Pagi, Teman-Teman. Hari ini, cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan terpilih buat jadi bahan diskusi di acara BookTalk. Mungkin di antara teman-teman semua ada penulis yang tertarik ikut diskusi, bisa gabung ke grup F-B Komunitas Penulis GoodNovel ID. Doakan semuanya lancar, ya. Terima kasiiiiih
"Apa itu?" Diana mengangkat bantal. Sebuah pena langsung menggelinding di atas kertas. Huruf-huruf di situ ditulis agak besar dan sedikit bergelombang. Namun, Diana masih bisa membacanya. "Daftar keinginan Louis dan Emily selama liburan." Wanita tua itu menyipitkan mata. Kepalanya bergerak ke belakang. Tulisan berikutnya telah diberi tanda silang. "Bermain dengan kuda bersama Nenek Diana. Melakukan pertunjukan peran untuk Nenek Diana. Membaca dongeng sebelum tidur bersama Nenek Diana." Semakin banyak yang Diana baca, semakin berat hatinya. Saat ia tiba di baris terakhir, matanya basah. Itulah satu-satunya yang belum dicoret oleh si Kembar. "Merayakan pesta akhir tahun bersama Nenek Diana." Helaan napas mengawali isak tangis Diana. Sambil mendekap kertas itu, ia berbisik, "Maafkan aku, Anak-Anak. Maaf telah mengecewakan kalian." Tak sanggup menanggung kesedihan, Diana pun meringkuk di atas ranjang. Ia hanya bisa menghapus kerinduan dengan aroma tubuh si Kembar yang tersisa di sa
"Sampai jumpa nanti malam, Papa. Semoga misi Papa berjalan lancar." Emily merentangkan tangan. Frank pun menekuk lutut, menyambut sang putri ke dalam dekapan. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jaga Mama baik-baik selama Papa pergi, hmm?" "Pasti, Papa." Emily mengecup pipi Frank lalu melangkah mundur, memberi kesempatan kepada Louis untuk mengambil posisinya. "Sampai jumpa nanti, Papa. Aku harap Papa tidak menemui hambatan." Louis menepuk-nepuk punggung Frank. "Kalau Papa berhasil, aku tidak akan mengganggu Papa dan Mama selama satu minggu." Frank terkekeh mendengar iming-iming Louis. "Terima kasih, Jagoan. Papa akan menantikan itu. Jaga Mama dan adik-adikmu, hmm?" "Siap." Louis menempelkan empat jari ke ujung alisnya. Setelah itu, ia meraih tangan Kara dan mulai melambai bersama Emily. Frank balas melambai. Bahkan sampai Kara dan si Kembar masuk ke dalam limosin pun, tangannya masih terus bergerak. "Frank, kau yakin akan menggunakan cara itu sekarang?" tanya Jeremy sementara Frank m
"Halo, semuanya. Saya, Sophia Moore, turut bersimpati atas musibah yang menimpa Nyonya Melanie Harris," Sophia membuka videonya dengan raut penuh iba. Ia bahkan menaruh kerutan kecil di bawah matanya. "Menjadi seorang ibu tentu tidak mudah. Beliau telah mengandung selama sembilan bulan, menanggung rasa sakit yang teramat sangat saat melahirkan, dan membesarkan anaknya dengan penuh cinta. Namun, balasan yang beliau terima sungguh tidak setimpal." Sophia menelan ludah seolah "kenyataan" itu juga menyakitinya. "Saya yakin, banyak dari kalian yang marah. Banyak dari kalian tidak terima, dan berharap Nyonya Melanie Harris segera diselamatkan. Saya juga tidak tega membayangkan betapa besar kesedihan dan derita yang ditanggung oleh beliau selama dikurung di tempat yang tidak semestinya. Karena itu ...." Sophia bergeser, menunjukkan pemandangan di balik punggungnya. Di sana, Melanie sedang duduk dengan punggung yang membungkuk. Kepalanya agak tertunduk dan tatapannya kosong. Bayangan di ba
Frank memutar mata. Telinganya panas mendengar tawaran menjijikkan itu. "Mari kita hentikan omong kosong ini, Sophia. Aku sudah tidak tahan meladeni mulut manismu yang beracun itu. Aku tahu kaulah dalang di balik semua ini." "Dalang bagaimana? Aku tidak mengerti kau bicara apa, Frank." "Kalau kau tidak mau rencanamu diketahui orang, cobalah menelepon anak buahmu di tempat yang lebih aman. Jeremy telah mendengar semuanya, Sophia. Jadi berhentilah bersandiwara." Sophia tidak lagi bicara. Frank menduga, ia sedang meringis, mengutuk Jeremy dalam hatinya. "Sekarang, karena kejahatanmu telah terungkap, kau mau membebaskan ibuku? Aku percaya kau adalah orang baik yang tidak tega menyakiti orang tua. Jutaan orang juga berharap ibuku keluar dari rumahmu dalam keadaan sehat." "Kenapa kau mudah sekali percaya pada Jeremy?" Suara Sophia mendadak naik. "Dia bersekongkol dengan Kara, Frank. Apa kau tahu kalau mereka berhubungan di belakangmu? Anak dalam kandungan Kara mungkin saja bukan anakmu
Dengan wajah mengernyit, sang penjaga meraih ponselnya. Kali ini, ia menghubungi Sophia secara langsung. "Selamat malam, Nona. Maaf, apakah Anda yakin ingin kami membongkar muatan dari depan gerbang? Barang-barangnya banyak sekali. Butuh banyak orang, waktu, dan tenaga untuk mengangkutnya." "Jadi maksudmu, kau dan rekan-rekanmu enggan mengerahkan tenaga?" Nada bicara Sophia agak mendayu, tetapi sang penjaga malah gemetar. "Bukan begitu, Nona. Ini sudah seperti mengangkut barang-barang untuk pindah rumah." "Semua ini memang barang-barang ibuku. Jadi secara teknis, aku memindahkan kamarnya ke sini. Aku ingin ibuku tetap nyaman di mana pun dia berada," tambah Frank, terdengar oleh Sophia. Perempuan itu langsung meloloskan tawa. "Kamu tidak berpikir aku merawat ibumu di penjara bawah tanah, kan, Frank Harper?" Sang penjaga cepat-cepat menyalakan mode pengeras suara. "Aku sudah memberikan fasilitas terbaik untuk ibumu. Kau tidak perlu menyiapkan apa pun lagi." Mendengar tutur kata l
"Apakah kau sadar, Frank? Kau sudah keterlaluan." Dengan raut dingin, Sophia menegakkan kepala. Matanya menusuk tajam. Akan tetapi, Frank tidak gentar. Ia malah memiringkan kepala, mempertahankan wajah polosnya. "Keterlaluan?" "Aku sudah melakukan banyak hal untukmu. Aku membantumu berdamai dengan Nenek, membantu merawat ibumu, dan mengundangmu ke makan malam spesial ini. Tapi kau sama sekali tidak menghargaiku." Frank mengangkat pundaknya ringan. "Mau bagaimana lagi? Aku sudah beristri, dan kau juga tidak menghargai kebenaran. Untuk apa aku menunjukkan sikap hormat?" "Apa kurangnya aku dibandingkan Kara?" Suara Sophia mulai memaksa. "Penampilan? Kecerdasan? Kemampuan? Kurasa aku jauh melampauinya. Aku bahkan lebih dekat dengan nenek dan ibumu. Tapi kenapa kau masih mempertahankannya?" Menyadari mata Sophia mulai memerah, Frank memunculkan kesan serius di wajahnya. Ia sudah tidak perlu berpura-pura tengil. Batas kesabaran Sophia telah rusak. "Kau kurang kejujuran. Apakah kau tida
"Beberapa waktu lalu, saya akui, saya sempat gelap mata. Saya mengancam seseorang dengan pisau, tapi malah putri saya yang terkena tusukan." Melanie terlihat agak malu saat menyampaikannya. Namun, sorot matanya jernih. Ia jelas waras. "Setelah saya berpikir ulang, saya sadar tindakan itu salah dan berbahaya. Tapi saat itu, saya terlalu takut untuk menerima kenyataan bahwa saya memang tertekan. Saya menganggap pusat rehabilitasi bisa menghancurkan reputasi saya dan mencari cara untuk kabur. Karena itu, pada malam sebelum Frank mengirim saya kemari, saya menghubungi seseorang." Tangan Sophia terkepal semakin erat. Gumpalan air matanya telah berbaris di tepi pelupuk, menunggu kedipan untuk meluncur. "Perempuan itu meminta saya untuk berpura-pura gila. Dia bilang dia bisa memanipulasi berita untuk memojokkan putra dan menantu saya, lalu memberi kejutan kepada publik dengan mengungkapkan bahwa saya tidak gila." Melanie menarik napas berat, seolah-olah penyesalannya tersebar di udara.
Sophia menggenggam walkie-talkie begitu erat, seolah itulah harapan terakhir yang dimilikinya. Namun, beberapa detik menunggu, tak satu pun jawaban yang ia dapat. "Gerald?" Sophia menelan ludah, gugup. "Ini bukan waktunya bercanda. Cepat laksanakan perintahku!""Gerald tidak akan menjawab, Nona. Dia sedang tertidur. Mungkin setengah jam lagi baru bangun." Sophia terbelalak menatap Ava. "Kau membiusnya?" Begitu Ava mengangguk, Sophia mulai panik. Bola matanya berputar ke sana kemari. "Jika Gerald dibius, maka Nyonya Harris—" "Di sini." Sophia menoleh ke arah suara. Melihat Melanie berjalan di samping Jeremy selayaknya orang normal, kakinya bergerak mundur. "Nyonya Harris?" "Ya, ini aku. Kau heran melihatku waras?" Melanie berhenti di hadapan Sophia. Tanpa memberikan aba-aba, tangannya melayang ke pipi sang wanita. "Itu untuk putraku. Kau sudah mencoba untuk mengacaukan hidupnya." Tanpa terduga, tamparan lain mendarat di pipi kiri Sophia. "Dan itu untuk diriku. Kau sudah menjerum