Pagiiii ....
"Mama, apakah Nenek Diana tidak apa-apa kita makan bersamanya? Bagaimana kalau dia tidak senang dan mengusir kita?" bisik Emily dengan alis berkerut. Langkah kecilnya tampak ragu. Louis memajukan kepala, melihat sang adik yang terhalang oleh tubuh Kara. "Jangan takut, Emily. Fokus saja pada misi kita. Kita harus bersikap manis dan menjadi anak baik." "Aku juga tahu soal itu. Hanya saja ...." Emily kembali melirik Kara. Genggaman tangannya bertambah erat. "Aku tidak janji bisa menahan tangis kalau Nenek mengabaikanku lagi."Kara ikut mencebik. Sambil mengelus-elus punggung tangan Emily, ia berbisik, "Maaf kamu harus menghadapi cobaan seberat ini. Tapi kalau kamu berhasil melewatinya, kamu akan mendapat hadiah yang sangat baik.""Kasih sayang dari Nenek Diana?" Suara kecil Emily terdengar manis. Kara mengangguk. Sambil sesekali membagikan pandangannya kepada Louis, ia mendesah lirih, "Dan mungkin ... pelajaran berkuda eksklusif. Kalian tahu kalau nenek buyut kalian pandai berkuda, ka
"Ini tidak seperti yang Anda pikirkan, Nyonya." Kara berusaha mengontrol nada bicaranya. "Saya mengambilkan makanan sedikit karena Louis dan Emily tidak suka piring mereka terlalu penuh. Mereka jadi punya ruang untuk memotong dan menyendoki makanan." "Ya, aku tidak suka piringku terlalu penuh. Makanannya bisa tumpah," celetuk Louis dengan raut serius. "Ya, aku juga." Emily mengangguk. Akan tetapi, Diana mendengus. "Kau tidak terbiasa mengurus dapur dan kurang cekatan dalam mengurus anak-anakmu. Apa yang membuat suamimu tahan denganmu?" "Kara tidak seperti itu," suara Frank mulai naik, meskipun ia sudah berusaha mendatarkannya. "Tapi itulah kenyataannya." Diana meletakkan pisau dan garpu di atas sisa makanan pada piringnya. "Dia memberi sedikit makanan untuk anak-anak dan terlalu banyak untuk orang tua. Dia bukan hanya ibu rumah tangga yang kurang cekatan, tapi juga seorang wanita yang kurang memperhatikan orang lain. Apakah kerjanya selama ini hanya merias diri dan bersenang-
Diana menatap Frank dari ekor matanya. Sorotnya menajam. "Aku tidak ada hubungannya dengan kakekmu. Aku bahkan tidak mengenalnya." "Lalu apa alasan Nenek sangat membenciku? Nenek bahkan berusaha memecah-belah keluargaku, tak peduli kalau Louis dan Emily masih kecil. Nenek tidak kasihan kepada mereka?" Diana bungkam. Bibirnya gemetar melawan nurani. "Kalau kau tidak suka mendengar pendapatku, sebaiknya jangan datang ke sini. Mengusik ketenanganku saja." Wanita tua itu bangkit, lalu meninggalkan ruang makan. Frank menatap punggungnya dengan perasaan kacau. "Frank, bersabarlah. Emosi tidak akan menyelesaikan masalah." Jeremy menepuk pundak Frank. "Tapi Nenek sudah keterlaluan! Dia tega menyakiti perasaan Louis dan Emily. Dia mau membuat mereka trauma atau apa?" "Mungkin Nyonya Johnson dihantui oleh masa lalunya?" tutur Barbara, hati-hati. Frank mendengus. "Sekalipun begitu, tidak adil kalau dia juga menargetkan Anak-Anak. Seseorang perlu mengingatkannya." Dengan raut kaku, Phil
Mendengar suara berisik dari beranda depan, Frank pergi memeriksa bersama Jeremy dan Abigail. Ternyata, Diana sedang menyambut seorang tamu. Kemarahannya tidak lagi terdengar. "Siapa yang datang malam-malam begini?" gumam Abigail, sedikit terusik. Namun, begitu wajah sang tamu tidak lagi terhalang oleh Diana, ia terkesiap. "Sophia?" Diiringi tawa gembira, ia berlari menyambut tamunya. "Sophia! Aku sungguh tidak menduga kau benar-benar di sini. Nenek tidak bilang apa-apa tentang rencanamu kemari." "Nenek juga tidak tahu," tutur Sophia lembut. "Lihat! Nenek sampai tidak mau berhenti melepas tanganku." Sementara ketiga wanita itu melepas rindu, Frank mendesah samar. "Apakah aku tidak salah lihat? Itu Sophia? Sophia Miller?" Philip mengangguk. "Ya, aku juga terkejut." "Kenapa dia bisa datang ke sini?" Frank berkedip tanpa mengubah ekspresi. "Yang lebih membingungkan, kenapa dia bisa akrab dengan Nenek?" bisik Philip dengan nada serius. Kemudian, Philip dan Jeremy saling lirik. W
"Selamat pagi, Mama," sapa si Kembar ketika memasuki dapur. Kara menoleh. Melihat dua balita berpiama yang bergandengan tangan, bibirnya melengkung indah. "Halo, Malaikat Kecil. Bagaimana tidur kalian?" "Aku tidur nyenyak. Mungkin karena kelelahan. Tidak biasanya aku menangis seperti kemarin. Mataku sampai perih." Louis menggosok mata. "Kalau aku, tidurku tidak nyenyak, Mama. Aku bermimpi buruk." "Oh ya?" Kara mematikan kompor lalu mengecup satu per satu anaknya. "Kamu mimpi apa?" Ia membelai pipi Emily yang gembul. "Aku bermimpi ada nenek sihir menyerang istana kita. Dia naik sapu terbang sambil mengayunkan tongkatnya ke mana-mana." Mata Louis membulat. Ia sudah lupa dengan kantuknya. "Lalu apa yang terjadi? Apakah kita berhasil mengalahkannya?" "Untung Papa dan Louis punya perisai penangkal sihir. Mantranya berbalik menyerangnya. Tapi kasihan Nenek Diana. Dia terluka karena berusaha kabur lewat tangga." "Ada Nenek Diana di istana kita?" Emily mengangguk lucu. Tampang
"Oh, lihatlah perempuan itu. Dia bukan cuma pandai berakting, tapi juga tidak tahu malu." Sophia mengerjap mendengar gerutuan Diana. Sambil mengembalikan senyum, ia menepuk-nepuk lengan wanita tua itu. "Nek, bagaimana kalau Nenek menunggu di ruang tengah? Kalau sarapan sudah siap, aku akan memanggil Nenek." Diana mendengus kesal. "Baiklah. Kalau orang-orang itu mengganggumu, segera lapor kepadaku." Sophia mengangguk. Rautnya manis seperti perempuan lugu. Namun, setelah Diana meninggalkan dapur, tatapannya kembali beku. Denyut samar terbit di sudut rahangnya. "Kara," panggil Sophia pelan. Tampangnya kini memelas. "Ya?" Kara menoleh. Alisnya terangkat tipis. Sophia nyaris mendengus mendapati ketenangan itu. Bukankah Kara seharusnya marah atau setidaknya kesal? "Begini," Sophia mulai berjalan menghampiri, "kudengar Nenek sempat berdebat denganmu. Jadi, aku terpaksa mengaku kalau masakan ini adalah buatanku. Aku takut Nenek tidak mau makan kalau tahu itu buatanmu. Dia sedang sensit
Seusai sarapan, karpet masih terbentang di dekat ladang. Si Kembar masih betah berlarian di sekitarnya. Sesekali, mereka bermain dengan gumpalan salju. "Oh, lihat! Abigail dan teman-temannya mulai membawa kuda ke lapangan!" Louis tidak jadi melempari Emily dengan salju. Sebaliknya, ia menoleh ke arah yang ditunjuk sang adik. "Apakah itu Casper?" Mata Louis memantulkan lebih banyak cahaya. Philip mengangguk. "Ya. Matamu jeli sekali." "Aku ingat karena dia sudah membuatku panik dua kali kemarin. Pertama, saat aku dan Emily mengira kalau dia sakit. Kedua, saat aku kembali usai melapor kepada Abi dan hanya mendapati Casper seorang diri. Kukira Emily diculik. Ternyata dia malah berpacaran dengan Cayden." "Kami tidak berpacaran, Louis," bantah Emily sambil bertolak pinggang. "Kami masih kecil. Kami hanya berteman." Mendengar nama baru tersebut, Barbara menaikkan alis. "Siapa Cayden?" Tangan Kara pun terulur. "Kemarilah, Malaikat Kecil. Kalian harus menceritakan siapa Cayden dan kenap
Punggung Sophia menegak. Tangannya mengusap pundak Diana, berharap itu bisa menenangkannya. "Jangan kencang-kencang, Nek. Aku tidak enak kalau Kara dan Frank dengar." Diana mendengus. "Aku memang tidak salah menilai. Ada yang tidak beres dengan perempuan itu. Ternyata dia seburuk itu? Dia bahkan tega merusak pernikahan mantan kekasihnya dengan wanita lain? Dia pikir dia siapa?" Sophia menggeleng. "Tidak, Nek. Kara tidak bermaksud begitu. Dia datang sebagai pendamping Frank. Lagi pula, Finnic memang mengundangnya." "Kalau dia tidak datang, kau pasti masih bahagia." "Dan kita tidak akan pernah bertemu?" lanjut Sophia, mengangkat sebelah bahu. Sambil memaksakan senyumnya melebar, ia menarik napas panjang. "Tidak, Nek. Sekalipun Kara tidak hadir ke pernikahan kami, aku dan Finnic tetap akan berpisah. Dia tidak benar-benar mencintaiku, Nek. Dia hanya menganggapku sebagai perempuan yang mampu menyaingi mantan kekasihnya. Mungkin, dia ingin balas dendam." Dengan raut iba, Diana membela