Happy Sunday!
"Aku baik-baik saja, Frank. Hanya sedikit lelah," jawab Kara lirih. Frank tahu sang istri menyampaikan jawaban yang sebaliknya. Namun, demi melindungi harga dirinya, ia berpura-pura tertipu. "Kalau begitu, beristirahatlah sekarang." Frank mengelus pipi hangat Kara, lalu mengecupnya. Sedetik kemudian, ia menatap si Kembar. "Anak-Anak, kalian bisa mengantar Mama ke kamar?" "Bisa, Papa." Louis dan Emily meraih tangan Kara. "Ayo, Mama." Kara tersenyum sekilas kepada yang lain, lalu berjalan masuk. Orang-orang di belakangnya pun mulai merenung. "Kurasa ini tidak bisa dibiarkan lagi," gumam Frank, membuka diskusi. Yang lain kompak mengangguk. "Pasti ada kesalahpahaman antara Nenek dengan kita. Itu harus segera diluruskan," Barbara cemberut. "Kalau begitu, Philip," Jeremy menepuk pundak pria di hadapannya, "kau harus mencari waktu untuk bicara dengan Nenek." Alis Philip berkerut. "Apakah kalian pikir aku akan berhasil? Entah mengapa, aku merasa kami sekarang berjarak. Nenek tid
Frank tersenyum miring. "Kamu belum pernah selemah ini. Kurasa ada faktor lain di dalam tubuhmu." Kara mengangguk-angguk. "Itu juga yang kupikirkan. Meskipun belum pasti, bukankah lebih baik kita berjaga-jaga?" Frank menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk. "Ya. Dan karena kita sudah punya kecurigaan itu, mulai besok kamu harus lebih berhati-hati, hmm? Sekarang beristirahatlah." Ia menata bantal untuk sang istri lalu merebahkannya. "Tidur yang cukup sangat krusial untuk perkembangan janin. Dan kalau besok pagi demammu belum juga reda, kita ke rumah sakit." Kara meringis kecil. "Itu belum pasti, Frank." "Tapi sangat mungkin. Sekarang tidurlah. Jangan memikirkan apa-apa lagi." "Tidak memikirkan apa-apa itu sulit, apalagi kalau memiliki suami setampan dirimu." Frank mendengus kecil. Sambil membelai rambut Kara, ia berbisik, "Jangan memancingku. Atau, perlukah aku mendongeng agar kamu bisa tidur?" Tawa Kara terlepas. Kepalanya menggeleng ringan. "Kamu peluk aku saja. Cara itu l
Louis dan Emily bertukar pandang. Kedipan mata mereka menyiratkan berbagai makna. "Apakah Sophia boleh tahu soal ini?" bisik Louis. "Kurasa tidak. Kata Papa, serahkan saja urusan ini kepada orang dewasa. Kita fokus berlibur saja." Suara kecil Emily begitu manis. Louis mengangguk tipis sebelum kembali memandang Sophia. "Maaf, kami tidak mengerti soal itu." Tiba-tiba, Sophia mendesah pelan. Kepalanya tertunduk dan pundaknya turun. "Kupikir kalian menganggapku teman. Kupikir kita sudah akrab. Ternyata, kalian juga menganggapku musuh?" Emily menggeleng sigap. "Bukan begitu, Sophia. Kamu teman kami. Hanya saja, kami tidak berhak menjelaskan tentang itu." Sophia menatap si Kembar lewat sudut atas matanya, memelas. "Kalau kita memang teman, kalian pasti mau menjelaskan soal itu." "Kenapa kamu sangat ingin tahu?" Louis memicingkan mata. Napas Sophia tersendat sejenak. Dalam hati, ia terkesima akan ketajaman analisis sang balita. "Kalau aku tahu detail persoalannya, aku bisa melurusk
Tiba-tiba, Diana beranjak dari posisinya. Takut wanita tua itu menimbulkan keributan, Sophia cepat-cepat menahannya. "Tunggu, Nek. Tolong jangan gegabah." "Jangan menghalangku, Sophie. Lepaskan!" Sophia menggeleng-geleng dengan raut iba. "Nenek saat ini sedang terbawa emosi. Sebaiknya, Nenek menenangkan diri dulu. Mari tangani masalah ini dengan kepala dingin, hmm?""Tidak bisa, Sophie. Selama mereka berada di sini, kepalaku tidak akan bisa dingin. Karena itu, mereka harus angkat kaki dari peternakan ini.""Tapi kalau Nenek mengusir mereka, mereka pasti mengira aku yang melaporkan hal itu kepada Nenek. Aku tidak mau punya musuh!" Diana tersentak. Ia bergeming sejenak, memperhatikan wajah Sophia. "Kumohon, Nek, jangan usir mereka. Ini sudah malam dan musim dingin. Kasihan Louis dan Emily kalau mereka terluntang-lantung mencari penginapan. Tolong pikirkanlah mereka." Diana memalingkan muka. Kepalan tangannya perlahan melemah. "Mereka seharusnya berterima kasih padamu. Aku tidak ja
Philip membuntuti Diana. Wanita tua itu terus berjalan menuju beranda depan. Setibanya di dekat tiang, sebelah tangannya mencengkeram dada. Philip cepat-cepat meraih sikunya. "Nek? Kamu baik-baik saja?" Diana tersentak. Saat ia menoleh, setetes air mata menggumpal di pelupuknya. Tangannya melambai-lambai, meminta Philip untuk mundur. "Tolong ... tinggalkan aku sendiri. Aku sedang tidak ingin melihat siapa-siapa." Napasnya terengah-engah. "Tapi Nenek tidak terlihat sehat. Apakah Nenek sakit?" Philip mencondongkan kepala, memeriksa Diana lebih saksama. Ia kini yakin bahwa wajah wanita itu lebih merah dari biasanya. "Nenek masih mengonsumsi obat secara rutin, kan?" Bibir Diana bergetar semakin hebat. Dulu, ia merasa hangat setiap mendapat perhatian dari cucu asuhannya. Namun kini, dadanya panas. Ia bertambah gerah. "Jangan sok peduli padaku. Aku tidak butuh perhatian palsumu." Dengan langkah goyah, Diana menghampiri sebuah kursi. Ia duduk di sana sambil memangku kepala. Philip be
"Apa maksudmu, Nek? Aku tidak pernah bermaksud mengganggu ketenanganmu." Philip menurunkan alis. "Kalau begitu, kenapa kau bersekongkol dengan mereka?" "Bersekongkol?" Philip mendesah lelah. "Mereka adalah cucu-cucu dan cicit-cicitmu. Bukankah wajar kalau aku mempertemukan mereka denganmu? Apalagi si Kembar. Louis dan Emily sangat bersemangat ingin menemuimu." "Omong kosong!" Napas Diana kembali menderu. Tangannya yang terkepal mulai gemetar. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau sama saja dengan orang-orang Harper itu. Bukan aku yang sudah berubah, Philip, tapi dirimu! Kaulah yang tertular licik dan serakah. Jangan kau perburuk dengan sandiwara tanggungmu itu." Philip menekan kepalanya mundur. Setelah bangkit berdiri, ia berbisik, "Sebenarnya, apa yang merasuki Nenek? Sejak kemarin, Nenek terus menyebut Frank dan Kara bersandiwara. Sekarang diriku? Nenek pikir kenangan yang kuceritakan tadi palsu?" Diana menggertakkan geraham. Ia bangkit berdiri, lalu mulai mendorong Philip. "Pergi! A
Kara merendahkan badan, mengelus-elus punggung si Kembar. Ia sangat ingin menenangkan mereka. Namun, ia tahu siapa yang lebih berhak. "Hei, tidak apa-apa. Ini bukan salah kalian." Frank mengulurkan tangan, ikut menghibur para balita. "Tapi Nenek jadi salah paham karena kami." "Nenek Diana tidak berada di sana saat kalian bercerita, kan?" Frank menaikkan alis. Louis menggeleng. Frank pun mempertegas senyumnya. "Itu berarti, Nenek Diana mendapatkan informasi bukan dari mulut kalian. Ini bukan salah kalian." "Bagaimana kalau saat itu ternyata Nenek Diana tidak sengaja mendengar?" tanya Emily, resah. "Kami tetap bersalah. Kami layak mendapatkan hukuman." "Memangnya apa yang kalian katakan?" Jeremy angkat bicara. "Aku bilang, Philip diberi tugas oleh Kakek Rowan. Kalau dia bisa mempertemukan kita dengan Nenek Diana, dia akan mendapat apartemen yang sangat besar," terang Emily. "Lalu karena Sophia bertanya, aku menambahkan kalau Kakek Rowan mau memberikan Nenek emas yang sangat ban
Secepat kilat, Sophia meletakkan piring ke wastafel, lalu menyeduh teh untuk laki-laki incarannya. "Hei, di mana yang lain?" Sophia melewati pintu sambil mengaduk teh dalam cangkir. Frank menurunkan tablet ke atas meja. "Di kandang. Bagaimana keadaan Nenek?" Ekspresinya gusar. Sophia mengangguk-angguk lalu menempati kursi di sebelah Frank. "Sudah membaik. Tensinya sudah agak turun, sedikit. Sekarang Nenek sedang tidur." Frank menghela napas. "Syukurlah," desahnya seraya meninggikan alis. "Aku sungguh tidak mengerti apa yang membuat Nenek semarah itu. Padahal itu Philip, anak yang pernah dia asuh. Kami beruntung kau ada di sini untuk Nenek." Sophia berusaha mendatarkan ekspresi. Namun, sudut bibirnya tidak bisa berbohong. Ia senang melihat keputusasaan Frank."Aku senang bisa membantu kalian. Dan ya, kita beruntung Nenek mau terbuka kepadaku." Frank mengangguk-angguk. Sambil memandang ke kejauhan, ia membiarkan keheningan menggantung. "Omong-omong, kau mau teh? Aku belum meminumn
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum