Ternyata, Kara masih baik hati, sedangkan Melanie masih ....
Tiba-tiba, Frank merangkul pundak Kara. "Urusan ini bisa dilanjutkan besok. Sekarang, bagaimana kalau kita makan malam? Anak-anak pasti sudah tidak sabar." Kara mengangguk. Masih dengan senyum manis, ia menatap Paul. "Bagaimana kalau Anda makan di sini malam ini?" Paul terbelalak. Bola matanya spontan berbelok ke arah istrinya. "Sayang sekali, Paul sudah punya agenda lain. Perusahaannya masih semrawut. Banyak yang harus diurus," sela Melanie. Paul langsung tersenyum kecut. "Benar. Aku ... masih ada urusan. Mungkin lain kali." Sebelum Paul bisa bicara lebih panjang, Melanie menarik lengannya. "Sekarang permisi. Ada yang ingin kubicarakan berdua dengan suamiku sebelum dia pergi." Frank dan Kara terbelalak. Mulut mereka terbuka, hendak menyampaikan salam. Akan tetapi, Paul sudah tidak memperhatikan mereka lagi. Ia kewalahan menghadapi tarikan kasar Melanie. "Hei, tak bisakah kau lebih lembut? Putramu sudah tidak melihat." Paul menyentak lengannya saat mereka sudah menuruni tangg
Philip menggeleng. "Tidak. Tapi aku bisa menebaknya. Orang tuamu ingin pisah?" Tiba-tiba, isak tangis Barbara pecah. Kepalanya tertunduk dan tangannya mengepal. "Kau senang, hmm? Kau senang bisa menertawakanku? Keluargaku hancur. Aku telah mendapat balasan atas kejahatanku." Philip termenung. Selang keheningan sejenak, ia berbisik, "Itu bukan salahmu. Semua ini terjadi bukan karena kejahatanmu. Kamu tidak berpengaruh apa-apa atas hubungan orang tuamu." Napas Barbara tersekat. Sembari menggigit bibir, ia mengangkat pandangan. Menemukan tatapan Philip yang begitu teduh dan tulus, tangisnya mereda. Pria itu seolah bisa merasakan sakit yang ia rasakan. "Kau pikir bisa menghiburku? Kata-katamu itu tidak berguna. Orang tuaku tetap bercerai. Mereka lebih mementingkan harta daripada kebahagiaanku." Philip kini bungkam, takut suaranya memperburuk suasana. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menyodorkan sapu tangan. Barbara meliriknya sesaat. Usai meringis, ia berjalan menuju k
"Kau membuntutiku lagi? Apakah kau ini penguntit?" gerutu Barbara. Sambil tersenyum miring, Philip mengitari bangku. Saat ia duduk di situ, Barbara langsung berubah kaku. Tubuhnya tanpa sadar bergeser menjauh. "Dulu Jeremy yang suka duduk di sini," ujar Philip, mencoba mencairkan kecanggungan. Barbara mengerutkan alis. "Jeremy?" Philip mengangguk. "Apa kau tahu kisah tentangnya? Dia dibesarkan di panti asuhan, sama sepertiku." "Kau mau mengatakan kalau aku lebih beruntung darinya?" terka Barbara ketus. "Tidak. Aku hanya mau kau tahu lebih banyak saja. Jeremy itu kakaknya Frank. Jadi, alangkah baiknya kalau kau mengenalnya juga." Barbara termenung. Sambil berkedip, ia kembali menatap rumah kaca di kejauhan. "Bukankah Jeremy putra Vivian? Kenapa dia dibesarkan di panti asuhan?" "Karena Nyonya Bell meninggalkannya di sana demi membalas dendam. Tapi ternyata, Norman Harper telah meninggal. Nyonya Bell terpaksa mengubah rencana." "Lalu, bagaimana dengan Jeremy?" lirik Barbara.
"Mama, kenapa berkata begitu?" Barbara menarik lengan baju sang ibu. Akan tetapi, Melanie menepis tangannya. "Jangan ikut campur, Barbara. Ini urusan Mama dan laki-laki yang tidak tahu diri ini. Pekerjaannya hanya mengatur rumah dan mengurus anak-anak. Percaya diri sekali dia mau mendekatimu. Memangnya dia punya apa?" Philip menarik napas berat. Tangannya mengepal di samping badan. "Maaf, Nyonya. Apa yang salah dengan pekerjaan saya? Kenapa Anda menyebutnya seolah itu adalah pekerjaan hina?" Barbara terbelalak, sedangkan Melanie mendesah tak percaya. "Kau berani melawan?" Dengan mata bulat, Melanie menghampiri sang pria. Namun, sebelum ia tiba, Barbara menghadang. "Cukup, Mama. Jangan membuatku malu." "Laki-laki di belakangmu itu yang tak tahu malu. Dia cuma seorang asisten, tapi lagaknya seperti pejabat." “Lalu bagaimana denganku? Aku bahkan tidak punya pekerjaan. Apakah aku membuat Mama malu?” Kepala Melanie tertekan mundur. "Kau membelanya? Apa yang salah denganmu?"
"B-belum pernah," jawab Barbara seperti kumur-kumur. Kepalanya pun tertunduk. Ia tidak sadar bahwa dari posisi Philip, wajahnya justru terlihat lebih jelas. "Kalau begitu, cobalah. Sabtu ini, mari piknik bersama. Kau harus merasakan keseruannya." Barbara berkedip kaku. Tatapannya kini terkunci pada mata terang itu. "Bukankah kita hanya duduk dan makan? Apa serunya?" Philip mendesahkan senyum. "Bukan cuma itu. Kita juga bisa menikmati pemandangan sambil membicarakan banyak hal. Ada banyak permainan seru juga yang bisa kita lakukan. Kau pasti suka." Barbara terdiam. Ia seolah tak tertarik. Padahal, hatinya tergelitik membayangkan keseruan itu. "Ayolah," bujuk Philip lagi. "Kau bilang ingin mempelajari kemampuan baru, kan? Manfaatkan kesempatan ini untuk belajar bersosialisasi." "Kau pikir aku kuper?" Barbara menyipit sinis. Philip tertawa ringan. "Kalau bukan, ayo pergi Sabtu ini. Selesai piknik, kita bisa jalan-jalan sebentar di mal." Mata Barbara mendadak terang. Ia seperti
"Ada apa, Bi?" Emily memiringkan kepala, memeriksa keadaan sang bibi. Barbara mengerjap. Sambil menyimpan ponsel ke dalam tas, ia menggeleng. "Sepertinya, lebih baik kita tidak usah mengadakan siaran. Bagaimana kalau hari ini kita bersenang-senang saja?" "Aku suka, tapi ... apakah Bibi tidak apa-apa?" Alis Emily berkerut resah. "Tenang, Emily. Kita bisa mengambil beberapa foto dan video. Itu bisa dijadikan konten nanti." Louis mengangkat pundaknya ringan. “Wah! Itu ide bagus, Louis.” Wajah bulat Emily kembali berseri-seri. Sambil melahap sedikit demi sedikit rotinya, ia terus mengungkapkan ide. Sementara itu, Philip melirik Barbara. Ia tahu gadis itu menyimpan kegusaran. "Ada apa?" bisiknya. Barbara mengerjap. "Hah?" Selang satu kedipan, ia menggeleng. "Oh, tidak ada apa-apa. Ayo makan." Mengendus ketakutan, Philip pun memandang sekitar. Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah mobil hitam yang terparkir miring, tepat di belakang mereka. Pengemudinya baru saja menaikkan kaca j
"Louis, Emily, terima kasih atas kebersamaan kita beberapa hari ini. Aku senang memiliki keponakan seperti kalian. Tapi sekarang, aku harus pulang. Kalau kalian merindukanku, video call saja. Oke?" Barbara tersenyum, mencoba untuk tidak menampakkan kesedihan. Namun, matanya tidak bisa berbohong. Louis dan Emily pun mulai mencebik. Wajah mereka mengernyit. Mereka kira mereka siap menghadapi kepergian sang Bibi. Namun ternyata, hati tidak bisa disangkal. Tiba-tiba saja, Emily merengek. Tangannya menggapai-gapai. "Bibi ...." Barbara mendesah lirih. Sambil menekuk lutut, ia mendekap Emily. “Kenapa kau menangis? Ini jadi terkesan aneh.” "Kurasa aku akan sangat merindukan Bibi. Kantorku akan sepi. Tidak ada yang akan berdebat denganku lagi." "Hei, tenanglah. Kita masih bisa bekerja sama. Teknologi sudah canggih." Barbara berusaha tegar. Sementara itu, Louis menghampiri dengan bibir terlipat tipis. Tampak jelas, ia kesulitan menahan tangis. "Bibi, maaf kalau aku sering membuat Bibi j
Melanie menyentak Philip, tetapi pria itu sama sekali tidak bergerak. Malah dirinya sendiri yang terdorong ke belakang. Hatinya semakin panas. “Maaf, Nyonya. Putri Anda pulang bersama ayahnya. Harus berapa kali kami mengatakannya agar Anda percaya?” ujar Philip, datar. Merasa geram, Melanie mulai memukul-mukul pundak Philip. “Itu mustahil! Putriku tidak mungkin meninggalkanku sendirian di sini. Dia tidak mungkin ikut dengan ayahnya!” Philip tidak melawan. Ia hanya mengangkat sebelah tangan, melindungi matanya. Namun, Melanie malah membabi buta. Menyaksikan Philip ditindas, si Kembar tidak terima. Mereka kompak menarik gaun Melanie agar menjauh dari sang pria. “Kenapa Nenek memukul Philip? Dia tidak salah apa-apa!” “Berhenti, Nenek! Jangan memukulinya lagi!” “Diam kalian!” Melanie mengayunkan tangan, mengusir si Kembar. Tak sempat mengelak, Emily pun terdorong ke belakang. Kalau saja ia tidak menumpu beban dengan siku, kepalanya pasti sudah membentur tanah. “Emily!” Kara bergeg
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum