Pagiiii .... Stay healthy and happy, guys!
Melihat kehadiran Philip, ringisan kecil lolos dari mulut Barbara. "Kau juga sudah mendengarnya?" Philip mendesah samar. Kepalanya menggeleng. Tangannya terangkat menuju lengan sang gadis. “Apa pun yang beredar di luar sana ... tidak perlu kau dengarkan.” Namun, air mata Barbara telah menetes. Ia menolak sentuhan Philip, lalu berlari menuju pintu. "Barbara!" Sia-sia, panggilannya seperti angin lalu. Gadis itu terus berlari masuk. Ia bahkan mengabaikan semua orang di dekat pintu. "Barbara," panggil Frank, saat berhasil menahan lengan sang adik. Namun, Barbara melawan. Takut gadis itu kesakitan, Frank terpaksa melepasnya. Yang lain hanya bisa termenung menatap punggung Barbara. "Apa yang harus kita lakukan, Frank?" Kara mengerutkan alis. Saat Frank menggeleng samar, suara Louis terdengar. "Papa!" Balita itu terengah-engah menghampiri. "Apa yang terjadi? Kenapa Bibi menangis?" Di belakangnya, Emily berjalan cepat sambil menyeret tangan Philip. “Bibi juga marah-marah tadi,” imbuh
Namun, usai sederet ujaran kebencian, beberapa pihak mulai membela. "Heh, apakah kalian tidak bisa menilai? Barbara tulus meminta maaf. Ini sama sekali bukan tipuan.” “Setuju! Dia tidak mungkin mengaku salah kalau dia benar. Risikonya terlalu besar!” “Menurutku, Melanie Harris-lah yang keterlaluan. Dia menempatkan anak-anaknya pada posisi yang sulit.” Sementara warganet terus berdebat, Barbara tiba-tiba menghapus air mata. Ia bangkit dari kursi lalu menarik koper dari lemari. “Lihatlah! Pertunjukan apa lagi ini? Dia mau kabur?” “Mungkin dia merasa aktingnya kurang memuaskan. Dia butuh sesuatu untuk meyakinkan kita kalau dia gadis baik-baik yang rela berkorban dan pantas dibela.” Belum sempat Louis membaca komentar selanjutnya, Barbara telah mengakhiri siaran. Matanya seketika membulat. “Apakah Bibi berencana pergi?” Selang satu kedipan, ia kembali berlari, menyusul yang lain. “Mama, Emily!” Bukan hanya dua orang itu, Frank yang berdiri paling dekat dengan pintu sontak menoleh
“Tunggu. Kalian pasti salah paham. Aku pergi bukan cuma untuk menyendiri, tapi juga untuk membuktikan kalau aku bisa hidup mandiri, tanpa mengandalkan orang lain.” “Aku bukan orang lain, Barbara. Aku ini pacarmu, kekasihmu, calon suamimu. Wajar kalau aku melindungimu. Dan caraku adalah dengan menawarkan tempat tinggal.” “Tapi—” Tiba-tiba, Kara membelai rambut Barbara, sebagaimana seorang kakak menenangkan adiknya. “Kalau kamu bersikeras pergi dari sini, ikutlah dengan Philip. Dia bisa menjagamu dan orang-orang tidak akan bisa mengganggumu. Hanya dengan begitu, kami bisa tenang.” “Ya, Bibi. Ikutlah dengan Philip. Dengan begitu, aku bisa tidur malam ini,” Emily mengangguk-angguk dengan dua tangan dirapatkan di bawah dagu. Louis meniru gerakan adiknya. “Ya, Bibi. Ikutlah!” Bibir Barbara meloloskan desah samar. Paru-parunya terlalu penuh dengan keharuan. Namun, belum sempat ia membuat keputusan, Frank mengusap air matanya. “Jaga dirimu baik-baik, hmm? Kalau kau kesulitan, jangan sun
Kara tertawa ringan. "Masuklah, Sayang. Kalian sudah selesai?" Dua balita itu berjalan sambil mengangguk. "Ya, kami tidak mau panjang-panjang. Tadi saja, Emily sudah mengomel dua kali." "Kamu juga mengomel, Louis. Bahkan lebih keras dariku. Muka Louis sampai memerah." Frank dan Kara terbelalak. "Kalian mengomel dalam rekaman? Kalian memarahi siapa?" "Orang-orang," jawab si Kembar kompak. "Mereka seharusnya tidak memercayai informasi begitu saja." Louis mengangkat pundak sekilas. "Ya, mereka nakal! Mereka tidak seharusnya menuduh Papa dan Bibi sembarangan. Kami marah!" Emily menggembungkan pipinya. "Apakah kalian sudah mengupload video itu?" Frank mengeluarkan ponselnya, memeriksa media sosial. "Tadi sudah ada seribu orang yang menonton," sahut Louis ringan. "Sekarang sepuluh ribu," Frank memperlihatkan layar ponselnya kepada si Kembar. "Kalian ingat omongan Papa tentang jangan menimbulkan masalah baru." Louis dan Emily kompak menaikkan pundak, menjepit leher. Mereka terli
"Philip?" Sang pria tersentak. "Ya?" "Aku belum sempat mengatakannya. Terima kasih sudah bersedia menampungku," tutur Barbara tulus, meskipun kaku dan malu-malu. Namun, apresiasi itu terdengar seperti sindiran di telinga Philip. Sambil memaksakan senyum, ia menelan ludah."Itu bukan sesuatu yang besar, Barbara. Aku hanya memberimu tempat tinggal." Kemudian, dengan gerak canggung, Philip membuka pintu. Lampu otomatis menyala. Melihat isi apartemennya, ia tercengang. "Apakah Tuan yang menyiapkan semua ini?" batinnya, takjub. Apartemennya sudah seperti hotel bintang lima. Tanpa menunggu undangan, Barbara melangkah masuk. Melihat perabotan di hadapannya, alisnya bergerak turun."Kau pasti bekerja sangat keras untuk menyiapkan semua ini. Maaf kalau aku merampas hasil kerja kerasmu." Philip mengerjap. Mulutnya terbuka lebih lebar. "Sudah kubilang, ini bukan apa-apa," ia b
"Aku sangat marah ketika membaca berita ini. Aku tidak terima kalau seorang anak durhaka bisa sukses besar seperti Frank Harper. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, berita inilah yang menyesatkan. Mana ada anak durhaka yang menghadiahkan ibunya berlian termahal? Ini bukan soal harga, tapi ... ayolah." "Frank Harper itu orang baik. Dia sangat memperhatikan keluarganya. Aku bisa menjamin ini karena dia sering memesan vitamin dan suplemen di apotek tempatku bekerja. Akhir-akhir ini, orderannya bertambah. Aku baru mengerti ternyata itu untuk ibu dan adiknya." "Kalau ada yang menyebut Frank Harper jahat, kurasa dialah yang bermasalah. Lihat saja bagaimana dia memperlakukan istri dan anak-anaknya, dan bahkan ibu mertuanya. Aku pernah bertemu mereka di restoran. Dia sangat penyayang dan itu bukan sandiwara!" "Apa kalian ingat berita lama? Sejak kematian Norman Harper, Melanie Harper tidak pernah lagi terdengar. Aku menelusuri jejaknya. Ternyata, dia menikah lagi! Dia sudah menelantarkan putra
"Y-ya, tapi kau harus bersabar. Hasilnya mungkin saja tidak memuaskan." Mendengar Barbara terbata-bata, Philip semakin merasa geli. "Aku tidak keberatan kalau masakanmu tidak enak, tapi sayangnya ... tidak ada bahan makanan di kulkas." Mata Barbara membulat. Mulutnya megap-megap. "Kalau begitu, haruskah kita memesan food delivery saja?" Tiba-tiba, Philip bergeser merapat. Posisi duduk Barbara mendadak jadi lebih tegak. "Sejujurnya, aku sudah lapar. Aku terbiasa sarapan lebih awal. Kalau bisa, aku mau makan sekarang." Barbara melirik sekilas. Menangkap tatapan lembut dari Philip, pipinya memerah. "Lalu kita harus bagaimana?" Philip tersenyum simpul. Perlahan-lahan, ia merapat dengan Barbara. "Aku juga tidak tahu kita harus bagaimana. Apakah kau punya solusi?" Barbara menelan ludah. Bibirnya mulai gemetar. "A-aku ...." "Perlukah kita mandi sekarang?" Mata Barbara semakin bulat. "Mandi?" Philip mengangguk lugu. "Supaya lebih segar. Tuan dan Nyonya selalu melakukannya. Mereka ma
"Ya ampun. Kamu ternyata mengintip kami dari semak-semak?" desah Barbara saat menyaksikan gambar Louis muncul dengan daun-daun di rambutnya. Itu momen setelah Melanie mencela Philip dulu. "Ya, aku sedang bermain mata-mata saat itu." Louis mengedikkan bahu dengan tampang tanpa dosa. Sambil menggeleng tak percaya, Barbara lanjut menyimak. Ia suka mengulas keseruan mereka di pantai. Ia sedih saat melihat gambaran sang ibu menyalahkan semua orang karena keputusannya mengikuti Paul. Dan, ia terharu mengetahui betapa galaunya semua orang saat dirinya pergi. Setelah beragam emosi lalu-lalang dalam dada, Barbara akhirnya terpaku pada kebingungan. “Tunggu. Kapan terakhir kalian mengedit animasi ini?” Louis dan Emily sebisa mungkin menahan senyum. "Kemarin." "Lalu kenapa bisa ada momen kita menonton animasi di pekarangan belakang?" "Karena kami sudah menduganya." "Ya, kami mengaturnya. Daripada bertanya-tanya, bagaimana kalau Bibi lanjut menyaksikan?" Dengan alis yang masih menguki