“Berdasarkan surat wasiat ini, Melanie Harris berhak atas apartemen yang berada di N City dengan catatan,” Morris menekankan nada bicaranya, “dia harus tinggal di sana.” Lengkung bibir Melanie menciut. “Aku harus tinggal di sana?” Matanya melebar. Morris meruncingkan telunjuk, menyatakan bahwa ia belum selesai dengan kalimat barusan. “Dan mengelolanya. Jika dalam tiga bulan terjadi penurunan harga maupun kualitas secara berturut-turut, aset tersebut akan ditarik dan diserahkan kepada pihak selanjutnya. Dan jika Melanie Harris meninggalkan apartemen tersebut lebih dari seminggu atau bahkan pindah ke tempat lain, aset juga dialihkan kepada pihak tersebut.” “Siapa lagi pihak selanjutnya?” Leher Louis meninggi. “Maaf, Tuan Kecil. Itu tidak bisa saya jawab sekarang.” Tiba-tiba, Melanie mengibaskan tangan. “Selanjutnya juga tidak! Apartemen itu sudah tepat berada di genggamanku. Itu tidak akan berpindah tangan.” Morris mengangguk. Dalam hati, ia bersyukur Melanie menerima keputusan i
“Kalau dipikir-pikir, Mama sempat tega memasukkan obat kemo ke dalam makanan Kara,” tutur Frank lirih. “Apakah sebelumnya Mama sudah pernah melakukan hal yang lebih keji dari itu?” “Nenek, tolong katakan kalau itu tidak benar,” Emily menggeleng pelan. Dua tangannya terkepal di depan dada. “Aku tidak mau punya seorang nenek yang jahat.” Tiba-tiba, Melanie menggebrak meja. “Hentikan!” Matanya mulai memerah dan basah. “Tega kalian menuduhku sebagai penjahat? Aku ini orang tua kalian, nenek kalian. Kalian senang punya keluarga seorang penjahat?” Emily menggeleng. Alisnya berkerut tipis. “Karena itulah, aku berharap isi surat itu tidak benar. Aku berharap Nenek adalah orang baik yang tidak pernah melanggar undang-undang.” “Tapi kalau Nenek memang melakukan kejahatan, kita tetap harus melaporkannya, Emily. Kita tidak boleh menyembunyikan kejahatan.” Bisikan Louis membuat darah Melanie semakin mendidih. Sambil menjatuhkan telapak tangannya di meja sekali lagi, ia berdiri. “Kalau memang
Seperginya Morris, semua orang masuk ke kamar masing-masing, kecuali Barbara. Gadis itu malah pergi ke beranda belakang. Ia melamun sejenak sebelum mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. "Papa ...." "Halo, Sayang. Apakah misimu berjalan lancar?" Barbara mengangguk lemah walau Paul tak dapat melihatnya. "Ya, Mama sudah menandatangani suratnya." "Wah, itu di luar dugaan," desah Paul, setengah tak percaya. "Sekarang kau sedang dalam perjalanan pulang?" Barbara tertunduk. Telunjuknya mulai menggaruk kuku jempol. "Maaf, Pa. Aku tidak bermaksud mengecewakan Papa, tapi aku tidak bisa meninggalkan Mama sekarang. Ada insiden tak terduga tadi. Mama sangat terguncang." "Insiden apa?" Barbara pun menceritakan tentang kedatangan Morris. Begitu laporannya selesai, dadanya sudah sangat sesak. "Kejahatan yang disebut dalam surat wasiat itu," Barbara menelan ludah, "itukah yang Papa maksud d
"Dulu, aku berpikir kalau kau adalah gadis paling menyebalkan sedunia. Kau apatis, tidak punya belas kasihan, ataupun rasa kemanusiaan. Kau tidak lebih dari gadis manja yang merepotkan." Kerutan kecil muncul di alis Barbara. "Kau menganggapku separah itu? Bukankah terakhir kau bilang kalau kau mengira aku ini egois dan manja?" "Tapi itu dulu," tegas Philip, lirih. "Sekarang?" Philip menaikkan sudut bibirnya yang lain. "Ternyata waktu itu, aku hanya belum mengenalmu. Karena itulah, aku meminta maaf. Maaf kalau aku baru menyadari kalau kau adalah gadis manis yang menyenangkan." Pipi Barbara mulai bersemu. Degup jantungnya terasa begitu kencang sehingga ia terpaksa berdeham demi meredamnya. "Aku tahu kau sedang berusaha menghibur. Tapi, mengulang pujian itu tidak berpengaruh bagiku." Tiba-tiba, jemari Philip menyelinap ke sela-sela jemarinya. Barbara tidak bisa lagi bernapas. Sekujur tubuhnya membeku menerima kehangatan itu. "Aku bukan memujimu, hanya menyampaikan pengakuan. Se
Mulut Philip terkatup. Rahangnya sampai berdenyut saking rapatnya. "Nyonya, troli makanan ada di depan pintu kamar Anda. Makanlah. Barbara sangat sedih kalau Anda tidak makan." "Pergi!" Tidak ada benda melayang ke arah pintu lagi. Namun, Philip tahu pasti makna dari nada suara itu. Melanie menolak dibujuk. Pasrah, ia kembali ke ruang makan. Sementara itu, di dalam kamar, Melanie sedang berdiri dengan napas terengah-engah. Ia masih mengenakan gaun yang sama dengan sore tadi. Namun, riasan dan rambutnya berantakan. Kedua heels-nya tergeletak di dekat pintu. Setelah memastikan Philip sudah pergi, ia duduk terkulai di atas lantai. Kepalanya disandarkan pada lemari. Tatapannya kosong, terkesan lesu dan tak ada energi. Namun, ketika suara Frank terngiang, sorot matanya meredup. Sambil menutup telinga, ia menggeleng cepat. "Tidak," desahnya seraya memeriksa sekeliling, "aku tidak melakukan kejahatan. Kalian tidak seharusnya mencurigaiku, apalagi menuduhku." Namun, selang beberapa
Barbara menghampiri dengan langkah tergesa-gesa. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga. "Mama, apa-apaan ini? Mama mau membunuh Philip? Lepaskan pisau itu!" Mendapat perintah semacam itu, Melanie mendengus. Kemarahan dalam dadanya semakin meledak-ledak. "Tidak!" Sambil mengernyit, ia kembali menghunuskan pisau. Barbara tidak bisa lagi tinggal diam. "Mama, hentikan! Ini sudah kelewatan!" Barbara menarik lengan ibunya. Air matanya mulai menebal. "Jangan ikut campur, Barbara. Kau hanya memperburuk suasana!" "Ternyata semua itu benar? Mama sungguh seorang penjahat? Mama bahkan berani membunuh orang?" Suara Barbara terdengar goyah. Wajahnya memelas. Melihat itu, Melanie berangsur-angsur melunak. Serangannya pun melemah. "Mama bukan orang jahat, Barbara. Keadaanlah yang memaksa Mama berbuat nekat. Kalau tadi kalian tidak mendesak, Mama tidak akan bertindak sejauh ini." "Kalau begitu, berhentilah. Belum terlambat untuk Mama berubah. Lepaskan pisau itu, hmm?" Melanie terdiam
"Bibi harus sembuh. Aku tidak mau Bibi kenapa-kenapa," rengek Emily. Louis ikut memperdalam kerut alis. Bibirnya berkedut kecil. "Ya, Bibi harus kuat. Kalau Bibi sudah sembuh, kita bisa bermain lagi. Bibi juga belum melihat animasi dari kami, kan?" Barbara menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering, sedangkan hatinya pedih. Sejujurnya, ia takut tidak bisa melihat si Kembar lagi. "Anak-Anak," panggil Frank sambil berjalan dengan langkah lebar. Setibanya di depan si Kembar, ia membungkuk, memegangi pundak mereka. "Kalau kalian ingin Bibi cepat sembuh, berdoalah. Itu yang paling dibutuhkan Bibi sekarang. Lagipula, sesampainya di rumah sakit, Bibi akan langsung masuk ke ruang operasi. Kalian juga tidak bisa melihatnya." "Tapi kami bisa berdoa di ruang tunggu, dan kami bisa menyambut Bibi begitu selesai dioperasi." Louis mendongak dengan wajah memelas. "Dan membuat Bibi kalian sedih?" bisik Frank seraya menangkup pipi putranya. "Bibi pasti merasa bersalah dan cemas kalau kalian m
"Louis, kamu dengar itu? Sepertinya Nenek Melanie sedang menangis," bisik Emily seraya melirik ke samping. Balita yang juga bersandar pada dinding pun mengangguk. "Mungkin, Nenek takut Bibi mati. Meskipun dia jahat, dia tetap ibunya." Emily pun menekuk lutut lalu melipat tangannya di atas situ. Sambil menyangga dagu, ia mengerutkan alis. "Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Mungkinkah ... ini terjadi karena ulah Nenek?" Louis meniru pose sang adik. "Ya, tadi Nenek Susan menyuruh kita cepat-cepat masuk kamar. Pelayan lain juga menghindar dari kita. Mereka sepertinya menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh kita ketahui." Emily mengembuskan napas samar. "Mungkin juga, kecelakaan yang dialami Bibi terlalu mengerikan untuk dilihat anak kecil. Tapi, apa pun yang terjadi, aku berharap Bibi cepat pulih." "Eng! Kalau begitu, bagaimana kalau kita berdoa lagi?" Mata sayu Emily terbuka lebih lebar. "Ide bagus, Louis. Kita juga harus mendoakan Philip agar tegar me