Terima kasih, Teman-Teman yang masih setia membaca. Bersabarlah. Sebentar lagi akan ada titik terang.
Philip membuntuti Diana. Wanita tua itu terus berjalan menuju beranda depan. Setibanya di dekat tiang, sebelah tangannya mencengkeram dada. Philip cepat-cepat meraih sikunya. "Nek? Kamu baik-baik saja?" Diana tersentak. Saat ia menoleh, setetes air mata menggumpal di pelupuknya. Tangannya melambai-lambai, meminta Philip untuk mundur. "Tolong ... tinggalkan aku sendiri. Aku sedang tidak ingin melihat siapa-siapa." Napasnya terengah-engah. "Tapi Nenek tidak terlihat sehat. Apakah Nenek sakit?" Philip mencondongkan kepala, memeriksa Diana lebih saksama. Ia kini yakin bahwa wajah wanita itu lebih merah dari biasanya. "Nenek masih mengonsumsi obat secara rutin, kan?" Bibir Diana bergetar semakin hebat. Dulu, ia merasa hangat setiap mendapat perhatian dari cucu asuhannya. Namun kini, dadanya panas. Ia bertambah gerah. "Jangan sok peduli padaku. Aku tidak butuh perhatian palsumu." Dengan langkah goyah, Diana menghampiri sebuah kursi. Ia duduk di sana sambil memangku kepala. Philip be
"Apa maksudmu, Nek? Aku tidak pernah bermaksud mengganggu ketenanganmu." Philip menurunkan alis. "Kalau begitu, kenapa kau bersekongkol dengan mereka?" "Bersekongkol?" Philip mendesah lelah. "Mereka adalah cucu-cucu dan cicit-cicitmu. Bukankah wajar kalau aku mempertemukan mereka denganmu? Apalagi si Kembar. Louis dan Emily sangat bersemangat ingin menemuimu." "Omong kosong!" Napas Diana kembali menderu. Tangannya yang terkepal mulai gemetar. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau sama saja dengan orang-orang Harper itu. Bukan aku yang sudah berubah, Philip, tapi dirimu! Kaulah yang tertular licik dan serakah. Jangan kau perburuk dengan sandiwara tanggungmu itu." Philip menekan kepalanya mundur. Setelah bangkit berdiri, ia berbisik, "Sebenarnya, apa yang merasuki Nenek? Sejak kemarin, Nenek terus menyebut Frank dan Kara bersandiwara. Sekarang diriku? Nenek pikir kenangan yang kuceritakan tadi palsu?" Diana menggertakkan geraham. Ia bangkit berdiri, lalu mulai mendorong Philip. "Pergi! A
Kara merendahkan badan, mengelus-elus punggung si Kembar. Ia sangat ingin menenangkan mereka. Namun, ia tahu siapa yang lebih berhak. "Hei, tidak apa-apa. Ini bukan salah kalian." Frank mengulurkan tangan, ikut menghibur para balita. "Tapi Nenek jadi salah paham karena kami." "Nenek Diana tidak berada di sana saat kalian bercerita, kan?" Frank menaikkan alis. Louis menggeleng. Frank pun mempertegas senyumnya. "Itu berarti, Nenek Diana mendapatkan informasi bukan dari mulut kalian. Ini bukan salah kalian." "Bagaimana kalau saat itu ternyata Nenek Diana tidak sengaja mendengar?" tanya Emily, resah. "Kami tetap bersalah. Kami layak mendapatkan hukuman." "Memangnya apa yang kalian katakan?" Jeremy angkat bicara. "Aku bilang, Philip diberi tugas oleh Kakek Rowan. Kalau dia bisa mempertemukan kita dengan Nenek Diana, dia akan mendapat apartemen yang sangat besar," terang Emily. "Lalu karena Sophia bertanya, aku menambahkan kalau Kakek Rowan mau memberikan Nenek emas yang sangat ban
Secepat kilat, Sophia meletakkan piring ke wastafel, lalu menyeduh teh untuk laki-laki incarannya. "Hei, di mana yang lain?" Sophia melewati pintu sambil mengaduk teh dalam cangkir. Frank menurunkan tablet ke atas meja. "Di kandang. Bagaimana keadaan Nenek?" Ekspresinya gusar. Sophia mengangguk-angguk lalu menempati kursi di sebelah Frank. "Sudah membaik. Tensinya sudah agak turun, sedikit. Sekarang Nenek sedang tidur." Frank menghela napas. "Syukurlah," desahnya seraya meninggikan alis. "Aku sungguh tidak mengerti apa yang membuat Nenek semarah itu. Padahal itu Philip, anak yang pernah dia asuh. Kami beruntung kau ada di sini untuk Nenek." Sophia berusaha mendatarkan ekspresi. Namun, sudut bibirnya tidak bisa berbohong. Ia senang melihat keputusasaan Frank."Aku senang bisa membantu kalian. Dan ya, kita beruntung Nenek mau terbuka kepadaku." Frank mengangguk-angguk. Sambil memandang ke kejauhan, ia membiarkan keheningan menggantung. "Omong-omong, kau mau teh? Aku belum meminumn
"Jadi, ini yang perlu kita bawa ke istal?" Frank menunjuk empat kardus berbeda ukuran. Dua besar, dua sedang."Ya," angguk Sophia sembari berkacak pinggang. "Aku membeli helm, riding vest, boots, dan sarung tangan. Kau bisa membawakan yang besar?" Sophia mengambil dua dus teratas. Saat itulah, mata Frank tertuju pada permukaan dus yang basah. "Tentu." Frank menukar posisi dus yang akan dibawanya. Senyum Sophia seketika lenyap. "Bukankah dus tadi basah? Kenapa kamu menaruhnya di bawah? Nanti dia rusak." "Aku tidak mau daguku ikut basah. Lagi pula, Bukankah nanti dus ini juga akan dibongkar?" Sophia mengerjap. "Ya, memang." Ia terlihat seperti masih mencari alasan. "Kalau begitu, ayo bergegas. Jangan sampai nenek melihat kita." Tanpa menunggu jawaban, Frank memimpin jalan. Sophia mau tidak mau mengikuti langkahnya. "Jadi, apa yang Nenek ceritakan kepadamu?" tanya Frank saat Sophia berhasil menyusul. Sophia mengembuskan napas panjang. Ia sebetulnya sudah menyiapkan pengalihan fok
"Frank?" Mata Kara berbinar cerah. Tidak ada lagi keresahan yang melapisinya. Sambil tertawa kecil, ia melambaikan tangan. Anehnya, Frank tidak membalas lambaian. Pria itu terus berlari dengan kecepatan penuh. Setibanya di beranda, ia langsung menyergap Kara dan melahap bibirnya. Barbara dan Philip terperangah, sedangkan Kara terbelalak penuh tanya. "Frank, ada apa?" Napas Frank terengah-engah. "Dia menggunakan obat itu. Padahal, aku sudah berusaha untuk tidak menghirupnya. Tapi sepertinya terhirup. Ayo kita ke kamar." "Lalu di mana Jeremy?" tanya Philip. "Tidak tahu. Aku menyerahkan dus-dus itu kepadanya." Frank mengecup Kara lagi. "Ayo ke kamar. Aku tidak tahan." Frank menggendong Kara lalu membawanya masuk. Philip dan Barbara terperangah menyaksikannya. "Untung bukan kamu yang pergi," desah Barbara. "Ya, sekarang, haruskah kita selamatkan Jeremy?" Barbara menggeleng. "Kurasa dia sudah tidak terselamatkan." *** Pagi harinya, Sophia keluar kamar dengan wajah ceria. Ingatann
"Astaga!" umpat Sophia dalam hati. Napasnya mulai menderu. "Bagaimana mungkin aku bisa tidur dengan laki-laki itu? Padahal, jelas-jelas, Frank yang pergi ke istal bersamaku." Seketika, kemarahan membeludak dalam diri Sophia. Ia merasa dicurangi. Ia merasa ditipu. Tanpa memikirkan yang lain, ia menderapkan langkah menuju Jeremy. "Ikut aku," Sophia menarik tangan sang pria. Jeremy mengerutkan alis. Kakinya enggan berpindah. "Untuk apa? Aku mau sarapan." "Ikut aku!" Semua orang tersentak. Bahkan Abigail berhenti memeras jeruk. Namun, saat ia menengok, Sophia dan Jeremy sudah tidak ada. "Apakah mereka bertengkar?" Ia berkedip-kedip, heran. Frank mengangkat pundaknya kaku. "Sepertinya begitu." Ia sadar benar, ia yang sudah menempatkan sang kakak dalam posisi sulit itu. Merasa suntuk, Diana akhirnya keluar dari kamar. Namun, melihat Sophia berjalan cepat sambil menarik Jeremy, ia tertegun."Apa yang dilakukan oleh anak-anak itu?" Penasaran, ia pun mengekor. "Mau sampai mana kau men
Dengan langkah goyah, Diana pergi menuju ruang makan. Ia berhenti di dekat pintu, mengintip dari sana. Frank sedang duduk di kursi yang biasa ditempati Jeremy. Ia memangku Kara, merengkuhnya mesra. Sesekali, ia mengecup pipi sang istri. Sebelah tangannya bergerak-gerak, seperti sedang mengelus perut perempuan itu. "Aku sudah menyiksa seorang perempuan hamil padahal dia tidak bersalah?" Semakin lama, semakin tebal air mata Diana. Sebelum tumpah, ia menggeser pandangan. Philips dan Barbara juga mesra. Mereka duduk bersebelahan, berbisik-bisik dan tertawa. "Keharmonisan mereka ini asli. Betapa bodohnya aku memaksakan diri untuk percaya bahwa itu palsu?" batin Diana, mencengkeram dada. Ia merasa seperti ada lubang besar di dalamnya. Tiba-tiba, suara tawa datang dari belakang. Saat Diana menoleh, si Kembar terbelalak dan otomatis berhenti berlari. "Nenek?" desah Emily dengan alis berkerut. Perlahan-lahan, ia bergeser ke arah Louis, bersembunyi di balik pundak sang kakak. Diana cepat-