Pagi, guys! Semoga hal-hal baik mendatangi kita hari ini.
"Y-ya, tapi kau harus bersabar. Hasilnya mungkin saja tidak memuaskan." Mendengar Barbara terbata-bata, Philip semakin merasa geli. "Aku tidak keberatan kalau masakanmu tidak enak, tapi sayangnya ... tidak ada bahan makanan di kulkas." Mata Barbara membulat. Mulutnya megap-megap. "Kalau begitu, haruskah kita memesan food delivery saja?" Tiba-tiba, Philip bergeser merapat. Posisi duduk Barbara mendadak jadi lebih tegak. "Sejujurnya, aku sudah lapar. Aku terbiasa sarapan lebih awal. Kalau bisa, aku mau makan sekarang." Barbara melirik sekilas. Menangkap tatapan lembut dari Philip, pipinya memerah. "Lalu kita harus bagaimana?" Philip tersenyum simpul. Perlahan-lahan, ia merapat dengan Barbara. "Aku juga tidak tahu kita harus bagaimana. Apakah kau punya solusi?" Barbara menelan ludah. Bibirnya mulai gemetar. "A-aku ...." "Perlukah kita mandi sekarang?" Mata Barbara semakin bulat. "Mandi?" Philip mengangguk lugu. "Supaya lebih segar. Tuan dan Nyonya selalu melakukannya. Mereka ma
"Ya ampun. Kamu ternyata mengintip kami dari semak-semak?" desah Barbara saat menyaksikan gambar Louis muncul dengan daun-daun di rambutnya. Itu momen setelah Melanie mencela Philip dulu. "Ya, aku sedang bermain mata-mata saat itu." Louis mengedikkan bahu dengan tampang tanpa dosa. Sambil menggeleng tak percaya, Barbara lanjut menyimak. Ia suka mengulas keseruan mereka di pantai. Ia sedih saat melihat gambaran sang ibu menyalahkan semua orang karena keputusannya mengikuti Paul. Dan, ia terharu mengetahui betapa galaunya semua orang saat dirinya pergi. Setelah beragam emosi lalu-lalang dalam dada, Barbara akhirnya terpaku pada kebingungan. “Tunggu. Kapan terakhir kalian mengedit animasi ini?” Louis dan Emily sebisa mungkin menahan senyum. "Kemarin." "Lalu kenapa bisa ada momen kita menonton animasi di pekarangan belakang?" "Karena kami sudah menduganya." "Ya, kami mengaturnya. Daripada bertanya-tanya, bagaimana kalau Bibi lanjut menyaksikan?" Dengan alis yang masih menguki
Philip tertawa kecil. "Saya juga tidak menyangka, Tuan. Saya harap saya tidak dipecat karena saya menikahi adik Anda." Frank mendengus tak percaya. "Kau mau mempertahankan pekerjaanmu?" Ia menatap Philip dengan mata menyipit. Philip mengangguk. "Saya terlalu mencintai pekerjaan itu." "Dia mau meniru jejakku, Frank," celetuk Jeremy. "Meski ada pergeseran status, kami tetap setia pada jabatan kami." Frank meloloskan tawa kecil. Selang jeda sesaat, ia menatap Philip dan Barbara secara bergantian. "Jadi, kapan kira-kira kalian ingin menyelenggarakan pernikahan?" Barbara melirik Philip. Pria itu tersenyum lalu merangkul pinggangnya. "Aku ingin menjalankan tugasku dulu. Mempertemukan kalian dengan Diana Johnson. Setelah itu," Philip menatap Barbara hangat, "mari melangsungkan pernikahan." "Berarti itu masih beberapa bulan lagi?" celetuk Louis dengan pundak terkulai. Emily di sisinya ikut lesu. "Kupikir kita akan segera berpesta." Frank menangkup pipi si Kembar dan memberi mereka
"Hei," Kara menghampiri suaminya yang sedang melamun di balkon, "apa yang menyita pikiranmu?" Frank meraih tangan yang memijat pundaknya itu lembut. Usai memberi satu kecupan, ia mendongak. "Kamu." "Aku?" Sambil tersenyum, Frank menyandarkan kepala di dada Kara. "Aku bersyukur kamu meyakinkanku. Kalau saja dulu aku menuruti egoku, kita belum tentu memiliki keluarga baru." Frank menoleh ke samping. Barbara sedang bermain peran bersama Philip dan si Kembar disaksikan oleh Jeremy dan Susan. Ia tampak bersenang-senang. "Kau lihat itu? Ibuku memang tidak bersama kita. Tapi adikku di sini, tertawa gembira bersama Anak-Anak. Bagaimana kau bisa melihat masa depan seterang itu, Kara?" Sambil membelai rambut Frank, Kara ikut menoleh. "Indra keenam, mungkin?" Frank mendengus kecil. "Kalau begitu, bisa kau ramal perjalanan kita ke K City nanti?" Ia menyandarkan dagu pada Kara, mendongak. Kara melipat bibir, berpikir. "Kurasa itu akan berjalan lancar. Aku bisa melihat nenekmu menyambu
Si Kembar tercengang melihat kuda-kuda yang berlari di hamparan salju. Mata mereka sama sekali tidak berkedip, enggan berpaling dari pemandangan yang berlalu di luar mobil. "Papa, apakah itu peternakan kuda milik Nenek Diana?" Emily menempelkan ujung telunjuknya pada kaca jendela. "Ya, Tuan Putri." Mulut si Kembar terbuka lebih lebar. Binar mata mereka bertambah terang. "Keren! Kupikir kita akan ke panti asuhan dulu. Ternyata tidak!" Louis semakin bersemangat. "Ingat, Louis. Kita harus menemui Nenek Diana dulu. Setelah itu, baru kita boleh bermain dengan kuda," tutur Emily dengan bibir mengerucut. Louis pun mencebik, berpura-pura sedih. Yang lain tertawa melihat tingkahnya. Setibanya di peternakan, si Kembar turun dengan penuh semangat. Mereka terlihat lucu dengan mantel kuning. Apalagi, tudung yang menutupi kepala membuat wajah mereka semakin bulat. "Uuuh, dingin." Emily bergidik, lalu merapat pada Louis. Sambil terkikik, ia meniru sang ibu, menggosok-gosokkan tangannya ya
"Aduh!" erang Emily ketika dirinya terjatuh. Bocah laki-laki di hadapannya spontan menurunkan kamera dari depan wajah. Ia ternyata sangat tampan dan menggemaskan. "Maaf, aku tidak bermaksud mengagetimu. Aku lupa mematikan flash-nya." Setelah membiarkan kamera bergantung di lehernya, ia mengulurkan tangan kepada Emily. "Ayo, cepat berdiri! Nanti celanamu basah." Emily malah menyimpan tangannya dan menggeleng. "Mama bilang, aku tidak boleh bicara dengan orang asing." "Aku bukan orang asing. Aku Cayden Evans, calon temanmu. Dan aku anak baik, bukan orang jahat." Alis Emily berkerut ragu. "Kalau kamu bukan orang jahat, kenapa kamu memotretku?" "Karena kamu sangat cantik. Kamu dan mantel kuningmu terlihat kontras dengan Casper dan salju. Itu pemandangan yang sempurna." "Casper?" Emily memiringkan kepala. "Kuda putih itu. Dia memang unik. Dia suka bermain dengan salju dan pura-pura tidur." "Jadi, dia tidak sakit?" Bocah tampan itu tertawa kecil. "Tidak. Beberapa kuda memang
Sambil menggembungkan pipi, Louis merangkul pundak Emily. "Tunjukkan di mana anak kuda itu. Aku juga mau lihat," tuturnya dengan nada garang. Cayden mengangguk. Dengan santai, ia memimpin jalan. "Anak kuda ini baru berusia beberapa minggu dan dia sangat kurus. Abigail takut dia kedinginan. Jadi, dia jarang diperbolehkan keluar kandang." Emily berhenti menyeruput cokelat. "Oh, kasihan sekali." "Dia sudah memakai selimut tebal, Emily. Dia pasti baik-baik saja," celetuk Louis, tak mau kalah. "Sebetulnya, selimut itu tipis. Kuda punya kulit yang mampu melindungi mereka dari dingin. Suhu saat ini belum ekstrem. Kalau selimutnya terlalu tebal, itu malah tidak baik." Louis mengerutkan alis. Bibirnya mengerucut, malu karena dirinya sudah sok tahu. Emily terkikik menyadari itu. "Sudahlah, Louis. Tidak apa-apa. Cayden satu tahun lebih tua dari kita dan dia sudah beberapa kali datang ke sini. Wajar kalau dia lebih tahu." "Tadi Emily sempat menyebutkan kalau kau menekuni bisnis apartem
Kara terkesiap ketika Frank mendorongnya mundur, kembali ke kamar mandi. Apalagi, saat sang suami menutup pintu yang baru saja dibukanya "Ada apa, Frank?" "Mumpung tidak ada Anak-Anak, kita bisa melakukannya satu sesi." Sementara sang pria menggelitik lehernya, Kara mendesah tak percaya. "Tolong jangan gila, Frank. Kita sedang menunggu nenekmu datang." Kara menepuk-nepuk pundak bidang di hadapannya, mengisyaratkan Frank untuk mengembalikan jarak. Namun, sang suami malah menaikkan bibir, menggigit telinganya dengan mesra. "Kita masih sempat. Nenekku sudah tua. Jalannya pasti lambat." Kara menggeleng, tertawa geli. "Abigail bilang nenekmu naik traktor. Dia bisa saja tiba dalam lima menit. Lagi pula, jarak panti ke sini tidak jauh." Sebelah sudut bibir Frank terangkat tipis. "Kalau begitu," jemarinya menelusup ke bawah sweater sang istri, "kita bermain saja." Kara tersentak. Tubuhnya seperti dikejutkan oleh sengatan listrik kecil. "Kau bilang hanya bermain. Yang barusan itu ser