Eng ing eng .... Apakah kalian terkedjoet?
"Beberapa waktu lalu, saya akui, saya sempat gelap mata. Saya mengancam seseorang dengan pisau, tapi malah putri saya yang terkena tusukan." Melanie terlihat agak malu saat menyampaikannya. Namun, sorot matanya jernih. Ia jelas waras. "Setelah saya berpikir ulang, saya sadar tindakan itu salah dan berbahaya. Tapi saat itu, saya terlalu takut untuk menerima kenyataan bahwa saya memang tertekan. Saya menganggap pusat rehabilitasi bisa menghancurkan reputasi saya dan mencari cara untuk kabur. Karena itu, pada malam sebelum Frank mengirim saya kemari, saya menghubungi seseorang." Tangan Sophia terkepal semakin erat. Gumpalan air matanya telah berbaris di tepi pelupuk, menunggu kedipan untuk meluncur. "Perempuan itu meminta saya untuk berpura-pura gila. Dia bilang dia bisa memanipulasi berita untuk memojokkan putra dan menantu saya, lalu memberi kejutan kepada publik dengan mengungkapkan bahwa saya tidak gila." Melanie menarik napas berat, seolah-olah penyesalannya tersebar di udara.
Sophia menggenggam walkie-talkie begitu erat, seolah itulah harapan terakhir yang dimilikinya. Namun, beberapa detik menunggu, tak satu pun jawaban yang ia dapat. "Gerald?" Sophia menelan ludah, gugup. "Ini bukan waktunya bercanda. Cepat laksanakan perintahku!""Gerald tidak akan menjawab, Nona. Dia sedang tertidur. Mungkin setengah jam lagi baru bangun." Sophia terbelalak menatap Ava. "Kau membiusnya?" Begitu Ava mengangguk, Sophia mulai panik. Bola matanya berputar ke sana kemari. "Jika Gerald dibius, maka Nyonya Harris—" "Di sini." Sophia menoleh ke arah suara. Melihat Melanie berjalan di samping Jeremy selayaknya orang normal, kakinya bergerak mundur. "Nyonya Harris?" "Ya, ini aku. Kau heran melihatku waras?" Melanie berhenti di hadapan Sophia. Tanpa memberikan aba-aba, tangannya melayang ke pipi sang wanita. "Itu untuk putraku. Kau sudah mencoba untuk mengacaukan hidupnya." Tanpa terduga, tamparan lain mendarat di pipi kiri Sophia. "Dan itu untuk diriku. Kau sudah menjerum
"Kau sungguh kacau, Sophia. Kau menikah dengan Finnic, menginginkan putraku, dan tidur dengan Jeremy. Tapi kenapa kau masih menjunjung harga dirimu tinggi-tinggi?" Mendengar informasi dari Melanie itu, bola mata Finnic bergetar. Mulutnya ternganga, wajahnya agak pucat. "Kau tidur dengan pria lain?" Napas Sophia tersekat. Matanya berkedip-kedip cepat. "Tidak. Aku tidak ada hubungannya dengan laki-laki itu. Mustahil aku tidur dengannya." "Tapi Nyonya Harris tidak mungkin mengada-ada." Finnic melirik Jeremy, meminta penjelasan. Jeremy pun mendesah samar. "Itu tidak disengaja. Dia mencoba merayu Frank dengan obat, tapi aku yang masuk perangkapnya." Finnic mendesah tak percaya. Sudut bibirnya berkedut samar. "Kau telah meniduri istriku, tapi kau masih bisa santai?" Frank bergegas mengangkat tangan, seolah memberi batas. "Sophia mengaku kalau kalian sudah bercerai. Jadi, dia adalah seorang janda dalam otak Jeremy." "Meskipun dia perawan, aku tidak akan mau menyentuhnya," tegas Jeremy
Finnic telah pergi, tetapi kata-katanya masih membekas dalam benak Frank. Melanie menyadari itu."Frank, apakah semua baik-baik saja?" Frank mengerjap. "Ya, tentu. Aku hanya sedang memperhitungkan risiko. Siapa tahu, ada cara lain untuk meminimalisasi dampaknya. Aku tidak mau gegabah."Sambil menerbitkan senyum, Frank mengedarkan pandangan. "Sekarang karena misi kita di sini sudah selesai, mari kita pulang. Mama tidak apa-apa, kan? Apa perlu kita mampir dulu ke rumah sakit?" Ia menyentuh lengan Melanie.Melanie memeriksa dirinya sendiri. "Mama rasa Mama sehat."Ava turut mengangguk. "Ya, Nyonya Harris tidak apa-apa. Perkembangannya sangat pesat." Frank tersenyum lega. "Terima kasih telah membantu ibuku pulih.""Seperti yang sudah saya katakan, saya yang sudah memberi Nyonya Harris obat, saya harus bertanggung jawab." Ava meringis di akhir. Frank mengangguk-angguk. Tanpa membuang waktu lagi, ia memimpin jalan, keluar dari rumah Sophia. Setibanya di beranda depan, mobil polisi sudah
"Mama, kenapa Papa belum pulang juga? Ini sudah jam berapa?" gerutu Louis yang sedang berbaring di sofa. Kepalanya dibiarkan menjuntai, sedangkan kakinya diangkat ke sandaran. Bibir Emily langsung menguncup. "Sabarlah, Louis. Sebentar lagi, Papa pasti pulang. Aku yakin Papa berhasil menyelesaikan misi." Dengan raut lesu, Louis meraih tablet di sisi kanannya. "Sudah kubilang, aku seharusnya ikut. Kalau aku membantu, misi pasti terselesaikan lebih cepat. Aku sudah sering berlatih menjadi agen rahasia ataupun mata-mata." Kara terkekeh mendengar gumaman itu. Susan yang sedang merajut ikut tersenyum. "Memangnya kamu bisa apa?" tanya sang nenek, geli. "Aku bisa menyelinap ke kamar Nenek Melanie, lalu membantu Ava membius Gerald. Itu mudah." "Memangnya kamu tahu di mana Nenek Melanie disekap?" celetuk Emily sambil meninggikan alis. Louis berkedip dua kali. "Aku bisa mencarinya." "Lalu, kalau kamu tertangkap? Sophia bisa marah karena tahu Papa tidak datang sendiri." Kelopak mata Louis
"Siapa yang datang, Papa? Apakah itu Sean?" Emily memundurkan kepalanya agar bisa melihat tanpa terhalang oleh Kara. Namun, tangannya enggan lepas dari leher kedua orang tuanya. "Tidak mungkin, Emily. Sean masih dalam perjalanan menuju Garcia Hospital. Untuk apa dia ke sini? Dia harus menjaga ibunya Ava," terang Louis dengan lengkung alis yang tinggi. Emily pun mengerucutkan bibir. "Benar juga. Kalaupun itu Sean, dia pasti bersama ambulance. Lalu itu siapa?" "Mungkinkah itu Nenek Melanie? Bisa saja dia tidak mau menginap di rumah Jeremy." Louis melirik Frank, menantikan jawaban. Sang ayah menggeleng samar. "Sepertinya bukan, Jagoan. Papa juga tidak tahu siapa yang datang." Dalam hati, Frank bertanya-tanya mengapa penjaga mengizinkan mobil asing melewati gerbang. Tiba-tiba, Philip dan Barbara menghampiri mereka dengan berlari. Napas Barbara terengah-engah, kewalahan mengimbangi kecepatan pria yang menggenggam tangannya. "Anak-Anak!" panggilnya di sela desah napas. Telunjuknya mer
"Nenek menangis sesenggukan tadi," celetuk Abigail sembari memakai ranselnya. Philip yang sedang menenteng tas milik Diana pun terbelalak. "Nenek menangis? Kenapa?" "Dia menemukan surat dari Louis dan Emily. Aku tidak tahu apa isinya. Nenek tidak mau berhenti menggenggamnya. Jadi, demi mengatasi kesedihan Nenek, kuputuskan untuk mengajaknya ke sini. Untung saja masih ada tiket pesawat yang tersedia." Abigail berkacak pinggang dan mengangkat pundaknya ringan. Si Kembar kompak memiringkan kepala. "Surat apa? Kami tidak menulis surat." Diana tersenyum kecut. "Itu daftar keinginan kalian. Aku menemukannya di bawah bantal." Ia menepuk-nepuk saku celananya. Louis menjentikkan jari walaupun tidak berbunyi. "Sekarang aku ingat! Aku menyelipkannya di bawah bantal sebelum tidur kemarin malam. Aku lupa menaruhnya ke dalam tas." "Tapi karena kamu lupa, Nenek jadi membacanya. Dan sekarang, Nenek dan Abi bersama kita!" Emily melompat kecil dengan dua tangan menggenggam bahagia. Diana tersenyu
"Anda?" Susan tak sadar bahwa telunjuknya telah meruncing menunjuk Diana. Wanita yang lebih tua itu berkedip heran. "Apakah aku mengenalmu?" Tanpa terduga, Susan mendesahkan tawa sembari menepuk-nepuk dadanya. "Apakah Anda ingat sepasang suami istri yang memberi Anda tumpangan saat Anda mencari pemakaman dulu?" Diana mendongak sedikit lalu menyipitkan mata. Selang keheningan singkat, ia terkesiap. "Kau perempuan muda itu? Kau dan suamimu adalah orang yang kuhentikan di tengah jalan itu?" Susan mengangguk-angguk. Binar matanya sangat cerah. "Astaga, saya sungguh tidak menduga bahwa Anda adalah nenek dari menantu saya. Pantas saja saya merasa tidak asing saat melihat foto Anda. Ternyata itu Anda!" Diana ikut tertawa. Sambil menggenggam tangan Susan, ia menggeleng samar. "Ini sungguh sulit dipercaya. Aku tidak pernah berpikir bisa bertemu lagi denganmu. Kau tahu? Kalau tidak ada kau dan suamimu, aku pasti sudah terluntang-lantung. Tapi kalian dengan baik hatinya, menungguku di pema
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum