Pagiiii .... Sehat-sehat selalu, guys!
"Selamat pagi, Mama," sapa si Kembar ketika memasuki dapur. Kara menoleh. Melihat dua balita berpiama yang bergandengan tangan, bibirnya melengkung indah. "Halo, Malaikat Kecil. Bagaimana tidur kalian?" "Aku tidur nyenyak. Mungkin karena kelelahan. Tidak biasanya aku menangis seperti kemarin. Mataku sampai perih." Louis menggosok mata. "Kalau aku, tidurku tidak nyenyak, Mama. Aku bermimpi buruk." "Oh ya?" Kara mematikan kompor lalu mengecup satu per satu anaknya. "Kamu mimpi apa?" Ia membelai pipi Emily yang gembul. "Aku bermimpi ada nenek sihir menyerang istana kita. Dia naik sapu terbang sambil mengayunkan tongkatnya ke mana-mana." Mata Louis membulat. Ia sudah lupa dengan kantuknya. "Lalu apa yang terjadi? Apakah kita berhasil mengalahkannya?" "Untung Papa dan Louis punya perisai penangkal sihir. Mantranya berbalik menyerangnya. Tapi kasihan Nenek Diana. Dia terluka karena berusaha kabur lewat tangga." "Ada Nenek Diana di istana kita?" Emily mengangguk lucu. Tampang
"Oh, lihatlah perempuan itu. Dia bukan cuma pandai berakting, tapi juga tidak tahu malu." Sophia mengerjap mendengar gerutuan Diana. Sambil mengembalikan senyum, ia menepuk-nepuk lengan wanita tua itu. "Nek, bagaimana kalau Nenek menunggu di ruang tengah? Kalau sarapan sudah siap, aku akan memanggil Nenek." Diana mendengus kesal. "Baiklah. Kalau orang-orang itu mengganggumu, segera lapor kepadaku." Sophia mengangguk. Rautnya manis seperti perempuan lugu. Namun, setelah Diana meninggalkan dapur, tatapannya kembali beku. Denyut samar terbit di sudut rahangnya. "Kara," panggil Sophia pelan. Tampangnya kini memelas. "Ya?" Kara menoleh. Alisnya terangkat tipis. Sophia nyaris mendengus mendapati ketenangan itu. Bukankah Kara seharusnya marah atau setidaknya kesal? "Begini," Sophia mulai berjalan menghampiri, "kudengar Nenek sempat berdebat denganmu. Jadi, aku terpaksa mengaku kalau masakan ini adalah buatanku. Aku takut Nenek tidak mau makan kalau tahu itu buatanmu. Dia sedang sensit
Seusai sarapan, karpet masih terbentang di dekat ladang. Si Kembar masih betah berlarian di sekitarnya. Sesekali, mereka bermain dengan gumpalan salju. "Oh, lihat! Abigail dan teman-temannya mulai membawa kuda ke lapangan!" Louis tidak jadi melempari Emily dengan salju. Sebaliknya, ia menoleh ke arah yang ditunjuk sang adik. "Apakah itu Casper?" Mata Louis memantulkan lebih banyak cahaya. Philip mengangguk. "Ya. Matamu jeli sekali." "Aku ingat karena dia sudah membuatku panik dua kali kemarin. Pertama, saat aku dan Emily mengira kalau dia sakit. Kedua, saat aku kembali usai melapor kepada Abi dan hanya mendapati Casper seorang diri. Kukira Emily diculik. Ternyata dia malah berpacaran dengan Cayden." "Kami tidak berpacaran, Louis," bantah Emily sambil bertolak pinggang. "Kami masih kecil. Kami hanya berteman." Mendengar nama baru tersebut, Barbara menaikkan alis. "Siapa Cayden?" Tangan Kara pun terulur. "Kemarilah, Malaikat Kecil. Kalian harus menceritakan siapa Cayden dan kenap
Punggung Sophia menegak. Tangannya mengusap pundak Diana, berharap itu bisa menenangkannya. "Jangan kencang-kencang, Nek. Aku tidak enak kalau Kara dan Frank dengar." Diana mendengus. "Aku memang tidak salah menilai. Ada yang tidak beres dengan perempuan itu. Ternyata dia seburuk itu? Dia bahkan tega merusak pernikahan mantan kekasihnya dengan wanita lain? Dia pikir dia siapa?" Sophia menggeleng. "Tidak, Nek. Kara tidak bermaksud begitu. Dia datang sebagai pendamping Frank. Lagi pula, Finnic memang mengundangnya." "Kalau dia tidak datang, kau pasti masih bahagia." "Dan kita tidak akan pernah bertemu?" lanjut Sophia, mengangkat sebelah bahu. Sambil memaksakan senyumnya melebar, ia menarik napas panjang. "Tidak, Nek. Sekalipun Kara tidak hadir ke pernikahan kami, aku dan Finnic tetap akan berpisah. Dia tidak benar-benar mencintaiku, Nek. Dia hanya menganggapku sebagai perempuan yang mampu menyaingi mantan kekasihnya. Mungkin, dia ingin balas dendam." Dengan raut iba, Diana membela
Frank menaikkan sebelah alis. "Melaksanakan tugas masing-masing." Tanpa menunggu balasan, ia membawa kotak jerami ke tumpukannya. "Ada yang bisa kubantu?" Sophia mengiringi langkah sang pria. Frank mengedikkan bahu. Setelah membanting jerami ke tumpukan, ia kembali ke traktor. Sophia bisa merasakan aura gelapnya. "Apakah kau marah padaku?" Frank tidak menjawab sampai ia kembali bersama jerami baru. "Apa pedulimu?" "Kau adalah panutanku. Aku mengagumi kemampuan bisnismu. Aku merasa tidak nyaman kalau idolaku membenciku." "Kalau begitu, kau tidak seharusnya mempersulit istriku." Frank berlalu lagi. Namun, kali ini, Sophia mengekor. "Aku tidak mempersulit Kara. Aku justru membantunya." "Membantunya agar semakin tidak disukai Nenek?" Lengkung alis yang tinggi memayungi tatapan dingin Frank. "Kau tahu kalau nenekmu keras kepala, kan?" Frank mengangkat beberapa kotak jerami sekaligus. "Ya, cuma kau yang bisa melunakkannya, kan?" Ia berjalan tanpa permisi. Sophia mendesah samar. "
"Tentu saja." Tatapan Sophia menghangat. "Aku akan sangat senang kalau kita menjadi teman baik dan akrab." Louis pun tersenyum semringah. Kalau saja Abigail tidak melarangnya bergerak terlalu agresif, ia pasti sudah melompat-lompat dan berlari mengelilingi kuda. "Terima kasih, Nona Moore. Aku memang sudah tidak sabar ingin berkuda. Maksudku, belajar berkuda.""Tapi Louis," Emily menggamit lengan mantel saudaranya. "Kuda itu terlalu tinggi. Kalau kamu jatuh, bagaimana? Mama akan sangat sedih kalau kamu terluka."Louis memegangi pundak si gadis mungil, memberinya keyakinan. "Tenang, Emily. Nona Moore bilang kita aman selagi mematuhi aturan." "Tapi kamu tidak punya perlengkapan berkuda."Sophia menjentikkan jari. "Kebetulan sekali, aku sudah memesan beberapa set perlengkapan berkuda untuk anak-anak. Rencanyanya itu akan kusumbangkan untuk anak-anak panti. Kalau kalian mau, kalian boleh meminjamnya. Paketnya mungkin akan tiba besok."Mata Louis semakin bulat. "Itu sangat keren. Terima k
"Papa," Emily melambai-lambaikan tangan mungilnya, "Sophia mengajak kami makan bersama siang ini. Tidak apa-apa, kan, kami duduk bersamanya di sini?" Frank melirik Kara yang masih sibuk memotong buah. Istrinya itu mengangguk-angguk, tidak keberatan. Frank terpaksa memalsukan senyum. "Kalian pasti ingin membahas soal berkuda tadi." "Ya!" Mata Louis berbinar lebih terang. "Sophia berjanji akan menceritakan tentang lomba berkuda yang pernah dia ikuti." "Kalau begitu," Frank mengacak rambut Louis, "nikmatilah makan siang kalian di sini. Biar Papa yang menemani Mama makan di luar." Sementara Sophia tertawa dalam hati, Jeremy tersenyum miring. "Kau senang bisa makan berduaan dengan Kara, hmm?" Celetukan Jeremy sukses mengubah senyum Sophia menjadi hambar. Frank mendengus kecil. "Apakah itu tergambar jelas di mukaku?" Sambil meletakkan piring buah di atas meja, Kara berkata ringan, "Kau bicara seolah-olah kami ini masih remaja, Jer. Kami pasangan yang sudah menikah. Makan berdua itu s
"Sophia telah menyiapkan hadiah untuk dibagikan kepada anak-anak. Baju, tas, sepatu. Ada terompet dan topi kerucut juga. Tapi semua itu belum dibungkus. Aku mau mencocokkan ukurannya dengan masing-masing anak. Tapi mata tua ini malas membaca data-data." Barbara menjentikkan jari. "Itu mudah Nenek. Kami bisa melakukannya." Telunjuk Diana mendadak tegak. "Itu pekerjaanmu. Aku punya tugas lain untuk kakak iparmu." Kara dan Barbara saling lirik. "Tugas apa, Nyonya Johnson?" Tanpa terduga, Diana menarik lengan Kara melewati sebuah pintu. Barbara mengekor. "Kau tahu tempat ini?" Diana melepas Kara lalu mengayunkan tangan ke arah aula beratap terbuka. "Anak-anak suka bermain di sini. Tapi sejak lantainya tertutup salju, aku melarang mereka. Aku takut lantainya licin. Jadi, bisa kau serok saljunya keluar?" Alis Kara sontak tertarik dahi, sedangkan Barbara terkesiap. "Nenek mau Kara membersihkan aula ini? Kenapa tidak menyuruh para lelaki saja?" Diana mengibas-ngibaskan tangannya. "Ta