Pagiiiii! Selamat hari Senin.
Louis dan Emily bertukar pandang. Kedipan mata mereka menyiratkan berbagai makna. "Apakah Sophia boleh tahu soal ini?" bisik Louis. "Kurasa tidak. Kata Papa, serahkan saja urusan ini kepada orang dewasa. Kita fokus berlibur saja." Suara kecil Emily begitu manis. Louis mengangguk tipis sebelum kembali memandang Sophia. "Maaf, kami tidak mengerti soal itu." Tiba-tiba, Sophia mendesah pelan. Kepalanya tertunduk dan pundaknya turun. "Kupikir kalian menganggapku teman. Kupikir kita sudah akrab. Ternyata, kalian juga menganggapku musuh?" Emily menggeleng sigap. "Bukan begitu, Sophia. Kamu teman kami. Hanya saja, kami tidak berhak menjelaskan tentang itu." Sophia menatap si Kembar lewat sudut atas matanya, memelas. "Kalau kita memang teman, kalian pasti mau menjelaskan soal itu." "Kenapa kamu sangat ingin tahu?" Louis memicingkan mata. Napas Sophia tersendat sejenak. Dalam hati, ia terkesima akan ketajaman analisis sang balita. "Kalau aku tahu detail persoalannya, aku bisa melurusk
Tiba-tiba, Diana beranjak dari posisinya. Takut wanita tua itu menimbulkan keributan, Sophia cepat-cepat menahannya. "Tunggu, Nek. Tolong jangan gegabah." "Jangan menghalangku, Sophie. Lepaskan!" Sophia menggeleng-geleng dengan raut iba. "Nenek saat ini sedang terbawa emosi. Sebaiknya, Nenek menenangkan diri dulu. Mari tangani masalah ini dengan kepala dingin, hmm?""Tidak bisa, Sophie. Selama mereka berada di sini, kepalaku tidak akan bisa dingin. Karena itu, mereka harus angkat kaki dari peternakan ini.""Tapi kalau Nenek mengusir mereka, mereka pasti mengira aku yang melaporkan hal itu kepada Nenek. Aku tidak mau punya musuh!" Diana tersentak. Ia bergeming sejenak, memperhatikan wajah Sophia. "Kumohon, Nek, jangan usir mereka. Ini sudah malam dan musim dingin. Kasihan Louis dan Emily kalau mereka terluntang-lantung mencari penginapan. Tolong pikirkanlah mereka." Diana memalingkan muka. Kepalan tangannya perlahan melemah. "Mereka seharusnya berterima kasih padamu. Aku tidak ja
Philip membuntuti Diana. Wanita tua itu terus berjalan menuju beranda depan. Setibanya di dekat tiang, sebelah tangannya mencengkeram dada. Philip cepat-cepat meraih sikunya. "Nek? Kamu baik-baik saja?" Diana tersentak. Saat ia menoleh, setetes air mata menggumpal di pelupuknya. Tangannya melambai-lambai, meminta Philip untuk mundur. "Tolong ... tinggalkan aku sendiri. Aku sedang tidak ingin melihat siapa-siapa." Napasnya terengah-engah. "Tapi Nenek tidak terlihat sehat. Apakah Nenek sakit?" Philip mencondongkan kepala, memeriksa Diana lebih saksama. Ia kini yakin bahwa wajah wanita itu lebih merah dari biasanya. "Nenek masih mengonsumsi obat secara rutin, kan?" Bibir Diana bergetar semakin hebat. Dulu, ia merasa hangat setiap mendapat perhatian dari cucu asuhannya. Namun kini, dadanya panas. Ia bertambah gerah. "Jangan sok peduli padaku. Aku tidak butuh perhatian palsumu." Dengan langkah goyah, Diana menghampiri sebuah kursi. Ia duduk di sana sambil memangku kepala. Philip be
"Apa maksudmu, Nek? Aku tidak pernah bermaksud mengganggu ketenanganmu." Philip menurunkan alis. "Kalau begitu, kenapa kau bersekongkol dengan mereka?" "Bersekongkol?" Philip mendesah lelah. "Mereka adalah cucu-cucu dan cicit-cicitmu. Bukankah wajar kalau aku mempertemukan mereka denganmu? Apalagi si Kembar. Louis dan Emily sangat bersemangat ingin menemuimu." "Omong kosong!" Napas Diana kembali menderu. Tangannya yang terkepal mulai gemetar. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau sama saja dengan orang-orang Harper itu. Bukan aku yang sudah berubah, Philip, tapi dirimu! Kaulah yang tertular licik dan serakah. Jangan kau perburuk dengan sandiwara tanggungmu itu." Philip menekan kepalanya mundur. Setelah bangkit berdiri, ia berbisik, "Sebenarnya, apa yang merasuki Nenek? Sejak kemarin, Nenek terus menyebut Frank dan Kara bersandiwara. Sekarang diriku? Nenek pikir kenangan yang kuceritakan tadi palsu?" Diana menggertakkan geraham. Ia bangkit berdiri, lalu mulai mendorong Philip. "Pergi! A
Kara merendahkan badan, mengelus-elus punggung si Kembar. Ia sangat ingin menenangkan mereka. Namun, ia tahu siapa yang lebih berhak. "Hei, tidak apa-apa. Ini bukan salah kalian." Frank mengulurkan tangan, ikut menghibur para balita. "Tapi Nenek jadi salah paham karena kami." "Nenek Diana tidak berada di sana saat kalian bercerita, kan?" Frank menaikkan alis. Louis menggeleng. Frank pun mempertegas senyumnya. "Itu berarti, Nenek Diana mendapatkan informasi bukan dari mulut kalian. Ini bukan salah kalian." "Bagaimana kalau saat itu ternyata Nenek Diana tidak sengaja mendengar?" tanya Emily, resah. "Kami tetap bersalah. Kami layak mendapatkan hukuman." "Memangnya apa yang kalian katakan?" Jeremy angkat bicara. "Aku bilang, Philip diberi tugas oleh Kakek Rowan. Kalau dia bisa mempertemukan kita dengan Nenek Diana, dia akan mendapat apartemen yang sangat besar," terang Emily. "Lalu karena Sophia bertanya, aku menambahkan kalau Kakek Rowan mau memberikan Nenek emas yang sangat ban
Secepat kilat, Sophia meletakkan piring ke wastafel, lalu menyeduh teh untuk laki-laki incarannya. "Hei, di mana yang lain?" Sophia melewati pintu sambil mengaduk teh dalam cangkir. Frank menurunkan tablet ke atas meja. "Di kandang. Bagaimana keadaan Nenek?" Ekspresinya gusar. Sophia mengangguk-angguk lalu menempati kursi di sebelah Frank. "Sudah membaik. Tensinya sudah agak turun, sedikit. Sekarang Nenek sedang tidur." Frank menghela napas. "Syukurlah," desahnya seraya meninggikan alis. "Aku sungguh tidak mengerti apa yang membuat Nenek semarah itu. Padahal itu Philip, anak yang pernah dia asuh. Kami beruntung kau ada di sini untuk Nenek." Sophia berusaha mendatarkan ekspresi. Namun, sudut bibirnya tidak bisa berbohong. Ia senang melihat keputusasaan Frank."Aku senang bisa membantu kalian. Dan ya, kita beruntung Nenek mau terbuka kepadaku." Frank mengangguk-angguk. Sambil memandang ke kejauhan, ia membiarkan keheningan menggantung. "Omong-omong, kau mau teh? Aku belum meminumn
"Jadi, ini yang perlu kita bawa ke istal?" Frank menunjuk empat kardus berbeda ukuran. Dua besar, dua sedang."Ya," angguk Sophia sembari berkacak pinggang. "Aku membeli helm, riding vest, boots, dan sarung tangan. Kau bisa membawakan yang besar?" Sophia mengambil dua dus teratas. Saat itulah, mata Frank tertuju pada permukaan dus yang basah. "Tentu." Frank menukar posisi dus yang akan dibawanya. Senyum Sophia seketika lenyap. "Bukankah dus tadi basah? Kenapa kamu menaruhnya di bawah? Nanti dia rusak." "Aku tidak mau daguku ikut basah. Lagi pula, Bukankah nanti dus ini juga akan dibongkar?" Sophia mengerjap. "Ya, memang." Ia terlihat seperti masih mencari alasan. "Kalau begitu, ayo bergegas. Jangan sampai nenek melihat kita." Tanpa menunggu jawaban, Frank memimpin jalan. Sophia mau tidak mau mengikuti langkahnya. "Jadi, apa yang Nenek ceritakan kepadamu?" tanya Frank saat Sophia berhasil menyusul. Sophia mengembuskan napas panjang. Ia sebetulnya sudah menyiapkan pengalihan fok
"Frank?" Mata Kara berbinar cerah. Tidak ada lagi keresahan yang melapisinya. Sambil tertawa kecil, ia melambaikan tangan. Anehnya, Frank tidak membalas lambaian. Pria itu terus berlari dengan kecepatan penuh. Setibanya di beranda, ia langsung menyergap Kara dan melahap bibirnya. Barbara dan Philip terperangah, sedangkan Kara terbelalak penuh tanya. "Frank, ada apa?" Napas Frank terengah-engah. "Dia menggunakan obat itu. Padahal, aku sudah berusaha untuk tidak menghirupnya. Tapi sepertinya terhirup. Ayo kita ke kamar." "Lalu di mana Jeremy?" tanya Philip. "Tidak tahu. Aku menyerahkan dus-dus itu kepadanya." Frank mengecup Kara lagi. "Ayo ke kamar. Aku tidak tahan." Frank menggendong Kara lalu membawanya masuk. Philip dan Barbara terperangah menyaksikannya. "Untung bukan kamu yang pergi," desah Barbara. "Ya, sekarang, haruskah kita selamatkan Jeremy?" Barbara menggeleng. "Kurasa dia sudah tidak terselamatkan." *** Pagi harinya, Sophia keluar kamar dengan wajah ceria. Ingatann