Barbara menghampiri dengan langkah tergesa-gesa. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga. "Mama, apa-apaan ini? Mama mau membunuh Philip? Lepaskan pisau itu!" Mendapat perintah semacam itu, Melanie mendengus. Kemarahan dalam dadanya semakin meledak-ledak. "Tidak!" Sambil mengernyit, ia kembali menghunuskan pisau. Barbara tidak bisa lagi tinggal diam. "Mama, hentikan! Ini sudah kelewatan!" Barbara menarik lengan ibunya. Air matanya mulai menebal. "Jangan ikut campur, Barbara. Kau hanya memperburuk suasana!" "Ternyata semua itu benar? Mama sungguh seorang penjahat? Mama bahkan berani membunuh orang?" Suara Barbara terdengar goyah. Wajahnya memelas. Melihat itu, Melanie berangsur-angsur melunak. Serangannya pun melemah. "Mama bukan orang jahat, Barbara. Keadaanlah yang memaksa Mama berbuat nekat. Kalau tadi kalian tidak mendesak, Mama tidak akan bertindak sejauh ini." "Kalau begitu, berhentilah. Belum terlambat untuk Mama berubah. Lepaskan pisau itu, hmm?" Melanie terdiam
"Bibi harus sembuh. Aku tidak mau Bibi kenapa-kenapa," rengek Emily. Louis ikut memperdalam kerut alis. Bibirnya berkedut kecil. "Ya, Bibi harus kuat. Kalau Bibi sudah sembuh, kita bisa bermain lagi. Bibi juga belum melihat animasi dari kami, kan?" Barbara menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering, sedangkan hatinya pedih. Sejujurnya, ia takut tidak bisa melihat si Kembar lagi. "Anak-Anak," panggil Frank sambil berjalan dengan langkah lebar. Setibanya di depan si Kembar, ia membungkuk, memegangi pundak mereka. "Kalau kalian ingin Bibi cepat sembuh, berdoalah. Itu yang paling dibutuhkan Bibi sekarang. Lagipula, sesampainya di rumah sakit, Bibi akan langsung masuk ke ruang operasi. Kalian juga tidak bisa melihatnya." "Tapi kami bisa berdoa di ruang tunggu, dan kami bisa menyambut Bibi begitu selesai dioperasi." Louis mendongak dengan wajah memelas. "Dan membuat Bibi kalian sedih?" bisik Frank seraya menangkup pipi putranya. "Bibi pasti merasa bersalah dan cemas kalau kalian m
"Louis, kamu dengar itu? Sepertinya Nenek Melanie sedang menangis," bisik Emily seraya melirik ke samping. Balita yang juga bersandar pada dinding pun mengangguk. "Mungkin, Nenek takut Bibi mati. Meskipun dia jahat, dia tetap ibunya." Emily pun menekuk lutut lalu melipat tangannya di atas situ. Sambil menyangga dagu, ia mengerutkan alis. "Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Mungkinkah ... ini terjadi karena ulah Nenek?" Louis meniru pose sang adik. "Ya, tadi Nenek Susan menyuruh kita cepat-cepat masuk kamar. Pelayan lain juga menghindar dari kita. Mereka sepertinya menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh kita ketahui." Emily mengembuskan napas samar. "Mungkin juga, kecelakaan yang dialami Bibi terlalu mengerikan untuk dilihat anak kecil. Tapi, apa pun yang terjadi, aku berharap Bibi cepat pulih." "Eng! Kalau begitu, bagaimana kalau kita berdoa lagi?" Mata sayu Emily terbuka lebih lebar. "Ide bagus, Louis. Kita juga harus mendoakan Philip agar tegar me
“Kenapa kamu berpikir begitu, Malaikat Kecil? Mama dan Papa tidak menyembunyikan apa pun dari kalian.” Kara menggeleng kaku. “Kalau tidak, mengapa kami dilarang ikut ke rumah sakit? Kami juga tidak diperbolehkan tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Bibir Louis semakin mengerucut. “Ya, Mama dan Nenek Susan hanya mengatakan kalau Bibi mengalami kecelakaan. Tapi kami meragukan hal itu. Mungkinkah karena Nenek Melanie penyebabnya? Mama tidak tega mengatakan kalau salah satu nenek kami adalah orang jahat?” Frank dan Kara tertegun mendengar perkataan Emily. Selang satu kedipan, Kara mendesah tak percaya. “Kenapa kamu menduga begitu, Sayang? Nenek Melanie adalah nenekmu.” “Itu karena tadi Nenek menangis kencang sekali. Kami bahkan bisa mendengarnya dari sini.” “Ya, kalau saja kita punya tetangga, aku yakin mereka pasti akan protes karena Nenek terlalu berisik.” Sementara Frank terdiam, Kara memaksakan senyuman. “Nenek menangis karena sedi
Merasakan kehadiran seseorang, pelupuk Melanie bergetar. Saat mendapati keberadaan sang putra, ia terkesiap. “Frank ....” Tanpa terduga, Melanie merangkak lalu berhenti tepat di hadapan sang putra. Tangannya tak segan memegangi lutut Frank. “Di mana Barbara? Bagaimana keadaannya sekarang?” Frank bergeming memperhatikan wajah sang ibu. Kernyitan di dahinya tampak jujur. “Dia masih di rumah sakit, baru selesai menjalani operasi.” Melanie mendesah cepat. Ia bergeser lebih dekat. “Bagaimana keadaannya? Dia sudah sadar?” Raut Frank tetap datar. “Operasinya berjalan lancar. Tapi dia akan kesulitan menggerakkan lengan kanannya untuk sementara.” Melanie menurunkan pandangan. Matanya berkedip-kedip dan mulutnya membulat. Belum sempat ia mengucapkan syukur, Frank menyela, “Kenapa? Mama kecewa karena serangan Mama gagal membunuh seseorang?” Melanie kembali tercengang. Getaran pada bola matanya mulai kentara. “Apa maksudmu, Frank? Kau kira Mama tega membunuh putri Mama sendiri?” Frank bung
“Jawab, Ma. Apakah karena emas itu adalah bayarannya? Mama rela menukar putra Mama dengan warisan yang entah kapan bisa Mama terima?” desak Frank, dengan napas yang mulai bergemuruh. “Mama melakukan itu demi kebaikanmu, Frank.” Frank menggeleng. “Mama melakukan itu demi kebahagiaan Mama. Mama tidak sanggup hidup dalam tekanan Kakek dan bayang-bayang Papa. Mama takut dihantui oleh penyesalan dan rasa bersalah.” Tiba-tiba, Melanie menutup kedua kupingnya. “Cukup, Frank.” Namun, Frank belum mau berhenti. “Dan setelah semua itu, Mama belum belajar juga? Mama masih saja egois. Mama tidak pernah memikirkan orang lain. Mama rela mengorbankan keluarga demi kepentingan Mama sendiri. Dan karena terbawa emosi, Mama bahkan melukai putri Mama sendiri.” “Tidak, Frank. Mama tidak sengaja. Barbara terluka karena kecelakaan.” “Mama pikir aku menerima Mama di rumah ini karena tidak tahu?” Sambil mengeratkan bibir, Frank menggeleng. “Justru akulah yang paling tahu. Mama adalah ancaman dan bahaya b
"Sekarang,” Philip menelusuri anak rambut Barbara dengan jemarinya, “tunggulah sebentar. Aku harus mengabari perawat kalau kau sudah sadar." Philip menegakkan badan, hendak menekan tombol intercom. Namun, belum sempat ia bergeser, Barbara menggenggam tangannya erat. "Tolong ... jangan pergi. Aku takut." Philip bergeming melihat sorot mata yang tak berdaya itu. Sebagian hatinya pedih, sebagian lagi luluh. "Aku tidak akan ke mana-mana. Hanya perlu menekan tombol itu." Namun, Barbara menggeleng samar. "Aku takut. Jangan tinggalkan aku." Tangannya mulai gemetar. Philip tersenyum sendu. Sambil membungkuk, ia membelai rambut gadis itu. "Baiklah, aku tidak akan ke mana-mana." "Jangan melepas tanganku." Philip mengerutkan bibir. Tatapan Barbara telah menawan pikirannya. "Kamu begitu penakut. Tapi kenapa kamu berani menghentikan ibumu?" Kedipan mata Barbara melambat. Kerutan alisnya sedikit terurai. "Aku tidak mau ibuku menyakitimu." Philip mengembuskan napas samar. "Kau seharu
Sementara yang lain mengulum senyum, Philip mendesah malu. "Barbara sempat terbangun tadi. Dia ketakutan dan memintaku untuk terus memegang tangannya." Bibir Emily kembali maju. Lengkung alisnya turun. "Kasihan Bibi. Dia pasti tidak mau ditinggal sendiri." Tiba-tiba, Emily menyandarkan pipi gembulnya ke badan Philip. Tangannya menepuk-nepuk perut sang asisten. "Terima kasih sudah menemani Bibi, Philip." Louis tidak mau ketinggalan. "Ya, terima kasih sudah memperhatikan Bibi. Aku yakin, Bibi pasti sangat senang memiliki teman sepertimu." Philip tersenyum kecut. Penolakan halus dari Barbara masih tergambar jelas dalam benaknya. "Sama sekali bukan masalah, Tuan dan Nona Kecil." Ia menepuk-nepuk punggung mereka dengan sebelah tangan. Si Kembar tidak boleh mengetahui keresahannya. Tiba-tiba, Philip merasakan pergerakan tangan Barbara. Saat menoleh, Barbara mulai membuka mata. "Bibi kalian sudah bangun." "Benarkah?" Sementara Louis dan Emily berjinjit, Frank dan Kara menghampiri dar