Gaaas? Btw, happy Sunday, guys!
"Papa, terima kasih telah menerima Philip," desah Barbara, penuh haru. Paul tersenyum kecil. Dengan hati-hati, ia memeluk putrinya."Apa pun akan Papa lakukan demi kebahagiaanmu, Sayang." Sembari terpejam, Barbara meresapi kehangatan. Dalam hati, ia bersyukur ayahnya berbeda dengan sang ibu."Maaf aku sudah membuat Papa khawatir," bisiknya. "Ini bukan salahmu, Sayang. Mama-mu yang keterlaluan. Pantas saja Frank mengirimnya ke pusat rehabilitasi. Dia memang butuh penyembuhan mental." Senyum Barbara seketika lenyap. Bola matanya bergetar menanti penjelasan."Pusat rehabilitasi?" Sementara Philip mendesah berat, Paul mematung. Ia baru sadar dirinya telah membongkar rahasia. "Kakakmu belum menceritakannya?" Sambil menautkan alis, Paul membelai rambut putrinya."Mungkin Frank tidak mau membuatmu terbebani. Dia terpaksa mengirim Mama ke sana. Tindakan Mama sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Dia bisa saja mence
Paul mundur lagi selangkah. "Selamat tinggal, Melanie. Terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.” "Apa maksudmu?" Wajah Melanie mendadak menua beberapa tahun. "Kau datang untuk menjemputku, kan? Kau tidak mungkin tega membiarkan istrimu mendekam di dalam sini." Paul meraih gagang pintu. Sorot matanya iba. "Sudah tidak ada kesempatan lagi, Melanie. Rasa cintaku padamu sudah musnah." "Tidak mungkin! Kau bahkan menjaga rapat rahasiaku. Kalau kau tidak mencintaiku lagi, kau pasti sudah menyebarkan bukti-bukti itu. Aku akan berakhir di penjara, bukan di sini!" "Kau masih mengira aku menyimpan bukti-bukti itu?" Paul menaikkan alis. Tawa kecil lolos dari senyum miringnya. "Dari mana aku bisa mendapat bukti-bukti itu? Aku tidak sehebat itu, Melanie. Jadi, katakan kepada orang suruhanmu itu untuk berhenti menggeledah barang-barangku. Bukti itu tidak akan pernah ketemu." Mulut Melanie terbuka lebar. Kepalanya menggeleng menolak percaya. "Tidak mungkin. Kau tidak mungkin berbohong." P
"Tuan Morris?" desah Barbara lirih. Morris mengangguk. "Selamat siang, Nona Harris. Anda tampaknya sudah sehat." Saat itu pula, Philip muncul di pintu yang sama. Melihatnya, Morris tersenyum simpul. "Oh, maaf menginterupsi kalian." Rona di pipi Barbara semakin kentara. "Itu tidak seperti yang Anda bayangkan, Tuan Morris. Dia hanya membantu saya memasang resleting." Ia mengangguk-angguk meyakinkan. Perawat di situ spontan menutupi tawa. Morris pun terkekeh. "Seperti yang saya bayangkan juga tidak apa-apa. Kalian pasangan serasi. Philip ternyata memang penuh kejutan." Bibir Barbara mengerucut. Ia melirik Philip sinis. Namun, pria itu melangkah maju tanpa beban. "Silakan duduk, Tuan Morris. Anda pasti punya hal penting yang harus dibicarakan." Sementara sang perawat izin meninggalkan ruangan, Morris menempati sofa yang ditunjuk Philip. "Terima kasih. Saya memang perlu menyampaikan hal terkait wasiat kepada Nona Harris." Alis Barbara berkerut. "Saya?" Morris mengembangkan se
"Bibi," Louis muncul dengan gaya hebohnya, "kami bertemu Tuan Morris tadi. Dia bilang, dia datang untuk menawarkan apartemen kepada Bibi dan syaratnya masih sama!" Emily yang tiba belakangan mengepalkan tangan di depan dada. "Apakah Bibi menerima apartemen itu? Bibi akan tinggal di sana? Bibi akan meninggalkan kami?" Barbara dan Philip saling lirik. Hati mereka tergelitik oleh reaksi dua balita itu. Diam-diam, mereka bersyukur tidak tertangkap basah."Kalian pasti tidak mendengar penjelasan Tuan Morris sampai selesai," celetuk Barbara, membuat alis si Kembar berkerut. "Ya, kami mau mendengarnya langsung dari Bibi. Bibi tidak akan meninggalkan kami, kan?" Emily membulatkan matanya yang berkaca-kaca. "Kalau Bibi pindah ke sana, kita hanya bisa bertemu di hari libur saja. Itu sangat menyakitkan." Louis memegang dadanya lalu meringis. Sembari tertawa, Barbara menghampiri keponakannya. "Kalian setakut itu kehilanganku?" Si Kembar mengangguk. "Kami sudah telanjur menyayangi Bibi. Kami
Sementara Emily menyembunyikan lehernya di antara pundak, Kara mendesah samar. Ia menitipkan putri kecilnya kepada Barbara yang memucat, lalu melangkah maju. "Ma—" Melanie tiba-tiba menutup kedua telinga. Senandungnya bertambah kencang. Badannya maju mundur mengimbangi irama. Tenggorokan Barbara bertambah gersang. Matanya semakin basah. "Kenapa Mama jadi begini? Apakah Mama sudah tidak mengenal kami lagi?" Melanie tersentak. Bola matanya bergerak-gerak memeriksa pendengaran. "Barbara?" Perlahan-lahan, ia menjauhkan tangan dari telinga. Badannya pun berputar menghadap belakang. Ketika melihat Barbara dari sela antara Frank dan Kara, kedipan matanya menggumpalkan air mata. "Barbara, kamu sudah sembuh, Sayang?" Melanie bangkit lalu berjalan cepat menuju putrinya. Yang lain sontak menyingkir, sedangkan Emily berlari ke arah Philip. Barbara dengan sigap melindungi lukanya. "Oh, putriku yang manis. Kau sudah sembuh? Kau tidak sakit lagi? Orang-orang bilang kau perlu beberapa hari dir
Sesampainya di rumah, Philip dan si Kembar langsung mengiringi Barbara menuju kamarnya. Mereka tampak sangat mengkhawatirkan sang gadis. Menyaksikan hal itu, Frank menarik napas berat. "Frank, kamu baik-baik saja?" Kara mengelus lengan suaminya. Frank mengerjap. Mendapati tatapan lembut dari Kara, ia menaikkan sudut bibirnya. "Tentu." Ia lupa, masih ada satu orang yang memperhatikannya. "Kamu tahu kalau kamu bisa menceritakan apa saja kepadaku, kan? Termasuk beban hatimu?" Bibir Frank kembali mendatar. Lama-kelamaan, lengkungnya malah berbalik arah. "Ada apa?" bisik Kara, lebih pelan. Frank mendesah samar dan tertunduk. Ia sadar, tidak ada gunanya menyembunyikan kerisauan dari istrinya. "Aku sudah berusaha untuk tidak memikirkannya. Tapi ternyata ...." "Itu mengganggumu?" Frank mengangguk. "Aku tidak habis pikir. Mengapa Mama begitu membenciku? Kamu lihat tadi? Dalam kondisi seperti itu saja, dia masih mengingat Barbara. Sedangkan aku—" Napas Frank tersekat. "Dia bahkan
Dengan raut datar, Frank menggeser arah pandang. "Apa yang biasanya kau lakukan untuk menghibur adikmu, Louis?" Ia jelas tidak sedang bercanda. Louis menusuk dadanya dengan ibu jari. "Aku memberi Emily kata-kata penenang sambil mengusap wajahnya. Lalu, kalau tangisnya belum berhenti, aku akan memeluknya erat dan menepuk-nepuk punggungnya." "Papa harus mencoba cara itu juga. Siapa tahu kesedihan Bibi terobati." Emily memiringkan kepala. Tatapannya semakin penuh harapan. Louis meniru gelagat sang adik. "Kasihan Bibi, Pa. Dia sekarang jauh dari orang tuanya. Dia hanya punya kita. Benar begitu, Ma?" Sementara Louis membulatkan mata ke arahnya, Kara mengangguk anggun. "Ya, Mama rasa, tidak ada salahnya jika Papa mencoba." Frank menelan ludah. Ia baru saja berhasil mengatasi kerumitan pikirannya akibat sang ibu. Sekarang, ia harus mengurus adiknya? "Ayolah, Papa. Cobalah. Bibi tidak bisa kembali bekerja kalau terus mengurung diri di kamar." "Dan Philip tidak jadi melamar. Padahal,
"Kenapa? Kau terharu? Kau mau menangis?" Frank mengusap kepala Barbara seolah ia anak kecil. "Kalau begitu, menangislah. Tumpahkan semua keresahanmu. Yang lain sedang di lantai atas. Tidak ada yang bisa mendengarmu kecuali aku." Seketika, tangisan Barbara pecah. Ia tidak tahu apa yang sebetulnya ia sesalkan. Kondisi sang ibu, kepedihan hatinya, kemalangan Frank? Semua hal mengaduk-aduk hatinya menjadi tidak karuan. "Maafkan aku." Ia akhirnya memeluk Frank. "Maafkan aku." Frank juga tidak tahu alasan Barbara meminta maaf. Namun, yang pasti, ia lega sang adik akhirnya menjebol pertahanan. Dan untuk pertama kalinya, Frank menikmati peran sebagai seorang kakak. "Inikah yang selalu dirasakan Jeremy dan Louis?" pikirnya sembari tersenyum kecil. "Pantas saja mereka bangga menyebut diri mereka seorang kakak. Rasanya menghangatkan." Sementara itu, di balik pintu, Louis yang sedang menguping tiba-tiba menggaruk kuping. "Apakah Papa menyebut namaku? Telingaku mendadak gatal." Emily meliri