Sekarang, bagaimana pendapat kalian tentang Barbara?
Philip menggeleng. "Tidak. Tapi aku bisa menebaknya. Orang tuamu ingin pisah?" Tiba-tiba, isak tangis Barbara pecah. Kepalanya tertunduk dan tangannya mengepal. "Kau senang, hmm? Kau senang bisa menertawakanku? Keluargaku hancur. Aku telah mendapat balasan atas kejahatanku." Philip termenung. Selang keheningan sejenak, ia berbisik, "Itu bukan salahmu. Semua ini terjadi bukan karena kejahatanmu. Kamu tidak berpengaruh apa-apa atas hubungan orang tuamu." Napas Barbara tersekat. Sembari menggigit bibir, ia mengangkat pandangan. Menemukan tatapan Philip yang begitu teduh dan tulus, tangisnya mereda. Pria itu seolah bisa merasakan sakit yang ia rasakan. "Kau pikir bisa menghiburku? Kata-katamu itu tidak berguna. Orang tuaku tetap bercerai. Mereka lebih mementingkan harta daripada kebahagiaanku." Philip kini bungkam, takut suaranya memperburuk suasana. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menyodorkan sapu tangan. Barbara meliriknya sesaat. Usai meringis, ia berjalan menuju k
"Kau membuntutiku lagi? Apakah kau ini penguntit?" gerutu Barbara. Sambil tersenyum miring, Philip mengitari bangku. Saat ia duduk di situ, Barbara langsung berubah kaku. Tubuhnya tanpa sadar bergeser menjauh. "Dulu Jeremy yang suka duduk di sini," ujar Philip, mencoba mencairkan kecanggungan. Barbara mengerutkan alis. "Jeremy?" Philip mengangguk. "Apa kau tahu kisah tentangnya? Dia dibesarkan di panti asuhan, sama sepertiku." "Kau mau mengatakan kalau aku lebih beruntung darinya?" terka Barbara ketus. "Tidak. Aku hanya mau kau tahu lebih banyak saja. Jeremy itu kakaknya Frank. Jadi, alangkah baiknya kalau kau mengenalnya juga." Barbara termenung. Sambil berkedip, ia kembali menatap rumah kaca di kejauhan. "Bukankah Jeremy putra Vivian? Kenapa dia dibesarkan di panti asuhan?" "Karena Nyonya Bell meninggalkannya di sana demi membalas dendam. Tapi ternyata, Norman Harper telah meninggal. Nyonya Bell terpaksa mengubah rencana." "Lalu, bagaimana dengan Jeremy?" lirik Barbara.
"Mama, kenapa berkata begitu?" Barbara menarik lengan baju sang ibu. Akan tetapi, Melanie menepis tangannya. "Jangan ikut campur, Barbara. Ini urusan Mama dan laki-laki yang tidak tahu diri ini. Pekerjaannya hanya mengatur rumah dan mengurus anak-anak. Percaya diri sekali dia mau mendekatimu. Memangnya dia punya apa?" Philip menarik napas berat. Tangannya mengepal di samping badan. "Maaf, Nyonya. Apa yang salah dengan pekerjaan saya? Kenapa Anda menyebutnya seolah itu adalah pekerjaan hina?" Barbara terbelalak, sedangkan Melanie mendesah tak percaya. "Kau berani melawan?" Dengan mata bulat, Melanie menghampiri sang pria. Namun, sebelum ia tiba, Barbara menghadang. "Cukup, Mama. Jangan membuatku malu." "Laki-laki di belakangmu itu yang tak tahu malu. Dia cuma seorang asisten, tapi lagaknya seperti pejabat." “Lalu bagaimana denganku? Aku bahkan tidak punya pekerjaan. Apakah aku membuat Mama malu?” Kepala Melanie tertekan mundur. "Kau membelanya? Apa yang salah denganmu?"
"B-belum pernah," jawab Barbara seperti kumur-kumur. Kepalanya pun tertunduk. Ia tidak sadar bahwa dari posisi Philip, wajahnya justru terlihat lebih jelas. "Kalau begitu, cobalah. Sabtu ini, mari piknik bersama. Kau harus merasakan keseruannya." Barbara berkedip kaku. Tatapannya kini terkunci pada mata terang itu. "Bukankah kita hanya duduk dan makan? Apa serunya?" Philip mendesahkan senyum. "Bukan cuma itu. Kita juga bisa menikmati pemandangan sambil membicarakan banyak hal. Ada banyak permainan seru juga yang bisa kita lakukan. Kau pasti suka." Barbara terdiam. Ia seolah tak tertarik. Padahal, hatinya tergelitik membayangkan keseruan itu. "Ayolah," bujuk Philip lagi. "Kau bilang ingin mempelajari kemampuan baru, kan? Manfaatkan kesempatan ini untuk belajar bersosialisasi." "Kau pikir aku kuper?" Barbara menyipit sinis. Philip tertawa ringan. "Kalau bukan, ayo pergi Sabtu ini. Selesai piknik, kita bisa jalan-jalan sebentar di mal." Mata Barbara mendadak terang. Ia seperti
"Ada apa, Bi?" Emily memiringkan kepala, memeriksa keadaan sang bibi. Barbara mengerjap. Sambil menyimpan ponsel ke dalam tas, ia menggeleng. "Sepertinya, lebih baik kita tidak usah mengadakan siaran. Bagaimana kalau hari ini kita bersenang-senang saja?" "Aku suka, tapi ... apakah Bibi tidak apa-apa?" Alis Emily berkerut resah. "Tenang, Emily. Kita bisa mengambil beberapa foto dan video. Itu bisa dijadikan konten nanti." Louis mengangkat pundaknya ringan. “Wah! Itu ide bagus, Louis.” Wajah bulat Emily kembali berseri-seri. Sambil melahap sedikit demi sedikit rotinya, ia terus mengungkapkan ide. Sementara itu, Philip melirik Barbara. Ia tahu gadis itu menyimpan kegusaran. "Ada apa?" bisiknya. Barbara mengerjap. "Hah?" Selang satu kedipan, ia menggeleng. "Oh, tidak ada apa-apa. Ayo makan." Mengendus ketakutan, Philip pun memandang sekitar. Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah mobil hitam yang terparkir miring, tepat di belakang mereka. Pengemudinya baru saja menaikkan kaca j
"Louis, Emily, terima kasih atas kebersamaan kita beberapa hari ini. Aku senang memiliki keponakan seperti kalian. Tapi sekarang, aku harus pulang. Kalau kalian merindukanku, video call saja. Oke?" Barbara tersenyum, mencoba untuk tidak menampakkan kesedihan. Namun, matanya tidak bisa berbohong. Louis dan Emily pun mulai mencebik. Wajah mereka mengernyit. Mereka kira mereka siap menghadapi kepergian sang Bibi. Namun ternyata, hati tidak bisa disangkal. Tiba-tiba saja, Emily merengek. Tangannya menggapai-gapai. "Bibi ...." Barbara mendesah lirih. Sambil menekuk lutut, ia mendekap Emily. “Kenapa kau menangis? Ini jadi terkesan aneh.” "Kurasa aku akan sangat merindukan Bibi. Kantorku akan sepi. Tidak ada yang akan berdebat denganku lagi." "Hei, tenanglah. Kita masih bisa bekerja sama. Teknologi sudah canggih." Barbara berusaha tegar. Sementara itu, Louis menghampiri dengan bibir terlipat tipis. Tampak jelas, ia kesulitan menahan tangis. "Bibi, maaf kalau aku sering membuat Bibi j
Melanie menyentak Philip, tetapi pria itu sama sekali tidak bergerak. Malah dirinya sendiri yang terdorong ke belakang. Hatinya semakin panas. “Maaf, Nyonya. Putri Anda pulang bersama ayahnya. Harus berapa kali kami mengatakannya agar Anda percaya?” ujar Philip, datar. Merasa geram, Melanie mulai memukul-mukul pundak Philip. “Itu mustahil! Putriku tidak mungkin meninggalkanku sendirian di sini. Dia tidak mungkin ikut dengan ayahnya!” Philip tidak melawan. Ia hanya mengangkat sebelah tangan, melindungi matanya. Namun, Melanie malah membabi buta. Menyaksikan Philip ditindas, si Kembar tidak terima. Mereka kompak menarik gaun Melanie agar menjauh dari sang pria. “Kenapa Nenek memukul Philip? Dia tidak salah apa-apa!” “Berhenti, Nenek! Jangan memukulinya lagi!” “Diam kalian!” Melanie mengayunkan tangan, mengusir si Kembar. Tak sempat mengelak, Emily pun terdorong ke belakang. Kalau saja ia tidak menumpu beban dengan siku, kepalanya pasti sudah membentur tanah. “Emily!” Kara bergeg
Frank memiringkan kepala, menatap Melanie seolah ia tidak mengenalnya. "Mama tidak melihat interaksi mereka belakangan ini? Anak-anak mencintai Barbara. Barbara bahkan bersenang-senang bersama mereka. Kenapa Mama malah berpikiran jelek begitu?" Melanie mengeraskan otot wajahnya. Kedua tangannya menggenggam lengan Frank erat. "Jangan tertipu oleh mereka, Frank. Mereka itu setan cilik yang pandai berakting. Mereka cuma baik di depanmu. Tadi saja, mereka berani membantah Mama. Mereka menarik-narik gaun Mama!" "Itu karena Mama dulu yang memulai." "Tidak!" Melanie memasang tampang memelas. "Tolong, Frank. Kali ini saja, berpihaklah kepada Mama. Sudah cukup kau membela mereka." "Aku tidak membela siapa-siapa. Aku hanya mengungkapkan kebenaran. Barbara aman bersama ayahnya dan kita tidak perlu mengkhawatirkannya." Nada bicara Frank turun drastis. Sorot matanya menajam. Namun, Melanie malah mendengus. Sambil menggertakkan geraham, ia mengguncang lengan putranya. "Sadarlah, Frank.