Share

S2| 87. Cinta Seorang Kakak

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dengan raut datar, Frank menggeser arah pandang. "Apa yang biasanya kau lakukan untuk menghibur adikmu, Louis?" Ia jelas tidak sedang bercanda.

Louis menusuk dadanya dengan ibu jari. "Aku memberi Emily kata-kata penenang sambil mengusap wajahnya. Lalu, kalau tangisnya belum berhenti, aku akan memeluknya erat dan menepuk-nepuk punggungnya."

"Papa harus mencoba cara itu juga. Siapa tahu kesedihan Bibi terobati." Emily memiringkan kepala. Tatapannya semakin penuh harapan.

Louis meniru gelagat sang adik. "Kasihan Bibi, Pa. Dia sekarang jauh dari orang tuanya. Dia hanya punya kita. Benar begitu, Ma?"

Sementara Louis membulatkan mata ke arahnya, Kara mengangguk anggun. "Ya, Mama rasa, tidak ada salahnya jika Papa mencoba."

Frank menelan ludah. Ia baru saja berhasil mengatasi kerumitan pikirannya akibat sang ibu. Sekarang, ia harus mengurus adiknya?

"Ayolah, Papa. Cobalah. Bibi tidak bisa kembali bekerja kalau terus mengurung diri di kamar."

"Dan Philip tidak jadi melamar. Padahal,
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Indah Carolina
peluk..... nangis.. huaaaa.. bagian ini bikin haru .. peluk thor
goodnovel comment avatar
Rini Hartini
sedih thor...
goodnovel comment avatar
SK Celey
so sweet.. semamgat thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 88. Rencana Lamaran

    "Kenapa? Kau terharu? Kau mau menangis?" Frank mengusap kepala Barbara seolah ia anak kecil. "Kalau begitu, menangislah. Tumpahkan semua keresahanmu. Yang lain sedang di lantai atas. Tidak ada yang bisa mendengarmu kecuali aku." Seketika, tangisan Barbara pecah. Ia tidak tahu apa yang sebetulnya ia sesalkan. Kondisi sang ibu, kepedihan hatinya, kemalangan Frank? Semua hal mengaduk-aduk hatinya menjadi tidak karuan. "Maafkan aku." Ia akhirnya memeluk Frank. "Maafkan aku." Frank juga tidak tahu alasan Barbara meminta maaf. Namun, yang pasti, ia lega sang adik akhirnya menjebol pertahanan. Dan untuk pertama kalinya, Frank menikmati peran sebagai seorang kakak. "Inikah yang selalu dirasakan Jeremy dan Louis?" pikirnya sembari tersenyum kecil. "Pantas saja mereka bangga menyebut diri mereka seorang kakak. Rasanya menghangatkan." Sementara itu, di balik pintu, Louis yang sedang menguping tiba-tiba menggaruk kuping. "Apakah Papa menyebut namaku? Telingaku mendadak gatal." Emily meliri

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 89. Saatnya Beraksi

    "Apakah Bibi tahu?" desah Emily sambil mendorong bobot dengan kaki-kakinya yang kecil. Setelah berhasil duduk di samping Barbara, ia berbisik, "ada cara untuk membuat Bibi merasa lebih baik." Alis Barbara menadah harapan. "Apa?" Setelah menyibak rambut dari pundaknya, Emily menempelkan pipi gembulnya ke lengan Barbara. Tangannya menepuk-nepuk perut dan punggung sang bibi. "Louis selalu memelukku seperti ini setiap kali aku menangis. Terkadang, dia juga membelai rambutku dan mencium pipiku. Aku merasa jauh lebih baik setelah itu." Sedetik kemudian, ia mendongak, memeriksa Barbara dari sudut atas matanya. "Apakah sekarang Bibi merasa lebih baik? Bibi sudah tidak terlalu sedih? Haruskah aku memeluk Bibi lebih kencang?" Barbara tersenyum, penuh haru. "Aku salut kau sanggup melewati masa-masa sulit itu. Padahal kau masih kecil." "Karena aku punya Louis, Mama, dan Nenek. Mereka selalu ada di sampingku. Aku jadi tidak merasa kesepian, meskipun aku merindukan Papa." Setelah kembali me

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 90. Anak Orang Gila

    Ketika karakter-karakter lain muncul, suasana hati Barbara bergejolak. Kehangatan perlahan melingkupi dirinya dan ia mulai tersenyum. "Lihat, Bi. Bukankah karakterku sangat tampan?" Louis menunjuk gambaran dirinya. "Louis curang, Bi. Dia membuat karaternya paling sempurna. Papa saja tidak dibuat sebagus itu." "Aku membuat sesuai dengan keadaan aslinya. Aku memang lebih ganteng daripada Papa. Tapi lihat! Kamu juga cantik, Emily." Mata gadis mungil itu menyipit. "Tapi kamu membuat pipiku terlalu besar. Sudah kubilang untuk dikecilkan. Belum kamu ubah juga?" Louis tersenyum jail. "Pipimu memang tembam, Emily." "Tapi tidak setembam ini!" Menyimak celotehan dua balita itu, Barbara akhirnya meloloskan tawa. Kara yang mengawasi lewat teropong dari jendela kamarnya sontak mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Halo, Frank? Barbara tampak senang. Aku yakin ini akan berhasil. Philip, bersiaplah!" Mendengar suara dari speaker ponsel tuannya, Philip sontak menarik napas berat. Sebelah tanga

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 91. Masalah Besar

    Melihat kehadiran Philip, ringisan kecil lolos dari mulut Barbara. "Kau juga sudah mendengarnya?" Philip mendesah samar. Kepalanya menggeleng. Tangannya terangkat menuju lengan sang gadis. “Apa pun yang beredar di luar sana ... tidak perlu kau dengarkan.” Namun, air mata Barbara telah menetes. Ia menolak sentuhan Philip, lalu berlari menuju pintu. "Barbara!" Sia-sia, panggilannya seperti angin lalu. Gadis itu terus berlari masuk. Ia bahkan mengabaikan semua orang di dekat pintu. "Barbara," panggil Frank, saat berhasil menahan lengan sang adik. Namun, Barbara melawan. Takut gadis itu kesakitan, Frank terpaksa melepasnya. Yang lain hanya bisa termenung menatap punggung Barbara. "Apa yang harus kita lakukan, Frank?" Kara mengerutkan alis. Saat Frank menggeleng samar, suara Louis terdengar. "Papa!" Balita itu terengah-engah menghampiri. "Apa yang terjadi? Kenapa Bibi menangis?" Di belakangnya, Emily berjalan cepat sambil menyeret tangan Philip. “Bibi juga marah-marah tadi,” imbuh

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 92. Tempatku Bukan di Sini

    Namun, usai sederet ujaran kebencian, beberapa pihak mulai membela. "Heh, apakah kalian tidak bisa menilai? Barbara tulus meminta maaf. Ini sama sekali bukan tipuan.” “Setuju! Dia tidak mungkin mengaku salah kalau dia benar. Risikonya terlalu besar!” “Menurutku, Melanie Harris-lah yang keterlaluan. Dia menempatkan anak-anaknya pada posisi yang sulit.” Sementara warganet terus berdebat, Barbara tiba-tiba menghapus air mata. Ia bangkit dari kursi lalu menarik koper dari lemari. “Lihatlah! Pertunjukan apa lagi ini? Dia mau kabur?” “Mungkin dia merasa aktingnya kurang memuaskan. Dia butuh sesuatu untuk meyakinkan kita kalau dia gadis baik-baik yang rela berkorban dan pantas dibela.” Belum sempat Louis membaca komentar selanjutnya, Barbara telah mengakhiri siaran. Matanya seketika membulat. “Apakah Bibi berencana pergi?” Selang satu kedipan, ia kembali berlari, menyusul yang lain. “Mama, Emily!” Bukan hanya dua orang itu, Frank yang berdiri paling dekat dengan pintu sontak menoleh

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 93. Semua Orang Layak Bahagia

    “Tunggu. Kalian pasti salah paham. Aku pergi bukan cuma untuk menyendiri, tapi juga untuk membuktikan kalau aku bisa hidup mandiri, tanpa mengandalkan orang lain.” “Aku bukan orang lain, Barbara. Aku ini pacarmu, kekasihmu, calon suamimu. Wajar kalau aku melindungimu. Dan caraku adalah dengan menawarkan tempat tinggal.” “Tapi—” Tiba-tiba, Kara membelai rambut Barbara, sebagaimana seorang kakak menenangkan adiknya. “Kalau kamu bersikeras pergi dari sini, ikutlah dengan Philip. Dia bisa menjagamu dan orang-orang tidak akan bisa mengganggumu. Hanya dengan begitu, kami bisa tenang.” “Ya, Bibi. Ikutlah dengan Philip. Dengan begitu, aku bisa tidur malam ini,” Emily mengangguk-angguk dengan dua tangan dirapatkan di bawah dagu. Louis meniru gerakan adiknya. “Ya, Bibi. Ikutlah!” Bibir Barbara meloloskan desah samar. Paru-parunya terlalu penuh dengan keharuan. Namun, belum sempat ia membuat keputusan, Frank mengusap air matanya. “Jaga dirimu baik-baik, hmm? Kalau kau kesulitan, jangan sun

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 94. Omelan si Kembar

    Kara tertawa ringan. "Masuklah, Sayang. Kalian sudah selesai?" Dua balita itu berjalan sambil mengangguk. "Ya, kami tidak mau panjang-panjang. Tadi saja, Emily sudah mengomel dua kali." "Kamu juga mengomel, Louis. Bahkan lebih keras dariku. Muka Louis sampai memerah." Frank dan Kara terbelalak. "Kalian mengomel dalam rekaman? Kalian memarahi siapa?" "Orang-orang," jawab si Kembar kompak. "Mereka seharusnya tidak memercayai informasi begitu saja." Louis mengangkat pundak sekilas. "Ya, mereka nakal! Mereka tidak seharusnya menuduh Papa dan Bibi sembarangan. Kami marah!" Emily menggembungkan pipinya. "Apakah kalian sudah mengupload video itu?" Frank mengeluarkan ponselnya, memeriksa media sosial. "Tadi sudah ada seribu orang yang menonton," sahut Louis ringan. "Sekarang sepuluh ribu," Frank memperlihatkan layar ponselnya kepada si Kembar. "Kalian ingat omongan Papa tentang jangan menimbulkan masalah baru." Louis dan Emily kompak menaikkan pundak, menjepit leher. Mereka terli

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 95. Dia Menciumku Lebih Dulu

    "Philip?" Sang pria tersentak. "Ya?" "Aku belum sempat mengatakannya. Terima kasih sudah bersedia menampungku," tutur Barbara tulus, meskipun kaku dan malu-malu. Namun, apresiasi itu terdengar seperti sindiran di telinga Philip. Sambil memaksakan senyum, ia menelan ludah."Itu bukan sesuatu yang besar, Barbara. Aku hanya memberimu tempat tinggal." Kemudian, dengan gerak canggung, Philip membuka pintu. Lampu otomatis menyala. Melihat isi apartemennya, ia tercengang. "Apakah Tuan yang menyiapkan semua ini?" batinnya, takjub. Apartemennya sudah seperti hotel bintang lima. Tanpa menunggu undangan, Barbara melangkah masuk. Melihat perabotan di hadapannya, alisnya bergerak turun."Kau pasti bekerja sangat keras untuk menyiapkan semua ini. Maaf kalau aku merampas hasil kerja kerasmu." Philip mengerjap. Mulutnya terbuka lebih lebar. "Sudah kubilang, ini bukan apa-apa," ia b

Bab terbaru

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   Ungkapan Terima Kasih untuk Pembaca-Pembaca Hebat

    Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 212. From Zero to Infinity (TAMAT)

    Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 211. Bibi Mau Melahirkan!

    "Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 210. Kegugupan Barbara

    "Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 209. Perjuangan Ava

    Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 208. Kegembiraan Louis dan Emily

    "Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 207. Ulang Tahun Bersama Russell

    "Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 206. Russell Lucu Sekali!

    "Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 205. Keluarlah, Russell!

    Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum

DMCA.com Protection Status