Secepat kilat, Sophia meletakkan piring ke wastafel, lalu menyeduh teh untuk laki-laki incarannya. "Hei, di mana yang lain?" Sophia melewati pintu sambil mengaduk teh dalam cangkir. Frank menurunkan tablet ke atas meja. "Di kandang. Bagaimana keadaan Nenek?" Ekspresinya gusar. Sophia mengangguk-angguk lalu menempati kursi di sebelah Frank. "Sudah membaik. Tensinya sudah agak turun, sedikit. Sekarang Nenek sedang tidur." Frank menghela napas. "Syukurlah," desahnya seraya meninggikan alis. "Aku sungguh tidak mengerti apa yang membuat Nenek semarah itu. Padahal itu Philip, anak yang pernah dia asuh. Kami beruntung kau ada di sini untuk Nenek." Sophia berusaha mendatarkan ekspresi. Namun, sudut bibirnya tidak bisa berbohong. Ia senang melihat keputusasaan Frank."Aku senang bisa membantu kalian. Dan ya, kita beruntung Nenek mau terbuka kepadaku." Frank mengangguk-angguk. Sambil memandang ke kejauhan, ia membiarkan keheningan menggantung. "Omong-omong, kau mau teh? Aku belum meminumn
"Jadi, ini yang perlu kita bawa ke istal?" Frank menunjuk empat kardus berbeda ukuran. Dua besar, dua sedang."Ya," angguk Sophia sembari berkacak pinggang. "Aku membeli helm, riding vest, boots, dan sarung tangan. Kau bisa membawakan yang besar?" Sophia mengambil dua dus teratas. Saat itulah, mata Frank tertuju pada permukaan dus yang basah. "Tentu." Frank menukar posisi dus yang akan dibawanya. Senyum Sophia seketika lenyap. "Bukankah dus tadi basah? Kenapa kamu menaruhnya di bawah? Nanti dia rusak." "Aku tidak mau daguku ikut basah. Lagi pula, Bukankah nanti dus ini juga akan dibongkar?" Sophia mengerjap. "Ya, memang." Ia terlihat seperti masih mencari alasan. "Kalau begitu, ayo bergegas. Jangan sampai nenek melihat kita." Tanpa menunggu jawaban, Frank memimpin jalan. Sophia mau tidak mau mengikuti langkahnya. "Jadi, apa yang Nenek ceritakan kepadamu?" tanya Frank saat Sophia berhasil menyusul. Sophia mengembuskan napas panjang. Ia sebetulnya sudah menyiapkan pengalihan fok
"Frank?" Mata Kara berbinar cerah. Tidak ada lagi keresahan yang melapisinya. Sambil tertawa kecil, ia melambaikan tangan. Anehnya, Frank tidak membalas lambaian. Pria itu terus berlari dengan kecepatan penuh. Setibanya di beranda, ia langsung menyergap Kara dan melahap bibirnya. Barbara dan Philip terperangah, sedangkan Kara terbelalak penuh tanya. "Frank, ada apa?" Napas Frank terengah-engah. "Dia menggunakan obat itu. Padahal, aku sudah berusaha untuk tidak menghirupnya. Tapi sepertinya terhirup. Ayo kita ke kamar." "Lalu di mana Jeremy?" tanya Philip. "Tidak tahu. Aku menyerahkan dus-dus itu kepadanya." Frank mengecup Kara lagi. "Ayo ke kamar. Aku tidak tahan." Frank menggendong Kara lalu membawanya masuk. Philip dan Barbara terperangah menyaksikannya. "Untung bukan kamu yang pergi," desah Barbara. "Ya, sekarang, haruskah kita selamatkan Jeremy?" Barbara menggeleng. "Kurasa dia sudah tidak terselamatkan." *** Pagi harinya, Sophia keluar kamar dengan wajah ceria. Ingatann
"Astaga!" umpat Sophia dalam hati. Napasnya mulai menderu. "Bagaimana mungkin aku bisa tidur dengan laki-laki itu? Padahal, jelas-jelas, Frank yang pergi ke istal bersamaku." Seketika, kemarahan membeludak dalam diri Sophia. Ia merasa dicurangi. Ia merasa ditipu. Tanpa memikirkan yang lain, ia menderapkan langkah menuju Jeremy. "Ikut aku," Sophia menarik tangan sang pria. Jeremy mengerutkan alis. Kakinya enggan berpindah. "Untuk apa? Aku mau sarapan." "Ikut aku!" Semua orang tersentak. Bahkan Abigail berhenti memeras jeruk. Namun, saat ia menengok, Sophia dan Jeremy sudah tidak ada. "Apakah mereka bertengkar?" Ia berkedip-kedip, heran. Frank mengangkat pundaknya kaku. "Sepertinya begitu." Ia sadar benar, ia yang sudah menempatkan sang kakak dalam posisi sulit itu. Merasa suntuk, Diana akhirnya keluar dari kamar. Namun, melihat Sophia berjalan cepat sambil menarik Jeremy, ia tertegun."Apa yang dilakukan oleh anak-anak itu?" Penasaran, ia pun mengekor. "Mau sampai mana kau men
Dengan langkah goyah, Diana pergi menuju ruang makan. Ia berhenti di dekat pintu, mengintip dari sana. Frank sedang duduk di kursi yang biasa ditempati Jeremy. Ia memangku Kara, merengkuhnya mesra. Sesekali, ia mengecup pipi sang istri. Sebelah tangannya bergerak-gerak, seperti sedang mengelus perut perempuan itu. "Aku sudah menyiksa seorang perempuan hamil padahal dia tidak bersalah?" Semakin lama, semakin tebal air mata Diana. Sebelum tumpah, ia menggeser pandangan. Philips dan Barbara juga mesra. Mereka duduk bersebelahan, berbisik-bisik dan tertawa. "Keharmonisan mereka ini asli. Betapa bodohnya aku memaksakan diri untuk percaya bahwa itu palsu?" batin Diana, mencengkeram dada. Ia merasa seperti ada lubang besar di dalamnya. Tiba-tiba, suara tawa datang dari belakang. Saat Diana menoleh, si Kembar terbelalak dan otomatis berhenti berlari. "Nenek?" desah Emily dengan alis berkerut. Perlahan-lahan, ia bergeser ke arah Louis, bersembunyi di balik pundak sang kakak. Diana cepat-
Hati Abigail mendadak pedih. "Oh, Emily, kenapa kamu berpikir begitu? Kalau kalian pulang sekarang, bagaimana dengan pesta akhir tahun? Kalian bilang mau merayakannya bersama teman-teman di panti." "Ya, tapi itu pesta. Semua orang seharusnya bersenang-senang. Nenek tidak bisa menikmati pesta kalau kami ada di sana. Kami keluarga Harper." Merasa iba, Kara menggosok-gosok punggung putrinya. Melihat Louis mencebik, ia juga mengelusnya. "Jangan sedih, Malaikat Kecil. Suatu hari nanti, Nenek pasti akan sadar. Dia cuma butuh waktu untuk melihat kebenaran." Si Kembar tertunduk. Mereka seperti kesulitan berdamai dengan rasa kecewa. Yang lain pun mulai berpikir keras mencari jalan keluar. Namun, baru saja keheningan tercipta, suara piring pecah menyedot perhatian. "Apakah itu dari kamar Nenek?" desah Abigail dengan mata terbelalak. Tanpa aba-aba, semua orang beranjak dari kursi dan pergi memeriksa. Begitu Abigail mendorong pintu, mereka langsung disambut oleh pecahan piring dan gelas yan
Diana tidak menjawab. Kerongkongannya terlalu gersang. Suara yang keluar pasti serak. "Nenek keberatan?" Frank menaikkan alis. Diana membuang muka, belum sanggup menurunkan gengsinya. Frank pun mendesah tak berdaya. "Baiklah. Terima kasih telah mengizinkan kami menginap sampai detik ini." Frank beranjak dari posisinya, lalu melanjutkan tugas. Setelah lantai bersih, ia keluar tanpa sepatah kata. Diana melihat jejaknya dengan mata berkaca-kaca. "Apa maksud kata-katanya tadi? Apakah mereka akan pergi hari ini?" Diana mengusap-usap dada, berharap sesaknya hilang. Akan tetapi, ia malah semakin tak nyaman. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa?" Pikirannya terlalu kalut. Di ruang makan, semua orang menoleh saat Frank datang dengan membawa sapu dan pengki. "Ke mana aku harus membuang ini?" Abigail meruncingkan telunjuk. "Letakkan saja di situ. Nanti biar kurus." Frank pun berjalan ke arah sudut. Dari gerak-geriknya yang lesu, semua orang bisa menebak apa yang terjadi. "Apa saja ya
"Hai! Ternyata kalian belum selesai sarapan? Apakah masih ada yang tersisa? Aku lapar." Sophia tersenyum seolah tidak ada masalah apa-apa. Langkahnya ringan, geraknya pun santai. Ia bahkan tidak mengungkit tentang Diana yang tidak lagi menolak sarapan. Hanya kantung matanya yang terlihat sedikit menebal. Merasa Sophia berjalan ke arahnya, Kara spontan beranjak dari bangku. "Masih ada banyak roti. Duduklah." Namun, belum sempat ia bergeser, Diana memegang tangannya. "Kenapa kau berdiri?" Otak Kara sedikit membeku. "Bukankah Sophia mau sarapan?" Telunjuk Kara teracung ke bawah, menyatakan bahwa di situlah tempat Sophia biasanya. Hati Diana tersentil melihat itu. Tanpa sadar, pandangannya berubah iba. "Kubilang aku mau membicarakan sesuatu. Kau malah pergi? Aku juga belum selesai makan. Sopankah kalau kau meninggalkan meja makan di saat orang tua masih duduk dengan tenang?" Kara ternganga. Kebingungan telah menyumbat pikirannya. Ketika Emily meraih tangannya, barulah ia tersentak.