Mulai luluh hati Diana. ^^
"Hai! Ternyata kalian belum selesai sarapan? Apakah masih ada yang tersisa? Aku lapar." Sophia tersenyum seolah tidak ada masalah apa-apa. Langkahnya ringan, geraknya pun santai. Ia bahkan tidak mengungkit tentang Diana yang tidak lagi menolak sarapan. Hanya kantung matanya yang terlihat sedikit menebal. Merasa Sophia berjalan ke arahnya, Kara spontan beranjak dari bangku. "Masih ada banyak roti. Duduklah." Namun, belum sempat ia bergeser, Diana memegang tangannya. "Kenapa kau berdiri?" Otak Kara sedikit membeku. "Bukankah Sophia mau sarapan?" Telunjuk Kara teracung ke bawah, menyatakan bahwa di situlah tempat Sophia biasanya. Hati Diana tersentil melihat itu. Tanpa sadar, pandangannya berubah iba. "Kubilang aku mau membicarakan sesuatu. Kau malah pergi? Aku juga belum selesai makan. Sopankah kalau kau meninggalkan meja makan di saat orang tua masih duduk dengan tenang?" Kara ternganga. Kebingungan telah menyumbat pikirannya. Ketika Emily meraih tangannya, barulah ia tersentak.
Begitu memarkirkan traktor, tatapan Diana langsung tertuju pada Philip. Pria itu baru saja turun dari pohon, mencari sinyal. Tanpa berpikir panjang, Diana menghampiri dan merangkulnya. "Oh, Cucuku." Philip tertegun. Bola matanya bergerak-gerak mencari petunjuk. "Ada apa, Nek?" Diana menangkup pipi Philip, menatapnya lekat-lekat. "Maaf aku sudah marah-marah padamu. Aku sama sekali tidak bermaksud mengusirmu. Aku justru senang kau datang kembali." Philip bergeming sejenak. Alisnya berkerut, mulutnya sedikit membuka. Saat menyadari ketulusan di mata Diana, sudut bibirnya mulai terdongkrak. "Nenek sudah sadar?" Diana mengangguk. Namun, begitu ia hendak menjelaskan lebih lanjut, dua balita berlari-lari menghampiri mereka. "Philip! Philip!" "Papa memintamu untuk segera menyiapkan mobil!" Alis sang pria melengkung naik. "Untuk apa?" Sambil membungkuk memegangi lutut, Louis terengah-engah. "Mama sakit. Kita harus membawanya ke rumah sakit." "Ibu kalian sakit? Sakit apa?" Emily yang
"Bagaimana, Dok? Apakah kami sungguh-sungguh punya adik?" bisik Louis sambil mengamati apa yang dilakukan oleh tangan sang dokter di balik kain penutup. "Sabar, Louis. Pak Dokter baru saja memulai." Kara tersenyum mendengar celotehan itu. "Emily benar. Pak Dokter harus mencari lokasinya dulu." "Bagaimana Pak Dokter tahu kalau adik bayinya sudah ditemukan? Apakah alat itu bisa berbunyi? Bip bip bip." Sang dokter menunjuk layar USG. "Dari sini. Kita bisa melihatnya nanti." Louis dan Emily pun berpindah posisi ke dekat monitor. Mereka berkedip-kedip melihat bercak-bercak aneh di situ. "Apakah ini isi perut Mama? Mana ususnya?" Louis memiringkan kepala. Frank dan Kara sontak mengulum tawa, sedangkan sang dokter mendengus gemas. "Ini rahim, organ tubuh yang hanya dimiliki perempuan. Letaknya di bawah usus." Mulut si Kembar membulat. "Lalu kalau ada adik bayi di dalam sana, apakah usus Mama akan terdorong naik?" Sang dokter mengangguk. "Apakah itu sakit?" Emily mengernyitkan dahi.
Philip menarik napas berat. Ia merasa iba pada Diana yang tertinggal banyak hal. "Itu cerita yang panjang, Nek. Kehidupan keluarga kecil mereka tidak semulus yang Nenek bayangkan." "Mengapa bisa begitu?" Diana mempererat tautan alisnya. "Intinya, Frank pernah dijebak dengan seorang wanita di sebuah kamar hotel." "Wanita itu Kara?" Philip mengangguk. "Frank dulu tidak seperti sekarang. Dia perfeksionis, sombong, terlalu tegas. Saat itu, mereka belum saling kenal. Dia meninggalkan Kara begitu saja." "Dan ternyata, Kara hamil?" Philip menaikkan alis. "Ya, Kara membesarkan si Kembar bersama ibunya, sampai dia bertemu Frank lagi, beberapa bulan yang lalu. Proses menuju pernikahan mereka pun panjang karena mendiang Rowan menentang." Diana menghela napas iba. "Sungguh gadis yang malang, dan aku malah bersikap kasar terhadapnya." Matanya semakin berkaca-kaca. Barbara melirik Philip. Kekasihnya itu baru saja menceritakan bahwa sang nenek sudah berubah total. Namun, ia tidak percaya, ti
Barbara terkesiap. Sebelah tangannya terangkat menutupi mulut. "Bagaimana mungkin ini terjadi?"Melihat wajah pucat itu, alis Kara bergerak turun. "Ada apa, Barbara?"Sang gadis menatapnya dengan bola mata yang bergetar. Namun, selang satu kedipan, ia menoleh kepada Philip. Kara mengerti makna pandangan itu. "Tolong jangan menyembunyikan apa pun dariku, Barbara. Aku tidak apa-apa. Ayo, katakan saja."Setelah mendesah samar, Barbara duduk di samping Kara. "Tolong jangan terkejut." "Tidak akan."Kemudian, Kara mengambil ponsel dari tangan Barbara. Si Kembar langsung mengambil posisi di samping kiri dan kanan ibu mereka. "Oh? Kenapa ada Nenek di berita?" celetuk Louis yang baru melihat sepintas. Begitu membaca judulnya, ia terkesiap. "Kenapa bisa ada berita semacam ini, Mama?" Kara berkedip kaku. Kepalanya menggeleng samar. "Mama tidak tahu, Sayang."Penasaran, Diana bergeser mendekat. Namun, sebelum ia berhasil melihat, Kara telah mengetuk layar. Video pun berjalan, menampilkan lata
"Jeremy, kau sudah mendapat kabar tentang ibuku?" Frank langsung ke intinya."Justru aku yang memberi tahu Philip. Aku curiga saat," Jeremy melirik Diana sejenak. Ia sadar, wanita tua itu akan terkejut kalau mengetahui Sophia-lah dalangnya. "Saat banyak pesan masuk ke ponselku. Beberapa investor mengecam kita. Mereka bahkan menuntut Kara untuk dikeluarkan dari Savior." Ia melewatkan bagian Sophia menelepon orang suruhannya dan pergi lebih dulu dari peternakan. "Itu sungguh tidak adil. Mama tidak bersalah," geleng Louis tidak terima. Frank menatap putranya tegas. "Ya, kita semua tahu Mama tidak bersalah. Dalam waktu singkat, seluruh orang di dunia akan tahu."Kemudian, Frank mengembalikan pandangan kepada Jeremy. "Kau sudah mengemas barang-barang?""Ya, Abigail membantuku. Semua sudah siap dalam bagasi mobil.""Maaf kalau barang-barangnya berantakan. Aku tergesa-gesa. Kalau ternyata ada yang tertinggal, nanti bisa kupaketkan." Abigail meringis.Kara menggeleng kecil. "Tidak apa-apa,
Diana menoleh dengan mata yang masih basah. "Ya, ada apa?" "Ternyata benar?" Wanita paruh baya berpakaian nyentrik itu mengayunkan tinjunya ke telapak tangan. "Sudah kuduga. Itu memang mereka. Seharusnya langsung kumaki saja perempuan itu. Berani-beraninya memisahkan Frank Harper dengan ibunya. Padahal, dia punya anak. Dia seharusnya mengerti bahwa ibu dan anak itu tidak bisa dipisahkan, bukannya mencari sensasi dengan berbuat onar." Tanpa terduga, Diana memukul lengan sang wanita. "Berani-beraninya kau memaki cucu menantuku begitu? Memangnya kau kenal dia?" Sang wanita terbelalak menatap mata merah Diana. "Cucu menantu?" "Kalau tidak mengerti apa-apa, lebih baik diam saja. Memang apa untungnya kau terhasut oleh berita?" Sang wanita mulai melangkah mundur. Namun, Diana mencengkeram lengan bajunya. "Apa kau tahu? Kara itu berhati lembut dan penyayang. Dia sangat menyukai perdamaian, bahkan rela disalahkan demi menghindari pertikaian. Kau malah menuduhnya mencari sensasi, membuat
"Apa itu?" Diana mengangkat bantal. Sebuah pena langsung menggelinding di atas kertas. Huruf-huruf di situ ditulis agak besar dan sedikit bergelombang. Namun, Diana masih bisa membacanya. "Daftar keinginan Louis dan Emily selama liburan." Wanita tua itu menyipitkan mata. Kepalanya bergerak ke belakang. Tulisan berikutnya telah diberi tanda silang. "Bermain dengan kuda bersama Nenek Diana. Melakukan pertunjukan peran untuk Nenek Diana. Membaca dongeng sebelum tidur bersama Nenek Diana." Semakin banyak yang Diana baca, semakin berat hatinya. Saat ia tiba di baris terakhir, matanya basah. Itulah satu-satunya yang belum dicoret oleh si Kembar. "Merayakan pesta akhir tahun bersama Nenek Diana." Helaan napas mengawali isak tangis Diana. Sambil mendekap kertas itu, ia berbisik, "Maafkan aku, Anak-Anak. Maaf telah mengecewakan kalian." Tak sanggup menanggung kesedihan, Diana pun meringkuk di atas ranjang. Ia hanya bisa menghapus kerinduan dengan aroma tubuh si Kembar yang tersisa di sa
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum