Fea membereskan mejanya. Dia segera beranjak. Arnon menunggu di tempat parkir. Fea tidak tahu apa yang Arnon mau lakukan. Tapi dia benar-benar membuat Fea terkejut kali ini."Fea! Mau jalan? Diajak ke mana?" Rania masih mengira Fea akan pergi dengan Irvan."Arnon." Fea bicara dengan jelas tapi tanpa suara."Hah? Arnon?" ulang Rania.Fea mengangguk dan cepat-cepat keluar. Rania jadi bingung. Arnon yang menelpon? Cowok itu menelpon dan Fea tergesa-gesa pergi. Artinya Arnon meminta Fea melakukan sesuatu. Dan begitu saja Fea manut?Rania tidak habis pikir. Sahabatnya itu sudah punya Irvan sekarang. Lalu kenapa masih segitu pusingnya dengan Arnon. Apa dia tidak mau melepas Arnon? Kalau begini, bisa runyam urusannya nanti dengan Irvan."Aku sama sekali ga bisa paham dengan cara berpikir kamu, Fea." Rania menggumam dan menggeleng kesal. Dia pun membereskan meja, sudah waktunya pulang.Rania baru berdiri, Ir
Fea mengeluarkan ponselnya. Terkejut, sangat terkejut. Irvan menelpon beberapa kali. Cowok itu juga mengirim pesan menanyakan dirinya.Fea merasa bodoh. Dia sama sekali tidak ingat Irvan. Sejak Arnon bilang menjemput, Fea hanya mau cepat menemui Arnon, ingin tahu mau apa cowok itu tiba-tiba nongol ke kantor Fea.Dan kejutan Arnon, benar-benar mengalihkan Fea dari hal yang lain. Fea menikmati waktu berdua Arnon, karena sangatlah menyenangkan. Sekarang, Fea harus menjelaskan apa yang terjadi pada Irvan."Irvan, maaf, aku benar-benar ga ingat kamu pasti akan menemui aku sebelum pulang. Jika mungkin kamu akan mengantarkan aku juga. Astaga, Fea ..."Cepat-cepat Fea memberi balasan pesan pada Irvan.- Ir, maafkan aku pergi tanpa pamit. Arnon tiba-tiba jemput dan ada yang dia mau tunjukkan. Lain kali aku pasti kabari kalau harus mendadak pergi.Fea berharap kekasihnya bisa mengerti. Toh, Fea sudah menjelaskan den
"Fea, besok kamu datang pernikahan Rania, kan?" Arnon memandang Fea. Pagi ini lagi-lagi Arnon mengantar Fea ke kantor."Iya, tentu saja." Fea tersenyum lebar. "Lega, akhirnya Rania nikah juga. Aku senang untuk dia dan Mas Jaka.""Pergi bareng, ya?" Arnon membelokkan mobil ke arah kiri."Arnon, mana bisa. Aku bareng Irvan. Kamu ajak siapa gitu, satu teman kamu. Tinggal telpon saja. Si Gladys atau Luna. Widya atau ...""Aku maunya sama kamu. Mereka ga kenal Rania. Kamu bisa ketemu Irvan di lokasi, kan?" Arnon beralasan.Fea menghela nafas. Mulai lagi. Arnon tidak mau dapat saingan. Itu yang Fea pikirkan. Sepertinya Arnon cemburu pada Irvan, merasa Fea tidak lagi peduli padanya."Arnon. Mengertilah. Kalau aku datang sama kamu, bisa heboh. Teman-teman mulai tahu kalau Irvan kekasihku. Lalu aku muncul sama kamu, bisa jadi skandal. Tahu?" Fea berusaha menolak dengan alasan juga."Aku lebih keren dari Irvan. Har
Fea menatap Arnon yang sekarang ada di depannya. Pria itu mengejarnya. Tangan Arnon masih memegang lengan Fea. "Arnon, lepas." Fea bicara tegas. "Kenapa? Kamu takut Irvan marah?" Arnon maju dua langkah, mendekat pada Fea. "Ini bukan soal Irvan marah. Ini soal perasaanku. Harga diriku." Fea melihat Arnon. Tatapan gadis itu tajam kali ini. "Apa? Perasaan? Harga diri? Aku tidak paham yang kamu katakan." Arnon tidak mau melepas tangan Fea. Fea meraih tangan Arnon sedikit memaksa cowok itu melepaskan pegangannya. Arnon mengalah. Dia lepaskan tangan dari Fea. "Aku kekasih Irvan. Dia ada di sini. Aku harus mendampingi dia. Aku hanya ambil minum, aku akan kembali padanya. Orang akan lihat Fea bermain dengan dua pria. Wanita macam apa dia? Kamu mengerti?" Fea makin tajam memandang Arnon. Dia membawa gelasnya kembali ke mejanya. Kali ini Fea sengaja duduk persis di sebelah Irvan. Arnon melirik ke arah pasangan kekasih itu. Dia lihat Irvan tersenyum lebar. Apa dia merasa menang sekarang? A
Fea mulai mengepak barang-barangnya. Tidak seketika semua dia bereskan. Dia lakukan bertahap saja. Setelah semua siap, dia akan bawa ke tempat kos Rania. Kamar kosnya sudah kosong, sejak hari Rania menikah dengan Jaka dan pindah ke rumah suaminya. Dia cek lagi semuanya, jika ada yang terlewat. Buku-buku sudah masuk dalam satu kardus. Pakaian, tas, sepatu, semua sudah dia tata rapi di koper besar. Hanya beberapa pakaian yang tidak dia simpan, karena dia perlu gunakan hingga saat dia pindah. Fea melirik jam dinding, hampir setengah sebelas malam. Besok Sabtu, dia akan pergi dengan Irvan menemui ibu Irvan. Setiap kali memikirkan ini, hati Fea seperti meletup. Banyak pertanyaan muncul di kepala Fea. Apakah ibu Irvan akan menerima dia? Apakah dia bisa cocok dengan calon ibu mertuanya itu? Apa yang akan ibu Irvan tanyakan padanya? Tentang keluarganya? Semua itu bergantian datang di benak Fea. Rasa lelah mendera. Lebih baik Fea istirahat saja. Besok pagi dia harus bereskan rumah, baru dia
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b