“Kesialan?” gumam Anggraini mengulang kata yang baru saja diucapkan Merry kepadanya itu.“Ya, apalagi yang membuat sial selain punya istri yang tidak berguna sama sekali? Sudah tidak bisa memberikan keturunan di lain kesempatan malah membuat suaminya sendiri menjadi buron karena video kalian yang tidak punya adab itu,” ucap Merry geram.Anggraini mengernyitkan kening.“Aku tidak tahu apa maksudmu mengatakan itu. Tapi aku yakin kau lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau ingat saat kalian ada di Pangandaran dan pulang dari sana kau menemukan rumahmu sudah dimasuki oleh orang lain? Itu aku. Coba tebak apa yang kutemukan saat aku membongkar lemarimu itu?” tantang Anggraini.Merry menatap Anggraini geram. Posisinya sekarang sedang berdiri di dekat jeruji besi tempat di mana Anggraini sedang duduk bersandar di dalam sel tersebut.“Andai kutahu akan begini, harusnya waktu itu aku yang melaporkan dia terlebih dahulu sehingga aku tak perlu mengalami hal ini. Kau tahu Merry? Kau sama tidak
Anggraini mendongakkan kepala ketika mendengar langkah seseorang mendekat ke arah selnya. Ia tidak berharap Merry lagi yang akan datang menemuinya. Sungguh bertemu dengan wanita itu adalah suatu hal yang sangat menguras banyak energinya saat ini. Bukan karena dia tidak bisa melawannya melainkan Anggraini ketika bertemu dengannya harus banyak-banyak mengalah dan menahan sabar karena yang dia hadapi adalah ibu dari seorang anak kecil yang sedang sedang mengandung pula.Dan untungnya yang datang bukanlah dia seperti harapan Anggraini, melainkan Sophia yang datang untuk membawakannya beberapa pasang pakaian sederhana dan makanan yang pastinya sudah diperiksa di pos depan.“Kalian boleh bicara selama 15 menit. Ingat, jangan melakukan hal yang macam-macam!” kata petugas polisi itu pada Sophia dan Anggraini.“Gimana keadaan kamu, Nggre?” tanya Sophia sambil berjongkok di depan sel Anggraini.Sel itu hanya diisi oleh Anggraini, dan tempatnya pun tak jauh dari meja piket polisi. Tidak seburuk
Malam telah larut, namun Merry tidak dapat memejamkan matanya. Dia tidak bisa tidur karena memikirkan bagaimana nasib dia dan anak-anaknya ke depannya.Saat ini Teguh suaminya sedang dalam pengejaran polisi. Jujur saja sebagai seorang yang telah mengenal lama Teguh dari zaman masa sekolah hingga saat ini, rasanya sulit baginya untuk percaya bahwa Teguh akan tersangkut paut pada kasus sekotor ini.Merry berpikir kalau semua kaset-kaset berisikan adegan tak senonoh yang dia temukan di dalam lemari mereka yang selama ini tidak diijinkan oleh Teguh untuk dibuka, tak lebih dari sekedar koleksi biasa para lelaki nakal. Siapa yang sangka kalau suaminya itu ternyata punya bisnis terselubung yang dia tidak tahu selama ini.Sebuah bisnis kotor yang bergerak di bidang po**og aksi. Ketika Merry memutuskan untuk membuangnya beberapa waktu lalu di tempat pembuangan akhir sampah beberapa waktu lalu, Merry memang menyisihkan salah satu kaset yang dia pikir bisa dia gunakan sebagai alat untuk membalas
“Hah? Demi aku, Anggraini dan anak-anak?” gumam Merry mengulangi kata-kata Teguh. “Ga salah? Sejak kapan aku pernah menyuruh Mas melakukan semua itu? Nggak tahu dengan Anggraini, tapi tolong jangan mengatasnamakan aku, ataupun Shakila dan calon adeknya sebagai alasan Mas berbuat demikian. Kami nggak tahu apa-apa, tapi sekarang lihat?! Kami juga kena dampaknya!” Teguh melipat tangannya di depan dada. Ia sepertinya cukup kesal pada Merry daat ini. Wanita itu menanyakan apa alasannya tapi ketika dia memberitahunya malah dia yang tidak terima.“Oh ya? Kamu pikir dengan gajiku saja di Singapura cukup untuk membelikan kamu dan Anggraini rumah? Aku ini hanya pegawai, Mer. Bukan seorang bos apalagi CEO. Jika hanya karena gajiku saja yang tidak seberapa itu, kau pikir aku akan bisa bolak balik Singapore-Indo setiap weekend? Ya, itu demi kalian. Kau harus terima dan mengerti itu.”Merry tertawa frustasi mendengar alasan Teguh yang menurutnya konyol itu.“Aku harus mengerti, Mas? Lalu kamu send
“Kenapa kau melakukan itu?!” tanya Teguh dengan geram sambil tangannya meraih dan mencengkram leher baju Merry keras-keras.Merry melirik ke arah tempat tidur, di mana Shakila sedang tertidur. Anak kecil itu sebenarnya sudah punya kamar sendiri tepat di sebelah kamar ayah dan bundanya. Namun selama Teguh tidak pulang-pulang karena menjadi buronan polisi, Merry yang sedang hamil dan mengalami sedikit gangguan kecemasan mengajak Shakila untuk tidur di kamarnya.“Pelankan suaramu, Mas. Shakila akan terbangun nanti,” kata Merry sambil menurunkan volume suaranya juga.Teguh ikut melihat ke arah tempat tidur dan mengakui apa yang dikatakan oleh Merry itu ada benarnya. Gadis kecil itu terlihat bergerak-gerak gelisah.Teguh tak punya pilihan lain selain menyeret Merry ke tempat yang tidak menganggu tidur Shakila. Kamar mandi adalah tempat yang Teguh kira cukup untuk meredam suara pertengkaran mereka.“Mas, kamu mau apa?” tanya Merry panik ketika Teguh memaksanya masuk ke dalam kamar mandi dan
“Kamu baik-baik saja?” tanya Asyif kepada Anggraini sesaat setelah mereka keluar dari kantor polisi tersebut.Anggraini mengangguk.Suasana di antara keduanya terlihat canggung. Jujur saja, Anggraini merasa tidak sepercaya diri ketika sebelum kasus ini ada. Dirinya merasa insecure karena merasa semua orang pasti telah melihat semua videonya.Tak terkecuali Asyif. Mungkin saja dia juga telah melihat semua yang di berada di tubuh Anggraini. Atau bahkan pengacara ini. Siapa yang tahu? Mereka semua adalah lelakiAhhh … Anggraini mengalami krisis percaya diri yang akut saat ini. Ia bahkan tidak berani menatap Asyif. Dirinya lebih banyak menunduk. Berkebalikan dengan yang Anggraini rasakan, Asyif juga merasa canggung karena merasa Anggraini pasti mengira dia telah ikut-ikutan mencari tahu dan ikut menonton video panasnya dengan Teguh.“Ini Pak Halomoan. Bapak ini pengacara kondang dari Medan. Ah, aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa menebus rasa bersalahku padamu, Anggre. Aku yan
Anggraini menerobos asap yang mengebul dari dapur dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh rumah itu sudah dikepung oleh api, sementara api terlihat sudah menyentuh langit-langit dapur.“Mbak, keluar aja! Biar kami yang periksa!” seru seorang bapak-bapak yang melihat Anggraini nekad masuk mendekati sumber api.“Sebentar, Pak. Saya lagi cari Shakila. Dia tadi sempat saya dengar suaranya dari sebelah rumah saya. Bapak panggil pemadam kebakaran saja!” sahut Anggraini sambil terbatuk-batuk.Dan benar saja, di tengah kondisinya yang mulai sesak dan mata perih berair, matanya melihat sesosok anak kecil yang tergeletak tak jauh dari pintu kamar.“Astaghfirullah!! Kilaaaa!!!” Anggraini lantas berlari dan menyongsong tubuh mungil itu. Tanpa banyak berpikir ditambah lagi asap ini mulai sangat menyiksanya, Anggraini pun menggendong Shakila dan segera melarikannya ke luar rumah.Kehadirannya dari dalam rumah lantas disambut oleh orang-orang yang entah sejak kapan menjadi ramai. Area rum
“Maaf, Dok. Tapi suaminya tidak bisa dihubungi. Kalau bisa, dokter lakukan saja yang terbaik. Saya ikut saja,” kata Anggraini terbata.“Baik, Bu. Tapi ibu kalau memang benar keluarganya, ibu harus mengisi beberapa formulir dan surat pernyataan bahwa ibu adalah orang yang memberikan ijin dan persetujuan untuk tindakan ini dan jika terjadi sesuatu pada pasien, maka pihak keluarga tidak akan menuntut pihak rumah sakit atas apa yang terjadi,” tutur dokter tersebut.Napas Anggraini naik turun mendengar hal tersebut sambil ia melihat pada Asyif seperti meminta pendapat pria itu. Asyif mengangguk untuk meyakinkan. Bagaimanapun menyelamatkan satu nyawa lebih baik daripada tidak sama sekali.“Aku takut …” gumam Anggraini.Siapapun yang ada di posisi ini pasti akan bimbang. Asyif paham itu. Apalagi Anggraini sering berinteraksi dengan Merry.“Nggak apa-apa, Anggre. Kalau terjadi sesuatu di kemudian hari aku akan ikut mendampingi kamu. Jangan khawatir,” kata Asyif lagi-lagi memberi penguatan.A