Halo, halo! Selamat datang di season 3. Ayo memulai petualangan baru. Selamat bersenang-senang .... Salam keren, Louis
"Baiklah," Frank mendesah samar, "kita memang tidak saling mengenal. Kita tidak pernah bertemu, apalagi berbincang." Diana berpaling ke arah lain, seolah tak tahan menatap Frank lebih lama lagi. Hati Frank semakin terbebani. "Tapi dilihat dari sorot mata Anda barusan, Anda jelas mengetahui kalau saya adalah cucu Rowan Harper—cucu Anda." Diana memutar kepala lebih jauh. Air matanya menebal. "Aku tidak tahu nama itu. Tolong berhentilah mengaku-ngaku sebagai cucuku. Aku tidak pernah punya cucu." Frank menelan ludah pahit. Ia ditinggal mati oleh ayah dan kakeknya. Lalu ia ditinggalkan oleh ibunya. Sekarang ia tidak diakui oleh neneknya? Sebelum ia menyadari betapa kejam kenyataan hidupnya, Kara membekukan kesedihannya. "Frank," ia menoleh, "kurasa kamu lebih baik tidak membahas itu dulu. Beri Nyonya Johnson waktu, hmm?" Diana melirik Kara dengan alis berkerut. "Aku tidak butuh waktu. Sampai kapan pun, aku tidak akan mengakui orang yang memang bukan cucuku. Jadi, berhentilah mengga
Frank dan Kara akhirnya mendaratkan lutut ke lantai. Masing-masing dari mereka memeluk satu balita. Sementara pasangan itu menenangkan si Kembar, Philip melirik Abigail yang ikut memasang tampang muram. "Abi, kalau kau tidak keberatan, bisa kau siapkan empat kamar untuk kami?" Philip tahu rumah penginapan itu cukup untuk menampung mereka. Dan ia menduga si Kembar menjadi sensitif karena lelah. "Baiklah." Setelah memandang balita-balita itu sekali lagi, Abigail bergegas masuk. Saat itu pula, Diana merapatkan pintu kamarnya. Hatinya terasa aneh mendengar kepedihan si Kembar. Namun, lagi-lagi, ia mengepalkan tangan kiri untuk menopang siku kanan. Sambil duduk di tepi kasur, ia mengusap leher seperti ada yang salah dengan kerongkongan. "Aku tidak boleh terpengaruh," ucapnya gersang. Kemudian, ia terpejam dan terus mengulang mantra itu. *** "Hei," Kara mengusap pundak Frank, lalu ikut duduk di tangga. Frank pun mendongak, menggosok-gosok punggung tangan istrinya. "Anak-Anak
"Mama, apakah Nenek Diana tidak apa-apa kita makan bersamanya? Bagaimana kalau dia tidak senang dan mengusir kita?" bisik Emily dengan alis berkerut. Langkah kecilnya tampak ragu. Louis memajukan kepala, melihat sang adik yang terhalang oleh tubuh Kara. "Jangan takut, Emily. Fokus saja pada misi kita. Kita harus bersikap manis dan menjadi anak baik." "Aku juga tahu soal itu. Hanya saja ...." Emily kembali melirik Kara. Genggaman tangannya bertambah erat. "Aku tidak janji bisa menahan tangis kalau Nenek mengabaikanku lagi."Kara ikut mencebik. Sambil mengelus-elus punggung tangan Emily, ia berbisik, "Maaf kamu harus menghadapi cobaan seberat ini. Tapi kalau kamu berhasil melewatinya, kamu akan mendapat hadiah yang sangat baik.""Kasih sayang dari Nenek Diana?" Suara kecil Emily terdengar manis. Kara mengangguk. Sambil sesekali membagikan pandangannya kepada Louis, ia mendesah lirih, "Dan mungkin ... pelajaran berkuda eksklusif. Kalian tahu kalau nenek buyut kalian pandai berkuda, ka
"Ini tidak seperti yang Anda pikirkan, Nyonya." Kara berusaha mengontrol nada bicaranya. "Saya mengambilkan makanan sedikit karena Louis dan Emily tidak suka piring mereka terlalu penuh. Mereka jadi punya ruang untuk memotong dan menyendoki makanan." "Ya, aku tidak suka piringku terlalu penuh. Makanannya bisa tumpah," celetuk Louis dengan raut serius. "Ya, aku juga." Emily mengangguk. Akan tetapi, Diana mendengus. "Kau tidak terbiasa mengurus dapur dan kurang cekatan dalam mengurus anak-anakmu. Apa yang membuat suamimu tahan denganmu?" "Kara tidak seperti itu," suara Frank mulai naik, meskipun ia sudah berusaha mendatarkannya. "Tapi itulah kenyataannya." Diana meletakkan pisau dan garpu di atas sisa makanan pada piringnya. "Dia memberi sedikit makanan untuk anak-anak dan terlalu banyak untuk orang tua. Dia bukan hanya ibu rumah tangga yang kurang cekatan, tapi juga seorang wanita yang kurang memperhatikan orang lain. Apakah kerjanya selama ini hanya merias diri dan bersenang-
Diana menatap Frank dari ekor matanya. Sorotnya menajam. "Aku tidak ada hubungannya dengan kakekmu. Aku bahkan tidak mengenalnya." "Lalu apa alasan Nenek sangat membenciku? Nenek bahkan berusaha memecah-belah keluargaku, tak peduli kalau Louis dan Emily masih kecil. Nenek tidak kasihan kepada mereka?" Diana bungkam. Bibirnya gemetar melawan nurani. "Kalau kau tidak suka mendengar pendapatku, sebaiknya jangan datang ke sini. Mengusik ketenanganku saja." Wanita tua itu bangkit, lalu meninggalkan ruang makan. Frank menatap punggungnya dengan perasaan kacau. "Frank, bersabarlah. Emosi tidak akan menyelesaikan masalah." Jeremy menepuk pundak Frank. "Tapi Nenek sudah keterlaluan! Dia tega menyakiti perasaan Louis dan Emily. Dia mau membuat mereka trauma atau apa?" "Mungkin Nyonya Johnson dihantui oleh masa lalunya?" tutur Barbara, hati-hati. Frank mendengus. "Sekalipun begitu, tidak adil kalau dia juga menargetkan Anak-Anak. Seseorang perlu mengingatkannya." Dengan raut kaku, Phil
Mendengar suara berisik dari beranda depan, Frank pergi memeriksa bersama Jeremy dan Abigail. Ternyata, Diana sedang menyambut seorang tamu. Kemarahannya tidak lagi terdengar. "Siapa yang datang malam-malam begini?" gumam Abigail, sedikit terusik. Namun, begitu wajah sang tamu tidak lagi terhalang oleh Diana, ia terkesiap. "Sophia?" Diiringi tawa gembira, ia berlari menyambut tamunya. "Sophia! Aku sungguh tidak menduga kau benar-benar di sini. Nenek tidak bilang apa-apa tentang rencanamu kemari." "Nenek juga tidak tahu," tutur Sophia lembut. "Lihat! Nenek sampai tidak mau berhenti melepas tanganku." Sementara ketiga wanita itu melepas rindu, Frank mendesah samar. "Apakah aku tidak salah lihat? Itu Sophia? Sophia Miller?" Philip mengangguk. "Ya, aku juga terkejut." "Kenapa dia bisa datang ke sini?" Frank berkedip tanpa mengubah ekspresi. "Yang lebih membingungkan, kenapa dia bisa akrab dengan Nenek?" bisik Philip dengan nada serius. Kemudian, Philip dan Jeremy saling lirik. W
"Selamat pagi, Mama," sapa si Kembar ketika memasuki dapur. Kara menoleh. Melihat dua balita berpiama yang bergandengan tangan, bibirnya melengkung indah. "Halo, Malaikat Kecil. Bagaimana tidur kalian?" "Aku tidur nyenyak. Mungkin karena kelelahan. Tidak biasanya aku menangis seperti kemarin. Mataku sampai perih." Louis menggosok mata. "Kalau aku, tidurku tidak nyenyak, Mama. Aku bermimpi buruk." "Oh ya?" Kara mematikan kompor lalu mengecup satu per satu anaknya. "Kamu mimpi apa?" Ia membelai pipi Emily yang gembul. "Aku bermimpi ada nenek sihir menyerang istana kita. Dia naik sapu terbang sambil mengayunkan tongkatnya ke mana-mana." Mata Louis membulat. Ia sudah lupa dengan kantuknya. "Lalu apa yang terjadi? Apakah kita berhasil mengalahkannya?" "Untung Papa dan Louis punya perisai penangkal sihir. Mantranya berbalik menyerangnya. Tapi kasihan Nenek Diana. Dia terluka karena berusaha kabur lewat tangga." "Ada Nenek Diana di istana kita?" Emily mengangguk lucu. Tampang
"Oh, lihatlah perempuan itu. Dia bukan cuma pandai berakting, tapi juga tidak tahu malu." Sophia mengerjap mendengar gerutuan Diana. Sambil mengembalikan senyum, ia menepuk-nepuk lengan wanita tua itu. "Nek, bagaimana kalau Nenek menunggu di ruang tengah? Kalau sarapan sudah siap, aku akan memanggil Nenek." Diana mendengus kesal. "Baiklah. Kalau orang-orang itu mengganggumu, segera lapor kepadaku." Sophia mengangguk. Rautnya manis seperti perempuan lugu. Namun, setelah Diana meninggalkan dapur, tatapannya kembali beku. Denyut samar terbit di sudut rahangnya. "Kara," panggil Sophia pelan. Tampangnya kini memelas. "Ya?" Kara menoleh. Alisnya terangkat tipis. Sophia nyaris mendengus mendapati ketenangan itu. Bukankah Kara seharusnya marah atau setidaknya kesal? "Begini," Sophia mulai berjalan menghampiri, "kudengar Nenek sempat berdebat denganmu. Jadi, aku terpaksa mengaku kalau masakan ini adalah buatanku. Aku takut Nenek tidak mau makan kalau tahu itu buatanmu. Dia sedang sensit
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum