Bisakah kalian mengerti perasaan Barbara?
"Itu karena Papa dan Mama adalah pasangan suami istri. Kami sudah menikah. Nanti kalian akan mengerti setelah beranjak dewasa," jelas Frank lembut. Bibir Louis mengerucut. Tangannya terlipat di depan dada. "Kupikir Mama tidak malu karena Papa menutup mata. Kehidupan orang dewasa memang membingungkan." "Ya," angguk Emily lucu, "terlalu banyak aturan. Tapi kalau Bibi lebih nyaman bersama Nora, apa boleh buat?" Frank tersenyum simpul. "Baiklah, nanti Papa akan meminta Nora datang menggantikan Philip. Mungkin setelah jam makan siang. Philip kamu tidak keberatan, kan?" Pria itu mengerjap. "Saya? Tentu saja tidak, Tuan." Philip berusaha terdengar biasa. Namun, semua orang tahu ia sedang membendung kekecewaan. Barbara diam-diam merasa tidak enak hati. Namun, itulah satu-satunya cara agar dirinya punya waktu menjauh dari Philip. Ia perlu menetralkan perasaan demi menjernihkan pikiran. Sayangnya, Barbara salah. Sejak Frank sekeluarga pergi dan ia selesai menjalani pemeriksaan ulang, Ph
Barbara termenung. Sebagian hatinya ditumbuhi bunga, sebagian lagi dipenuhi semak. Sayang, logikanya memilih bagian yang semrawut."Kau masih memainkan kebohongan itu?" Philip tersentak. "Kau tidak percaya kalau aku jujur?" "Karena itu mustahil. Apa yang membuatmu terpikat padaku? Apakah rasa iba?" Philip menggeleng. "Ke mana perginya Barbara yang percaya diri?" "Coba sebutkan," tantang Barbara lirih. "Apa alasan logis untukmu tertarik padaku?" Philip terdiam, memberi kesempatan Barbara untuk lanjut meluapkan kegundahan. "Tidak ada, Philip. Keadaan sudah berubah. Aku bukan lagi Barbara yang dulu, yang selalu percaya diri dan tidak peduli pada apa pun. Aku sekarang tidak lebih dari gadis pengecut yang rapuh." "Justru karena kau begitu rapuh, aku terpanggil untuk menjagamu. Dan karena kau pengecut, aku punya lebih banyak kesempatan untuk melindungimu." Sebelum Barbara menggeleng, Philip menangkup wajahnya. "Selama ini, aku dilatih untuk tidak punya rasa takut. Aku selalu berpa
"Papa," panggil Barbara lemah. "Kumohon, berhentilah menyudutkan Philip. Apakah Papa datang ke sini hanya untuk memarahinya?" Paul melunak. "Tidak, Sayang. Tadi pagi, Frank menelepon Papa. Dia menceritakan semuanya. Papa datang ke sini karena cemas. Bagaimana kondisimu sekarang?" Kerut alis Barbara kini ditemani senyum. "Jauh lebih baik. Berkat Philip." Paul melirik ke samping. Ekspresinya kembali sinis. "Dia bukan dokter. Kenapa kau malah membaik karenanya?" "Aku bisa selamat karena pertolongan dari Philip. Dialah yang membawaku ke rumah sakit, menungguku operasi, dan merawatku semalaman. Aku belum tentu bertahan kalau tidak ada dia." Paul mengembuskan napas panjang, tetapi sorot matanya masih sama. "Bukankah kau penyebab putriku terluka? Kalau bukan karenamu, Melanie tidak mungkin membawa pisau." Bibir Philip menciut. Dua tangannya merapat sopan di depan perut. "Maaf, Tuan. Saya sadar saya kurang tegas semalam. Kalau saja saya langsung merebut pisau dari istri Anda, Barbara
"Papa, terima kasih telah menerima Philip," desah Barbara, penuh haru. Paul tersenyum kecil. Dengan hati-hati, ia memeluk putrinya."Apa pun akan Papa lakukan demi kebahagiaanmu, Sayang." Sembari terpejam, Barbara meresapi kehangatan. Dalam hati, ia bersyukur ayahnya berbeda dengan sang ibu."Maaf aku sudah membuat Papa khawatir," bisiknya. "Ini bukan salahmu, Sayang. Mama-mu yang keterlaluan. Pantas saja Frank mengirimnya ke pusat rehabilitasi. Dia memang butuh penyembuhan mental." Senyum Barbara seketika lenyap. Bola matanya bergetar menanti penjelasan."Pusat rehabilitasi?" Sementara Philip mendesah berat, Paul mematung. Ia baru sadar dirinya telah membongkar rahasia. "Kakakmu belum menceritakannya?" Sambil menautkan alis, Paul membelai rambut putrinya."Mungkin Frank tidak mau membuatmu terbebani. Dia terpaksa mengirim Mama ke sana. Tindakan Mama sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Dia bisa saja mence
Paul mundur lagi selangkah. "Selamat tinggal, Melanie. Terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.” "Apa maksudmu?" Wajah Melanie mendadak menua beberapa tahun. "Kau datang untuk menjemputku, kan? Kau tidak mungkin tega membiarkan istrimu mendekam di dalam sini." Paul meraih gagang pintu. Sorot matanya iba. "Sudah tidak ada kesempatan lagi, Melanie. Rasa cintaku padamu sudah musnah." "Tidak mungkin! Kau bahkan menjaga rapat rahasiaku. Kalau kau tidak mencintaiku lagi, kau pasti sudah menyebarkan bukti-bukti itu. Aku akan berakhir di penjara, bukan di sini!" "Kau masih mengira aku menyimpan bukti-bukti itu?" Paul menaikkan alis. Tawa kecil lolos dari senyum miringnya. "Dari mana aku bisa mendapat bukti-bukti itu? Aku tidak sehebat itu, Melanie. Jadi, katakan kepada orang suruhanmu itu untuk berhenti menggeledah barang-barangku. Bukti itu tidak akan pernah ketemu." Mulut Melanie terbuka lebar. Kepalanya menggeleng menolak percaya. "Tidak mungkin. Kau tidak mungkin berbohong." P
"Tuan Morris?" desah Barbara lirih. Morris mengangguk. "Selamat siang, Nona Harris. Anda tampaknya sudah sehat." Saat itu pula, Philip muncul di pintu yang sama. Melihatnya, Morris tersenyum simpul. "Oh, maaf menginterupsi kalian." Rona di pipi Barbara semakin kentara. "Itu tidak seperti yang Anda bayangkan, Tuan Morris. Dia hanya membantu saya memasang resleting." Ia mengangguk-angguk meyakinkan. Perawat di situ spontan menutupi tawa. Morris pun terkekeh. "Seperti yang saya bayangkan juga tidak apa-apa. Kalian pasangan serasi. Philip ternyata memang penuh kejutan." Bibir Barbara mengerucut. Ia melirik Philip sinis. Namun, pria itu melangkah maju tanpa beban. "Silakan duduk, Tuan Morris. Anda pasti punya hal penting yang harus dibicarakan." Sementara sang perawat izin meninggalkan ruangan, Morris menempati sofa yang ditunjuk Philip. "Terima kasih. Saya memang perlu menyampaikan hal terkait wasiat kepada Nona Harris." Alis Barbara berkerut. "Saya?" Morris mengembangkan se
"Bibi," Louis muncul dengan gaya hebohnya, "kami bertemu Tuan Morris tadi. Dia bilang, dia datang untuk menawarkan apartemen kepada Bibi dan syaratnya masih sama!" Emily yang tiba belakangan mengepalkan tangan di depan dada. "Apakah Bibi menerima apartemen itu? Bibi akan tinggal di sana? Bibi akan meninggalkan kami?" Barbara dan Philip saling lirik. Hati mereka tergelitik oleh reaksi dua balita itu. Diam-diam, mereka bersyukur tidak tertangkap basah."Kalian pasti tidak mendengar penjelasan Tuan Morris sampai selesai," celetuk Barbara, membuat alis si Kembar berkerut. "Ya, kami mau mendengarnya langsung dari Bibi. Bibi tidak akan meninggalkan kami, kan?" Emily membulatkan matanya yang berkaca-kaca. "Kalau Bibi pindah ke sana, kita hanya bisa bertemu di hari libur saja. Itu sangat menyakitkan." Louis memegang dadanya lalu meringis. Sembari tertawa, Barbara menghampiri keponakannya. "Kalian setakut itu kehilanganku?" Si Kembar mengangguk. "Kami sudah telanjur menyayangi Bibi. Kami
Sementara Emily menyembunyikan lehernya di antara pundak, Kara mendesah samar. Ia menitipkan putri kecilnya kepada Barbara yang memucat, lalu melangkah maju. "Ma—" Melanie tiba-tiba menutup kedua telinga. Senandungnya bertambah kencang. Badannya maju mundur mengimbangi irama. Tenggorokan Barbara bertambah gersang. Matanya semakin basah. "Kenapa Mama jadi begini? Apakah Mama sudah tidak mengenal kami lagi?" Melanie tersentak. Bola matanya bergerak-gerak memeriksa pendengaran. "Barbara?" Perlahan-lahan, ia menjauhkan tangan dari telinga. Badannya pun berputar menghadap belakang. Ketika melihat Barbara dari sela antara Frank dan Kara, kedipan matanya menggumpalkan air mata. "Barbara, kamu sudah sembuh, Sayang?" Melanie bangkit lalu berjalan cepat menuju putrinya. Yang lain sontak menyingkir, sedangkan Emily berlari ke arah Philip. Barbara dengan sigap melindungi lukanya. "Oh, putriku yang manis. Kau sudah sembuh? Kau tidak sakit lagi? Orang-orang bilang kau perlu beberapa hari dir
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum