Seberapa suka kalian terhadap cerita iniii? Tekan like yuuuk!
Melanie menyentak Philip, tetapi pria itu sama sekali tidak bergerak. Malah dirinya sendiri yang terdorong ke belakang. Hatinya semakin panas. “Maaf, Nyonya. Putri Anda pulang bersama ayahnya. Harus berapa kali kami mengatakannya agar Anda percaya?” ujar Philip, datar. Merasa geram, Melanie mulai memukul-mukul pundak Philip. “Itu mustahil! Putriku tidak mungkin meninggalkanku sendirian di sini. Dia tidak mungkin ikut dengan ayahnya!” Philip tidak melawan. Ia hanya mengangkat sebelah tangan, melindungi matanya. Namun, Melanie malah membabi buta. Menyaksikan Philip ditindas, si Kembar tidak terima. Mereka kompak menarik gaun Melanie agar menjauh dari sang pria. “Kenapa Nenek memukul Philip? Dia tidak salah apa-apa!” “Berhenti, Nenek! Jangan memukulinya lagi!” “Diam kalian!” Melanie mengayunkan tangan, mengusir si Kembar. Tak sempat mengelak, Emily pun terdorong ke belakang. Kalau saja ia tidak menumpu beban dengan siku, kepalanya pasti sudah membentur tanah. “Emily!” Kara bergeg
Frank memiringkan kepala, menatap Melanie seolah ia tidak mengenalnya. "Mama tidak melihat interaksi mereka belakangan ini? Anak-anak mencintai Barbara. Barbara bahkan bersenang-senang bersama mereka. Kenapa Mama malah berpikiran jelek begitu?" Melanie mengeraskan otot wajahnya. Kedua tangannya menggenggam lengan Frank erat. "Jangan tertipu oleh mereka, Frank. Mereka itu setan cilik yang pandai berakting. Mereka cuma baik di depanmu. Tadi saja, mereka berani membantah Mama. Mereka menarik-narik gaun Mama!" "Itu karena Mama dulu yang memulai." "Tidak!" Melanie memasang tampang memelas. "Tolong, Frank. Kali ini saja, berpihaklah kepada Mama. Sudah cukup kau membela mereka." "Aku tidak membela siapa-siapa. Aku hanya mengungkapkan kebenaran. Barbara aman bersama ayahnya dan kita tidak perlu mengkhawatirkannya." Nada bicara Frank turun drastis. Sorot matanya menajam. Namun, Melanie malah mendengus. Sambil menggertakkan geraham, ia mengguncang lengan putranya. "Sadarlah, Frank.
Frank menoleh. Mulutnya terkatup rapat sejenak. "Tidak ada. Biarkan saja Barbara tetap pada keputusannya. Kalian masih bisa bersabar menghadapi ibuku?" Philip menghela napas lelah. Kara pun menepuk-nepuk lengannya. "Tolong bersabarlah, Phil. Demi Barbara." Alis Philip terangkat maksimal. "K-kenapa demi Barbara?" Frank dan Kara saling lirik. Senyum mereka berubah misterius. "Bersemangatlah." Frank menepuk pundak Philip, lalu merangkul pinggang Kara. Bersama-sama, mereka masuk ke rumah. Philip berkedip-kedip mencerna keadaan. "Apakah mereka sudah tahu?" gumam pria muda itu. Selang beberapa saat, ia mendesah pasrah. "Louis tidak bisa dipercaya." Sementara yang lain mulai melupakan apa yang tadi terjadi, Melanie mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali ia menggigit jari, sesekali ia mendesah. "Gawat! Ini benar-benar gawat." Sambil menggertakkan gigi, Melanie membanting dirinya di kursi. "Kalau Barbara tidak di sini malam ini, aku bisa gagal mendapat warisan." Sambil berkedip-k
Frank menarik napas berat. "Papa tidak tahu. Papa tidak pernah mendengar cerita apa pun tentangnya. Papa bahkan tidak tahu namanya." Alis Emily bergerak turun. Sebelah tangannya terangkat menyangga pipi. "Itu sangat menyedihkan. Papa pasti merindukannya." "Ya." Tatapan Frank mulai menerawang. "Dulu ketika Papa seusia kalian, Papa sering mengira-ngira seperti apa nenek buyut kalian." "Dia pasti sangat cantik," angguk Louis. Frank tertawa lirih. Sambil mengamati wajah Louis dan Emily, ia berbisik, "Papa juga berpikir begitu. Tapi karena Papa tidak bisa bertemu untuk memastikannya, Papa hanya bisa berdoa. Semoga Nenek bahagia di mana pun dia berada." "Amin." Si Kembar merapatkan tangan di depan dada dan terpejam sesaat. Saat matanya kembali terbuka, Emily langsung meninggikan alisnya. "Louis, bagaimana kalau kita berdoa untuk Bibi juga? Semoga dia tidak terlalu sedih karena orang tuanya berpisah.” Mata Louis sontak melebar. “Itu ide bagus, Emily.” Gadis mungil itu tersenyum man
Louis terkekeh. "Aku tidak sengaja melihatnya." "Bukan tidak sengaja, Mama. Louis mengikuti Philip karena dia pikir gerak-gerik Philip aneh. Dia bahkan menguping. Padahal, itu sudah jam tidur." Kara melirik Louis, menyatakan teguran. Balita itu langsung membulatkan mata. "Itu tidak lama, Ma. Aku cuma terlambat lima menit masuk ke kamar." Merasa gemas, Kara mencubit pipi sang putra. "Lain kali, jangan diulangi lagi. Mengerti? Menguping pembicaraan orang lain itu tidak sopan, Sayang." "Baiklah, Ma. Aku akan mencoba untuk mengingatnya. Sekarang, bagaimana pendapat Mama tentang animasi kami? Ada yang perlu diubah?" Mata Kara menyipit. Ia tahu Louis sengaja mengalihkan pembicaraan. Namun, nasihat yang berulang juga tidak berguna. Jadi, ia kembali menatap layar. "Mama rasa animasi ini sudah sempurna. Kapan kalian mau mengirimnya kepada Bibi?" Tiba-tiba, raut si Kembar manyun. Emily tertunduk, sedangkan Louis mengetuk jam tangan canggihnya. "Nomor Bibi pasti masih belum aktif. Dia be
Rahang Philip mengeras. "Maaf, Nyonya. Bukannya saya melarang, tapi Barbara sendiri yang tidak mau berbicara dengan Anda." "Serahkan!" Melanie menyentak lengan Philip. Merasa risih, pria itu terpaksa merelakan ponselnya. Saat Melanie memeriksa, Barbara ternyata sudah mengakhiri panggilan. "Kau sengaja menutupnya?" hardiknya, tepat di depan muka Philip. Kara mendesah iba. Sambil mengeratkan kepalan tangan, ia akhirnya memasang raut tegas. "Tolong dengarkan dulu, Ma. Kami sama sekali tidak bermaksud untuk menjauhkan Mama dan Barbara. Sebaliknya, kami ingin membantunya agar bisa kembali bersama Mama." Tiba-tiba, Melanie meruncingkan telunjuk di depan muka Kara. "Diam kau! Aku tidak butuh sandiwaramu." Kemudian, sambil meletakkan sebelah tangan di pinggang, Melanie menelepon balik. Namun, beberapa detik berselang, Barbara tidak juga menjawab panggilan. "Sial," umpatnya samar. Dengan gigi terkatup rapat, Melanie menelepon Barbara menggunakan ponselnya sendiri. Ketika operator
Kara kembali tertawa. Sementara si Kembar terus meledek Philip, ia berkata, "Semoga berhasil, Barbara. Kami menantikan kedatanganmu di sini." "Ya! Cepat datang, Bibi. Philip sudah tidak sabar." Telinga Philip sangat merah. Tak sanggup lagi membendung rasa malunya, ia membekap mulut Louis. "Jangan mengada-ada, Tuan Kecil." “Tapi itu ben—” Philip menekuk lutut dan mengunci Louis dengan lengannya. Sang balita tidak lagi berkutik. Tangannya menggapai-gapai kea rah ponsel seolah mengharapkan bantuan dari Barbara. Melihat itu, Emily tertawa terpingkal-pingkal. "Bibi, Philip kesal kami ledek terus. Dia menangkap Louis. Sekarang, mukanya sudah seperti kepiting rebus!" Dengan tangannya yang lain, Philip menangkap Emily. Gadis mungil itu langsung meleyot di pelukannya. Tawanya semakin menjadi. "Philip menyukai Bibi. Philip ...." Pria itu akhirnya berhasil menutup mulut Emily. Namun, Emily masih berusaha untuk bicara, ia ikut menggapat-gapai, meniru Louis. Kara hanya bisa menggeleng mel
"Setelah Mama dan Papa berpisah, kalian tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah membuat keputusan besar." Barbara mengangguk mantap. "Apa?" Mata Paul bertambah cekung. Barbara tersenyum simpul. "Aku sudah dewasa, Pa. Aku mau hidup mandiri. Aku akan mencari pekerjaan dan mengurus diri sendiri. Aku mau belajar mengepakkan sayap." Paul tercengang. Sambil menurunkan tangannya dari pundak Barbara, ia mundur selangkah. "Itu bukan keputusan bagus, Sayang. Bagaimana kamu bisa bertahan? Dan kalau kamu mau bekerja, kenapa tidak membantu Papa mengurus perusahaan saja? Kita bisa berbenah bersama, dan Papa bisa membantu kalau kamu kesulitan." Barbara menggeleng tegas. "Maaf, Pa. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin menggali potensiku sendiri." Paul ternganga tanpa kata. Akal sehatnya terguncang dan hatinya masih menolak percaya. Tiba-tiba, Barbara meraih tangannya. "Papa tidak perlu khawatir. Aku akan mengunjungi Papa di hari libur dan akhir pekan, bergantian dengan mengunjungi Mama. Nanti ka