Woohooo .... Apakah Louis dan Emily akan segera punya adik?
"Bagaimana, Dok? Apakah kami sungguh-sungguh punya adik?" bisik Louis sambil mengamati apa yang dilakukan oleh tangan sang dokter di balik kain penutup. "Sabar, Louis. Pak Dokter baru saja memulai." Kara tersenyum mendengar celotehan itu. "Emily benar. Pak Dokter harus mencari lokasinya dulu." "Bagaimana Pak Dokter tahu kalau adik bayinya sudah ditemukan? Apakah alat itu bisa berbunyi? Bip bip bip." Sang dokter menunjuk layar USG. "Dari sini. Kita bisa melihatnya nanti." Louis dan Emily pun berpindah posisi ke dekat monitor. Mereka berkedip-kedip melihat bercak-bercak aneh di situ. "Apakah ini isi perut Mama? Mana ususnya?" Louis memiringkan kepala. Frank dan Kara sontak mengulum tawa, sedangkan sang dokter mendengus gemas. "Ini rahim, organ tubuh yang hanya dimiliki perempuan. Letaknya di bawah usus." Mulut si Kembar membulat. "Lalu kalau ada adik bayi di dalam sana, apakah usus Mama akan terdorong naik?" Sang dokter mengangguk. "Apakah itu sakit?" Emily mengernyitkan dahi.
Philip menarik napas berat. Ia merasa iba pada Diana yang tertinggal banyak hal. "Itu cerita yang panjang, Nek. Kehidupan keluarga kecil mereka tidak semulus yang Nenek bayangkan." "Mengapa bisa begitu?" Diana mempererat tautan alisnya. "Intinya, Frank pernah dijebak dengan seorang wanita di sebuah kamar hotel." "Wanita itu Kara?" Philip mengangguk. "Frank dulu tidak seperti sekarang. Dia perfeksionis, sombong, terlalu tegas. Saat itu, mereka belum saling kenal. Dia meninggalkan Kara begitu saja." "Dan ternyata, Kara hamil?" Philip menaikkan alis. "Ya, Kara membesarkan si Kembar bersama ibunya, sampai dia bertemu Frank lagi, beberapa bulan yang lalu. Proses menuju pernikahan mereka pun panjang karena mendiang Rowan menentang." Diana menghela napas iba. "Sungguh gadis yang malang, dan aku malah bersikap kasar terhadapnya." Matanya semakin berkaca-kaca. Barbara melirik Philip. Kekasihnya itu baru saja menceritakan bahwa sang nenek sudah berubah total. Namun, ia tidak percaya, ti
Barbara terkesiap. Sebelah tangannya terangkat menutupi mulut. "Bagaimana mungkin ini terjadi?"Melihat wajah pucat itu, alis Kara bergerak turun. "Ada apa, Barbara?"Sang gadis menatapnya dengan bola mata yang bergetar. Namun, selang satu kedipan, ia menoleh kepada Philip. Kara mengerti makna pandangan itu. "Tolong jangan menyembunyikan apa pun dariku, Barbara. Aku tidak apa-apa. Ayo, katakan saja."Setelah mendesah samar, Barbara duduk di samping Kara. "Tolong jangan terkejut." "Tidak akan."Kemudian, Kara mengambil ponsel dari tangan Barbara. Si Kembar langsung mengambil posisi di samping kiri dan kanan ibu mereka. "Oh? Kenapa ada Nenek di berita?" celetuk Louis yang baru melihat sepintas. Begitu membaca judulnya, ia terkesiap. "Kenapa bisa ada berita semacam ini, Mama?" Kara berkedip kaku. Kepalanya menggeleng samar. "Mama tidak tahu, Sayang."Penasaran, Diana bergeser mendekat. Namun, sebelum ia berhasil melihat, Kara telah mengetuk layar. Video pun berjalan, menampilkan lata
"Jeremy, kau sudah mendapat kabar tentang ibuku?" Frank langsung ke intinya."Justru aku yang memberi tahu Philip. Aku curiga saat," Jeremy melirik Diana sejenak. Ia sadar, wanita tua itu akan terkejut kalau mengetahui Sophia-lah dalangnya. "Saat banyak pesan masuk ke ponselku. Beberapa investor mengecam kita. Mereka bahkan menuntut Kara untuk dikeluarkan dari Savior." Ia melewatkan bagian Sophia menelepon orang suruhannya dan pergi lebih dulu dari peternakan. "Itu sungguh tidak adil. Mama tidak bersalah," geleng Louis tidak terima. Frank menatap putranya tegas. "Ya, kita semua tahu Mama tidak bersalah. Dalam waktu singkat, seluruh orang di dunia akan tahu."Kemudian, Frank mengembalikan pandangan kepada Jeremy. "Kau sudah mengemas barang-barang?""Ya, Abigail membantuku. Semua sudah siap dalam bagasi mobil.""Maaf kalau barang-barangnya berantakan. Aku tergesa-gesa. Kalau ternyata ada yang tertinggal, nanti bisa kupaketkan." Abigail meringis.Kara menggeleng kecil. "Tidak apa-apa,
Diana menoleh dengan mata yang masih basah. "Ya, ada apa?" "Ternyata benar?" Wanita paruh baya berpakaian nyentrik itu mengayunkan tinjunya ke telapak tangan. "Sudah kuduga. Itu memang mereka. Seharusnya langsung kumaki saja perempuan itu. Berani-beraninya memisahkan Frank Harper dengan ibunya. Padahal, dia punya anak. Dia seharusnya mengerti bahwa ibu dan anak itu tidak bisa dipisahkan, bukannya mencari sensasi dengan berbuat onar." Tanpa terduga, Diana memukul lengan sang wanita. "Berani-beraninya kau memaki cucu menantuku begitu? Memangnya kau kenal dia?" Sang wanita terbelalak menatap mata merah Diana. "Cucu menantu?" "Kalau tidak mengerti apa-apa, lebih baik diam saja. Memang apa untungnya kau terhasut oleh berita?" Sang wanita mulai melangkah mundur. Namun, Diana mencengkeram lengan bajunya. "Apa kau tahu? Kara itu berhati lembut dan penyayang. Dia sangat menyukai perdamaian, bahkan rela disalahkan demi menghindari pertikaian. Kau malah menuduhnya mencari sensasi, membuat
"Apa itu?" Diana mengangkat bantal. Sebuah pena langsung menggelinding di atas kertas. Huruf-huruf di situ ditulis agak besar dan sedikit bergelombang. Namun, Diana masih bisa membacanya. "Daftar keinginan Louis dan Emily selama liburan." Wanita tua itu menyipitkan mata. Kepalanya bergerak ke belakang. Tulisan berikutnya telah diberi tanda silang. "Bermain dengan kuda bersama Nenek Diana. Melakukan pertunjukan peran untuk Nenek Diana. Membaca dongeng sebelum tidur bersama Nenek Diana." Semakin banyak yang Diana baca, semakin berat hatinya. Saat ia tiba di baris terakhir, matanya basah. Itulah satu-satunya yang belum dicoret oleh si Kembar. "Merayakan pesta akhir tahun bersama Nenek Diana." Helaan napas mengawali isak tangis Diana. Sambil mendekap kertas itu, ia berbisik, "Maafkan aku, Anak-Anak. Maaf telah mengecewakan kalian." Tak sanggup menanggung kesedihan, Diana pun meringkuk di atas ranjang. Ia hanya bisa menghapus kerinduan dengan aroma tubuh si Kembar yang tersisa di sa
"Sampai jumpa nanti malam, Papa. Semoga misi Papa berjalan lancar." Emily merentangkan tangan. Frank pun menekuk lutut, menyambut sang putri ke dalam dekapan. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jaga Mama baik-baik selama Papa pergi, hmm?" "Pasti, Papa." Emily mengecup pipi Frank lalu melangkah mundur, memberi kesempatan kepada Louis untuk mengambil posisinya. "Sampai jumpa nanti, Papa. Aku harap Papa tidak menemui hambatan." Louis menepuk-nepuk punggung Frank. "Kalau Papa berhasil, aku tidak akan mengganggu Papa dan Mama selama satu minggu." Frank terkekeh mendengar iming-iming Louis. "Terima kasih, Jagoan. Papa akan menantikan itu. Jaga Mama dan adik-adikmu, hmm?" "Siap." Louis menempelkan empat jari ke ujung alisnya. Setelah itu, ia meraih tangan Kara dan mulai melambai bersama Emily. Frank balas melambai. Bahkan sampai Kara dan si Kembar masuk ke dalam limosin pun, tangannya masih terus bergerak. "Frank, kau yakin akan menggunakan cara itu sekarang?" tanya Jeremy sementara Frank m
"Halo, semuanya. Saya, Sophia Moore, turut bersimpati atas musibah yang menimpa Nyonya Melanie Harris," Sophia membuka videonya dengan raut penuh iba. Ia bahkan menaruh kerutan kecil di bawah matanya. "Menjadi seorang ibu tentu tidak mudah. Beliau telah mengandung selama sembilan bulan, menanggung rasa sakit yang teramat sangat saat melahirkan, dan membesarkan anaknya dengan penuh cinta. Namun, balasan yang beliau terima sungguh tidak setimpal." Sophia menelan ludah seolah "kenyataan" itu juga menyakitinya. "Saya yakin, banyak dari kalian yang marah. Banyak dari kalian tidak terima, dan berharap Nyonya Melanie Harris segera diselamatkan. Saya juga tidak tega membayangkan betapa besar kesedihan dan derita yang ditanggung oleh beliau selama dikurung di tempat yang tidak semestinya. Karena itu ...." Sophia bergeser, menunjukkan pemandangan di balik punggungnya. Di sana, Melanie sedang duduk dengan punggung yang membungkuk. Kepalanya agak tertunduk dan tatapannya kosong. Bayangan di ba