Woohoo! Detik-detik penantian berakhir. Semoga kalian suka, ya. Terima kasih sudah membaca.
"Nenek menangis sesenggukan tadi," celetuk Abigail sembari memakai ranselnya. Philip yang sedang menenteng tas milik Diana pun terbelalak. "Nenek menangis? Kenapa?" "Dia menemukan surat dari Louis dan Emily. Aku tidak tahu apa isinya. Nenek tidak mau berhenti menggenggamnya. Jadi, demi mengatasi kesedihan Nenek, kuputuskan untuk mengajaknya ke sini. Untung saja masih ada tiket pesawat yang tersedia." Abigail berkacak pinggang dan mengangkat pundaknya ringan. Si Kembar kompak memiringkan kepala. "Surat apa? Kami tidak menulis surat." Diana tersenyum kecut. "Itu daftar keinginan kalian. Aku menemukannya di bawah bantal." Ia menepuk-nepuk saku celananya. Louis menjentikkan jari walaupun tidak berbunyi. "Sekarang aku ingat! Aku menyelipkannya di bawah bantal sebelum tidur kemarin malam. Aku lupa menaruhnya ke dalam tas." "Tapi karena kamu lupa, Nenek jadi membacanya. Dan sekarang, Nenek dan Abi bersama kita!" Emily melompat kecil dengan dua tangan menggenggam bahagia. Diana tersenyu
"Anda?" Susan tak sadar bahwa telunjuknya telah meruncing menunjuk Diana. Wanita yang lebih tua itu berkedip heran. "Apakah aku mengenalmu?" Tanpa terduga, Susan mendesahkan tawa sembari menepuk-nepuk dadanya. "Apakah Anda ingat sepasang suami istri yang memberi Anda tumpangan saat Anda mencari pemakaman dulu?" Diana mendongak sedikit lalu menyipitkan mata. Selang keheningan singkat, ia terkesiap. "Kau perempuan muda itu? Kau dan suamimu adalah orang yang kuhentikan di tengah jalan itu?" Susan mengangguk-angguk. Binar matanya sangat cerah. "Astaga, saya sungguh tidak menduga bahwa Anda adalah nenek dari menantu saya. Pantas saja saya merasa tidak asing saat melihat foto Anda. Ternyata itu Anda!" Diana ikut tertawa. Sambil menggenggam tangan Susan, ia menggeleng samar. "Ini sungguh sulit dipercaya. Aku tidak pernah berpikir bisa bertemu lagi denganmu. Kau tahu? Kalau tidak ada kau dan suamimu, aku pasti sudah terluntang-lantung. Tapi kalian dengan baik hatinya, menungguku di pema
Ava menutup pintu dengan perlahan. "Sudah, Nyonya Harris baru saja terlelap." "Bagaimana keadaannya?" selidik Jeremy lagi. "Aman." Ava mengangguk lalu berkedip canggung. Keheningan menggantung sesaat. "Benarkah kau bersedia mengantarku ke rumah sakit? Kalau kau keberatan, aku bisa memesan taksi." Belum sempat Jeremy membuka mulut, suara lain menjawab, "Tentu saja bersedia. Ini sudah malam. Tidak baik seorang gadis bepergian seorang diri." Jeremy dan Ava spontan menoleh ke samping. Vivian ternyata sudah berdiri tidak jauh dari mereka. "Mama? Kenapa keluar kamar? Kalau Nyonya Harris tahu, bisa gawat." Jeremy menghampiri Vivian, hendak mengajaknya menjauhi pintu. Namun, kaki sang ibu seperti telah membatu. "Bukankah kau melarang Ava untuk meninggalkan Melanie sebelum dia tertidur?" Vivian meninggikan alis, tersenyum penuh arti. Sementara Jeremy mengembuskan napas panjang, Vivian melirik Ava. "Dia di sini sekarang. Itu berarti Melanie sudah tidur. Dia tidak akan tahu aku di luar ka
Jeremy mendesah cepat. "Ternyata kau menguping pembicaraanku dengan ibuku?" Ia seperti menyindir. "Aku berjalan di belakang kalian. Tentu saja aku mendengar." Ava membenamkan punggungnya lebih dalam pada sandaran. Ekspresinya tetap datar walau nada bicaranya agak canggung. "Sebetulnya, aku tidak masalah kau menganggapku apa. Tapi ibumu sepertinya berharap padaku. Bisakah kau mengatakan kepadanya untuk tidak salah paham terhadapku? Aku merasa tidak nyaman." Jeremy mendengus tak percaya. Merasa risih, ia pun menepikan mobil dan berhenti. "Oke, aku tahu kau terburu-buru ingin menemui ibumu, tapi kita harus meluruskan hal ini terlebih dulu." Ava mengangguk. Telapak tangannya terangkat singkat, mempersilakan Jeremy untuk bicara. "Aku sama sekali tidak tertarik padamu, dan kurasa kau juga begitu." Ava mengangguk. "Itu benar." "Ibuku bersikap begitu karena nalurinya sebagai orang tua yang ingin melihat putranya menemukan pasangan. Jadi, perempuan mana pun dianggapnya sebagai pilihan.
Ava hanya bisa menurut. Wajahnya memucat dan otaknya lumpuh. Tangannya mulai dingin membayangkan kalau ia tidak bisa menyentuh sang ibu lagi. "Tuan Harper, tolong aku. Aku belum mau mati. Aku masih harus merawat ibuku," bisik Ava ketika Jeremy menempati jok di balik kemudi. Sang pria meliriknya dengan sebelah alis berkerut. "Kau mendadak sopan karena bergantung padaku?" "Sekarang bukan saatnya berdebat." Ava mengguncang lengan Jeremy. "Kumohon ... jangan biarkan mereka membawaku. Aku mau bertemu ibuku." Jeremy menautkan alis lebih rapat. "Kau masih mau menemui ibumu dalam keadaan seperti ini?" Ava mengerjap. Tangannya melepas Jeremy dan badannya menegak. "Benar juga. Kalau kita ke rumah sakit sekarang, mereka bisa langsung tahu posisi ibuku. Itu bisa mempercepat rencana mereka untuk melancarkan balasan." Selang satu helaan napas, Ava melembutkan suaranya. "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kau akan meminta beberapa pengawal untuk menyusul?" "Dan membiarkan keama
"Bisakah kau berhenti melihatku?" Ava merapatkan lipatan tangannya, tidak sadar bahwa hal itu malah membuatnya terlihat semakin menggoda. "Apa? Aku tidak melihatmu. Aku melihat spion," tutur Jeremy seraya meluruskan pandangan ke depan. Sembari mengerutkan alis, Ava menggosok-gosok lengannya. "Aku sudah cukup kesal karena gagal menemui ibuku. Jadi, tolong jangan membuatku risih." Jeremy mendesah samar. "Kau mau aku menyetir dengan mata terpejam?" Ava terdiam. "Tenanglah. Aku sama sekali tidak tertarik padamu. Kau lebih mirip cabai merah ketimbang wanita menggoda. Kalau terkena mata bisa pedas." Kerut alis Ava mulai terurai. "Bagus kalau begitu." Sambil mengerucutkan bibir, ia memperhatikan jalan yang mereka telusuri. "Jadi, kita ke mana?" Jeremy menunjuk tulisan hotel yang bersinar tinggi kejauhan. Belum sempat ia menjelaskan, Ava menyela, "Kau bercanda?" Jeremy menghela napas. "Bisakah kau berhenti mencurigai ataupun mengkritikku?" Suaranya membuat Ava bergidik. "Aku tidak ma
"Apa yang mau kau bicarakan?" Frank mengisyaratkan Jeremy untuk duduk di kursi kosong dekat Diana, berhadapan dengan Abigail. Dengan langkah santai, Jeremy menerima sinyal. Ia duduk lalu menarik napas cepat. "Semalam Ava tidak jadi menemui ibunya." "Kenapa?" Louis memajukan kepala. Philip sontak merapatkan punggung dengan kursi, mempermudah Louis untuk melihat Jeremy. "Louis," panggil Kara lembut, "ini urusan orang dewasa. Belum waktunya bagimu untuk ikut-ikutan." "Ingat, Louis," tambah Emily, "kita sudah berjanji untuk tidak mencampuri urusan orang dewasa. Kita masih kecil." Emily memberi penekanan pada huruf "L" terakhir. Louis memasang tampang memelas. "Maaf, tapi aku penasaran. Kenapa Ava tidak jadi menemui ibunya? Dia pasti sedih dan kecewa." Semua orang kembali menatap Jeremy. "Ada tiga mobil yang mengikuti kami. Aku tidak berani mengambil risiko. Meskipun Wela bilang keamanan rumah sakit sudah ketat, keluarga Moore bisa saja mengirimkan seseorang yang mampu menerobosnya.
"Kalau ibunya Ava jadi dipindahkan ke rumah Paman, kenapa kita tidak mengadakan pesta tahun baru di sana saja?" usul Emily, memperbesar getaran dalam hati Diana. "Itu ide bagus. Ava pasti senang kalau tahu dia bisa berpesta bersama ibunya. Mama hubungi Wela sekarang, hmm?" Kara mengulurkan tangan. Pelayan yang bersiaga dengan sigap membawakan ponselnya. Diana bergeming menunggu hasilnya. "Wela bilang bisa."Debar jantung Diana semakin tak karuan. "K-kenapa ibu perawat itu tidak dipindahkan ke sini saja? Apakah karena kamarnya penuh?" Frank menggeleng. "Mama ada di rumah Jeremy, Nek. Kalau Nyonya Connor dirawat di sini, Ava tetap saja harus bolak-balik.""Kalau begitu, pindahkan saja Melanie ke sini." Diana menaikkan alis, berusaha menutupi ketegangannya dengan senyum. Sayangnya, Frank menggeleng. Barbara bahkan lebih tidak setuju."Meskipun Mama mengaku waras dan kondisinya sudah mulai stabil, kurasa lebih bijak kalau kita membiarkannya di rumah Jeremy lebih lama, setidaknya sampa
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum