Halo semuanya! Bab ini agak panjang, ya. Pixie harap kalian suka. Terima kasiiiiih
"Tentu saja." Tatapan Sophia menghangat. "Aku akan sangat senang kalau kita menjadi teman baik dan akrab." Louis pun tersenyum semringah. Kalau saja Abigail tidak melarangnya bergerak terlalu agresif, ia pasti sudah melompat-lompat dan berlari mengelilingi kuda. "Terima kasih, Nona Moore. Aku memang sudah tidak sabar ingin berkuda. Maksudku, belajar berkuda.""Tapi Louis," Emily menggamit lengan mantel saudaranya. "Kuda itu terlalu tinggi. Kalau kamu jatuh, bagaimana? Mama akan sangat sedih kalau kamu terluka."Louis memegangi pundak si gadis mungil, memberinya keyakinan. "Tenang, Emily. Nona Moore bilang kita aman selagi mematuhi aturan." "Tapi kamu tidak punya perlengkapan berkuda."Sophia menjentikkan jari. "Kebetulan sekali, aku sudah memesan beberapa set perlengkapan berkuda untuk anak-anak. Rencanyanya itu akan kusumbangkan untuk anak-anak panti. Kalau kalian mau, kalian boleh meminjamnya. Paketnya mungkin akan tiba besok."Mata Louis semakin bulat. "Itu sangat keren. Terima k
"Papa," Emily melambai-lambaikan tangan mungilnya, "Sophia mengajak kami makan bersama siang ini. Tidak apa-apa, kan, kami duduk bersamanya di sini?" Frank melirik Kara yang masih sibuk memotong buah. Istrinya itu mengangguk-angguk, tidak keberatan. Frank terpaksa memalsukan senyum. "Kalian pasti ingin membahas soal berkuda tadi." "Ya!" Mata Louis berbinar lebih terang. "Sophia berjanji akan menceritakan tentang lomba berkuda yang pernah dia ikuti." "Kalau begitu," Frank mengacak rambut Louis, "nikmatilah makan siang kalian di sini. Biar Papa yang menemani Mama makan di luar." Sementara Sophia tertawa dalam hati, Jeremy tersenyum miring. "Kau senang bisa makan berduaan dengan Kara, hmm?" Celetukan Jeremy sukses mengubah senyum Sophia menjadi hambar. Frank mendengus kecil. "Apakah itu tergambar jelas di mukaku?" Sambil meletakkan piring buah di atas meja, Kara berkata ringan, "Kau bicara seolah-olah kami ini masih remaja, Jer. Kami pasangan yang sudah menikah. Makan berdua itu s
"Sophia telah menyiapkan hadiah untuk dibagikan kepada anak-anak. Baju, tas, sepatu. Ada terompet dan topi kerucut juga. Tapi semua itu belum dibungkus. Aku mau mencocokkan ukurannya dengan masing-masing anak. Tapi mata tua ini malas membaca data-data." Barbara menjentikkan jari. "Itu mudah Nenek. Kami bisa melakukannya." Telunjuk Diana mendadak tegak. "Itu pekerjaanmu. Aku punya tugas lain untuk kakak iparmu." Kara dan Barbara saling lirik. "Tugas apa, Nyonya Johnson?" Tanpa terduga, Diana menarik lengan Kara melewati sebuah pintu. Barbara mengekor. "Kau tahu tempat ini?" Diana melepas Kara lalu mengayunkan tangan ke arah aula beratap terbuka. "Anak-anak suka bermain di sini. Tapi sejak lantainya tertutup salju, aku melarang mereka. Aku takut lantainya licin. Jadi, bisa kau serok saljunya keluar?" Alis Kara sontak tertarik dahi, sedangkan Barbara terkesiap. "Nenek mau Kara membersihkan aula ini? Kenapa tidak menyuruh para lelaki saja?" Diana mengibas-ngibaskan tangannya. "Ta
"Jangan khawatir. Mereka pasti sedang di panti. Mungkin sedang sibuk menyiapkan pesta." Abigail membuka keran dan mencuci tangan. "Pesta?" Mata Louis berbinar. "Pesta akhir tahun. Anak-anak biasanya bermain kembang api dan meniup terompet saat menyambut pergantian tahun." Mulut si Kembar kompak membulat. "Itu pasti seru. Apakah kami boleh ikut berpesta nanti?" "Tentu saja," sahut Sophia, membuat semua orang menoleh padanya. "Hanya kalau kalian masih menginap di sini." "Sophie! Kamu sudah pulang?" Emily terdengar antusias. Sophia tersenyum, mengira kalau gadis mungil itu senang melihat kehadirannya. Namun, menyaksikan dua balita itu berlari melewatinya, lengkung bibirnya rapuh. "Mama pulang, Mama pulang." Suara si Kembar mendadak terasa mengganggu di telinganya. Frank menyadari perubahan ekspresi itu. Sambil mendengus samar, ia ikut berjalan menuju pintu depan. Namun, bukannya melihat Kara, mereka malah mendapati dua traktor tanpa pengemudi. Jauh di depan sana, Kara dan Barbar
Melihat orang favoritnya itu, wajah Diana langsung berubah cerah. "Tidak ada apa-apa, Sophie. Bukan masalah besar. Hanya saja, Kara menolak permintaanku untuk membuatkan makan malam." "Bukan Mama yang menolak, tapi kami yang melarang. Mama sedang demam," terang Louis dengan nada kesal. Sophia mengerjap. Namun, selang dua detik, suara tawanya mengudara. "Astaga, Nek. Kalau Kara tidak bisa, aku bersedia menyiapkan makan malam. Nenek tidak perlu marah-marah." "Kenapa kamu jadi berpihak kepada mereka? Aku cuma mau perempuan ini yang memasak. Tidak bisakah kalian menuruti keinginan orang tua?" Kebingungan menyebar di udara. Tidak ada satu pun yang berani membantah kalimat terakhir Diana. Mau tidak mau, Kara mengambil keputusan—kembali mengalah. "Baiklah. Aku akan menyiapkan makan malam. Apakah Nenek punya pesanan khusus?" Dagu Diana terangkat bersamaan dengan alisnya. "Terserah. Yang penting, kau yang memasak. Bukan orang lain." "Baiklah." Kara mengangguk sambil diam-diam me
"Barbara, ayahmu menelepon. Dia bertanya kenapa nomormu tidak bisa dihubungi," tutur Philip dengan lengkung alis tinggi. "Kamu sudah dapat sinyal?" tanya Frank dan Barbara kompak. Philip mengangguk. "Ya. Ayo, cepat! Jangan sampai sinyalnya terputus." Barbara mengelap tangannya sambil berjalan ke pintu. "Di mana ponselmu?" Ia melempar serbet ke meja. "Aku masih menggantungnya di atas pohon." Barbara mendesah tak percaya. "Kau mau aku memanjat pohon?" "Mau bagaimana lagi? Cuma di situ ponselku dapat sinyal." Gelak tawa si Kembar seketika mengudara. "Aku bisa membayangkan bagaimana repotnya Bibi memanjat pohon." "Itu pasti lucu. Bagaimana kalau kita melihatnya sebentar?" Mata Louis membulat. "Itu ide bagus! Mama, bolehkah kami berhenti sebentar?" "Kami sudah selesai mencuci semua sayuran!" Emily meletakkan tomat terakhir di baskom, lalu mengangkat kedua tangannya. Kara tersenyum. "Boleh, Sayang." "Asyik! Terima kasih, Mama!" Si Kembar merosot turun dari kursi yang merek
"Bibi, bertahanlah! Philip akan segera datang." "Awas, Bibi! Jangan pegang ranting itu! Pohon beku itu lebih mudah rapuh!" Wajah Barbara bertambah kusut. "Jangan menakutiku, Louis! Tidak bisakah kamu menenangkan aku seperti Emily?" "Aku berkata apa adanya. Kudengar pohon-pohon di musim dingin memang lebih rapuh. Beberapa pohon terkadang patah karena tidak kuat menahan beban salju." Sementara Barbara meringis, Kara mencubit pipi putranya ringan. "Jangan nakal, Louis. Kasihan bibimu. Dia sudah cukup ketakutan di atas situ." "Apa yang Bibi takuti? Pohon itu tidak terlalu tinggi. Kalaupun jatuh, Bibi mendarat di tumpukan salju." Emily menempatkan sebelah tangan di samping mulut. "Tapi saljunya tipis, Louis. Kalau jatuh pasti tetap sakit." Bisikan Emily menambah kekhawatiran Barbara. "Anak-Anak, daripada kalian diam di situ, lebih baik kalian bantu Philip mencari tangga. Dia lama sekali." "Belum juga lima menit. Sabar, Bi." Louis tersenyum geli. Emily ikut menjepit leher dengan pun
"Aku baik-baik saja, Frank. Hanya sedikit lelah," jawab Kara lirih. Frank tahu sang istri menyampaikan jawaban yang sebaliknya. Namun, demi melindungi harga dirinya, ia berpura-pura tertipu. "Kalau begitu, beristirahatlah sekarang." Frank mengelus pipi hangat Kara, lalu mengecupnya. Sedetik kemudian, ia menatap si Kembar. "Anak-Anak, kalian bisa mengantar Mama ke kamar?" "Bisa, Papa." Louis dan Emily meraih tangan Kara. "Ayo, Mama." Kara tersenyum sekilas kepada yang lain, lalu berjalan masuk. Orang-orang di belakangnya pun mulai merenung. "Kurasa ini tidak bisa dibiarkan lagi," gumam Frank, membuka diskusi. Yang lain kompak mengangguk. "Pasti ada kesalahpahaman antara Nenek dengan kita. Itu harus segera diluruskan," Barbara cemberut. "Kalau begitu, Philip," Jeremy menepuk pundak pria di hadapannya, "kau harus mencari waktu untuk bicara dengan Nenek." Alis Philip berkerut. "Apakah kalian pikir aku akan berhasil? Entah mengapa, aku merasa kami sekarang berjarak. Nenek tid