"Jangan khawatir. Mereka pasti sedang di panti. Mungkin sedang sibuk menyiapkan pesta." Abigail membuka keran dan mencuci tangan. "Pesta?" Mata Louis berbinar. "Pesta akhir tahun. Anak-anak biasanya bermain kembang api dan meniup terompet saat menyambut pergantian tahun." Mulut si Kembar kompak membulat. "Itu pasti seru. Apakah kami boleh ikut berpesta nanti?" "Tentu saja," sahut Sophia, membuat semua orang menoleh padanya. "Hanya kalau kalian masih menginap di sini." "Sophie! Kamu sudah pulang?" Emily terdengar antusias. Sophia tersenyum, mengira kalau gadis mungil itu senang melihat kehadirannya. Namun, menyaksikan dua balita itu berlari melewatinya, lengkung bibirnya rapuh. "Mama pulang, Mama pulang." Suara si Kembar mendadak terasa mengganggu di telinganya. Frank menyadari perubahan ekspresi itu. Sambil mendengus samar, ia ikut berjalan menuju pintu depan. Namun, bukannya melihat Kara, mereka malah mendapati dua traktor tanpa pengemudi. Jauh di depan sana, Kara dan Barbar
Melihat orang favoritnya itu, wajah Diana langsung berubah cerah. "Tidak ada apa-apa, Sophie. Bukan masalah besar. Hanya saja, Kara menolak permintaanku untuk membuatkan makan malam." "Bukan Mama yang menolak, tapi kami yang melarang. Mama sedang demam," terang Louis dengan nada kesal. Sophia mengerjap. Namun, selang dua detik, suara tawanya mengudara. "Astaga, Nek. Kalau Kara tidak bisa, aku bersedia menyiapkan makan malam. Nenek tidak perlu marah-marah." "Kenapa kamu jadi berpihak kepada mereka? Aku cuma mau perempuan ini yang memasak. Tidak bisakah kalian menuruti keinginan orang tua?" Kebingungan menyebar di udara. Tidak ada satu pun yang berani membantah kalimat terakhir Diana. Mau tidak mau, Kara mengambil keputusan—kembali mengalah. "Baiklah. Aku akan menyiapkan makan malam. Apakah Nenek punya pesanan khusus?" Dagu Diana terangkat bersamaan dengan alisnya. "Terserah. Yang penting, kau yang memasak. Bukan orang lain." "Baiklah." Kara mengangguk sambil diam-diam me
"Barbara, ayahmu menelepon. Dia bertanya kenapa nomormu tidak bisa dihubungi," tutur Philip dengan lengkung alis tinggi. "Kamu sudah dapat sinyal?" tanya Frank dan Barbara kompak. Philip mengangguk. "Ya. Ayo, cepat! Jangan sampai sinyalnya terputus." Barbara mengelap tangannya sambil berjalan ke pintu. "Di mana ponselmu?" Ia melempar serbet ke meja. "Aku masih menggantungnya di atas pohon." Barbara mendesah tak percaya. "Kau mau aku memanjat pohon?" "Mau bagaimana lagi? Cuma di situ ponselku dapat sinyal." Gelak tawa si Kembar seketika mengudara. "Aku bisa membayangkan bagaimana repotnya Bibi memanjat pohon." "Itu pasti lucu. Bagaimana kalau kita melihatnya sebentar?" Mata Louis membulat. "Itu ide bagus! Mama, bolehkah kami berhenti sebentar?" "Kami sudah selesai mencuci semua sayuran!" Emily meletakkan tomat terakhir di baskom, lalu mengangkat kedua tangannya. Kara tersenyum. "Boleh, Sayang." "Asyik! Terima kasih, Mama!" Si Kembar merosot turun dari kursi yang merek
"Bibi, bertahanlah! Philip akan segera datang." "Awas, Bibi! Jangan pegang ranting itu! Pohon beku itu lebih mudah rapuh!" Wajah Barbara bertambah kusut. "Jangan menakutiku, Louis! Tidak bisakah kamu menenangkan aku seperti Emily?" "Aku berkata apa adanya. Kudengar pohon-pohon di musim dingin memang lebih rapuh. Beberapa pohon terkadang patah karena tidak kuat menahan beban salju." Sementara Barbara meringis, Kara mencubit pipi putranya ringan. "Jangan nakal, Louis. Kasihan bibimu. Dia sudah cukup ketakutan di atas situ." "Apa yang Bibi takuti? Pohon itu tidak terlalu tinggi. Kalaupun jatuh, Bibi mendarat di tumpukan salju." Emily menempatkan sebelah tangan di samping mulut. "Tapi saljunya tipis, Louis. Kalau jatuh pasti tetap sakit." Bisikan Emily menambah kekhawatiran Barbara. "Anak-Anak, daripada kalian diam di situ, lebih baik kalian bantu Philip mencari tangga. Dia lama sekali." "Belum juga lima menit. Sabar, Bi." Louis tersenyum geli. Emily ikut menjepit leher dengan pun
"Aku baik-baik saja, Frank. Hanya sedikit lelah," jawab Kara lirih. Frank tahu sang istri menyampaikan jawaban yang sebaliknya. Namun, demi melindungi harga dirinya, ia berpura-pura tertipu. "Kalau begitu, beristirahatlah sekarang." Frank mengelus pipi hangat Kara, lalu mengecupnya. Sedetik kemudian, ia menatap si Kembar. "Anak-Anak, kalian bisa mengantar Mama ke kamar?" "Bisa, Papa." Louis dan Emily meraih tangan Kara. "Ayo, Mama." Kara tersenyum sekilas kepada yang lain, lalu berjalan masuk. Orang-orang di belakangnya pun mulai merenung. "Kurasa ini tidak bisa dibiarkan lagi," gumam Frank, membuka diskusi. Yang lain kompak mengangguk. "Pasti ada kesalahpahaman antara Nenek dengan kita. Itu harus segera diluruskan," Barbara cemberut. "Kalau begitu, Philip," Jeremy menepuk pundak pria di hadapannya, "kau harus mencari waktu untuk bicara dengan Nenek." Alis Philip berkerut. "Apakah kalian pikir aku akan berhasil? Entah mengapa, aku merasa kami sekarang berjarak. Nenek tid
Frank tersenyum miring. "Kamu belum pernah selemah ini. Kurasa ada faktor lain di dalam tubuhmu." Kara mengangguk-angguk. "Itu juga yang kupikirkan. Meskipun belum pasti, bukankah lebih baik kita berjaga-jaga?" Frank menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk. "Ya. Dan karena kita sudah punya kecurigaan itu, mulai besok kamu harus lebih berhati-hati, hmm? Sekarang beristirahatlah." Ia menata bantal untuk sang istri lalu merebahkannya. "Tidur yang cukup sangat krusial untuk perkembangan janin. Dan kalau besok pagi demammu belum juga reda, kita ke rumah sakit." Kara meringis kecil. "Itu belum pasti, Frank." "Tapi sangat mungkin. Sekarang tidurlah. Jangan memikirkan apa-apa lagi." "Tidak memikirkan apa-apa itu sulit, apalagi kalau memiliki suami setampan dirimu." Frank mendengus kecil. Sambil membelai rambut Kara, ia berbisik, "Jangan memancingku. Atau, perlukah aku mendongeng agar kamu bisa tidur?" Tawa Kara terlepas. Kepalanya menggeleng ringan. "Kamu peluk aku saja. Cara itu l
Louis dan Emily bertukar pandang. Kedipan mata mereka menyiratkan berbagai makna. "Apakah Sophia boleh tahu soal ini?" bisik Louis. "Kurasa tidak. Kata Papa, serahkan saja urusan ini kepada orang dewasa. Kita fokus berlibur saja." Suara kecil Emily begitu manis. Louis mengangguk tipis sebelum kembali memandang Sophia. "Maaf, kami tidak mengerti soal itu." Tiba-tiba, Sophia mendesah pelan. Kepalanya tertunduk dan pundaknya turun. "Kupikir kalian menganggapku teman. Kupikir kita sudah akrab. Ternyata, kalian juga menganggapku musuh?" Emily menggeleng sigap. "Bukan begitu, Sophia. Kamu teman kami. Hanya saja, kami tidak berhak menjelaskan tentang itu." Sophia menatap si Kembar lewat sudut atas matanya, memelas. "Kalau kita memang teman, kalian pasti mau menjelaskan soal itu." "Kenapa kamu sangat ingin tahu?" Louis memicingkan mata. Napas Sophia tersendat sejenak. Dalam hati, ia terkesima akan ketajaman analisis sang balita. "Kalau aku tahu detail persoalannya, aku bisa melurusk
Tiba-tiba, Diana beranjak dari posisinya. Takut wanita tua itu menimbulkan keributan, Sophia cepat-cepat menahannya. "Tunggu, Nek. Tolong jangan gegabah." "Jangan menghalangku, Sophie. Lepaskan!" Sophia menggeleng-geleng dengan raut iba. "Nenek saat ini sedang terbawa emosi. Sebaiknya, Nenek menenangkan diri dulu. Mari tangani masalah ini dengan kepala dingin, hmm?""Tidak bisa, Sophie. Selama mereka berada di sini, kepalaku tidak akan bisa dingin. Karena itu, mereka harus angkat kaki dari peternakan ini.""Tapi kalau Nenek mengusir mereka, mereka pasti mengira aku yang melaporkan hal itu kepada Nenek. Aku tidak mau punya musuh!" Diana tersentak. Ia bergeming sejenak, memperhatikan wajah Sophia. "Kumohon, Nek, jangan usir mereka. Ini sudah malam dan musim dingin. Kasihan Louis dan Emily kalau mereka terluntang-lantung mencari penginapan. Tolong pikirkanlah mereka." Diana memalingkan muka. Kepalan tangannya perlahan melemah. "Mereka seharusnya berterima kasih padamu. Aku tidak ja