Padahal lagi asyik asyiknya, eh ... Melanie datang.
Rahang Philip mengeras. "Maaf, Nyonya. Bukannya saya melarang, tapi Barbara sendiri yang tidak mau berbicara dengan Anda." "Serahkan!" Melanie menyentak lengan Philip. Merasa risih, pria itu terpaksa merelakan ponselnya. Saat Melanie memeriksa, Barbara ternyata sudah mengakhiri panggilan. "Kau sengaja menutupnya?" hardiknya, tepat di depan muka Philip. Kara mendesah iba. Sambil mengeratkan kepalan tangan, ia akhirnya memasang raut tegas. "Tolong dengarkan dulu, Ma. Kami sama sekali tidak bermaksud untuk menjauhkan Mama dan Barbara. Sebaliknya, kami ingin membantunya agar bisa kembali bersama Mama." Tiba-tiba, Melanie meruncingkan telunjuk di depan muka Kara. "Diam kau! Aku tidak butuh sandiwaramu." Kemudian, sambil meletakkan sebelah tangan di pinggang, Melanie menelepon balik. Namun, beberapa detik berselang, Barbara tidak juga menjawab panggilan. "Sial," umpatnya samar. Dengan gigi terkatup rapat, Melanie menelepon Barbara menggunakan ponselnya sendiri. Ketika operator
Kara kembali tertawa. Sementara si Kembar terus meledek Philip, ia berkata, "Semoga berhasil, Barbara. Kami menantikan kedatanganmu di sini." "Ya! Cepat datang, Bibi. Philip sudah tidak sabar." Telinga Philip sangat merah. Tak sanggup lagi membendung rasa malunya, ia membekap mulut Louis. "Jangan mengada-ada, Tuan Kecil." “Tapi itu ben—” Philip menekuk lutut dan mengunci Louis dengan lengannya. Sang balita tidak lagi berkutik. Tangannya menggapai-gapai kea rah ponsel seolah mengharapkan bantuan dari Barbara. Melihat itu, Emily tertawa terpingkal-pingkal. "Bibi, Philip kesal kami ledek terus. Dia menangkap Louis. Sekarang, mukanya sudah seperti kepiting rebus!" Dengan tangannya yang lain, Philip menangkap Emily. Gadis mungil itu langsung meleyot di pelukannya. Tawanya semakin menjadi. "Philip menyukai Bibi. Philip ...." Pria itu akhirnya berhasil menutup mulut Emily. Namun, Emily masih berusaha untuk bicara, ia ikut menggapat-gapai, meniru Louis. Kara hanya bisa menggeleng mel
"Setelah Mama dan Papa berpisah, kalian tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah membuat keputusan besar." Barbara mengangguk mantap. "Apa?" Mata Paul bertambah cekung. Barbara tersenyum simpul. "Aku sudah dewasa, Pa. Aku mau hidup mandiri. Aku akan mencari pekerjaan dan mengurus diri sendiri. Aku mau belajar mengepakkan sayap." Paul tercengang. Sambil menurunkan tangannya dari pundak Barbara, ia mundur selangkah. "Itu bukan keputusan bagus, Sayang. Bagaimana kamu bisa bertahan? Dan kalau kamu mau bekerja, kenapa tidak membantu Papa mengurus perusahaan saja? Kita bisa berbenah bersama, dan Papa bisa membantu kalau kamu kesulitan." Barbara menggeleng tegas. "Maaf, Pa. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin menggali potensiku sendiri." Paul ternganga tanpa kata. Akal sehatnya terguncang dan hatinya masih menolak percaya. Tiba-tiba, Barbara meraih tangannya. "Papa tidak perlu khawatir. Aku akan mengunjungi Papa di hari libur dan akhir pekan, bergantian dengan mengunjungi Mama. Nanti ka
Emily menoleh. Namun, saat ia memeriksa, taksi sudah menghilang di kejauhan. "Apakah ada yang baru pulang berbelanja?" Philip tersenyum simpul. "Tidak ada jadwal belanja sore ini, Nona." Dalam sekejap, si Kembar ternganga. "Apakah itu Bibi?" "Bibi sudah datang?" Sedetik kemudian, pekik girang mereka mengudara. Saat limo berhenti, Louis dan Emily berlomba-lomba untuk turun lebih cepat. "Bibi .... Bibi ...!" Mereka tidak peduli lagi dengan Philip yang tertinggal atau Kara yang meneriaki mereka untuk memperhatikan langkah. Namun, saat memasuki ruang tamu, mereka terkesiap. Bola mata mereka bergetar menyaksikan betapa kerasnya Melanie menampar Barbara. "Berbulan-bulan Mama mengandungmu. Bertahun-tahun Mama membesarkanmu. Ini balasanmu untuk Mama?" Usai mendengus, Melanie mulai menggeleng. Matanya semakin dipenuhi guratan merah. "Bisa-bisanya kamu bilang ingin lepas dari Mama? Kamu pikir Mama senang kalau kamu hidup mandiri setelah mengucapkan satu kalimat terima kasih? Tid
"Tidak!” seru Melanie, memekakkan telinga. “Sebelum kau kembali tinggal di sini dan satu bulan berlalu, Mama tidak akan menandatangani surat itu. Titik."Akan tetapi, Barbara tidak menggubris. Ia malah memungut kertas-kertas dan menyerahkannya kepada Melanie. "Kita sudah melanggar persyaratan, Ma. Lupakan aset itu. Sekarang, tolong tanda tangani surat ini. Kasihan Papa kalau Mama mendadak berubah pikiran. Papa sudah cukup sibuk dengan perusahaannya."Merasa geram, Melanie pun merebut lembaran kertas itu. Tanpa berpikir panjang, ia menggulungnya, lalu mulai memukul Barbara. "Dasar anak yang tak tahu diuntung! Aku sudah mengorbankan banyak hal untukmu. Tapi ini balasanmu terhadapku?"Sementara itu, Barbara tidak lagi fokus dengan kata-kata sang ibu. Ia mencoba mengelak dan menangkis serangan. Namun, malah lengannya yang terkena pukulan. "Hentikan, Ma! Sakit!"Menyaksikan hal itu, si Kembar tidak bisa lagi diam. Mereka lompat dari balik pilar dan berlari menyelamatkan Barbara. Namun,
Mata Melanie membulat. Sambil beranjak dari sofa, ia berteriak, “Tidak! Saya tidak melanggar ketentuan. Lihatlah! Barbara ada di sini. Dia masih bertahan di rumah ini bersamaku!” Morris menyentak alis. Ia menoleh ke arah keluarga kecil di sisi kirinya. Mendapati kerut alis yang sama, ia mencondongkan kepalanya ke depan. “Sebagai informasi,” nada bicaranya melandai, “Nyonya Harris dapat mengklaim warisan jika dia dan putrinya bisa bertahan di rumah ini selama satu bulan. Mendiang Rowan sepertinya berharap kalian bisa akur.” “Kami akur!” angguk Melanie cepat. “Anda lihat bagaimana gadis kecil itu menarik tanganku tadi? Dia mengajakku duduk! Itu bukti kalau ada kedekatan di antara kami.” Morris kembali meluruskan badan. Sambil menatap Melanie lekat-lekat, ia mendesah samar. “Maaf, Nyonya. Bukan itu yang menjadi permasalahan di sini. Ada hal lain yang telah Anda langgar, terlepas dari keberadaan Anda dan putri Anda di sini.” Kekusutan di wajah Melanie seketika terurai. Dengan gelenga
“Berdasarkan surat wasiat ini, Melanie Harris berhak atas apartemen yang berada di N City dengan catatan,” Morris menekankan nada bicaranya, “dia harus tinggal di sana.” Lengkung bibir Melanie menciut. “Aku harus tinggal di sana?” Matanya melebar. Morris meruncingkan telunjuk, menyatakan bahwa ia belum selesai dengan kalimat barusan. “Dan mengelolanya. Jika dalam tiga bulan terjadi penurunan harga maupun kualitas secara berturut-turut, aset tersebut akan ditarik dan diserahkan kepada pihak selanjutnya. Dan jika Melanie Harris meninggalkan apartemen tersebut lebih dari seminggu atau bahkan pindah ke tempat lain, aset juga dialihkan kepada pihak tersebut.” “Siapa lagi pihak selanjutnya?” Leher Louis meninggi. “Maaf, Tuan Kecil. Itu tidak bisa saya jawab sekarang.” Tiba-tiba, Melanie mengibaskan tangan. “Selanjutnya juga tidak! Apartemen itu sudah tepat berada di genggamanku. Itu tidak akan berpindah tangan.” Morris mengangguk. Dalam hati, ia bersyukur Melanie menerima keputusan i
“Kalau dipikir-pikir, Mama sempat tega memasukkan obat kemo ke dalam makanan Kara,” tutur Frank lirih. “Apakah sebelumnya Mama sudah pernah melakukan hal yang lebih keji dari itu?” “Nenek, tolong katakan kalau itu tidak benar,” Emily menggeleng pelan. Dua tangannya terkepal di depan dada. “Aku tidak mau punya seorang nenek yang jahat.” Tiba-tiba, Melanie menggebrak meja. “Hentikan!” Matanya mulai memerah dan basah. “Tega kalian menuduhku sebagai penjahat? Aku ini orang tua kalian, nenek kalian. Kalian senang punya keluarga seorang penjahat?” Emily menggeleng. Alisnya berkerut tipis. “Karena itulah, aku berharap isi surat itu tidak benar. Aku berharap Nenek adalah orang baik yang tidak pernah melanggar undang-undang.” “Tapi kalau Nenek memang melakukan kejahatan, kita tetap harus melaporkannya, Emily. Kita tidak boleh menyembunyikan kejahatan.” Bisikan Louis membuat darah Melanie semakin mendidih. Sambil menjatuhkan telapak tangannya di meja sekali lagi, ia berdiri. “Kalau memang