Kejutan! Yang ringan-ringan aja ya hari ini. Biar makin banyak senyum.
Ava menutup pintu dengan perlahan. "Sudah, Nyonya Harris baru saja terlelap." "Bagaimana keadaannya?" selidik Jeremy lagi. "Aman." Ava mengangguk lalu berkedip canggung. Keheningan menggantung sesaat. "Benarkah kau bersedia mengantarku ke rumah sakit? Kalau kau keberatan, aku bisa memesan taksi." Belum sempat Jeremy membuka mulut, suara lain menjawab, "Tentu saja bersedia. Ini sudah malam. Tidak baik seorang gadis bepergian seorang diri." Jeremy dan Ava spontan menoleh ke samping. Vivian ternyata sudah berdiri tidak jauh dari mereka. "Mama? Kenapa keluar kamar? Kalau Nyonya Harris tahu, bisa gawat." Jeremy menghampiri Vivian, hendak mengajaknya menjauhi pintu. Namun, kaki sang ibu seperti telah membatu. "Bukankah kau melarang Ava untuk meninggalkan Melanie sebelum dia tertidur?" Vivian meninggikan alis, tersenyum penuh arti. Sementara Jeremy mengembuskan napas panjang, Vivian melirik Ava. "Dia di sini sekarang. Itu berarti Melanie sudah tidur. Dia tidak akan tahu aku di luar ka
Jeremy mendesah cepat. "Ternyata kau menguping pembicaraanku dengan ibuku?" Ia seperti menyindir. "Aku berjalan di belakang kalian. Tentu saja aku mendengar." Ava membenamkan punggungnya lebih dalam pada sandaran. Ekspresinya tetap datar walau nada bicaranya agak canggung. "Sebetulnya, aku tidak masalah kau menganggapku apa. Tapi ibumu sepertinya berharap padaku. Bisakah kau mengatakan kepadanya untuk tidak salah paham terhadapku? Aku merasa tidak nyaman." Jeremy mendengus tak percaya. Merasa risih, ia pun menepikan mobil dan berhenti. "Oke, aku tahu kau terburu-buru ingin menemui ibumu, tapi kita harus meluruskan hal ini terlebih dulu." Ava mengangguk. Telapak tangannya terangkat singkat, mempersilakan Jeremy untuk bicara. "Aku sama sekali tidak tertarik padamu, dan kurasa kau juga begitu." Ava mengangguk. "Itu benar." "Ibuku bersikap begitu karena nalurinya sebagai orang tua yang ingin melihat putranya menemukan pasangan. Jadi, perempuan mana pun dianggapnya sebagai pilihan.
Ava hanya bisa menurut. Wajahnya memucat dan otaknya lumpuh. Tangannya mulai dingin membayangkan kalau ia tidak bisa menyentuh sang ibu lagi. "Tuan Harper, tolong aku. Aku belum mau mati. Aku masih harus merawat ibuku," bisik Ava ketika Jeremy menempati jok di balik kemudi. Sang pria meliriknya dengan sebelah alis berkerut. "Kau mendadak sopan karena bergantung padaku?" "Sekarang bukan saatnya berdebat." Ava mengguncang lengan Jeremy. "Kumohon ... jangan biarkan mereka membawaku. Aku mau bertemu ibuku." Jeremy menautkan alis lebih rapat. "Kau masih mau menemui ibumu dalam keadaan seperti ini?" Ava mengerjap. Tangannya melepas Jeremy dan badannya menegak. "Benar juga. Kalau kita ke rumah sakit sekarang, mereka bisa langsung tahu posisi ibuku. Itu bisa mempercepat rencana mereka untuk melancarkan balasan." Selang satu helaan napas, Ava melembutkan suaranya. "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kau akan meminta beberapa pengawal untuk menyusul?" "Dan membiarkan keama
"Bisakah kau berhenti melihatku?" Ava merapatkan lipatan tangannya, tidak sadar bahwa hal itu malah membuatnya terlihat semakin menggoda. "Apa? Aku tidak melihatmu. Aku melihat spion," tutur Jeremy seraya meluruskan pandangan ke depan. Sembari mengerutkan alis, Ava menggosok-gosok lengannya. "Aku sudah cukup kesal karena gagal menemui ibuku. Jadi, tolong jangan membuatku risih." Jeremy mendesah samar. "Kau mau aku menyetir dengan mata terpejam?" Ava terdiam. "Tenanglah. Aku sama sekali tidak tertarik padamu. Kau lebih mirip cabai merah ketimbang wanita menggoda. Kalau terkena mata bisa pedas." Kerut alis Ava mulai terurai. "Bagus kalau begitu." Sambil mengerucutkan bibir, ia memperhatikan jalan yang mereka telusuri. "Jadi, kita ke mana?" Jeremy menunjuk tulisan hotel yang bersinar tinggi kejauhan. Belum sempat ia menjelaskan, Ava menyela, "Kau bercanda?" Jeremy menghela napas. "Bisakah kau berhenti mencurigai ataupun mengkritikku?" Suaranya membuat Ava bergidik. "Aku tidak ma
"Apa yang mau kau bicarakan?" Frank mengisyaratkan Jeremy untuk duduk di kursi kosong dekat Diana, berhadapan dengan Abigail. Dengan langkah santai, Jeremy menerima sinyal. Ia duduk lalu menarik napas cepat. "Semalam Ava tidak jadi menemui ibunya." "Kenapa?" Louis memajukan kepala. Philip sontak merapatkan punggung dengan kursi, mempermudah Louis untuk melihat Jeremy. "Louis," panggil Kara lembut, "ini urusan orang dewasa. Belum waktunya bagimu untuk ikut-ikutan." "Ingat, Louis," tambah Emily, "kita sudah berjanji untuk tidak mencampuri urusan orang dewasa. Kita masih kecil." Emily memberi penekanan pada huruf "L" terakhir. Louis memasang tampang memelas. "Maaf, tapi aku penasaran. Kenapa Ava tidak jadi menemui ibunya? Dia pasti sedih dan kecewa." Semua orang kembali menatap Jeremy. "Ada tiga mobil yang mengikuti kami. Aku tidak berani mengambil risiko. Meskipun Wela bilang keamanan rumah sakit sudah ketat, keluarga Moore bisa saja mengirimkan seseorang yang mampu menerobosnya.
"Kalau ibunya Ava jadi dipindahkan ke rumah Paman, kenapa kita tidak mengadakan pesta tahun baru di sana saja?" usul Emily, memperbesar getaran dalam hati Diana. "Itu ide bagus. Ava pasti senang kalau tahu dia bisa berpesta bersama ibunya. Mama hubungi Wela sekarang, hmm?" Kara mengulurkan tangan. Pelayan yang bersiaga dengan sigap membawakan ponselnya. Diana bergeming menunggu hasilnya. "Wela bilang bisa."Debar jantung Diana semakin tak karuan. "K-kenapa ibu perawat itu tidak dipindahkan ke sini saja? Apakah karena kamarnya penuh?" Frank menggeleng. "Mama ada di rumah Jeremy, Nek. Kalau Nyonya Connor dirawat di sini, Ava tetap saja harus bolak-balik.""Kalau begitu, pindahkan saja Melanie ke sini." Diana menaikkan alis, berusaha menutupi ketegangannya dengan senyum. Sayangnya, Frank menggeleng. Barbara bahkan lebih tidak setuju."Meskipun Mama mengaku waras dan kondisinya sudah mulai stabil, kurasa lebih bijak kalau kita membiarkannya di rumah Jeremy lebih lama, setidaknya sampa
Dengan mata berlinang, Diana memperhatikan wajah muda Rowan dan anak kecil yang mirip Louis. Pose kedua orang itu kaku. Akan tetapi, kesan yang ditimbulkannya begitu menyentuh. "Apakah dia memperlakukanmu dengan baik?" Suara Diana serak. Frank tersenyum miris, menarik napas panjang. "Dia mendidikku dengan sangat keras. Aku beruntung bisa survive." Dengan dagu yang berkedut, Diana mengangguk. Matanya berkedip-kedip menahan sendu. "Dia sudah mengajakmu ke perusahaan di usia sekecil ini," Diana mengelus sebuah foto. Frank mengangguk. "Ya, tapi aku sangat menikmati hari itu. Aku gembira selayaknya anak kecil yang disodori hal baru. Kakek menjelaskan apa saja harapan dan tanggung jawab yang dibebaninya kepadaku. Tapi aku merasa bangga dan keren." Diana mendenguskan tawa. "Tidak heran kalau Louis dan Emily memiliki semangat itu. Mereka mewarisinya darimu." Frank mengangguk. Lalu, dengan hati-hati, ia membalikkan lembaran album. Dalam sekejap, mata Diana tertuju pada potret Rowan dan
"Nenek?" panggil Frank lirih. "Kau baik-baik saja?" Diana menggeleng lambat. Telunjuknya setengah terangkat. "Ini ... dari kakekmu?" Frank mengangguk. "Kakek menitipkan album dan surat ini untuk Nenek. Apakah Nenek butuh bantuanku untuk membacanya?" Mulut Diana terbuka tanpa kata. Namun, jemarinya bergerak mendekati surat. Dengan gerak lambat, Diana membuka amplopnya. Begitu isi surat terlihat, matanya terpejam. Jemarinya bergetar lebih hebat. "Biar kubantu, Nek." Frank tahu Diana tak akan sanggup. Wanita tua itu mengangguk. Meski kelopak matanya masih tertutup, air matanya tetap turun."Diana," Frank mulai membaca tulisan bergaya jadul itu, "mungkin kau heran mengapa aku menulis surat untukmu. Mungkin pula, kau senang karena aku mati lebih dulu. Aku juga pernah berpikir begitu, kalau aku akan senang saat kau mati lebih dulu. Tapi ternyata, aku salah besar."Frank melirik Diana sekilas. Sang nenek masih berusaha membendung emosinya. "Aku sama sekali tidak kesal kau membaca surat